Share

7. Bunuh pria gila ini!

Suara tembakan menggema kuat di ruangan itu. Peluru dari revolver yang tadi dilontarkan melaju mengenai tepat di ulu hati salah satu penjaga. Dia ambruk dengan mata melotot. Sementara yang lain segera mendekat, memberi perlindungan pada tuannya. 

"Kau gila, Leon!" sentak Dante sambil melempar pistol lain di sakunya pada pria itu. "Kau selalu saja seperti ini. Apa kau mau aku mati mendadak, hah?" 

Leon menerima pistol hasil lemparan Dante dan menatapnya datar. "Kau tidak akan mati semudah itu. Tekad bertahan hidupmu jauh lebih besar dariku," balas Leon santai. 

Mendengar jawaban dari Leon membuat Dante meradang.

Sialan! Pria ini sedang menghinanya. 

Keduanya lantas kembali fokus menembak musuh yang tersisa. 

Ada sekitar enam orang tersisa sekalian Johan. Salah satu dari mereka berhasil mendekat dan menghantamkan meja kecil pada Leon. Pria itu dengan gagah menangkis serangan darinya menggunakan kursi yang ada di sisinya. 

"Woah, kau nyaris mati!" celetuk Dante sambil melilit leher seorang pria dengan tangannya sendiri dari belakang.

Leon mendengus. Dia menunduk, menyikut dagu seseorang yang mencoba menyerangnya dari belakang. Pria itu berbalik dan menendang sang lawan hingga terjungkal. 

Leon dan Dante sibuk berkelahi dengan lawan masing-masing. Johan yang merasa memiliki kesempatan, berniat kabur. Dia merangkak keluar dari ruangan. 

Tetapi, nasib buruk sedang berpihak padanya. Sebuah peluru dengan kecepatan tinggi melesat dari samping, mengenai gendang telinganya, dan membuatnya ambruk. Darah segar mengalir keluar dan mengenang disekitar kepalanya. 

Dante melepaskan pukulan terakhir pada lawannya kemudian menembak jantung sang korban hingga tak lagi menunjukkan tanda-tanda kehidupan di sana. Dia melirik Leon yang justru mengambil rokok dan kembali menyalakannya. Asap yang dikeluarkannya segera naik ke atas. 

"Sekarang, apa yang harus kita lakukan?" tanya Dante dengan tersenyum. 

"Bakar tubuhnya di rumahnya." 

Dante menahan napas. Ini bukan pertama kali dia mendengar hal mengerikan dari Leon, tapi, dia belum terbiasa. 

Pria ini memang sangat kejam. Leon menatap Dante dengan pandangan mengintimidasi saat asistennya tidak juga bekerja. "Apa kau ada masalah dengan itu, Dante?" tanya Leon dengan tilikan satiris yang kental. 

"Tidak."

Leon bangkit dan beranjak pergi melangkahi jasad Johan tanpa menoleh sedikit pun ke belakang. Dia meninggalkan tempat itu tanpa beban sementara Dante yang ditinggalkan tampak jengkel. 

"Uh, padahal hari ini aku ada kencan, tetapi sekarang harus kubatalkan karena sibuk membuat kebakaran besar di tengah kota. Hah ... Kenapa kau harus membuat masalah dengannya? Apa kau tidak tahu jika pria itu gila?" rutuknya pada mayat Johan yang tergeletak di dekat pintu. 

Sekarang Leon akan kembali, menemui kucing kecilnya dan bermain. 

Ah, dia sudah tak sabar. 

***

Pintu mansion dengan tinggi lima meter milik Leon terbuka sempurna. Eise, kepala pelayan itu menerima dengan kepala tertunduk hormat. "Selamat datang kembali di rumah, Tuan." Eise menyapa dengan sopan. 

Leon melonggarkan dasinya dan melirik Eise kemudian bertanya, "Apa sesuatu terjadi?"

Wajah tua Eise berubah pucat. Tubuhnya gemetar dan jemari tangannya terpaut erat. Dia ragu dan takut! Dia tidak tahu apakah dia harus mengatakan perihal jatuhnya Elena dari tangga atau tidak. 

Risiko pertama, dia akan dipecat dan diusir karena tidak melakukan tugasnya mengawasi Elena dengan baik. 

Walaupun dia diusir, Leon tidak akan membiarkannya begitu saja. 

Risiko kedua, dia dibunuh.

“Aku tidak suka mengulangi apa yang sudah kukatakan. Kau tahu itu, Eise.” 

Eise tersentak. Dia bersujud didepan Leon diikuti oleh para pelayan dibelakangnya. 

Wajah Leon berubah sedingin salju. Aura mencekam mengudara disekitarnya. Leon tidak suka kesalahan apapun terjadi di rumahnya! 

“Maafkan saya, Tuan. Saya memang pantas untuk mati,” ratap Eise dengan menyesal. Keringat dingin bercucuran di sekitar dahi dan lehernya. “Saya telah melakukan kesalahan fatal, Tuan. Saya mohon maaf.”

Leon melipat tangannya di dada dan menatap tajam perempuan itu. 

“Nona Elena jatuh dari tangga, Tuan. Dia mencoba melarikan diri dan kami mengejarnya. Kami tidak tahu jika dia akan mengalami kecelakaan,” lapor Eise perlahan. 

Leon menggeram pelan. “Sudah kukatakan, aku akan menghukum kalian jika membuatnya terluka!” desis pria itu dingin. 

“Hei, kau! Cepat ke mari!” panggil Leon pada seorang penjaga yang ada di sana. “Cambuk mereka semua dua puluh kali!” titahnya mutlak. 

Wajah para pelayan semakin putih tak terkecuali Eise. Jika mereka memohon maka Leon akan menambah hukumannya.

Seperti itulah Leon. 

Dia adalah pria berdarah dingin yang suka menyiksa orang lain. Entah apa tujuannya. Dia benar-benar suka melihat orang lain memohon ampun padanya walaupun mereka tetap berakhir mati. 

Leon pergi menuju kamar Elena dan melihat pergelangan kaki gadis itu diperban, begitu juga dengan lengan kanan, dan juga bagian kepala. 

Oh, sepertinya dia terluka parah. 

Wajah gadis itu sangat damai dan membuatnya geram. Bisa-bisanya dia tidur senyaman ini di tempatnya! Ini tidak bisa dia biarkan. “Gadis sialan! Beraninya kau tidur se-nyenyak itu di sini?!” rutuk pria itu sebal. Leon melirik luka Elena dan menyeringai. Pria itu bergerak memegang kaki Elena yang terbungkus perban dan menekannya cukup kuat. 

Dahi gadis itu berkerut dan bibirnya mengeluarkan ringisan kecil. Melihat Elena tak juga bangun, Leon menambah kekuatannya dan semakin menekan kaki Elena hingga gadis itu terbangun dan memekik, “AKH! SIAL! SAKIT SEKALI!” 

Elena mengedip-edipkan matanya dan mendelik melihat Leon berdiri didekat kakinya. Rasa perih menjalar menusuk tulangnya dan membuatnya merintih. “Kenapa kau melakukan itu, hah? Aku sedang sakit! Kakiku sangat sakit, berengsek!” sembur Elena murka. 

“Aku sengaja. Kau sangat cantik saat kesakitan,” ujar Leon sambil beralih mendekati Elena. 

Gadis itu bermaksud mundur namun rasa sakit di kakinya membuatnya terhenti dan meringis. “Apa maumu, hah? Kau mau membunuhku? Lakukan saja sekarang!” sentak Elena ketus. 

“Tidak, itu tidak akan menyenangkan.” Leon kembali menekan kaki Elena yang terluka. “Aku suka melihatmu menderita.”

“AKH, SIALAN KAU!” 

“PRIA TUA SIALAN! KAU MENYAKITIKU! HEI! ITU MENYAKITKAN! AKHHH!” 

Leon tertawa kesenangan sementara Elena berusaha keras menahan rasa sakit. Leon sinting dan sialnya dia tidak bisa menendang pria itu karena kakinya terluka. 

Wajah Elena memanas, dia ingin menangis keras dan meraung meratapi penderitaannya akibat siksaan Leon namun jika dia melakukannya maka Leon akan lebih bahagia. 

Dia tidak akan menyerah! 

Elena membekap mulutnya dan mencengkeram seprai kuat saat Leon terus saja menekan lukanya hampir lebih dari satu jam. Dia seperti bayi yang menemukan mainan menyenangkan. Sial, sampai kapan dia harus menderita seperti ini? 

Oh astaga, siapapun, bunuh pria gila di depannya ini! 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status