Satu jam kemudian, kami bubar. Arga, pengusaha muda itu akan mentransfer sejumlah uang, setelah besok, kami mengesahkan perjanjian yang akan di tandatangani di kantornya.
Aku lega. Setidaknya pengorbananku meninggalkan Melisa yang sedang menjalani operasi, terbayarkan dengan mendapatkan kucuran dana dari Arga dan perusahaannya.Kupacu mobil kembali ke rumah sakit. Melewati kawasan ruko karena jalan biasanya sedang ada pembersihan.Saat melewati sebuah toko kue yang sedang viral, aku melihat seorang wanita yang mirip sekali dengan Anaya. Wanita yang tiga belas tahun yang lalu hidup denganku.Gegas, kubelokan mobil. Memarkir di depan toko. Toko kue Ar4Cake. Mungkin Anaya datang membeli kue di sini.Desain ruko yang di hias dengan ornamen-ornamen kekinian, membuat suasana terasa nyaman untuk segala kalangan.Kuedarkan pandangan, mengamati setiap pengunjung. Tak kudapati wanita itu. Aku tidak mungkin salah melihat. Tadi Anaya masuk ke sini."Maaf Pak. Ada yang bisa kami bantu?" sapa seorang karyawan toko, dengan ramah."Hm. Saya tadi sempat melihat teman saya masuk ke sini. Apakah ada seorang wanita yang tadi datang?" Tanyaku penasaran.Karyawan itu tersenyum ramah."Kalo pengunjung sih belum ada Pak. Mungkin tadi Bapak melihat pemilik toko ini yang masuk Pak. Jika Bapak ada keperluan, biar saya panggilkan beliau."Apa mungkin Anaya pemilik toko ini? Aku harus mengobati rasa penasaranku. Lagi pula, sudah lama aku mencari keberadaannya."Baiklah. Apa bisa saya bertemu beliau?""Bisa Pak. Beliau adalah orang yang ramah. Mari saya antar ke ruangan beliau.""Bagaimana kalau saya tunggu di sini saja?" Aku merasa tidak enak berjumpa dengan seorang wanita di sebuah ruangan tertutup."Baiklah Pak. Silahkan Bapak menunggu sebentar. Saya panggil beliau dulu."Setelah karyawan itu berlalu, aku mengambil tempat duduk tepat di depan kaca besar yang menghadap langsung ke jalan raya. Menunggu dengan berdebar. Berharap bisa bertemu Anaya.Sekali lagi aku edarkan pandangan di sekeliling toko kue ini. Bagaimana bisa Anaya yang hanya seorang wanita lemah, lulusan SMA, dan kekurangan, bisa menjadi pemilik toko besar ini? Apakah dia sudah menikah lagi? Dan ini adalah usahanya dengan suaminya?Derap langkah mendekatiku. Seketika kurasakan, seluruh aliran darahku mendadak beku. Wanita yang aku cari-cari selama ini, berdiri di hadapanku dengan penampilan yang jauh berbeda.Refleks aku berdiri."Anaya? Kamu kah itu?"Wanita di hadapanku ini bergeming. Mungkin dia juga terkejut melihatku. Namun beberapa detik kemudian, air mukanya terlihat biasa saja. Bahkan tersenyum dengan ramah, dia menangkupkan tangan di depan dada."Asallamualaikum Pak! Ia benar. Saya Anaya. Anaya Mahendra!"Aku kikuk, karena uluran tanganku tidak di sambutnya."Silahkan duduk Pak."Tatapanku lekat pada Anaya. Dengan tenang dia mengambil kursi lalu duduk berhadapan denganku.Tak lama, karyawannya datang membawa dua gelas capucino dan kue keju. Itu kue kesukaan Anaya."Silahkan dicicipi Pak. Karyawan saya bilang, Bapak ada keperluan dengan saya. Ada yang bisa saya bantu?"Kalimat yang keluar dati mulut Anaya, dan nada bicaranya, menyiratkan dia yang tidak mau ada kedekatan dalam bentuk apapun denganku. Meski dia tau, aku adalah ayah dari anak-anaknya."Apakah kau sudah menikah Nay?"Anaya mengeryitkan kening. Lalu kembali tersenyum."Maaf Pak. Waktu saya terbatas untuk setiap pertemuan. Jika tidak ada hal yang penting, saya mau kembali bekerja." Suaranya pelan dan lembut, tapi berhasil menusuk hatiku."Nay. Tolonglah. Kita baru berjumpa setelah tiga belas tahun. Bisakah kau tidak bersikap formal kepadaku seperti ini? Bagaimanapun, aku adalah Ayah dari anak-anak kita!" Aku berkata seperti ini, berharap, Anaya sedikit memberi kelonggaran kepadaku. Sungguh situasi yang dia ciptakan membuatku sangat tidak nyaman.Anaya tersenyum lagi. Tidak ada yang berubah dari raut wajahnya. Dia tetap tenang."Jika tidak ada hal yang penting yang ingin Bapak bahas, saya mohon diri. Maaf. Saya banyak pekerjaan."Anaya berdiri. Hampir saja tanganku mencekal pergelangan tangannya, jika aku tidak melihat matanya yang menatap tajam pergerakanku."Maaf. Baiklah. Aku hanya ingin tau bagaimana kabar anak-anakku."Anaya tetap pada posisi berdiri. Dengan ekpresi tenang yang kembali mendominasi wajahnya."Anak-anak saya baik-baik saja Pak. Mereka sehat dan sekarang sedang bekerja.""Bekerja? Di mana tempat mereka bekerja? Aku ingin bertemu mereka."Anaya menarik nafas dan menghembuskannya. Terlihat dia menahan kekesalannya. Apa salahku? Aku hanya ingin bertemu anak-anakku."Bapak kehilangan kesempatan untuk bicara hal yang penting dengan saya. Menanyakan tempat anak-anak saya bekerja, adalah pertanyaan yang tidak berguna dan sama sekali tidak penting, menurut saya. Maaf. Saya permisi."Dia beranjak dari hadapanku. Berjalan santai masuk ke dalam ruangan. Aku terdiam dengan sikap Anaya.Memang aku akui, sudah mengusir bahkan sudah menelantarkan anak-anakku. Tidak sepeserpun uang aku berikan setelah perceraian, untuk nafkah mereka.Talita memegang kendali atas diriku. Lagi pula, kedua anakku dari Anaya, adalah perempuan. Anatasya justru anak yang cacat. Dia lumpuh setelah terjatuh dari kursi saat bermain di usia lima tahun.Aku juga punya dua anak dari Talita yang jauh lebih manis dan cerdas dari anak-anak Anaya. Waktu itu Virgo belum lahir. Aku sangat senang karena dari Talita, aku punya dua orang anak laki-laki.Aku bersyukur, yang penting sudah tau tempat usaha Anaya. Selesai mengurus Melisa, aku akan kembali untuk menanyakan keberadaan anak-anakku kepada Anaya.***Tangan putih mulus itu aku genggam. Setelah operasi, Melisa belum sadar hingga sekarang. Aku cemas dan kalut. Memikirkan masa depan anak gadisku ini.Talita sudah kembali ke rumah, sejak aku sampai di rumah sakit. Belum juga kembali, padahal sekarang sudah mau masuk magrib.Tok .. Tok ...Pintu di dorong dari luar. Dokter muda yang tadi menolong Melisa masuk. Aku kembali tertegun saat menatap wajahnya.Anaya. Yaah ... Dokter ini mirip sekali dengan Anaya. Saat dia mendekat, refleks mataku membaca name tag di dadanya. Aluna Putri S. Astaga ... Nama itu?Aku mengusap wajahku. Apakah dia Alunaku? Aluna yang aku telantarkan sejak dia hadir di dunia? Saat aku mengusir Anaya, bukankah dia berusia 12 tahun? Apakah dia tidak mengenaliku?"Selamat sore Pak. Saya datang mau mengecek keadaan pasien. Saya yang tadi mengoperasi Nona Melisa. Karena ini sudah waktunya saya pulang, saya ingin memastikan keadaan pasien!" suaranya terdengar lembut tapi tegas. Dengan wajah yang dihiasi senyum.Dengan cekatan, dia memeriksa Melisa."Perkembangannya sangat baik. Jika nanti Nona Melisa sadar, tolong panggil perawat yah Pak, ada Dokter yang nanti akan menggantikan saya, memantau keadaannya." Katanya lagi.Aku bergeming. Mataku kembali melihat name tagnya."Saya permisi Pak!" Dia menangkupkan tangan di dada. Lalu beranjak keluar ruangan."Tunggu sebentar Dokter!"Dia berhenti. "Ada yang kurang Pak?"Aku berjalan mendekatinya."Apakah nama Ibu anda Anaya Mahendra?" tanyaku tanpa basa-basi.Dokter itu tersenyum."Wah. Apakah saya pernah bertemu anda sebelumnya? Atau anda adalah teman Ibu saya? Memang benar. Nama Ibu saya adalah Anaya Mahendra." Dengan tersenyum dia menjawabku.Dalam hati aku bersorak. Anakku seorang dokter? Aluna jadi dokter! Ini luar bisa. Pantas saja, tadi aku merasa kenal dengan wajahnya."Apakah anda tidak mengenal saya? Atau anda sudah lupa? Saya adalah Surya, mantan suami Anaya. Ayahmu Dokter!" langsung saja aku mengakui identitasku.Dengan bangga aku berharap, dia akan memelukku dan mengatakan dia merindukan aku.Tapi sekian detik, tak kudapati dia bergerak. Sekarang aku melihat senyum tipis mengukir wajah cantiknya. Dia bicara dengan tenang dan tegas."Maaf Pak. Mungkin anda salah orang. Memang nama Ibu saya Anaya Mahendra. Tapi, saya sejak kecil sudah tidak memiliki Ayah. Saya dan adik saya, dibesarkan oleh Ibu kami, menyekolahkan hingga sekarang. Jadi, saya sama sekali tidak mengenal sosok Ayah saya. Maaf Pak. Jika tidak ada yang penting lagi, saya permisi."POV Acha Rasa sakit seperti diremas dengan cengkraman yang mematikan, menusuk-nusuk bagian dadaku dengan kejam. Itu bagaikan satu tangan raksasa, yang mau aku mati seketika, saat berada dalam genggamannya. Aku menjerit tertahan. Apa aku akan mati? Aku menekuk tubuhku di lantai kamar, dengan harapan, rasa sakit yang aku rasakan secepatnya berlalu. Namun ... Saat mataku yang terpejam, perlahan terbuka, aku tidak lagi berada di kamarku yang nyaman. Aku seperti berada dalam sebuah ruangan kosong, yang tidak ada ujungnya. Saat menyadari keadaan sekitar, rasa sakit itu seketika menghilang entah kemana. Semua terjadi dengan cepat. Aku berdiri menatap sekelilingku. Apa ini dunia orang mati? Apa aku sudah meninggal? Tidak ada satu benda pun, sejauh mata memandang. Ruangan itu seperti tidak berujung. Kosong. Aku berjalan dengan ribuan pertanyaan dalam kepalaku. Jauh. Sangat jauh. Entah sudah berapa lama aku berjalan. Ini seperti berjalan di padang gurun, tanpa tujuan. Air mataku m
"Nona Cita menolak Tuan Besar. Sepertinya, saya akan kesulitan menghadapinya. Dia benar-benar keturunan Adijaya," Tuan Besar itu tampak sumringah. Diwajahnya yang keriput, tersungging senyum dan sukacita yang besar. "Apa kau kewalahan menghadapi sifat keras kepalanya? Kau tau Nabila. Sifat keras kepala adalah salah satu bukti, dia bisa menjadi pemimpin yang dominan. Bagaimana dengan pria yang kerap dekat dengannya? Kau sudah selidiki dia?" tanya Tuan Besar Adijaya, suara sumringahnya berubah dengan seketika. "Sudah Tuan. Dia adalah putra bungsu Anaya Hendrawan. Sekarang, dia yang memegang kendali perusahaan ibunya, setelah ibunya menikah dengan Hendrawan, dan pensiun," Tuan Besar itu mencebik. Dunia bisnis negara ini memang mengenal siapa Anaya. Dia adalah wanita yang bisa mendapatkan nama, setelah berhasil membangun bisnis sendiri dan memulai semuanya dari nol. Tapi, semua itu, tidak bisa disamakan dengan kedudukan Cita. Cita adalah anak bangsawan. Jika orang mengenal k
Karim menatap ponselnya dengan hati penasaran. Pesannya sudah di baca Acha. Tapi tidak ada balasan apapun. Dia hanya ingin tahu, bagaimana kabar Acha, setelah tidak terlihat di manapun selama tiga hari. Benda pipih itu, diketuk-ketuknya di meja, sambil jemarinya memijit pelipis dengan wajah muram. Karim memiliki banyak teman wanita yang cantik. Namun, dia tidak pernah mengkuatirkan mereka seperti dia kuatir dengan keadaan Acha. "Hei ... Rusak hp kamu kalo digituuin terus Karim," suara teguran Mira, menarik kesadaran Karim dari apa yang dipikirkannya. Senyum tipis tersungging dibibirnya, saat melihat siapa yang menegurnya. "Gimana komunikasi kamu sama Acha. Ada kemajuan gak?" tanya Mira setelah menghempaskan tubuhnya, di sofa yang berhadapan dengan Karim. "Baik Ma. Semua baik-baik aja," jawab Karim, acuh. Jawaban singkat Karim, membuat Mira meliriknya dengan mata tajam. "Jangan dikasih kendor, Rim. Mama itu, maunya kamu deketin Acha dengan intens. Kata Tante Anaya, Ac
"Apa maksud anda, Nona? Tolong jangan membuat pernyataan omong kosong disini," Cita berkata dengan tegas, kepada seorang wanita yang ditemani lima orang pria, yang pagi itu, mereka datang ke panti Kasih Bunda. Wanita itu memiliki paras yang cantik, dengan dandanan formal. Rok selutut, dengan blaser dan rambut yang digelung rapi. Lima orang pria yang berdiri tegap dibelakangnya, memakai setelan jas warna hitam, lengkap dengan alat di telinga. Mereka seperti pengawal pribadi si wanita. "Maafkan kami, Nona. Kami sudah menyelidiki dengan teliti, sebelum datang dan membuat peryataan hari ini. Sudah selama bertahun-tahun," ujar wanita itu dengan sopan. Cita membuang muka dengan kesal. Nilam yang duduk di samping gadis itu, hanya bisa menepuk tangannya perlahan untuk meredakan emosi Cita. "Siapa nama anda?" tanya Cita, masih dengan nada ketus. "Nama saya Nabila, Nona," jawab wanita itu, sopan. "Ok. Nona Nabila. Selama bertahun-tahun anda menyelidik saya? Menyelidiki panti ini
Mansion Hendrawan Anaya dan Alisya memeluk Acha dengan erat. Beberapa pelayan, buru-buru membuat masakan kesukaan Acha. Hendrawan duduk berdampingan dengan Arga, menatap mereka dengan perasaan lega. Tak lama kemudian, Calvin tiba bersama Aluna. Meskipun masa nifasnya belum berakhir, Aluna sudah terlihat sangat bugar dan aktif bergerak. "Adek. Kamu bikin Kakak kelimpungan. Coba cerita dulu sama kita. Kamu kemana aja hah? Tiga hari kamu ilang lho." Aluna bertanya pada Acha, setelah memeluk dan mencium gadis itu. Suasana tiba-tiba hening. Semua orang dalam ruangan itu, menunggu jawaban Acha. Sejak masuk mansion, gadis itu belum mengeluarkan satu patah kata pun. Acha menatap bunga mawar putih dalam genggamannya. Otaknya seakan-akan terus memerintah tangannya, untuk menggenggam tangkai bunga itu dengan erat. Tiga hari? rupanya sudah selama itu dia hilang. Hilang? apanya yang hilang? Dia hanya sengaja mengikuti si kakek. Atau jangan-jangan ... Astaga Acha mengangkat wajah
"Acha hilang, Bun?" "Iya Ka. Kemaren habis dari rumah Kakak, mobilnya nyerempet pagar pembatas tol, di belokan sebelum jembatan itu lho. Ponsel ada dalam mobil. Tapi Achanya gak ada. Ini malah udah heboh. Ada fans dia yang upload video mobil di tepi jalan, jadi rame sekarang. Bunda takut Kakak. Kata polisi, gak ada sama sekali jejak penculikan. Terus, anak itu ke mana?" jelas Anaya panjang lebar kepada Aluna. Calvin yang sedang menggendong salah satu bayi kembar mereka, berhenti bersenandung, saat melihat wajah sang istri yang berubah cemas. Aluna pikir, apakah karena video call tadi, sampai Acha menghilang tanpa jejak? Selama ini, mereka memang tidak pernah lagi membahas tentang Surya, atau apapun yang berkaitan dengannya. "Bunda yang sabar yah. Nanti aku coba minta tolong sama anak-anak, buat bantu nyari," Aluna mencoba menenangkan Anaya. "Ok Kakak. Nanti Bunda kabarin, kalo ada perkembangan," Dengan cepat, tangan Aluna mengetik pesan pada Bondan dan teman-temannya