Edgar sudah sampai di rumah sakit miliknya. Ia langsung menyuruh dokter wanita yang lebih berpengalaman untuk menangani Navier. Namun, dia hanya bisa berdiri terpaku melihat pintu ruang tindakan, saat Navier diperiksa.
"Aku tak yakin sebelum melakukan pemeriksaan lebih lanjut oleh dokter ahli. Tapi, kusarankan untuk membesarkan hatimu. Dia mendapatkan kekerasan terlalu banyak, dan hanya menunggu waktu saja untuk sadar. Lebih dari itu, aku tidak bisa mengatakan banyak. Pemeriksaan lebih lanjut bisa dilakukan saat dia sadar," ucap Rui—dokter wanita yang menangani Navier setelah pemeriksaan.
"Jangan bertele-tele. Katakan saja bagaimana keadaan Navier dengan singkat!" bentak Edgar. Suasana hatinya yang kacau membuat dia ingin meluapkan emosinya.Jujur saja, melihat Navier tak sadarkan diri membuatnya kalut."Dia bisa sehat. Tapi aku tidak yakin jika dia bisa berjalan dengan normal. Aku menemukan beberapa keganjilan di saraf kakinya.""Jadi kau mau mengatakan jika Navier lumpuh, begitu?""Aku tidak berkata begitu, bukankah tadi kukatakan jika kita harus menunggu dia sadar untuk pemeriksaan lebih lanjut? Kita butuh dokter ahli saraf untuk memeriksanya!" Rui balas membentak Edgar. Bagaimanapun, Rui adalah teman masa kecil Edgar. Jadi, tak masalah baginya jika Edgar tak suka dan berakhir memecatnya.Edgar merasakan pening di kepalanya. Kemudian, dia duduk dan menghela napas panjang."Padahal aku berniat menjemputnya sesegera mungkin agar dia tidak terlalu menderita. Tapi rupanya aku terlambat," gumam Edgar. Dia meremas rambutnya kasar dan menunduk. "Kalau saja aku tidak terlalu mengulur-ulur waktu," lanjutnya."Sudahlah! Kau tidak akan bisa membalikkan waktu hanya karena rasa sesal." Rui mencoba menghibur, tetapi spertinya hal itu tidak berngaruh apa-apa.Edgar berjanji untuk membalas semua rasa sakit yang Navier dapatkan. Dengan cepat dia bergerak dan mengumpulkan semua orang yang terlibat pada hari itu. Namun, dia tidak mendapat apa-apa.
Sejauh yang didapatnya, semua informasi tidak ada yang janggal. Orang yang membeli Navier bukan dari kalangan penting dan berpengaruh.
Bukannya berhenti, Edgar justru merasa tidak puas dan ingin menyelidiki lebih lanjut. Akan tetapi, Edgar harus berhenti karena Navier yang telah sadar. Kekasihnya itu langsung menjerit ketika membuka mata.
"Aku mohon, tolong jangan sakiti aku!" jerit Navier. Dia menolak keberadaan semua orang kecuali Edgar.
"Aku tidak akan menyakitimu, aku pastikan itu," ucap Edgar dengan lembut.
Navier yang memang sudah bertemu dengan Edgar, entah mengapa hatinya merasa aman.
"Aku mohon selamatkan aku, siapa pun kamu," pinta Navier. dia memohon sampai mengeluarkan air mata.
Jujur saja, Navier trauma. Orang yang dia percaya bisa melindunginya, justru menjualnya. Jadi, dia tidak tahu harus percaya pada siapa.
Edgar duduk di samping ranjang Navier, memegang tangannya lalu berucap, "Aku akan membawamu ke tempat yang jauh. Apa kau bersedia? Aku bisa melindungimu."
Lama Navier terdiam, kemudian dia mengangguk menyetujui.
Dia pikir, untuk apa berada di sini, di tempat yang sudah banyak menyiksanya.
Meski di dalam hati, dia masih tidak bisa memercayai Edgar.
Sejak itu, Navier dibawa Edgar ke tempat di mana dia berasal. Dia ingin membawa Navier ke rumah kakeknya. Hanya saja, Edgar ingin Navier dalam masa penyembuhan terlebih dahulu. Jadi, Edgar memutuskan untuk membawa Navier ke sisinya, dan menunggu waktu yang tepat untuk memberitahu semua kebenaran.
****
"Aaaaaarg!!!!"Navier tiba-tiba berteriak frustrasi saat dia sama sekali tidak menggerakkan kakinya.
Selama berada di kediaman Edgar, Navier diperlakukan bak tuan putri. Segala apa yang diinginkannya dituruti. Tak hanya itu, Navier juga mendapatkan perawatan langsung dari dokter spesialis yang didatangkan dari rumah sakit ternama.
Meski mendapat perlakuanm Khusus, Navier belum sepenuhnya percaya pada Edgar. Baginya, pria itu terlalu misterius dan sulit untuk bisa ditebak statusnya.
"Apa aku lumpuh?" tanya Navier.
Dengan telaten, Edgar membantu Navier untuk berdiri. Navier terisak, keterdiaman Edgar seolah memberinya jawaban.
"Jika kau lumpuh, aku bisa menjadi kakimu. Jika kau buta, aku bisa menjadi matamu. Jika kau tuli, Aku bisa menjadi telingamu." Hanya itu yang bisa Edgar ucapkan untuk menghibur Navier. Namun, sepertinya Navier justru tersinggung.
"Aku ini bukan siapa-siapamu! Kita hanya kebetulan pernah bertemu beberapa kali saja! Jadi jangan bersikap terlalu baik padaku!" teriak Navier. Kemudian dia menangis. Pikirnya, ibu yang merawat sejak kecil saja tega menjualnya, apalagi hanya orang yang baru ditemui.
Kemudian, Edgar mendudukkan Navier pada kursi rodanya. Menggenggam lembut tangan Navier lalu berucap, "Kata siapa itu hanya kebetulan? Aku memang sengaja menemuimu. Kita sudah ditunangkan sejak kecil, dan aku tunanganmu. Apa aku salah jika memerlakukan tunanganku dengan baik dan menjadikannya belahan jiawaku?"
Deg!
Jantung Navier berdebar semakin kencang.Seingat dia, statusnya masih single. Kenapa...?
"Ma-mana ada," ucap Navier terbata, "aku tidak punya apa pun. A-aku juga hanya gadis biasa yang tidak mempunyai pendidikan tinggi. A-aku hanya ...."
Sebelum Navier menyelesaikan ucapannya, Edgar menempelkan jari telunjuknya ke bibir Navier. "Kata siapa kau tidak memiliki apa pun? Kau punya aku, seluruh hartaku, dan seluruh hartamu. Jadi jangan pernah katakan kau tidak punya apa pun lagi!" tukasnya.
Di mata Edgar, hidup Navier sudah terlalu menyedihkan.
"Omong kosong. Sampai saat ini saja aku bahkan tidak tahu namamu!"
Kini, Edgar yang cengo. Seketika dia merasa kosong dan seolah menyadari sesuatu, kemudian dia menepukkan tangan ke keningnya.
"Kenapa kau tak tanya?"
"A-aku malu untuk bertanya. Bertanya pada pelayan pun, mereka hanya menjawab kau tuan muda. Itu saja."
Edgar berdecak. Jadi selama ini, Navier hanya mengenalnya sebagai orang asing saja?
"Namaku Edgar, kau harus ingat itu. Dan aku adalah orang yang ditunangkan denganmu sejak kecil. Kakek kita yang membuatnya seperti itu!" ujar Edgar.
"Kakek?" beo Navier semakin bingung.
Sejauh yang Navier ingat, dia tidak mempunyai kakek. Apa pria ini gila?
"Iya, kakek kita," balas Edgar cepat. Ia tampak ingin menjelaskan sesuatu, tetapi suara dari salah satu bawahan Edgar memutuskan percakapan keduanya.
"Tuan, kita ada urusan."
Mendengar itu, Edgar mengangguk. Ia lalu menoleh pada Navier. "Aku pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik, dan aku akan segera kembali."
Setelahnya, pria tampan itu meminta salah satu pelayannya untuk membawa Navier masuk. Dan Navier hanya bisa menurut.
Hanya saja, di dalam kamar, Navier tidak bisa memikirkan apa pun selain keadaanya. Dia tahu, Edgar pasti menyembunyikan keadaanya.
Atau, jangan-jangan memang benar dia lumpuh?
'Aku sudah tidak punya apa-apa. Kalau aku lumpuh, bagaimana nasibku?' batin Navier pedih.
Selama ini Yuni tidak pernah merasa menyesal telah menyakiti Navier.Dia merasa selama ini Navier-lah yang membuatnya menderita. Ibunya merebut suami yang dia cintai, dan membagi rasa sayang yang dulu didapatkan secara penuh. Karena itulah ketika Elle meninggal, Yuni masih sanggup untuk menyiksa anak kecil itu.Hati Yuni sudah mati rasa untuk memberi rasa kasih untuk anak tirinya.Hingga Navier yang mulai membantu mencari penghasilan pun, Yuni tetap pada pendiriannya. Dia dengan kejam mampu meminta semua pendapatan Navier untuk diberikan pada putranya.Akan tetapi, perlahan rasa itu mulai terkikis.Yuni merasa bersalah saat melihat Navier tidak sadarkan diri dengan berbagai alat untuk menopang kehidupannya.'Sebenarnya aku bahkan tidak tahu alasan untuk membencimu,' batin Yuni.Dia memandang sendu, tak percaya dengan beberapa waktu yang lalu, di mana dia tidak sadar telah mencelakakan nyawa anak tirinya."Ib
"A-aku tidak menyangka jika kau bisa merencanakan semua ini pada Navier, Yun." Yuni terpekur. Dia sama sekali tidak menyangka jika suaminya akan mendengar perdebatannya dengan Navier, dan sedang saat mengungkit malam kelam itu. Tak hanya itu, Yuni juga menangkap raut kekecewaan yang terlalu kentara. "Aku sudah merawatnya sejak kecil! Kau pikir mudah membesarkan anak dari wanita yang menjadi madu di dalam rumah tangganya? Pikirkan itu, Lex! Ah, ya. Kau yang hanya membawa masalah mana paham hal yang seperti ini!" Di seumur mereka menikah, belum pernah dia mendengar nada kecewa dari Yuni hingga seperti itu. Dia tak tahu jika selama ini, istri pertamanya menyimpan luka dan melampiaskannya pada anaknya. Dulu, Alex mengira jika Yuni bisa menerima Navier selayaknya putri sendiri, karena Elle telah tiada. "Kukira kau menerimanya sebagai anak kandungmu sendiri, Yun. Kalau tahu kau setega itu padanya, kenapa tidak kau katakan saja padaku? Aku
"Kau!!! Kau masih punya muka untuk kembali ke sini!?" bentak Yuni.Navier tidak mengindahkan peringatan Edgar agar tidak kembali ke sana. Dia bersikukuh untuk kembali ke rumah tempatnya dibesarkan. Bagaimanapun juga, tempat itu berisi banyak kenangan yang tak bisa dia lupakan."Ibu, jangan lupa aku pernah kau besarkan. Aku pernah kau asuh dan kau beri makan," lirih Navier."Lalu dengan apa kau akan membayarnya? Bukankah saat itu kau sudah memiliki kesempatan, tetapi malah membuangnya? Kau!!! Bukannya membayar jasaku, malah meninggalkan semua kesulitan itu!?"Navier menunduk. Dia tetap berdiri di pintu gerbang halaman dan tidak diizinkan untuk masuk oleh Yuni.Sejak awal, Navier tidak tahu jika Yuni sedang libur bekerja. Namun, dia juga tidak berharap penuh jika Yuni sedang tidak ada.Dia hanya ingin beritikad baik dengan meluruskan kesalahpahaman di antara mereka."Aku memang tidak bisa membalasnya dengan keadaan saat itu, Ibu. Tapi ketahuilah! Aku juga melalui masa yang sulit. Aku ti
"Ada hal yang bisa kau gunakan untuk membela diri, Sayang?" tanya Edgar.Dia menatap tajam sang istri yang kini tengah berdiri dengan senyum seperti anak kecil yang ketahuan telah melakukan kesalahan. Di samping kiri sang istri, ada putra semata wayangnya yang sedang menunduk.Edgar merasa kesal karena mendapati wajah istrinya babak belur, dan puntranya tidak apa-apa. Padahal sebelumnya dia telah berpesan untuk menggantikannya menjaga satu-satunya wanita di keluarga mereka. Edgar tak ragu, karena dia sudah tahu bagaimana kemampuan Henry. Sayang sekali ekspektasinya terlalu tinggi."Jangan salahkan Henry, ya. Dia sudah melakukan hal yang kau pinta sebaik mungkin. Tidak ada hal sebaik Henry. Hanya saja dia datang terlalu terlambat untuk menjemputku," bela Navier."Jadi, ini semua adalah salahmu, begitu?""Tentu saja!""Lalu, apa yang bisa kau lakukan untuk menggantikan hukuman yang akan Henry dapatkan, Sayang?"Badan Navier bergidik nge
"Yun, hentikan!"Bukannya berhenti, Yuni justru semakin gencar mencerca Navier dengan kata-kata yang buruk. Suaminya sama sekali tidak dipedulikan lagi. Dia seolah buta dan tuli untuk semua hal.Yuni buta akan kebaikan yang selama itu Navier lakukan untuk keluarganya. Bagaimana dia yang harus berhenti untuk belajar, dan justru mencari pekerjaan sebanyak mungkin, dan membantu memenuhi semua hal yang diinginkan kedua adik tirinya.Dan tuli, akan segala perkataan suaminya."Bu, kau boleh menyalahkanku atas semua kesalahan yang terjadi di keluarga kita. Tapi kumohon untuk tidak menyudutkanku. Waktu sudah banyak berubah, dan aku juga tidak ingin mengingat masa lalu lagi. Aku akan melupakan semua yang telah kau lakukan padaku, dan mari untuk hidup lebih baik," pinta Navier.Yuni menggeleng. Air matanya mengalir semakin deras. Dia memandang ke arah suaminya yang kini sudah tidak sesempurna dulu. Memandang putra sulungnya yang juga tidak bisa mendapat kehi
"Dav, hentikan!!!" tegur ayah mereka.Keduanya masih saling beradu dan tidak menggubris teguran ayahnya. Sesekali Navier membalas pukulan adiknya, dan sisanya dia akan menghindar. Gerakan Davian begitu acak, menandakan bagaimana pria itu dididik dengan otodidak, bukan oleh ahilnya."Ternyata kau belajar cukup banyak, ya? Tidak seperti dulu yang hanya bisa berlindung di bawah ketiak ibu," sindir Navier."Diam kau! Kau tidak tahu masalah apa yang sudah kau tinggalkan untuk kami! Kau sama sekali tidakkk punya hati!"Navier mendecih sinis. Tidak punya hati? Bukankah kata-kata itu lebih patut dikatakan untuk Yuni, dan bukan dirinya?Setelah itu, dia memancing Davian untuk berkelahi di luar ruangan, dan masih mengundang pekikan ayahnya. Hanya sang adik yanag terkesn menuntut untuk menyerang, sedangkan Navier lebih tenang dan menghindar. Karena itu, ayah mereka benar-benar khawatir. Ia takut jika Davian melukai kakak perempuannya."Kalau begitu kau