Share

Bab 7.

Edgar sudah sampai di rumah sakit miliknya. Ia langsung menyuruh dokter wanita yang lebih berpengalaman untuk menangani Navier. Namun, dia hanya bisa berdiri terpaku melihat pintu ruang tindakan, saat Navier diperiksa.

"Aku tak yakin sebelum melakukan pemeriksaan lebih lanjut oleh dokter ahli. Tapi, kusarankan untuk membesarkan hatimu. Dia mendapatkan kekerasan terlalu banyak, dan hanya menunggu waktu saja untuk sadar. Lebih dari itu, aku tidak bisa mengatakan banyak. Pemeriksaan lebih lanjut bisa dilakukan saat dia sadar," ucap Rui—dokter wanita yang menangani Navier setelah pemeriksaan.

"Jangan bertele-tele. Katakan saja bagaimana keadaan Navier dengan singkat!" bentak Edgar. Suasana hatinya yang kacau membuat dia ingin meluapkan emosinya.

Jujur saja, melihat Navier tak sadarkan diri membuatnya kalut.

"Dia bisa sehat. Tapi aku tidak yakin jika dia bisa berjalan dengan normal. Aku menemukan beberapa keganjilan di saraf kakinya."

"Jadi kau mau mengatakan jika Navier lumpuh, begitu?"

"Aku tidak berkata begitu, bukankah tadi kukatakan jika kita harus menunggu dia sadar untuk pemeriksaan lebih lanjut? Kita butuh dokter ahli saraf untuk memeriksanya!" Rui balas membentak Edgar. Bagaimanapun, Rui adalah teman masa kecil Edgar. Jadi, tak masalah baginya jika Edgar tak suka dan berakhir memecatnya.

Edgar merasakan pening di kepalanya. Kemudian, dia duduk dan menghela napas panjang.

"Padahal aku berniat menjemputnya sesegera mungkin agar dia tidak terlalu menderita. Tapi rupanya aku terlambat," gumam Edgar. Dia meremas rambutnya kasar dan menunduk. "Kalau saja aku tidak terlalu mengulur-ulur waktu," lanjutnya.

"Sudahlah! Kau tidak akan bisa membalikkan waktu hanya karena rasa sesal." Rui mencoba menghibur, tetapi spertinya hal itu tidak berngaruh apa-apa.

Edgar berjanji untuk membalas semua rasa sakit yang Navier dapatkan. Dengan cepat dia bergerak dan mengumpulkan semua orang yang terlibat pada hari itu. Namun, dia tidak mendapat apa-apa.

Sejauh yang didapatnya, semua informasi tidak ada yang janggal. Orang yang membeli Navier bukan dari kalangan penting dan berpengaruh.

Bukannya berhenti, Edgar justru merasa tidak puas dan ingin menyelidiki lebih lanjut. Akan tetapi, Edgar harus berhenti karena Navier yang telah sadar. Kekasihnya itu langsung menjerit ketika membuka mata.

"Aku mohon, tolong jangan sakiti aku!" jerit Navier. Dia menolak keberadaan semua orang kecuali Edgar.

"Aku tidak akan menyakitimu, aku pastikan itu," ucap Edgar dengan lembut.

Navier yang memang sudah bertemu dengan Edgar, entah mengapa hatinya merasa aman.

"Aku mohon selamatkan aku, siapa pun kamu," pinta Navier. dia memohon sampai mengeluarkan air mata.

Jujur saja, Navier trauma. Orang yang dia percaya bisa melindunginya, justru menjualnya. Jadi, dia tidak tahu harus percaya pada siapa.

Edgar duduk di samping ranjang Navier, memegang tangannya lalu berucap, "Aku akan membawamu ke tempat yang jauh. Apa kau bersedia? Aku bisa melindungimu." 

Lama Navier terdiam, kemudian dia mengangguk menyetujui.

Dia pikir, untuk apa berada di sini, di tempat yang sudah banyak menyiksanya.

Meski di dalam hati, dia masih tidak bisa memercayai Edgar.

Sejak itu, Navier dibawa Edgar ke tempat di mana dia berasal. Dia ingin membawa Navier ke rumah kakeknya. Hanya saja, Edgar ingin Navier dalam masa penyembuhan terlebih dahulu. Jadi, Edgar memutuskan untuk membawa Navier ke sisinya, dan menunggu waktu yang tepat untuk memberitahu semua kebenaran.

****

"Aaaaaarg!!!!"

Navier tiba-tiba berteriak frustrasi saat dia sama sekali tidak menggerakkan kakinya.

Selama berada di kediaman Edgar, Navier diperlakukan bak tuan putri. Segala apa yang diinginkannya dituruti. Tak hanya itu, Navier juga mendapatkan perawatan langsung dari dokter spesialis yang didatangkan dari rumah sakit ternama.

Meski mendapat perlakuanm Khusus, Navier belum sepenuhnya percaya pada Edgar. Baginya, pria itu terlalu misterius dan sulit untuk bisa ditebak statusnya.

"Apa aku lumpuh?" tanya Navier.

Dengan telaten, Edgar membantu Navier untuk berdiri. Navier terisak, keterdiaman Edgar seolah memberinya jawaban.

"Jika kau lumpuh, aku bisa menjadi kakimu. Jika kau buta, aku bisa menjadi matamu. Jika kau tuli, Aku bisa menjadi telingamu." Hanya itu yang bisa Edgar ucapkan untuk menghibur Navier. Namun, sepertinya Navier justru tersinggung.

"Aku ini bukan siapa-siapamu! Kita hanya kebetulan pernah bertemu beberapa kali saja! Jadi jangan bersikap terlalu baik padaku!" teriak Navier. Kemudian dia menangis. Pikirnya, ibu yang merawat sejak kecil saja tega menjualnya, apalagi hanya orang yang baru ditemui.

Kemudian, Edgar mendudukkan Navier pada kursi rodanya. Menggenggam lembut tangan Navier lalu berucap, "Kata siapa itu hanya kebetulan? Aku memang sengaja menemuimu. Kita sudah ditunangkan sejak kecil, dan aku tunanganmu. Apa aku salah jika memerlakukan tunanganku dengan baik dan menjadikannya belahan jiawaku?"

Deg!

Jantung Navier berdebar semakin kencang.

Seingat dia, statusnya masih single. Kenapa...?

"Ma-mana ada," ucap Navier terbata, "aku tidak punya apa pun. A-aku juga hanya gadis biasa yang tidak mempunyai pendidikan tinggi. A-aku hanya ...."

Sebelum Navier menyelesaikan ucapannya, Edgar menempelkan jari telunjuknya ke bibir Navier. "Kata siapa kau tidak memiliki apa pun? Kau punya aku, seluruh hartaku, dan seluruh hartamu. Jadi jangan pernah katakan kau tidak punya apa pun lagi!" tukasnya.

Di mata Edgar, hidup Navier sudah terlalu menyedihkan. 

"Omong kosong. Sampai saat ini saja aku bahkan tidak tahu namamu!"

Kini, Edgar yang cengo. Seketika dia merasa kosong dan seolah menyadari sesuatu, kemudian dia menepukkan tangan ke keningnya.

"Kenapa kau tak tanya?"

"A-aku malu untuk bertanya. Bertanya pada pelayan pun, mereka hanya menjawab kau tuan muda. Itu saja."

Edgar berdecak. Jadi selama ini, Navier hanya mengenalnya sebagai orang asing saja?

"Namaku Edgar, kau harus ingat itu. Dan aku adalah orang yang ditunangkan denganmu sejak kecil. Kakek kita yang membuatnya seperti itu!" ujar Edgar.

"Kakek?" beo Navier semakin bingung.

Sejauh yang Navier ingat, dia tidak mempunyai kakek. Apa pria ini gila?

"Iya, kakek kita," balas Edgar cepat. Ia tampak ingin menjelaskan sesuatu, tetapi suara dari salah satu bawahan Edgar memutuskan percakapan keduanya.

"Tuan, kita ada urusan."

Mendengar itu, Edgar mengangguk. Ia lalu menoleh pada Navier. "Aku pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik, dan aku akan segera kembali."

Setelahnya, pria tampan itu meminta salah satu pelayannya untuk membawa Navier masuk. Dan Navier hanya bisa menurut.

Hanya saja, di dalam kamar, Navier tidak bisa memikirkan apa pun selain keadaanya. Dia tahu, Edgar pasti menyembunyikan keadaanya.

Atau, jangan-jangan memang benar dia lumpuh?

'Aku sudah tidak punya apa-apa. Kalau aku lumpuh, bagaimana nasibku?' batin Navier pedih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status