Share

8. Apa aku akan mati?

Hari kedua di mansion Leon. 

Leon, pria sinting. Elena semakin memahami makna kata itu. Ratapan kesedihan dan juga permohonan ampun dari korbannya adalah kesukaan Leon. 

Leon selalu marah saat dia bungkam. Seperti yang terjadi tadi malam. 

"Kenapa kau tidak memohon padaku, berengsek?! Cepat memohonlah! Kau harus meminta untuk dilepaskan! Jangan terus memintaku untuk membunuhmu, sialan! Kau memuakkan! Akh, dasar jalang kecil yang menjengkelkan!" 

Usai berteriak seperti itu, Leon menamparnya dengan kuat hingga membuat kepala Elena pusing. 

Elena yang tak kuasa melawan akhirnya diam dan menutup matanya. Dia memilih untuk tidur dengan tubuh penuh luka ketimbang melihat Leon yang sinting. Sebelum benar-benar terlelap, dia bisa mendengar Leon memakinya berulang kali.

Kemudian, dipagi cerah seperti ini, Leon sudah bersiap menyiksanya kembali. Dia membangunkannya secara paksa. 

"Bangun! Apa kau tuli? Kubilang bangun, sial!" 

Leon melakukannya dengan kasar. Dia menarik tubuh ringkih Elena dari ranjang. 

"Kau mau membawaku ke mana lagi, huh? Apa kau tidak lelah terus menerus menyeretku seperti ini? Aku malas sekali melihat wajahmu. Lagipula, aku tidak takut padamu. Aku tidak akan memohon padamu, kau dengar itu?" protes Elena lelah.

Walaupun sebenarnya dalam hati, dia was-was akan apa yang terjadi. Jantungnya berdetak kencang kala memikirkan apa yang pria gila ini akan lakukan. Dia takut tidak sanggup bertahan dari pria itu dan menyerah.

Hell, no! Dia harus bisa membuat pria itu mengembalikannya ke Manhattan.

Ah, memikirkan kota itu membuatnya merindukan Katya. Teman sintingnya itu, apa kabar, ya? 

"Leon! Apa kau tahuㅡ" ucapan Dante yang duduk di ruang tamu terpotong saat melihat gadis asing yang sedang merintih kesakitan diseret paksa oleh Leon. 

Pria itu bangkit dari duduk santainya dan menghampiri Leon dengan tatapan menyudutkan. "Kau! Kau seperti ini lagi? Hei, hei, hei! Berhentilah melakukan ini! Apa kau tidak lelah melakukan hal seperti ini setiap minggu? Aku saja muak melihat banyak mayat yang bergelimpangan di lantai mansionmu. Dan kau tahu bagian terburuknya, aku yang harus membersihkannya untukmu, Leon," keluh Dante dramatis. 

Elena mengerjap sadar. 

Obsesi Leon pada mata cokelat! 

Astaga, Elena sampai melupakannya! 

Perutnya kembali bergejolak, punggungnya mendingin, dan kepalanya berdenyut pusing. Membayangkan sesuatu akan terjadi padanya membuatnya mual. 

Melihat perubahan diwajah Elena membuat Leon menyeringai. 

Elena melihatnya! 

Dia sudah mengetahuinya! 

'Ah, ternyata dia tahu... Ini akan menyenangkan.'

"Leon. Apa kau mendengarku? Hello ... Hah, sudah kuduga. Sekarang kau pasti memikirkan hal buruk diotakmu. Kau ini benar-benar pria jahat, Le. Aku tidak menyangka bisa berteman denganmu," gerutu Dante jengkel. 

"Dante." Leon memanggil pria itu dengan nada rendah. "Kau temanku, tapi saat di depan orang lain, kau ini asistenku. Apa kau lupa peraturannya?" ujar Leon tajam. 

Dante terkekeh. "Hei, tenang saja, teman. Lagipula, gadis ini akan segera mati. Bukan masalah jika aku memperlihatkan pertemanan kita, bukan?" ujar pria itu membela diri. 

Harapan yang sempat tercetus dibenak Elena seketika lenyap begitu saja. Pria ini ternyata sama gilanya dengan Leon. 

Yah, tidak mungkin orang normal berteman dengan psycho sinting sepertinya. 

Wajah Elena berubah mendung. Apa dia benar-benar akan menjadi mayat? Ah tidak-tidak, dia tidak mau. 

Dia bahkan belum bertemu jodohnya. Dia tidak mau mati sebelum nikah seperti ini. Itu sangat menyedihkan. Dia tidak bisa bercinta dengan bebas karena terikat janji dan tiba-tiba akan mati begitu? Uh, tidak mau. Tapi, bagaimana caranya lepas dari Leon? 

Dante dan Leon melirik Elena yang tiba-tiba membuat raut wajah aneh. Dia seperti bocah bodoh yang sedang meratapi permennya yang jatuh. 

"Oi Leon, dia si gadis Manhattan itu bukan?" tanya Dante bingung. "Apa dia tidak waras?" imbuhnya lugu. 

Leon menyeringai tipis. "Entahlah. Siapa yang tahu," balasnya santai.

Leon menyeret Elena yang mendadak bisu. Sepertinya mental Elena runtuh setelah tahu jika dia suka mengoleksi mata cokelat. Itu berita baik, dia tidak harus repot-repot memaksa lagi. Elena akan segera memohon ampun padanya dan Leon bisa bebas mengambil matanya seperti biasa. 

"Hei berengsek, lepaskan aku!" 

Leon menatap Elena yang justru memandangnya dengan nyalang. Perubahan gadis itu terlalu cepat. Tapi tunggu, kenapa dia bisa berani ini? Bukankah mentalnya sudah hancur karena ketakutan? Lalu apa ini? Kenapa dia berteriak padanya? 

"Oh ayolah, Pak Tua. Apa kau tidak merasa buang-buang waktu bermain denganku? Aku tidak akan memohon padamu. Aku tidak sudi melakukannya. Lebih baik kau bunuh aku saja langsung daripada melakukan banyak hal tidak berguna seperti ini?" tantang Elena sombong. 

Leon geram. Dia marah dan mencekik Elena. Gadis itu tampak berusaha keras bernapas karena rasa sesak yang memenuhi rongga dadanya terasa tidak enak. Leon semakin memperkuat cekikannya dan membuat Elena semakin belingsatan. Sedetik kemudian, Leon melepaskannya. Elena terbatuk-batuk kecil dan meraup oksigen sebanyak mungkin. 

Leon jongkok dan memegang dagu Elena. Wajah gadis itu berkaca-kaca karena rasa sakit yang menguasainya setelah memberontak tadi, kakinya yang terluka tak sengaja berayun memukul tubuh Leon dan itu menyakitkan. "Apa kau benar-benar tidak akan memohon padaku, nona? Bukankah lebih baik untuk mati dengan cepat, ketimbang membuat dirimu tersiksa seperti ini? Turunkan saja harga dirimu itu dan mengemislah ampun padaku," ejek Leon meremehkan Elena. 

Mata cokelat Elena yang dipenuhi air mata memelotot tajam pada Leon. "Aku tidak akan melakukannya! Aku tidak akan melakukannya! Kau dengar aku 'kan? Aku tidak akan pernah merendahkan diriku dan memohon padamu, Pak Tua?!" balas Elena dengan napas yang memburu. 

Leon tertawa terbahak-bahak. Gila, ini lucu sekali. Lelucon paling buruk yang pernah dia dengar dalam hidupnya. Dia ditantang oleh bocah sialan seperti Elena?

Rasa ingin menyakiti gadis itu semakin besar. Dia harus bisa memberi pelajaran pada Elena jika kepercayaan diri dan harga diri yang dia pertahankan saat di ambang kehancuran bukanlah hal yang baik.

Dia harus menekan Elena dan membuat gadis itu mengakui, memohon dan merendahkan diri pada lawan adalah jalan terbaik. Pilihan yang sempurna untuk menyelamatkan dirinya. Sama seperti yang terjadi padanya. Kehilangan harga diri yang membuatnya menderita seumur hidup. 

"Baiklah, mari kita lihat sampai kapan kau bisa bertahan dengan kepercayaan dirimu itu," cemooh Leon akan sikap keras kepala Elena. 

Elena menelan ludah gugup. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ketakutan dan membuat Leon senang atau malah sok berani dan membuat Leon semakin bersemangat menyiksanya.

Kedua pilihan itu sama sekali tidak menguntungkannya. Begini-begini dia masih ingin hidup walaupun mulutnya selalu meminta Leon untuk membunuhnya. 

'Sialan, apa aku akan mati?!' 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status