"Aku bukan Diana.""Apa? Apa yang kau katakan, sayang?""Aku bukan Diana!" ulang Elena sekali lagi dengan penuh penekanan."Tidak, tidak, itu tidak mungkin. Kau adalah Diana. Kekasihku, cintaku, dan calon ibu dari anak-anakku! Kau ... Kau milikku!" seru pria itu posesif.Elena menggeram pelan. Dia membiarkan Leon menggerayangi tubuhnya dengan bibirnya yang panas, kemudian melemas dan memeluknya dengan erat setelah beberapa saat.Ah, kesempatan. Gadis itu mendorong Leon kemudian menampar pipinya dengan kuat.Plak! Elena menampar pria itu hingga menjauh ke belakang."Hah ... Apa?" Dia kaget, tapi tidak sadar juga. Dia terlihat bodoh.Elena berhasil mengatasi rasa takutnya. Kebencian yang mendalam membuatnya berani untuk melawan. Pria ini. Orang sialan ini yang membawanya ke tempat ini. Dia menculiknya, menyiksanya, melecehkannya, dan membuatnya tak berdaya. "Sayang ... Diana. Kenapa kau ...."Leon sepertinya memang mabuk berat karena pria itu langsung ambruk begitu saja di lantai se
Satu minggu.Kebebasan itu terasa sangat singkat dan juga cepat. Elena menikmati hidupnya di pedesaan yang terletak di pinggir Kota entah di mana ini.Saat ini dia tinggal di sebuah rumah kecil yang dihuni oleh sepasang suami istri. Begitu dia menyebutkan nama Leon, entah mengapa mereka sedikit takut padanya. Tapi, mereka tetap berbuat baik padanya. Elena tidak menyangka jika pamor Leon sampai di tempat terpencil ini. Tapi tentu saja bukan pamor yang baik. Dia tak lebih dari berandal sinting yang menyebalkan. Mungkin, itu yang akan orang-orang katakan jika mereka berani. "Kuharap dia cepat mati," bisik Elena sambil mengangkat segelas kopi susu hangat di tangannya. Tatapannya tertuju pada pemandangan sore hari yang indah. Waktu-waktu menyenangkan yang sudah lama tak dia nikmati karena penculikan sialan ini. "Sepertinya harapanmu tidak akan terwujud dalam waktu dekat."Elena tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang baru saja bersuara. Dia sangat mengenali nada rendah dan serak yang
Pesta yang dia hadiri kali ini jauh berbeda dari kebanyakan pesta anak-anak muda yang dia datangi. Semua orang di tempat ini memakai pakaian formal dengan tema gelap dan tidak menonjol. Tidak ada satupun orang yang memakai aksesoris mencolok seperti berwarna pink atau kuning cerah. Nyaris semua memakai serba hitam dan merah maroon, atu ada juga biru gelap dan abu-abu.Elena tanpa sadar menaikkan sudut bibirnya sinis. Orang-orang ini sama sekali tidak ada yang menikmati pesta, begitu yang dia simpulkan.Mereka semua berbicara serius, dengan suasana yang menegangkan, dan tidak ada hiburan sama sekali.Musik pestanya pun terlalu pelan, hanya ada dansa-dansa kecil yang dilakukan di lantai dansa."Hoam ... Ini membosankan," komentar Elena di samping Leon.Ketiga pria yang sedang berbincang dengan Leon melirik Elena. Gadis itu tersenyum tipis dan mengangka
Dentum musik DJ yang menggema di sebuah rumah megah dan mewah bergaya Neo Klasik yang memiliki ciri khas teras yang tinggi dan lebar, pedimen yang besar, serta fasad yang simetris berlantai dua di salah satu kompleks di Kota Manhattan menandakan pesta sedang diadakan. Kumpulan pemuda-pemudi di berbagai sisi yang sedang asyik bergoyang membuat suasana semakin meriah. Bukan hanya halaman saja yang penuh melainkan juga bagian dalam. Semua sesak dengan anak muda yang berpesta. Diantara keramaian itu ada satu orang yang menjadi pusat perhatian. Seorang gadis muda dengan dress tipis bertali spaghetti warna hitam yang super ketat dengan panjangnya yang hanya sampai atas paha. Dia adalah Elena Shei Maclean. Gadis berusia delapan belas tahun yang memiliki pesona seorang wanita dewasa. Tingginya yang mencapai seratus enam puluh delapan senti dengan berat tubuh lima puluh kilogram membuat tubuhnya terlihat ramping bak model papan atas. Buah dadanya yang sintal dan padat membuatnya semakin t
Benar, Elena menabrak sebuah pohon yang tak bersalah. “Ah, sial! Benar-benar sial! Kenapa pohon itu ada di sana, sih?! Seharusnya dia menyingkir dan membiarkan ku lewat dengan tenang,” jeritnya murka. Dia keluar dari mobil dengan susah payah dan menendang ban mobil itu ketika melihat asap mengepul dari mesin di balik kap mobil. Elena menoleh ke sekitarnya dan mendelik pada mobil mati di depannya untuk di salahkan. “Kenapa kau harus berhenti di sini, bodoh? Coba kau lihat? Apa ada orang lain di sini? Tidak! Tidak ada, sial. Sekarang, apa yang harus kulakukan karena kesalahanmu itu, hah?!” rutuknya memaki mobil yang tak bergerak di depannya. Elena jongkok di tepi jalan dan merogoh ponselnya di dalam tas selempang kecil yang dia kenakan. Bibirnya seketika mengerucut sempurna saat melihat ponselnya yang hanya menyala sekejap sebelum akhirnya mati seutuhnya. Baterai ponselnya habis. Sudah kuduga, minggu memang hari tersial dalam hidupku,” gerutu Elena jengkel. “Kenapa harus ada hari
Didalam mobil BMW mewah keluaran Jerman yang terparkir di tepi jalan kecil di kota Manhattan itu mengeluarkan aura yang mencekam. Sang singa yang terusik sebab merasa kekuasaannya di ganggu sementara sang kelinci tidak merasa melakukan apapun kecuali bertahan hidup. Mereka berdua dipertemukan dan bentrok dalam keadaan yang sepertinya tengah memihak si singa. “Nona, apa kau baru saja menantangku?” Leon kembali bertanya dengan suara yang mengerikan. Leon bergerak mendekati Elena yang seketika mundur hingga terpojok di sudut kursi mobil. “Apa kau tahu apa hukuman untuk orang yang berani menantangku, Nona?” Dia semakin dekat memojokkan Elena diantara kedua tangannya yang bertumpu pada bagian pintu dan kursi mobil. Elena semakin dibuat kecil dibawah Leon. “Dia harus mati,” bisiknya tepat ditelinga Elena. Gadis itu mengigil ketakutan. Dia tak menyangka jika pria itu akan tersinggung hanya dengan ucapannya yang sebenarnya tidak memancarkan perlawanan berarti. Lagipula, dia melakukannya
Beberapa jam kemudian di Kota Napoli, Italia. Elena terbangun dengan rasa sakit yang luar biasa dikepalanya. Gadis itu terduduk di tempat tidur dan memegang kepalanya dengan mata yang masih terpejam malas. Dia kesulitan untuk bangun. “Ah sial, kenapa rasanya sakit sekali? Sebenarnya berapa banyak bir yang sudah kuminum tadi malam,” keluh Elena pelan sembari memarahi diri sendiri karena lagi-lagi kelewat bersemangat. Dia ini sangat bodoh jika soal minum tapi masih saja tetap melanjutkan kebodohannya. Yah, mau bagaimana lagi. Dia ini kan gila. Dengan setengah sadar, Elena berusaha meraih gelas yang ada di meja kecil tepat di samping tempat tidurnya seperti biasa karena minum air putih di pagi hari adalah kebiasaannya sejak kecil. Dia mengernyit aneh ketika yang dia temukan justru sebuah benda asing, benda yang bentuknya lebih mirip seperti pistol yang sering dia lihat di film. Elena membuka matanya dan terkesiap kaget dengan apa yang dia pegang. “Apa-apaan ini?” pekiknya kag
Hari pertama Elena di mansion Leon. “Hei, bangun!” “Ibu ... Hentikan, aku masih mengantuk,” racau Elena sambil memeluk bantal yang dia pegang lebih erat. Semalam, Leon melepaskan ikatan yang menjerat tubuh Elena setelah gadis itu tidur. Untungnya, gadis itu tidak bangun. Tetapi Leon heran karena gadis itu sangat santai dan bisa tertidur dalam sekejap. Elena hanya takut di awal saja, setelah itu sikapnya jadi kurang ajar. Dia tidak peduli dengan semua siksaan yang diterimanya.Elena perlakuan Leon dengan kalem. Sialan, dia meremehkannya! Leon pikir gadis ini masokis makanya dia tenang saja saat ditampar dan dipukul, tetapi tidak, dia meringis kesakitan saat Leon mencoba mematahkan lengan Elena dengan memutarnya wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan adanya ciri bergairah. Dia menunjukkan raut wajah tersiksanya, tak ada emosi aneh yang keluar dari wajahnya selain kesakitan. Itu menyebalkan! Dia ingin melihat Elena meraung dan memohon ampun padanya tetapi Elena tidak juga menu