"Lex, apa mereka belum sampai?" tanya sang sopir panik.
Mobil yang ditumpangi Navier sudah sampai di ujung jalan dan harus memasuki area hutan.
Meski di area itu mereka bisa bertindak leluasa karena tak akan ada pihak lain yang ikut campur, tetap saja mereka butuh bantuan.
"Tidak ada tanda-tanda mereka sampai!"
Kepanikan terdengar dari suara pria yang menangkapnya itu.
Duang!
Di saat yang sama, mobil yang ditumpangi Navier tiba-tiba ditabrak dari belakang dan menyebabkan lajunya tidak stabil.
Alhasil, mobil itu pun terpaksa berhenti.
Navier menahan napas merasakan itu semua. Terlebih kala orang-orang yang menangkapnya tampak serius sekali bertarung.
"Kita harus menghadapi mereka secara langsung!" ujar salah satunya.
Masing-masing dari mereka pun segera keluar dengan membawa senjata.
Dor!
Buk!
Brak!
Adu tembak dan fisik tak terelakkan.
Hanya saja, pihak lawan terlalu hebat. Orang-orang yang membawa Navier pun terkepung.
Menyaksikan itu semua, Navier bergetar hebat sembari tetap meringkuk di dalam mobil.
Dia benar-benar tak mau tahu tentang perkelahian yang terjadi.
Tak lama, Navier bingung kala tidak lagi mendengarkan desingan peluru atau pukulan.
Hening, hanya ada deru angin malam.
Gadis itu sontak mendapatkan sebuah ide.
‘Aku harus kabur,’ gumamnya dalam hati.
Pelan-pelan, ia keluar meski dengan keadaan berantakan.
Ditembusnya kegelapan setelah menemukan bahwa pintu mobil tidak terkunci.
Navier memilih menerjang semak belukar menuju ke dalam hutan ketimbang jalan raya. Dia pikir akan lebih mudah untuk bersembunyi di hutan daripada menyusuri jalan raya.
"Apakah mereka tidak akan menemukanku di sini?" tanya Navier dalam hati, ketika dirasanya sudah melangkah jauh ke dalam hutan.
Dia duduk di bawah pohon besar dengan napas terengah, dan berharap tidak ada hewan melata yang menyapanya.
"Aku harap, mereka tidak menemukanku sampai pagi tiba," lanjutnya dalam hati.
Dicobanya untuk tenang dan menstabilkan napasnya yang terengah-engah.
Cukup lama ia melakukannya, sampai ia merasa kantuk mulai menyerang.
Navier pun memejamkan mata. Namun....
"Hai!"
Navier yang semula memejamkan mata karena sakit yang luar biasa, berusaha untuk membuka mata dan melihat siapa yang berbicara.
Apakah orang itu juga datang untuk menyakitinya seperti sebelumnya?
Jika memang begitu adanya, Navier lebih memilih untuk mati saja. Lagi pula, tubuhnya sudah seperti tidak bisa lagi untuk menahan siksaan lebih lama.
“K–Kau?!” pekik Navier tertahan.
“Hahaha … kau pikir bisa kabur dari kami?” maki Alex yang menculiknya tadi, “sebelum itu terjadi, akan kupatahkan kakimu!”
Bugh!“Arrgh!” pekik Navier menahan sakit di kakinya yang dipukuli sebuah tongkat kayu.
Rasanya, ia sudah tak sanggup lagi.
Bila harus mati, Navier hanya berharap itu terjadi secepatnya.
“Mengapa kalian ingin memukuli wanita yang sudah tidak berdaya dan tidak memiliki tenaga lagi?”
Suara bariton yang familiar tiba-tiba terdengar.
Di kegelapan malam, wajahnya sama sekali tidak terlihat.
Hanya postur tubuh yang tinggi dan tegap saja yang bisa ditangkap dari sosok itu. Anehnya, ada nada kemarahan di sana.
Alex yang baru saja memukuli Navier, sontak terkejut. Namun, ia berusaha tenang. “Kau tak usah ikut campur! Ini urusanku dengan buruanku! Kau hanya orang luar yang tidak tahu apa-apa. Atau, apa kau juga mau menikmati wanita itu, heh!?” tantangnya.
“Justru di sini, kau yang tidak tahu apa-apa. Jadi, kusarankan untuk menyerah saja. Aku akan memberimu waktu lebih baik untuk hidup. Kalau tidak, mungkin aku bisa menambahkan kalimat mati segan hidup pun tak mau.”
“Menyerah? Dalam mimpimu!” Edgar kembali berucap meremehkan.
Hal ini membuat Alex berbaik menyerang Edgar dengan kekuatan penuh.
Sayangnya, pria yang beberapa hari lalu memberikan Navier sapu tangan itu–dapat menghindar dan membalas dengan mudah.
Bug!
Tanpa penyerang Navier duga, bawahan Edgar datang dan memukulnya, hingga pingsan.
Edgar tersenyum sinis.
Dia berjalan menghampiri pria yang sudah tersungkur itu dan menginjak kepalanya.
“Urus mahkluk ini secepatnya. Jangan membuatnya mati sebelum kuperintahkan. Korek informasi sebanyak apa pun. Dan balaskan setiap titik kesakitan wanitaku dengan berkali lipat. Kau mengerti!” tukas Edgar.
“Baik, Tuan.”
Setelahnya, Edgar segera menghampiri Navier yang telah tergeletak tak berdaya.
Tubuh gadisnya itu telah melemas. Darah Edgar mendidih kala melihat banyak darah yang menghiasi beberapa luka di tubuh Navier.
“Apa aku akan masuk neraka?” gumam Navier tiba-tiba.
Edgar yang selama tiga puluh tahun hidupnya telah menerima banyak pelatihan keras, tak sengaja menitikkan air mata.
Sebagai putra tunggal dan pewaris satu-satunya dari keluarga ternama, Edgar sudah yakin jika hidupnya tak bisa semena-mena. Ia bahkan menerima bahwa tunangannya sudah ditentukan sejak awal.
Oleh sebab itu, Edgar tidak pernah menjalin kasih dengan wanita mana pun, hingga dua tahun lalu, untuk pertama kalinya Edgar melihat bagaimana rupa Navier–sang tunangan lewat foto yang diberikan sang kakek.
Dalam balutan seragam pramuniaga, Navier yang berusia 18 tahun saat itu sangat manis.Tanpa disadari, jantung Edgar berdegup kencang.
Hanya saja, Edgar mulai menaruh curiga, mengapa tunangannya terlihat susah?
Pria itu pun mulai mencari tahu segala hal tentang gadis yang untuk pertama kalinya.Dan di sinilah pria itu sekarang.
Edgar lantas membawa Navier dalam rangkulannya dan membawa tubuh wanita itu dengan lembut. “Maafkan, aku. Mulai hari ini, aku akan memberikanmu surga.”
“Surga?” beo Navier tanpa sadar, “syukurlah … kalau begitu aku sudah bertemu dengan malaikat.”
Usai berucap demikian, Navier memejamkan matanya.
Dia sudah merasa tidak sanggup dan hanya pasrah saat pria yang belum dia ketahui namanya itu memerlakukannya dengan lembut.
“Navier ….” panik Edgar.Sebisa mungkin, pria itu mencapai mobil yang dia bawa secepatnya.
Entah mengapa, firasatnya sangat tidak enak melihat keadaan tunangan kecilnya itu. "Kau harus selamat. Kalau tidak, aku tak tahu berapa banyak nyawa yang melayang untuk bertanggung jawab," geram Edgar membuat siapapun yang mendengar itu pasti merinding seketika.
Selama ini Yuni tidak pernah merasa menyesal telah menyakiti Navier.Dia merasa selama ini Navier-lah yang membuatnya menderita. Ibunya merebut suami yang dia cintai, dan membagi rasa sayang yang dulu didapatkan secara penuh. Karena itulah ketika Elle meninggal, Yuni masih sanggup untuk menyiksa anak kecil itu.Hati Yuni sudah mati rasa untuk memberi rasa kasih untuk anak tirinya.Hingga Navier yang mulai membantu mencari penghasilan pun, Yuni tetap pada pendiriannya. Dia dengan kejam mampu meminta semua pendapatan Navier untuk diberikan pada putranya.Akan tetapi, perlahan rasa itu mulai terkikis.Yuni merasa bersalah saat melihat Navier tidak sadarkan diri dengan berbagai alat untuk menopang kehidupannya.'Sebenarnya aku bahkan tidak tahu alasan untuk membencimu,' batin Yuni.Dia memandang sendu, tak percaya dengan beberapa waktu yang lalu, di mana dia tidak sadar telah mencelakakan nyawa anak tirinya."Ib
"A-aku tidak menyangka jika kau bisa merencanakan semua ini pada Navier, Yun." Yuni terpekur. Dia sama sekali tidak menyangka jika suaminya akan mendengar perdebatannya dengan Navier, dan sedang saat mengungkit malam kelam itu. Tak hanya itu, Yuni juga menangkap raut kekecewaan yang terlalu kentara. "Aku sudah merawatnya sejak kecil! Kau pikir mudah membesarkan anak dari wanita yang menjadi madu di dalam rumah tangganya? Pikirkan itu, Lex! Ah, ya. Kau yang hanya membawa masalah mana paham hal yang seperti ini!" Di seumur mereka menikah, belum pernah dia mendengar nada kecewa dari Yuni hingga seperti itu. Dia tak tahu jika selama ini, istri pertamanya menyimpan luka dan melampiaskannya pada anaknya. Dulu, Alex mengira jika Yuni bisa menerima Navier selayaknya putri sendiri, karena Elle telah tiada. "Kukira kau menerimanya sebagai anak kandungmu sendiri, Yun. Kalau tahu kau setega itu padanya, kenapa tidak kau katakan saja padaku? Aku
"Kau!!! Kau masih punya muka untuk kembali ke sini!?" bentak Yuni.Navier tidak mengindahkan peringatan Edgar agar tidak kembali ke sana. Dia bersikukuh untuk kembali ke rumah tempatnya dibesarkan. Bagaimanapun juga, tempat itu berisi banyak kenangan yang tak bisa dia lupakan."Ibu, jangan lupa aku pernah kau besarkan. Aku pernah kau asuh dan kau beri makan," lirih Navier."Lalu dengan apa kau akan membayarnya? Bukankah saat itu kau sudah memiliki kesempatan, tetapi malah membuangnya? Kau!!! Bukannya membayar jasaku, malah meninggalkan semua kesulitan itu!?"Navier menunduk. Dia tetap berdiri di pintu gerbang halaman dan tidak diizinkan untuk masuk oleh Yuni.Sejak awal, Navier tidak tahu jika Yuni sedang libur bekerja. Namun, dia juga tidak berharap penuh jika Yuni sedang tidak ada.Dia hanya ingin beritikad baik dengan meluruskan kesalahpahaman di antara mereka."Aku memang tidak bisa membalasnya dengan keadaan saat itu, Ibu. Tapi ketahuilah! Aku juga melalui masa yang sulit. Aku ti
"Ada hal yang bisa kau gunakan untuk membela diri, Sayang?" tanya Edgar.Dia menatap tajam sang istri yang kini tengah berdiri dengan senyum seperti anak kecil yang ketahuan telah melakukan kesalahan. Di samping kiri sang istri, ada putra semata wayangnya yang sedang menunduk.Edgar merasa kesal karena mendapati wajah istrinya babak belur, dan puntranya tidak apa-apa. Padahal sebelumnya dia telah berpesan untuk menggantikannya menjaga satu-satunya wanita di keluarga mereka. Edgar tak ragu, karena dia sudah tahu bagaimana kemampuan Henry. Sayang sekali ekspektasinya terlalu tinggi."Jangan salahkan Henry, ya. Dia sudah melakukan hal yang kau pinta sebaik mungkin. Tidak ada hal sebaik Henry. Hanya saja dia datang terlalu terlambat untuk menjemputku," bela Navier."Jadi, ini semua adalah salahmu, begitu?""Tentu saja!""Lalu, apa yang bisa kau lakukan untuk menggantikan hukuman yang akan Henry dapatkan, Sayang?"Badan Navier bergidik nge
"Yun, hentikan!"Bukannya berhenti, Yuni justru semakin gencar mencerca Navier dengan kata-kata yang buruk. Suaminya sama sekali tidak dipedulikan lagi. Dia seolah buta dan tuli untuk semua hal.Yuni buta akan kebaikan yang selama itu Navier lakukan untuk keluarganya. Bagaimana dia yang harus berhenti untuk belajar, dan justru mencari pekerjaan sebanyak mungkin, dan membantu memenuhi semua hal yang diinginkan kedua adik tirinya.Dan tuli, akan segala perkataan suaminya."Bu, kau boleh menyalahkanku atas semua kesalahan yang terjadi di keluarga kita. Tapi kumohon untuk tidak menyudutkanku. Waktu sudah banyak berubah, dan aku juga tidak ingin mengingat masa lalu lagi. Aku akan melupakan semua yang telah kau lakukan padaku, dan mari untuk hidup lebih baik," pinta Navier.Yuni menggeleng. Air matanya mengalir semakin deras. Dia memandang ke arah suaminya yang kini sudah tidak sesempurna dulu. Memandang putra sulungnya yang juga tidak bisa mendapat kehi
"Dav, hentikan!!!" tegur ayah mereka.Keduanya masih saling beradu dan tidak menggubris teguran ayahnya. Sesekali Navier membalas pukulan adiknya, dan sisanya dia akan menghindar. Gerakan Davian begitu acak, menandakan bagaimana pria itu dididik dengan otodidak, bukan oleh ahilnya."Ternyata kau belajar cukup banyak, ya? Tidak seperti dulu yang hanya bisa berlindung di bawah ketiak ibu," sindir Navier."Diam kau! Kau tidak tahu masalah apa yang sudah kau tinggalkan untuk kami! Kau sama sekali tidakkk punya hati!"Navier mendecih sinis. Tidak punya hati? Bukankah kata-kata itu lebih patut dikatakan untuk Yuni, dan bukan dirinya?Setelah itu, dia memancing Davian untuk berkelahi di luar ruangan, dan masih mengundang pekikan ayahnya. Hanya sang adik yanag terkesn menuntut untuk menyerang, sedangkan Navier lebih tenang dan menghindar. Karena itu, ayah mereka benar-benar khawatir. Ia takut jika Davian melukai kakak perempuannya."Kalau begitu kau