Dari tadi, mulut Niko terus saja berbicara, sedangkan orang yang dibicarakannya adalah Nia.Hal ini tentu membuat Dion merasa pusing sekali, hingga akhirnya dia dan menunjukkan arah pintu keluar untuk Niko."Pintunya masih di sana!"Mendengar itu, Niko pun terdiam sejenak sambil menggaruk kepalanya. Seketika, dia menyadari Dion tak ingin mendengar ceritanya."Baiklah, kalau begitu. Aku, pamit pulang dulu. Tapi, aku menemui Nia dulu. Dan, sepertinya aku akan lebih sering ke sini," Niko pun tersenyum bahagia kemudian segera keluar dari ruangan Dion.Dengan penuh semangat, Niko pun berjalan menuju dapur. Dia mencari keberadaan Nia di sana. Sayangnya, tak ada orang yang dicarinya di situ."Ke mana dia?" Niko pun bertanya-tanya sambil terus mengedarkan pandangannya. Namun, tak juga tampak apa yang dicarinya.Untungnya, itu tidak membuat Niko patah semangat. Seketika itu juga, Niko mendapat ide untuk mencari Nia di luar.Tak lama, bibirnya tersenyum saat menemukan Nia sedang menyirami tana
Malam harinya, Dila pun tidur dengan Nia dan juga Zaki. Namun, tiba-tiba Dila terbangun karena mendengar sebuah suara.Awalnya, Dila merasa takut, tetapi setelah mengetahui asal suara, dia justru menjadi bingung."Mami, kenapa? Meriang?" tanya Dila melihat Nia yang menggigil kedinginan, "Mami, sakit ya?" Dila pun merasa kasihan pada Nia, apa lagi wajah Nia tampak begitu pucat.Seketika itu juga, Dila menuju kamar Dion. Untung saja, sesampainya di sana, ternyata Dion belum tidur.Pria itu tampak berdiri di balkon, dengan bersandar miring bertumpu pada dinding. Sedangkan kedua tangannya, melipat di dada. Dion hanya menatap dedaunan kering di bawah sana.Pikirannya menerawang jauh, seakan menembus kegelapan malam.Hari-harinya tidak berwarna sama sekali. Hanya dipenuhi dengan bekerja dan bekerja tanpa henti.Tak ada yang mampu menghiburnya saat lelahnya bekerja. Hidupnya dipenuhi dengan kehampaan dan hanya Dila yang menjadi sumber kekuatannya kini."Papi!" seru Dila dengan kencangnya.Di
Pagi harinya, Nia pun terbangun dari tidurnya. mMtanya seketika menatap jam yang terpasang pada dinding.Awalnya, Nia hanya biasa saja sambil memijat kepalanya yang masih terasa pusing. Namun, sesaat kemudian Nia pun mulai tersadar bahwa matahari sudah terbit dengan teriknya, sedangkan Nia masih saja berada di bawah selimut. Bagaimana dengan Dila yang sudah menjadi tanggung jawabnya?"Jam 07:00?" Nia pun segera melihat sekiranya, mencari anaknya dan juga Dila.Jantung Nia berdegup kencang karena panik. Keduanya tidak ada di situ. Bagaimana bisa tidur nyenyak semalaman penuh, sedangkan Zaki juga masih begitu kecil? Bahkan, hari ini, bayi itu baru genap berusia satu bulan. Jadi, tak mungkin dia bisa berpindah tempat tanpa dipindahkan. Jadi, di mana anaknya?Nia pun melihat sekitarnya dan menyadari di mana kini berada.Otak Nia pun berpikir keras, sebab semalam mengingat jelas tidur di kamar Dila.Namun mengapa malah pagi ini berada di kamar Dion.Tunggu, kamar Dion?Nia pun panik setel
Di sebuah ruangan, seorang pria tengah duduk di kursi kebesarannya. Kakinya berada di atas meja, sedangkan tangannya memegang bolpoin. Sesekali, tangannya bergerak mengetuk meja.Pikirannya mendadak menerawang jauh, memikirkan seorang wanita yang tidak tahu mengapa bisa membuatnya terus kepikiran.Semalaman, Dion memang mengurus Nia. Namun, entah mengapa membuat pagi ini terus membayangkan wajah wanita itu.Wajah pucat dengan peluh yang bercucuran.Wajah yang membuatnya merasa kasihan, seakan wajah itu begitu banyak menyimpan keresahan, bahkan luka.Luka yang begitu dalam, namun hanya bisa diam menerima semua kenyataan.Tampak ada kerinduan yang begitu dalam pada kedua orang tuanya. Semalaman penuh, Nia terus memanggil kedua orang tuanya."Apa dia sangat menderita?" Dion pun bertanya-tanya, dan merasa tertarik akan hidup Nia sebelum menikah dengannya.Seolah rekaman, Dion memutar kembali ingatannya saat Nia menceritakan tentang kisah hidupnya, hingga mengandung anak dari Reza.Dion p
Tok ... tok ... tok!Nia mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk. Meskipun tak mungkin ada jawaban dari dalam sana.Perlahan, tangannya memutar gagang pintu. Setelah pintu setengah terbuka, Nia pun melihat ke dalam.Saat itu, Dion juga terlihat sedang memperhatikannya. Seketika, Nia pun menundukkan kepalanya, kemudian melangkah masuk."Maaf. Ada apa, Tuan?" Kedua tangan Nia saling meremas, takut jika ternyata Dion memarahinya.Nia tahu, Dion adalah seseorang yang tak suka keterlambatan. Apalagi, keteledoran dalam suatu pekerjaan.Itulah yang terjadi pada Nia saat pagi tadi, bahkan sampai melupakan anaknya sendiri. Mungkin, jika tidak dengan bantuan Asih menjaga Zaki semalam, entah seperti apa hari ini anaknya itu.Dion masih saja diam sambil menatap Nia dari ujung kaki sampai ke atas.Tak ada yang istimewa sama sekali, tetapi entah mengapa membuatnya menjadi penasaran."Tuan, saya minta--" Nia berhenti berbicara saat tatapan mata Dion begitu tajam padanya."Sudah minum obat?" Te
Setelah diusir paksa oleh "temannya" itu, Niko pun memilih untuk pergi dengan pinggangnya yang terasa sakit. Dia tidak bercanda. Bahkan, Niko kini berjalan dengan kaki yang mengangkang."Om Niko kenapa?" tanya Dila bingung karena melihat Niko yang berjalan aneh.Niko pun melirik Dila. Ternyata, ada Nia yang berdiri di belakang tubuh mungil itu.Seketika itu juga, Niko berusaha untuk terlihat tegap, gagah, dan tidak ingin dianggap lemah."Om Niko, sedang olahraga, Sayang." Niko pun memberi alibi berharap Nia yang mendengar jawaban itu juga bisa mengaguminya."Tapi, mirip monyet, ya, Om," kata Dila dengan polosnya.Glek!Niko pun meneguk saliva kasar, terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Dila.Bocah itu selalu saja berkata kebenaran. Namun, kali ini membuatnya kehilangan harga diri di hadapan seorang wanita yang menjadi incarannya."Nia, kamu udah makan siang, belom?" Niko pun memilih berbicara dengan Nia dari pada berbicara dengan Dila yang terus saja membuatnya malu karena kepol
"Om harap kamu bisa menghargai wanita, ya, Reza. Ah, Om lupa kamu sudah menikah." Niko pun merasa tak enak hati setelah berbicara lancang.Sementara itu, Reza masih terdiam. Apa yang dikatakan oleh Niko benar-benar menjadi beban baginya.Lelaki tak bertanggung jawab, bejat, bajingan. Semua itu memang pantas disematkan padanya. Reza pun menyadari semua itu.Gagal dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya di masa lalu, namun tidak lantas membuatnya ingin gagal juga menjadi seorang Ayah.Reza tak akan membiarkan siapa pun untuk mengambil anaknya. Anaknya tetaplah anaknya dan harus mengenal Reza sebagai Ayahnya. Bukan orang lain, seperti yang dikatakan oleh Niko barusan!Bahkan, Reza siap bersaing dengan Niko--demi bisa mendapatkan Nia kembali.Reza sudah tahu seperti apa pernikahan antara Dion dan Nia, sehingga tak akan terlalu sulit untuk mendapatkan wanita tersebut.Reza yakin dan percaya diri--bahwa di hati Nia masih ada dirinya.Sampai kapan pun, akan tetap begitu. Jadi, Reza pun be
Sore harinya, Zaki diletakkan di atas ranjang, tepatnya di kamar Dila.Pintu kamar yang terbuka lebar, membuat siapa pun dapat melihatnya dari luar sana.Begitu juga, dengan Reza. Mendadak, langkah kakinya terhenti seketika itu juga.Dia menatap wajah bayi yang sedang bermain bersama dengan Dila.Sedangkan Nia, wanita itu tak tampak di sana. Perlahan, kaki Reza pun melangkah masuk.Entah sadar atau tidak. Tetapi, semakin hari, semakin besar rasa penasarannya terhadap bayi mungil itu.Kali ini, Reza pun memberanikan diri untuk menatap lebih dekat."Kak Reza?" Dila tersenyum menyapa Reza yang tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya.Reza seakan tak mendengar sama sekali saat Dila menyapanya. Sebab, terlalu fokus pada tujuannya--yaitu, Zaki.Mata bulat Zaki terbuka lebar, matanya hitam pekat. Semakin Dila mengajaknya berbicara, semakin membuat bayi itu menggerakkan kedua tangan dan kakinya.Perlahan, tangan Reza pun bergerak. Bibirnya tersenyum saat melihat wajah Zaki yang kini tersenyum pad