Sepuluh hari sudah terlewati, Sofia masih menjalani hari dengan kesendirian. Setelah perdebatan dengan Eril dan keluarganya, Sofia memilih pergi dan enggan meminta maaf pada Lily. Sofia merasa dia tidak salah. Meskipun dia orang tak punya, namun Sofia masih memiliki harga diri. Sofia tidak ingin terus mengalah demi suaminya itu. Sofia sudah cukup lelah dengan sikap asli Eril. Ia pun tak mau mendatangi Eril ke rumahnya. Sofia cukup tahu malu.
Sofia merasa bosan. Wanita yang tengah berbadan dua itu bergegas membersihkan ruangan, termasuk kolong tempat tidur yang telah lama tak ia bersihkan. Meskipun Sofia tahu tempat itu selalu bersih, namun Sofia memilih membersihkannya saja hari ini untuk menghilangkan jenuh. Sofia mengambil sapu. di sapunya kolong tempat tidur itu. Beberapa kertas keluar dari kolong ranjang. Sofia merapikan kertas yang sudah disobek itu, ia lalu menyambungkan potongan kertas itu dengan potongan kertas lain. Sekali lagi, hatinya merasa hancur saat melihat kertas yang bertuliskan slip gaji Eril. Di slip gaji itu tertulis nama Eril menjabat sebagai Manager HRD. Di sana pun tertulis nominal gaji Eril yakni sebesar dua belas juta perbulan. Air mata Sofia menitik, hingga membasahi kertas itu. Dengan teganya Eril memberikan nafkah yang sangat pas-pasan, sedangkan gajinya sangat besar melampaui UMR di kotanya. "Kenapa kamu tega, Mas?" Sofia berbicara dengan suara bergetar. Bahkan ia menepuk dadanya yang terasa sesak mengetahui fakta yang baru ia dapatkan.. Memorinya teringat akan bulan demi bulan ia harus berjuang bagaimana nafkah satu juta dari Eril harus cukup ditangannya. Tak jarang Sofia diam-diam menjual gorengan milik Bu Mimin untuk sekedar mencari tambahan uang untuk sarapan atau membeli token listrik. Sofia merasa ikhlas karena mungkin penghasilan suaminya memang tak seberapa. Namun kebohongan Eril yang sudah terbongkar membuat hatinya sakit tidak terkira. "Selama ini aku yang dipaksa untuk hidup menderita!" Sofia tersenyum getir. **** Esok harinya Eril pulang dengan wajah masam. Ia membuka pintu kontrakan dengan kunci cadangan yang ia bawa. Dibukanya pintu perlahan. Di ruang itu sangat gelap gulita. Eril tahu token listrik habis hari ini. Untung hari sudah menjelang pagi, Eril segera menyibak gorden agar seluruh ruangan tidak terlalu gelap. Cahaya masuk melewati gorden yang bernuansa putih itu. Tatapannya terpaku pada sang istri, Sofia yang sedang tertidur dengan posisi meringkuk. Hatinya menghangat, namun sisi hatinya masih saja bersikeras. Eril masih sangat kesal dengan sikap Sofia yang sangat keras kepala dan menurutnya pembangkang. Eril akui Eril sangat mencintai Sofia. Namun jika dibanding dengan keluarganya, Eril lebih menyayangi keluarganya. Cinta kepada keluarganya lebih besar. "Sofia, bangunlah!" Eril mengguncang bahu Sofia pelan, hingga wanita berparas cantik itu terbangun dari tidurnya. "Hm," Sofia mengucek matanya. Ia melihat Eril tengah memandangnya dengan tatapan tak bersahabat. "Aku pulang dan aku sudah gajian, ini uang belanjaan mu!" Eril menyimpan uang yang di masukan ke dalam amplop cokelat itu di pangkuan Sofia. "Masih ingat pulang kau rupanya, Mas?" Sindir Sofia sembari tersenyum getir. "Simpan saja Mas! Mulai hari ini kamu kelola sendiri uang belanja satu juta satu bulan. Aku sudah pusing mengelola uang yang pas-pasan itu," Sofia tersenyum kecut. Dadanya terasa sesak kembali saat ia mengingat slip gaji Eril yang tadi pagi ia temukan. "Aku datang bukannya kamu minta maaf, malah terus ngesinisin suami sendiri. Mau kamu apa sih?" Eril menatap tajam Sofia, bak elang yang menatap buruannya. "Tidak ada yang aku inginkan. Aku sudah bosan menjadi istri yang selalu kamu perlakukan dengan seenaknya. Aku akan pergi dari sini dan pulang ke rumah kedua orang tuaku!" Sofia yang sudah tak bisa membendung lagi air matanya meninggikan suaranya. "Maksud kamu apa sih, Sof? Istighfar!" Eril mencoba membawa Sofia ke dalam pelukannya. Namun wanita cantik itu menghempaskan tangan sang suami. "Ini apa Mas?" Sofia mengambil kertas slip gaji yang sudah ia sambungkan dari dalam saku dasternya. Ia lempar kertas yang menghancurkan hatinya itu ke wajah Eril. Eril berjongkok mengambil kertas yang Sofia lemparkan. Matanya terbelalak saat melihat kertas yang bertuliskan slip gaji atas nama dirinya. Pria itu merutuki kebodohannya yang menyobek slip gaji dan membuangnya di kolong ranjang. "Maafkan aku, Yang. Tapi semuanya tidak seperti yang kamu bayangkan! Gaji aku ditabung, agar kita cepat punya rumah. Yang lain dipakai untuk kebutuhan Mega kuliah dan biaya sehari-bari ibu," Eril berusaha menjelaskan. Memang ia berkata jujur. Eril memang menabung untuk tujuan membangun rumah dan semua itu tanpa sepengetahuan Sofia. "Membangun rumah tapi dengan cara menyiksaku, Mas? Satu bulan aku selalu makan dengan menu ala kadarnya. Padahal aku butuh nutrisi untuk darah dagingmu ini!" Sofia menunjuk perutnya yang bulat. "Belum dengan uang kontrakan yang selalu telat dibayar. Ibu kos harus selalu menagihnya ke sini karena aku sering telat bayar. Token selalu habis dan telat isi. Aku tak pernah membeli baju atau make-up. Apa kamu peka, Mas? Lihatlah penampilanku, Mas! Aku terlihat menyedihkan setelah kamu nikahi. Kamu gak sadar gak hah?" Urat-urat di leher Sofia terlihat menonjol karena teriakan wanita hamil itu. Eril pun sedikit gentar melihat kemarahan Sofia yang baru ia lihat. Biasanya Sofia akan bersabar jika mereka bertengkar. "Dzalim kamu mas!" Hardik Sofia lagi, ia mengelus perutnya yang buncit. "Sayang, kamu gak kenapa-kenapa?" Eril panik melihat Sofia sedikit meringis ketika memegang perutnya itu. "Gak, sudahlah. Ada sesuatu pada diriku atau tidak, aku yakin kamu tidak akan peduli. Bahkan kamu pergi selama sepuluh hari tanpa tahu bagaimana aku menghabiskan waktu dengan anakmu yang sedang aku kandung. Aku akan pergi ke rumah orang tuaku. Di sana aku dihargai. Aku bosan meratapi kemalangan sendirian di rumah ini," Sofia duduk di pinggir tempat tidurnya. "Jangan, jangan pergi! Maafkan aku!" Eril kini harus mengalah dan menurunkan egonya. "Aku peduli sama kamu, Sayang. Aku peduli sama calon anak kita," Eril melunak, ia merangkul Sofia dan membawanya ke pelukannya walaupun wanita itu menepis. Namun tenaga Eril lebih besar. Sofia hanya diam ketika tubuh tegap itu memeluknya dengan erat. "Maafkan aku, Sayang! Aku memang salah, izinkan aku memperbaiki semuanya," lirih Eril terdengar bersungguh-sungguh di telinga Sofia. Sofia tak tahu, apakah Eril sedang membohonginya atau tidak. "Memperbaiki apa maksudmu?" Suara Sofia terdengar serak dalam pelukan suaminya. "Izinkan aku untuk merubah sikapmu. Aku tidak akan meninggalkan kamu sendirian di sini lagi. Aku akan memberikan nafkah yang pas untukmu," Eril membuat janji. "Dan jauhi Lily!" Pinta Sofia. "Iya, aku akan menjauhinya," cicit Eril sambil terus memeluk Sofia. Dalam hatinya, Eril memang sangat menyayangi wanita yang selalu sabar terhadapnya itu. Sofia terdiam. Sofia tidak tahu apakah yang Eril ucapkan benar atau tidak. Sofia memilih untuk memberikan Eril kesempatan. Ia akan menilai sikap Eril ke depannya. Jika suaminya tak berubah, Sofia akan menyerah saja. Sofia akan memilih pulang ke rumah orang tuanya dan membuka usaha di sana.Lily masuk ke kamarnya dengan wajah yang lelah. Wanita itu kemudian mendudukan dirinya di kursi rias. Lily menatap wajahnya sendiri dari pantulan cermin. Saat ini tubuhnya masih terlihat gemuk karena efek melahirkan. Lily menghembuskan nafasnya kasar. Ia merasa melahirkan telah merusak tubuh rampingnya. Lily bertekad akan menjalani program diet guna mengembalikan tubuhnya yang ideal."Untung saja ASI ku sudah berhenti!" Gumam Lily dengan wajah tak bersahabat. Ia memang mengkonsumsi obat penghenti ASI agar lebih percaya diri. Selain itu, Lily sering kali kesakitan karena ASI itu menumpuk dan tidak dikeluarkan.Pintu kamarnya dibuka dengan kasar. Jamal masuk ke dalam kamar Lily yang kini sudah tinggal bersamanya lagi. Mantan kepala desa itu berkacak pinggang dengan wajahnya yang sudah dipenuhi emosi."Bagus ya kamu, Ly. Kerjaan tiap hari sekarang ketemuan sama laki-laki engga jelas. Engga cukup kamu membunuh karakter dan karier Bapak, Hah?" Jamal berteriak lantang, membuat Lily hanya me
Hubungan Nareswari dan Rizal semakin akrab. Mereka tak segan untuk saling menyapa jika berpapasan di area kos. Rizal juga sering sarapan bersama penghuni kost yang lain, menjadikan hubungan kekeluargaan mereka kian erat. Ada kekaguman yang Nareswari simpan pada dokter gigi itu. Apalagi rupa Rizal yang menawan, membuat wanita yang melihat mudah untuk jatuh hati. Belum lagi sikap Rizal yang dingin dan sedikit misterius membuat Nareswari seolah penasaran dengan pria itu. Pasalnya Rizal tampak menjaga jarak dengan lawan jenis. Entah apa yang salah, tapi Nareswari melihat Rizal seolah menghindari berduaan dengan lawan jenis, kecuali dengan dirinya. Mungkin hanya Nareswari yang bisa berbicara dan mengobrol dengan pria itu. Mungkin Nareswari pernah menjadi pasien dokter gigi itu kala di pulau Jawa hingga membuat Rizal tak sungkan untuk mengobrol."Bentar lagi siap nih!" Ucap Rima yang sedang berjibaku dengan kompor mini yang ada di dalam kamar.Nareswari dan Rima sedang bersiap menikmati s
Empat hari Sofia dan Reynard menghabiskan waktunya di Negara Swiss. Kini mereka meneruskan honeymoon mereka ke negara Finlandia. Sofia ingin sekali melihat aurora, pun dengan Reynard yang belum pernah melihat aurora secara langsung. Udara di Levi, Finlandia minus tujuh belas derajat menyambut kedatangan mereka. Tubuh Sofia terasa sangat dingin, namun Sofia tetap senang karena impiannya melihat Aurora di Finlandia segera terwujud. Mereka sampai di lokasi jam delapan malam. Beruntung staff masih ready dan belum pulang, karena biasanya staff di sana akan berjaga sampai jam sembilan malam. Para staff hotel segera menyambut kedatangan Reynard dan Sofia dengan membawa koper-koper mereka dengan kereta salju. Begitu pun Reynard dan Sofia yang menaiki kereta itu karena jarak hotel lumayan jauh dari titik mereka berada. "Sayang, lihat! Bulu mataku membeku!" Seru Reynard, Sofia pun memperhatikan bulu mata suaminya itu. Benar saja, bulu mata Reynard membeku. "Iya, sayang! Lihat bulu mataku jug
Perjalanan bulan madu Sofia dan Reynard di mulai. Setelah hari pertama dan kedua Reynard mengunci Sofia di dalam kamar hotel saja. Pria itu selalu meminta haknya pada sang istri hingga mereka lupa untuk sekedar pergi berjalan-jalan. Mungkin udara yang sangat dingin, menjadi alasan Reynard menahan Sofia di dalam kamar yang bernuansa krem itu. "Sayang, hari ini kita harus jalan-jalan. Aku bosan di kamar terus!" Rengek Sofia bak anak kecil. "Iya, sayang. Ayo kita ke Blausee!" Reynard mengiyakan, spontan wajah Sofia yang ditekuk mendadak riang."Kenapa tidak dari kemarin sih?" Bibir wanita cantik itu mencucu. "Aku hanya sedang mengabulkan keinginan keluarga kita," seloroh Reynard blak-blakan. "Keinginan apa?" Sofia belum ngeuh dengan maksud sang suami. "Keinginan agar kita pulang membawa cucu," "Ish, alasan!" Sofia segera memakai mantel dan syalnya yang sangat hangat.Wanita itu kemudian menunggu sang suami di dekat pintu. Takut-takut jika Reynard akan kembali mengurungnya di kamar
Lily yang sudah pergi dari kontrakan Eril kini pulang ke rumah kediaman orang tuanya. Walau sempat menolak, tapi nyatanya Tika dan Jamal pun iba melihat kondisi Lily yang sudah tak terurus dan sebatang kara.Terlebih Lily bercerita jika dirinya diusir oleh Eril karena ia tak mau mengurus dan menyusui anak mereka."Lagian kenapa engga kamu bawa anakmu ke sini, Ly?" Tanya Tika, sang ibu."Bu, memangnya kalau si Lily bawa anaknya, ibu mau ngurus tuh bayi?" Tanya Jamal dengan wajah senewen."Ya enggalah, Pak. Ibu kan kerja di desa. Mana bisa ngurus bayi," Tika menjawab dengan gugup."Nah, kenapa ibu sok-sok an suruh si Lily bawa bayinya ke sini?" Tanya Jamal lagi yang tak mengerti dengan jalan pikiran Tika."Ya, kan biar di urus sama ibunya. Lily ada kan di sini dan gak kerja," Tika menatap Lily yang tengah duduk bersandar di atas sofa."Bu, aku engga mau ngurus anak itu. Aku udah ngandung dia selama sembilan bulan. Sekarang giliran bapaknya yang ngurus itu bayi. Aku cape, Bu. Aku lelah. A
Sofia dan Reynard kini berada di bandara internasional. Mereka akan berangkat bulan madu ke beberapa negara Eropa. Tentu sofia sangat senang, karena ini adalah pertama kalinya ia pergi ke luar negeri. Semua keluarga Reynard dan Sofia mengantarkan mereka ke bandara. "Pulangnya bawa bayi untuk kakek, Fia!" Goda Hartanto, membuat pipi Sofia bersemu merah. "Ya ampun, Kek! Kami hanya ingin jalan-jalan," Sofia mengerucutkan bibirnya, merajuk pada sang kakek. Sedangkan Reynard, ia hanya tersenyum mendengar perdebatan kecil antara kakek dan cucu itu."Hamil itu bonus, Fia! Ayah sama ibu pun ingin segera menimang cucu," Rahman terkekeh melihat ekspresi sang putri yang malu-malu. 'benar itu," Sri mengamini. "Sudah-sudah, jangan di godain terus! Kasihan pipi mereka. Sudah semerah tomat dari tadi," Dokter Ali menyahut yang diikuti gelak tawa oleh yang lainnya. Akhirnya keluarga Reynard dan Sofia melepas mereka untuk berbulan madu. Mereka berpamitan dan mendoakan pasangan pengantin itu segera