Share

Bab 6

Nia telah sampai di rumah besar milik Dion. Rasanya, kenangan menyakitkan saat dirinya dan mendiang sang Bapak masih jelas berputar di memorinya.

Tapi apa daya, Nia tidak dapat menghindari pernikahan ini demi Ibunya.

Tunggu! Ke mana orang-orang itu? Apakah mereka tidak tinggal di sini lagi?

"Dila duduk di kursi roda saja, nggak boleh kecapean. Biar cepat sembuh." Ucapan Dion menyadarkan Nia dari lamunannya. Dengan cepat, pria dingin itu mengangkat Dila agar duduk di kursi roda.

Sementara itu, Dila hanya diam saja dengan bibir mengerucut.

Dirinya ingin Mami kandungnya yang memberikan perhatian padanya. Sayangnya, saat duduk di kursi roda sepeda ini pun wanita yang melahirkannya tersebut tidak kunjung kembali. Dila pun hanya tertunduk sedih.

Melihat itu, Nia pun mulai mencoba untuk mendekati Dila agar hati anak itu bisa luluh.

"Begini saja, aku akan buatkan nasi goreng. Ada telur mata gajahnya juga," kata Nia berusaha terlihat lucu.

Benar saja, Dila langsung meliriknya sekilas dan mengoreksi, "Telur mata sapi!"

"Oh iya, aku lupa. Kamu pintar sekali ternyata," Nia tertawa kecil, kemudian berpamitan menuju dapur

Setelah berhasil memasak nasi goreng dan juga telur, Nia pun tersenyum puas melihat hasil kerjanya.

Nia kembali ke kamar Dila, membujuk anak sambungnya itu untuk makan.

Walaupun begitu sulit, tapi Nia tidak menyerah sedikitpun.

"Dila, suka makan apa?" Nia pun duduk di lantai dengan bersila. Sedangkan Dila berada di atas kursi roda, memandang ke luar melalui balkon kamarnya.

Dila tidaklah tertarik sama sekali, sehingga lebih memilih diam.

"Tadi, aku sudah membuatkan ini untukmu. Padahal, ini sangat enak sekali. Aku yakin nasi goreng ini pasti sebentar lagi akan berair." Nia mendengus, seakan begitu putus asa.

Dila pun merasa bingung, kemudian bertanya langsung, "Kenapa bisa?"

"Karena, kalau dia tidak dimakan, akan menangis. Kasihan sekali. Oh ya, apa kamu mau mendengarkan sebuah cerita?"

"Apa?" Suara dan tingkah Nia akhirnya berhasil menarik rasa penasaran sang gadis kecil.

Melihat itu, Nia tersenyum. "Jadi begini, suatu hari pernah ada seekor kucing. Kucing tersebut tidak memiliki Ibu, kasihan sekali." Nia pun sejenak berhenti berbicara, matanya menatap wajah Dila.

"Setelah itu?" tanya Dila masih menunggu.

"Dia terus mencari ibunya, bahkan sampai ke dalam hutan dan lupa jalan pulang. Terus, dia lapar. Dia melihat ada buah berwarna merah. Tidak tahu itu buah apa. Langsung saja di makan dan........" Nia sengaja menjeda ceritanya, agar Dila penasaran.

Benar saja Dila langsung bertanya, sebab sudah tidak sabar mendengar kelanjutannya. "Terus?"

Nia kembali tersenyum. "Dan akhirnya......Tunggu dulu, sudah sampai mana tadi?" Nia berpura-pura lupa, agar bisa lebih banyak berkomunikasi dengan Dila.

"Sampai dimakan!"

"Oh iya, kamu benar! Langsung dimakan dan akhirnya dia merasa pedas. Huh, hah, huh, hah, dengan tangannya yang mengipas mulut. Karena kamu tahu apa yang dia makan?"

"Cabe!" tebak Dila sambil tertawa terbahak-bahak.

"Tet!" Nia pun bersuara seakan sedang berada dalam permainan yang ada di televisi, "Benar! Kamu pintar sekali, terus perutnya sakit dan dia buang air besar, brettt......begitu suaranya." Nia pun memberikan ibu jarinya atas kepintaran Dila.

Dila pun merasa bangga sebab Nia mengatakan dirinya pintar.

"Bau tidak?" tanya Dila antusias.

"Bau sekali, sampai-sampai aku mencari sesuatu untuk menutup hidungku."

"Oh." Dila pun mengangguk.

"Sekarang, kamu mau makan, nggak? Karena, dia akan menangis kalau tidak dimakan. Lagian, kamu mau kalau nasi nanti tidak ada lagi? Lalu, kelaparan seperti kucing itu dan harus makan cabe?"

Dila pun menggeleng cepat, akhirnya menerima suapan demi suapan dari Nia.

Sampai tiba-tiba Dila merasa ada yang aneh, kemudian membuka mulutnya dan mengambil sesuatu dari dalam mulutnya.

"Gigi kamu copot?" tanya Nia. Kemudian, tanpa rasa jijik, Nia mengambilnya dari tangan Dila.

Dila pun mengangguk.

"Coba tersenyum."

Dila pun tersenyum dengan gigi bagian depannya yang sudah tidak ada.

"Lihat ini, kamu sangat lucu sekali!" Nia menarik kursi roda Dila ke arah cermin, "Coba buka mulut mulutnya."

Dila pun membukanya dan melihat giginya yang sudah tidak ada satu.

"Ahahahha!" Keduanya tertawa terbahak-bahak melihat gigi Dila dari pantulan cermin.

"Aku sudah ompong," kata gadis kecil itu.

"Iya, tapi kamu lucu, aku sangat gemas melihatnya!" Nia merasa lega karena Dila ternyata bisa diajak berkomunikasi.

Di sisi lain, Dion ternyata telah berdiri di ambang pintu kamar yang terbuka, menyaksikan putrinya yang sedang makan. Bahkan, mendengarkan cerita kucing, hingga akhirnya Dila makan, kemudian giginya copot.

Gelak tawa yang menggema seakan menjadi sebuah penghibur bagi putrinya yang biasanya terus saja murung.

"Papi!" seru Dila saat tanpa sengaja memutar leher melihat Dion.

Nia pun seketika tersadar ada orang lainnya selain mereka berdua. Nia pun berpindah tempat, berdiri di sudut ruangan dengan diam.

Dion berjalan mendekati putrinya, kemudian setengah berjongkok.

"Apa kesayangan Papi sedang bahagia?" Dion pun menggendong Dila. Walaupun anaknya itu sudah cukup besar, tapi tetap saja Dion memperlakukannya seperti anak bayi.

"Iya, bercerita tentang kucing yang kelaparan, nyasar ke hutan. Terus kepedasan dan dianya mules karena sakit perut. Papi tahu dia makan apa? Dia makan cabe!" Dila bertanya pada Dion, tapi dia yang kemudian menjawab dengan tidak sabaran.

Dion pun tersenyum dan mencium pipi Dila kembali. Sejak terkena leukimia, Dila tidak cerewet seperti ini.

Sampai-sampai, Dion pun begitu terharu melihat putrinya.

"Papi, gigi Dila juga copot. Lihat ini!" Dengan cerewetnya, Dila terus saja mengoceh--menunjukan giginya yang sudah ompong.

Dion mencium pipi putrinya. Sungguh lama sekali dia tidak mendengar suara ocehan begitu panjang lebar diiringi tawa menggema.

Hingga akhirnya, Dila pun tertidur pulas. Hari ini terlalu banyak hal yang dilalui oleh Dila hingga senyum dan tawa yang lama hilang perlahan kembali.

"Terima kasih."

Langkah kaki Nia yang hampir keluar dari kamar Dila pun terhenti saat mendengar ucapan Dion barusan.

Nia pun berbalik dan mengangguk.

"Kamu bisa istirahat di sini. Saya permisi dulu." Dion pun keluar dari kamar tersebut agar Nia bisa tidur bersama dengan Dila.

Hati Dion menghangat saat melihat senyum Dila, anaknya. Dan, itu karena Nia--istri pilihan sang Ibu.

Comments (22)
goodnovel comment avatar
Duma Candrakasi Harahap
semangat y ni,,,trus aja lakukan peranmu sebagai ibu yg baim
goodnovel comment avatar
Farida
bikin penasaran
goodnovel comment avatar
Dhino Makatita
sedih asyik baca ngak sadar airmata mengalir 🥲🥲
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status