"Tinggalkan aku sendiri! Aku butuh ketenangan dan jangan ganggu aku!" ketus Navier.
Sejak tadi, dia mengusir semua pelayan yang ditugaskan untuk menjaganya.
Dua pelayan yang mengikuti Navier sontak saling pandang. Mereka diperintahkan untuk mengikuti Navier ke mana pun dia pergi. Apa kata Tuan Edgard nantinya?
"Aku hanya ingin beristirahat dengan tenang. Bisakah kalian meninggalkanku sendiri? Lagi pula, aku ingin melatih kakiku juga untuk berpindah sendiri ke ranjang." Dengan sedikit pemaksaan halus, Navier berkata lagi.
Cukup lama pelayan-pelayan itu terdiam, sampai akhirnya mereka undur diri.
Navier menghela napas lega. 'Aku tak punya apa-apa. Selain itu, aku juga lumpuh dan tidak berpendidikan tinggi. Edgar pantas memiliki wanita yang lebih baik dariku,' batinnya merasa rendah diri dan tak pantas untuk pria sesempurna Edgar.Begitu para pelayan sudah tidak ada, Navier turun dari kursi rodanya. Dengan susah payah, dia menyeret tubuh lemahnya ke kamar mandi, mengisi bathtub sampai penuh dan membiarkan kran terbuka.
Setelah itu, Navier masuk ke dalam bathtub.
"Mungkin dengan kepergianku Edgar bisa mencari yang lain, tak harus merawat wanita sepertiku." Lagi-lagi, pikiran Navier berkecamuk.
Navier mulai memiliki rasa suka pada Edgar karena sikap lembur pria itu padanya. Hanya saja, dia masih tahu diri.
Navier tidak sanggup jika melihat Edgar bersanding dengan wanita lain, tetapi dia juga tidak merasa pantas untuk bersanding dengannya.
Karena itu, Navier memilih untuk pergi dengan cara menenggelamkan dirinya.
Tubuhnya berontak, tetapi tidak dengan keteguhan hatinya.
Ketika kesadarannya mulai menipis, Navier mendengar suara gaduh yang samar.
Brak!
Tadi, Edgar merasakan firasat tak enak. Ia langsung meninggalkan pertemuan yang masih berlangsung. Tak hanya itu, dia juga membatalkan janji temu yang sudah terjadwal.
Joseph sang sekretaris hanya bisa pasrah menghadapi sang majikan.
Edgar begitu tampak kalut dan memutuskan langsung menemui Navier. Dikiranya sang wanita masih di halaman, ternyata sudah memutuskan untuk beristirahat.
Akan tetapi, yang dia temukan justru Navier yang sekarat di dalam bathtub!
Dengan segera, Edgar membawa tubuh lemas Navier yang mendingin ke rumah sakit. Menurut dokter, Navier berhasil selamat. Namun, dia mengalami koma.
Pukulan berat bagi Edgar, karena dia sama sekali tidak menaruh curiga dengan sikap Navier. Wanitanya itu hanya bersikap seperti biasa.
"Menurutmu, kenapa cucuku ingin mengakhiri hidupnya sendiri?" tanya James Wyatt—kakek Navier, pria itu langsung datang ketika mendengar cucunya sekarat.
Selama ini James tidak menampakkan wajah pada sang cucu karena ingin menjaganya.
Kakek dari Navier itu memiliki banyak musuh. Jadi, menjaga jarak bisa menyelamatkan Navier.
Bagi James, semakin sedikit yang tahu, maka akan semakin aman.
Tidak dia sangka, justru sang cucu malah mengakhiri hidupnya sendiri.
"Aku sama sekali tak tahu. Dia bersikap seperti biasanya, dan tidak ada yang aneh," jawab Edgar. Kini mereka tengah duduk di sofa kamar rawat Navier.
"Kau sudah mengatakan kondisinya?"
Edgar menggeleng. Selain memberitahu bahwa mereka bertunangan, Edgar juga mengatakan nama dan beberapa anggota keluarganya.
Selebihnya, tidak. Edgar menutup rapat mulutnya termasuk kondisi medis kaki Navier.
"Dari situlah kesalahanmu!" tukas James. Pria tua itu lantas pergi meninggalkan Edgar yang termenung.
Menurut dokter, pemicu tindakan Navier adalah rasa frustrasi.
Edgar tak tahu karena selama ini, dia telah memberikan segala hal yang biasa diimpikan wanita padanya.
Dari pada memikirkan masalah wanita, Edgar lebih memilih untuk menghadapi saingan bisnisnya. Menurutnya, mereka lebih mudah ditangani ketimbang wanita.
Demi membangunkan Navier dari komanya, Edgar mendatangkan banyak dokter terkenal. Namun, banyak dari mereka yang bisa menggelengkan kepala dan menyerah.
******
"Menurutmu, kenapa Navier berniat seperti itu?" tanya Rui akhirnya berniat untuk membantu sang teman.
"Kalau aku tahu, tak mungkin Navier berakhir di kamar ini!" balas Edgar. Dia muak melihat keberadaan Rui, tetapi tetap menerima kedatangan wanita itu.
"Menurut dokter dia frustasi, sampai-sampai keinginan untuk hidupnya rendah."
Edgar terdiam. Ucapan Rui sama seperti ucapan Kakek James.
"Dan kau tahu apa artinya itu?" lanjut Rui.
Edgar hanya balas dengan gelengan.
"Dia merasa rendah diri," jawab Rui.
Edgar terdiam dan mencerna ucapan itu. Sudah dua hal berbeda yang dia dapatkan dari orang yang berbeda pula. Dari situ, Edgar sama sekali belum menemukan petunjuk apa pun.
"Hey, dia bergerak!" pekik Rui.
Wanita itu segera memencet tombol darurat dan menunggu dokter datang.
Edgar yang senang langsung mendekat ke ranjang Navier.
'Sepertinya Edgar sudah mendapatkan penggantiku," batin Navier saat baru membuka mata dan langsung melihat kedekatan Rui dan Edgar.
Hati Navier terasa tercubit, tetapi dia tidak bisa melakukan apa-apa. Di matanya, Edgar terlihat serasi dengan wanita itu.
Setelah bangun, Navier tidak tahu berapa lama dia tidak sadarkan diri.
Satu bulan. Itulah waktu yang dilewati Navier saat tidak sadar, dan jawaban itu diberikan oleh dokter.
Edgar masih bungkam tentang kondisi kesehatannya. Dan hal itu, membuat Navier tak nyaman.
"Kau bisa mengatakan apa pun yang kau inginkan, lalu aku akan berusaha mencarikannya," ucap Edgar.
Pria itu berkata dengan cepat, seolah tengah terburu dan menutupi sesuatu.
"Apakah jika aku mengatakan aku ingin kembali berjalan, apa kau sanggup mencarikannya saat ini juga?" tanya Navier.
Dia ingin menguji Edgar. Ingin tahu sampai sejauh mana pria itu menutupi apa pun darinya.
"Aku memang tidak bisa mencarikannya saat ini juga, tapi aku sudah mencarikan dokter terbaik untuk menyembuhkan kakimu," jawab Edgar.
"Omong kosong! Lalu, aku ingin tahu bagaimana keadaan kakiku yang sebenarnya. Luka dan lebam sudah tak tersisa, tapi aku tidak bisa merasakan sakit atau menggerakkan kakiku sedikit pun!"
Sang tunangan hanya terdiam. Tak tahu harus bagaimana membalas pernyataan itu.
Saat dia membalas ucapan Edgar dengan pekikan, di saat itu dia tahu Edgar tak bisa dia percaya.
"Kau lumpuh! Dan tak bisa disembuhkan lagi."
Deg!"A--apa?"Selama ini Yuni tidak pernah merasa menyesal telah menyakiti Navier.Dia merasa selama ini Navier-lah yang membuatnya menderita. Ibunya merebut suami yang dia cintai, dan membagi rasa sayang yang dulu didapatkan secara penuh. Karena itulah ketika Elle meninggal, Yuni masih sanggup untuk menyiksa anak kecil itu.Hati Yuni sudah mati rasa untuk memberi rasa kasih untuk anak tirinya.Hingga Navier yang mulai membantu mencari penghasilan pun, Yuni tetap pada pendiriannya. Dia dengan kejam mampu meminta semua pendapatan Navier untuk diberikan pada putranya.Akan tetapi, perlahan rasa itu mulai terkikis.Yuni merasa bersalah saat melihat Navier tidak sadarkan diri dengan berbagai alat untuk menopang kehidupannya.'Sebenarnya aku bahkan tidak tahu alasan untuk membencimu,' batin Yuni.Dia memandang sendu, tak percaya dengan beberapa waktu yang lalu, di mana dia tidak sadar telah mencelakakan nyawa anak tirinya."Ib
"A-aku tidak menyangka jika kau bisa merencanakan semua ini pada Navier, Yun." Yuni terpekur. Dia sama sekali tidak menyangka jika suaminya akan mendengar perdebatannya dengan Navier, dan sedang saat mengungkit malam kelam itu. Tak hanya itu, Yuni juga menangkap raut kekecewaan yang terlalu kentara. "Aku sudah merawatnya sejak kecil! Kau pikir mudah membesarkan anak dari wanita yang menjadi madu di dalam rumah tangganya? Pikirkan itu, Lex! Ah, ya. Kau yang hanya membawa masalah mana paham hal yang seperti ini!" Di seumur mereka menikah, belum pernah dia mendengar nada kecewa dari Yuni hingga seperti itu. Dia tak tahu jika selama ini, istri pertamanya menyimpan luka dan melampiaskannya pada anaknya. Dulu, Alex mengira jika Yuni bisa menerima Navier selayaknya putri sendiri, karena Elle telah tiada. "Kukira kau menerimanya sebagai anak kandungmu sendiri, Yun. Kalau tahu kau setega itu padanya, kenapa tidak kau katakan saja padaku? Aku
"Kau!!! Kau masih punya muka untuk kembali ke sini!?" bentak Yuni.Navier tidak mengindahkan peringatan Edgar agar tidak kembali ke sana. Dia bersikukuh untuk kembali ke rumah tempatnya dibesarkan. Bagaimanapun juga, tempat itu berisi banyak kenangan yang tak bisa dia lupakan."Ibu, jangan lupa aku pernah kau besarkan. Aku pernah kau asuh dan kau beri makan," lirih Navier."Lalu dengan apa kau akan membayarnya? Bukankah saat itu kau sudah memiliki kesempatan, tetapi malah membuangnya? Kau!!! Bukannya membayar jasaku, malah meninggalkan semua kesulitan itu!?"Navier menunduk. Dia tetap berdiri di pintu gerbang halaman dan tidak diizinkan untuk masuk oleh Yuni.Sejak awal, Navier tidak tahu jika Yuni sedang libur bekerja. Namun, dia juga tidak berharap penuh jika Yuni sedang tidak ada.Dia hanya ingin beritikad baik dengan meluruskan kesalahpahaman di antara mereka."Aku memang tidak bisa membalasnya dengan keadaan saat itu, Ibu. Tapi ketahuilah! Aku juga melalui masa yang sulit. Aku ti
"Ada hal yang bisa kau gunakan untuk membela diri, Sayang?" tanya Edgar.Dia menatap tajam sang istri yang kini tengah berdiri dengan senyum seperti anak kecil yang ketahuan telah melakukan kesalahan. Di samping kiri sang istri, ada putra semata wayangnya yang sedang menunduk.Edgar merasa kesal karena mendapati wajah istrinya babak belur, dan puntranya tidak apa-apa. Padahal sebelumnya dia telah berpesan untuk menggantikannya menjaga satu-satunya wanita di keluarga mereka. Edgar tak ragu, karena dia sudah tahu bagaimana kemampuan Henry. Sayang sekali ekspektasinya terlalu tinggi."Jangan salahkan Henry, ya. Dia sudah melakukan hal yang kau pinta sebaik mungkin. Tidak ada hal sebaik Henry. Hanya saja dia datang terlalu terlambat untuk menjemputku," bela Navier."Jadi, ini semua adalah salahmu, begitu?""Tentu saja!""Lalu, apa yang bisa kau lakukan untuk menggantikan hukuman yang akan Henry dapatkan, Sayang?"Badan Navier bergidik nge
"Yun, hentikan!"Bukannya berhenti, Yuni justru semakin gencar mencerca Navier dengan kata-kata yang buruk. Suaminya sama sekali tidak dipedulikan lagi. Dia seolah buta dan tuli untuk semua hal.Yuni buta akan kebaikan yang selama itu Navier lakukan untuk keluarganya. Bagaimana dia yang harus berhenti untuk belajar, dan justru mencari pekerjaan sebanyak mungkin, dan membantu memenuhi semua hal yang diinginkan kedua adik tirinya.Dan tuli, akan segala perkataan suaminya."Bu, kau boleh menyalahkanku atas semua kesalahan yang terjadi di keluarga kita. Tapi kumohon untuk tidak menyudutkanku. Waktu sudah banyak berubah, dan aku juga tidak ingin mengingat masa lalu lagi. Aku akan melupakan semua yang telah kau lakukan padaku, dan mari untuk hidup lebih baik," pinta Navier.Yuni menggeleng. Air matanya mengalir semakin deras. Dia memandang ke arah suaminya yang kini sudah tidak sesempurna dulu. Memandang putra sulungnya yang juga tidak bisa mendapat kehi
"Dav, hentikan!!!" tegur ayah mereka.Keduanya masih saling beradu dan tidak menggubris teguran ayahnya. Sesekali Navier membalas pukulan adiknya, dan sisanya dia akan menghindar. Gerakan Davian begitu acak, menandakan bagaimana pria itu dididik dengan otodidak, bukan oleh ahilnya."Ternyata kau belajar cukup banyak, ya? Tidak seperti dulu yang hanya bisa berlindung di bawah ketiak ibu," sindir Navier."Diam kau! Kau tidak tahu masalah apa yang sudah kau tinggalkan untuk kami! Kau sama sekali tidakkk punya hati!"Navier mendecih sinis. Tidak punya hati? Bukankah kata-kata itu lebih patut dikatakan untuk Yuni, dan bukan dirinya?Setelah itu, dia memancing Davian untuk berkelahi di luar ruangan, dan masih mengundang pekikan ayahnya. Hanya sang adik yanag terkesn menuntut untuk menyerang, sedangkan Navier lebih tenang dan menghindar. Karena itu, ayah mereka benar-benar khawatir. Ia takut jika Davian melukai kakak perempuannya."Kalau begitu kau