Share

Kekhawatiran Lydia

Wisnu menarik dengan kuat cincin itu agar terlepas dari jari Lydia. Tapi usahanya sia-sia.

"Ahh, sakit pak! Udah deh nyerah!"

Lydia mendengus kesal lalu menatap pada pemilik toko yang kini tersenyum misterius.

Tak ada satu kalimat pun yang terucap dari bibir merahnya, dia hanya menatap Wisnu dan Lydia bergantian.

"Tolong lepasin cincin ini!" pinta Lydia putus asa.

"Sepertinya saya batal buat beli cincin ini, jadi saya mau mengembalikan …,"

Wisnu tercekat, ia juga kesulitan melepaskan cincin itu dari jarinya. Sama seperti Lydia cincin itu melekat kuat.

"Apa apaan ini! Kenapa bisa begini?!" serunya kesal.

Hanya takdir kematian yang akan melepaskannya … terima dan ikuti garis takdirmu,

************

"Pak Wisnu, mbak Lidya … bangun, waduh kenapa semuanya pingsan begini!"

Suara pak Broto yang panik terdengar keras menarik perhatian orang-orang disekitarnya. Ia menepuk nepuk pipi bosnya dan juga Lydia. Pak Broto yang sedari tadi menunggu kedatangan Wisnu dan Lydia dikejutkan dengan kemunculan mereka berdua secara tiba-tiba di dalam mobil apalagi dalam keadaan pingsan.

"Pak, mbak … kok yo pingsan janjian lho, tadi darimana aja to mereka ini! Aduh luput aku!"

Pak Broto bingung dan berjalan mondar mandir mencari bantuan. Beberapa orang mendekati dan ikut membantu menyadarkan Wisnu dan Lydia. Akhirnya setelah beberapa saat mereka membuka mata.

"Alhamdulillah …," suara lega secara berjamaah terucap dari orang-orang yang membantu pak Broto.

"Ya Allah, udah jantungan saya pak! Saya kira duut alias dead end!" Pak Broto menatap keduanya lega.

Lydia dan Wisnu bingung dan saling berpandangan.

"Kok kita ada disini pak?"

"Laaah, pak Wisnu sendiri dari mana? Saya nyariin tau-tau udah di dalam mobil pingsan lagi!" Pak Broto balik bertanya.

"Saya …,"

Wisnu tergagap dia langsung melihat ke arah jari manisnya begitu juga dengan Lydia. Cincin unik itu melingkar di jari manis masing-masing. Mereka saling menatap dengan ekspresi rumit.

"No, ini mimpi kan?" Wisnu bertanya pada pak Broto

Pak Broto dengan polosnya mencubit pipi bosnya, lupa bahwa dirinya hanyalah seorang sopir.

"Aaah, sakit!!" jerit Wisnu

"Berarti bapak nggak mimpi!" Pak Broto nyengir tanpa dosa.

Lydia menatap nanar pada jarinya. Jari manis yang beberapa jam lalu masih kosong kini melingkar cincin indah yang tidak bisa dilepaskan.

"Kutukan … ini kutukan!"

Lydia menatap nanar pada jarinya. Jari manis yang beberapa jam lalu masih kosong kini melingkar cincin indah yang tidak bisa dilepaskan.

"Kutukan … ini kutukan!" gumamnya lirih.

Matanya memanas, Lydia bingung. Wisnu dibuat panik karena Lydia mulai menangis keras.

"Eeh, kok malah nangis sih! Ini cuma cincin kan, ngapain pake nangis segala?! Dasar aneh!" 

Bukannya menghibur Wisnu justru semakin membuat Lydia keras bersuara.

"Aneh gimana? Hidup bapak, hidup saya? Gegara bapak nih saya jadi pake cincin ginian! Nanti kalo ada yang suka sama saya gimana dong? Kan dikira saya dah nikah pak!"

Lydia kesal dan kembali menangis, membuat Wisnu semakin bingung.

"Ccck, berisik! Diem bisa nggak sih! Udah kita pikirin lagi besok, sekarang kita pulang dulu saya capek!" 

Pak Broto membawa keduanya pergi dari kawasan pedestrian. Sepanjang jalan menuju rumah Lydia terus merenung dan menangis dalam diam. Sesekali Wisnu melirik ke arahnya dengan iba. 

Wisnu menyesali kebodohannya yang terpesona dengan keindahan cincin keramat itu. Tapi nasi sudah menjadi bubur, apa yang sudah terjadi tidak bisa diputar ulang. 

"Sudah sampai mbak," pak Broto membukakan pintu untuk Lydia yang masih melamun.

"Mbak …," sekali lagi pak Broto memanggil namanya.

"Eeh, iya! Makasih pak!"

Lydia dengan gontai keluar dari mobil tanpa berpamitan dengan Wisnu. Pipi halusnya terus dibasahi air mata. Pikirannya campur aduk tak karuan. 

Setelah memastikan Lydia masuk ke dalam rumah, Wisnu memerintahkan pak Broto kembali ke rumah mewahnya.

"Kita pulang!"

Pak Broto menurut, dari kaca spion ia bisa melihat jelas raut wajah gusar Wisnu. Berkali kali Wisnu menghela nafas panjang sembari melihat ke jari manisnya.

"Kenapa tuan? Ada masalah?" Pak Broto memberanikan diri bertanya.

"Hmm, entahlah! Saya pusing!" jawab Wisnu memejamkan mata.

"Ehm, baru beli cincin baru pak? Kok diliatin terus?" Pak Broto lagi-lagi penasaran.

"Beli? Ini gratis!" jawab Wisnu tanpa membuka matanya.

"Wah kok bisa, saya juga mau pak kalo gratis buat istri saya!" sahut pak Broto.

Wisnu hanya tersenyum hambar, "Iya gratis tapi bayarannya seumur hidup kamu!" ujarnya lirih hampir tak terdengar oleh pak Broto 

Pak Broto tentu saja berpura-pura tidak mendengar, ia kembali memperhatikan raut wajah Wisnu yang begitu lelah. Beban berat tampak terlihat jelas di wajah Wisnu.

"Gimana cara melepas cincin ini? Masa iya harus potong jari dulu?" tangannya memijit kepala pelan.

Pikiran Wisnu rumit, jika ini menyangkut pekerjaan pasti bisa diselesaikan dengan mudah. Tapi ini sesuatu yang diluar logikanya sebagai manusia. 

Lydia merebahkan tubuhnya dengan kasar di ranjang. Tubuh lelahnya seakan berkali lipat lebih berat setelah kejadian aneh di toko suvenir tadi. Matanya kembali menatap lekat cincin indah di jari manisnya.

"Mimpi apa aku semalam, sampai harus ngalamin ini?"

"Kalau dilihat sih memang unik dan cantik, tapi kenapa cincin secantik ini bikin repot yang makai?"

"Hai cincin, kamu bikin susah aja sih! Kenapa nggak mau lepas dari jari saya? Gimana coba kalo sampai Bu Shella tahu saya sama pak Wisnu pake cincin kembaran?" 

Seketika Lydia sadar dan melonjak dari ranjang empuknya,

"Eh, mampus gue kalo sampai Bu Shella tahu! Aduh, gini amat sih nasib gue!"

Membayangkan kemarahan Bu Shella saja Lydia sudah dilanda kengerian hebat. Wanita cantik berlabel istri president direktur itu bagai mak lampir yang siap menerkamnya dan menjadikan Lydia tumbal.

Hiii ... serem!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status