Share

4. Menantu Yang Tak Dianggap

“Selamat sore semuanya. Apa kabar Om, Tante?”

Chelsea tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar. Kecantikan dan keanggunannya membuat siapa saja yang melihatnya akan terpana. Dia sosok yang ceria dan mudah bergaul.

“Sore. Kabar kami baik, kok. Terima kasih ya sudah datang.” Lucy menyambut Chelsea dengan hangat, memeluknya dan mengajaknya duduk di samping Davin.

Sikap Lucy berbeda sekali dengan saat ia menyambut kedatangan Jingga. Lucy nyaris tidak pernah tersenyum tulus terhadap menantunya itu.

Davin tampak terkejut melihat kedatangan Chelsea, ia menoleh ke wanita yang duduk di sampingnya itu. “Chelsea, kenapa kamu di sini? Bukannya kamu harus istirahat?”

Mata Chelsea mengerling. “Kenapa? Kamu nggak senang aku ada di sini?”

“Bukan begitu.” Davin mendecak pelan seraya menyentil dahi Chelsea. “Aku hanya khawatir. Seharusnya kamu istirahat di rumah saja. Memangnya kamu nggak dengar apa kata dokter semalam?”

“Ya Tuhan, Chelsea, kamu lagi sakit? Aduh, maaf Tante nggak tahu kalau kamu harus istirahat.” Lucy menimpali dengan cepat seraya menatap Chelsea dengan khawatir. “Sakit apa, hm? Lalu gimana kondisi kamu sekarang?”

Chelsea terkekeh-kekeh dengan pipi tersipu-sipu. “Davin sama Tante nggak berbeda, ya. Kalian selalu mengkhawatirkan aku berlebihan begini,” kelakarnya sambil tertawa. “Semalam Davin ngantar aku ke UGD karena aku tiba-tiba pingsan, Tante. Tapi dokter bilang nggak ada yang serius dengan kondisiku, aku cuma kelelahan. Tante jangan khawatir ya.”

“Syukurlah kalau begitu.” Lucy menghela napas lega sambil mengelus dada.

“Oh? Ary, senang bertemu kamu lagi. Kapan pulang?” Pandangan Chelsea beralih ke arah Amarylis.

Gadis itu menjawab tanpa mengalihkan tatapannya dari ponsel. “Kemaren.”

“Kapan-kapan kita main golf bareng lagi ya? Aku kangen lho sama kamu.”

Amarylis tersenyum kecil. “Oke.”

“Ary, simpan dulu handphone kamu. Kita lagi berkumpul,” tegur Anthoni.

Gadis yang wajahnya replika Davin versi perempuan itu menghela napas kasar. Ia menaruh ponsel ke meja dan bersedekap dada. Lalu ikut berbaur dengan terpaksa. Amarylis gadis yang cukup dingin. Satu-satunya orang yang dekat dengannya di keluarga ini hanyalah Davin.

Kelima orang itu mulai terlibat obrolan-obrolan ringan sambil sesekali tertawa. Kehadiran Chelsea mampu mengubah suasana yang tadinya kaku dan hening, menjadi ramai dan hangat.

Sementara Jingga, dia hanya diam mendengarkan percakapan mereka dengan perasaan tidak nyaman.

Kehadirannya di sini sama sekali tidak dihiraukan. Seakan-akan mereka semua lupa bahwa status menantu sah di rumah ini masih dipegang oleh Jingga.

Jingga memandangi Davin. Pria itu berubah menjadi sosok yang hangat dan ramah saat berhadapan dengan wanita pujaan hatinya.

Jingga merasakan dadanya nyeri dan perih. Seharusnya sedari awal, Jingga membentengi hatinya untuk tidak jatuh hati pada lelaki itu. Namun, ia gagal. Sebab perasaan ini hadir jauh sebelum mereka menikah.

Karena merasa keberadaannya tidak dibutuhkan, perlahan-lahan Jingga bangkit dan menyeret langkahnya meninggalkan ruangan tersebut.

Sejenak ia berhenti di depan cermin tinggi, memperhatikan pantulan dirinya dengan miris. Tidak ada riasan make up di wajahnya, pakaiannya pun tertutup, tubuh kurus, dan… kaki pincang. Bukankah seharusnya Jingga tahu diri untuk tidak mengharapkan apapun dari Davin?

Jingga dan Chelsea sangat jauh berbeda. Jika Chelsea adalah permata, maka Jingga adalah batu kali, begitu pikir Jingga.

Wanita berambut hitam sepinggang itu melanjutkan langkahnya lagi, menghampiri Oliver yang sedang diasuh Nuri—satu-satunya pekerja rumah tangga di rumah ini yang bersikap baik terhadap Jingga.

“Den Oliver nggak rewel, Bu. Dia ceria sekali. Dari tadi senang banget main sama Kitty.” Nuri melapor sambil tersenyum lebar dan mengelus anak kucing warna putih yang bernama Kitty.

Jingga menipiskan bibirnya dan duduk di samping putranya. Oliver langsung menghambur ke pelukan Jingga sambil tertawa.

“Terima kasih banyak, ya. Bibik selalu bersedia menemani Oliver setiap saya datang ke sini.”

“Den Oliver lucu sekali, Bu. Senang saya lihatnya. Awalnya saya mengira Den Oliver mirip sama Bu Jingga, tapi kalau diperhatikan lama-lama, ternyata mirip sama Pak Davin, ya. Matanya sama-sama hitam dan dalam, apalagi kalau lagi senyum, kelihatan banget kalau—”

“Bik,” sela Jingga dengan lembut hingga ucapan Nuri terhenti.

Bukan apa-apa, Jingga hanya takut Davin mendengar ucapan Nuri yang menyamakan dirinya dengan Oliver. Dan hal itu bisa mengundang amarah Davin.

“Saya haus. Bisa tolong buatkan saya teh hangat?” Jingga beralasan untuk mengalihkan topik pembicaraan mereka.

Nuri dengan sigap pergi ke dapur untuk membuat pesanan Jingga.

Jingga memandangi Oliver, lalu menghela napas panjang dan tersenyum kecil. Tidak mungkin Oliver sangat mirip dengan Davin. Mereka tidak memiliki hubungan darah, pikirnya. Mungkin pandangan Nuri saja yang salah.

Oliver memainkan bola kain dengan semangat, lalu ia melemparkannya. Bola itu menggelinding cukup jauh dan berhenti tepat di depan sepasang kaki Davin—yang sedang berdiri menatap tajam ke arah Jingga.

Oliver tersenyum lebar, matanya berbinar-binar menatap Davin, seolah-olah ia sedang memohon agar Davin melemparkan bola itu ke arahnya.

Namun, Davin hanya diam. Ia menatap bola itu dan Oliver dengan acuh tak acuh. Akhirnya Oliver merangkak cepat, mengambil bola itu dan duduk tepat di hadapan Davin sambil mendongak dan mengerjap lucu.

Davin melengos pergi begitu saja, mengambil secangkir kopi yang baru selesai dibuat oleh pembantu.

“Ya ampun lucunya…. Boleh aku main sama anak kamu, Dave?” Chelsea tiba-tiba datang, ia berjongkok di depan Oliver sambil tersenyum.

“Sebaiknya jangan.” Davin menghampiri Chelsea seraya membawa secangkir kopi di tangan kirinya.

“Eh? Tapi—”

“Kita harus bicara berdua.” Seulas senyum kecil terlukis di bibir Davin, yang membuat Chelsea akhirnya berdiri dan mengangguk. “Ayo, ikut aku.”

Sambil menggenggam tangan Chelsea dengan tangan kanannya, Davin membawa wanita itu pergi.

Jingga memperhatikannya. Sekali lagi, hatinya kembali luluh lantak melihat bagaimana Davin memperlakukan pujaan hatinya dengan lembut.

Berbeda sekali dengan saat Davin memperlakukannya, pria itu nyaris tidak pernah berbuat baik terhadap Jingga. Bahkan setiap kata yang keluar dari mulut Davin selalu berhasil meninggalkan luka di hatinya.

“Chelsea itu cinta pertamanya Davin, mereka sudah dekat sejak masih SMP. Kamu tahu, bukan?”

Jingga terkejut ketika Lucy tiba-tiba berdiri di sampingnya. Jingga kemudian ikut berdiri.

Iya, Jingga tahu itu. Davin dan Chelsea sudah akrab sejak SMP. Sebab, Jingga bersekolah di sekolahan yang sama dengan mereka ketika SMA. Davin adalah sosok yang dipuja-puja para siswi. Sedangkan Chelsea adalah primadona satu sekolah. Mereka sering terlihat bersama-sama dan memiliki geng yang terdiri dari beberapa siswa kalangan elit di sekolah itu.

“Davin selalu berjuang keras untuk menjadi orang sukses dan hebat, selain untuk membuat orang tuanya bangga, dia juga ingin membuat Chelsea bangga dan bahagia,” lanjut Lucy lagi, ia menatap Jingga dengan tatapan datar. “Dan kebahagiaan Davin adalah hidup bersama dengan Chelsea. Tapi kakeknya tiba-tiba memberi Davin dua pilihan yang sama-sama menyulitkan dia. Menikahi kamu lalu mendapatkan kehidupan yang sejahtera, atau tidak menikahi kamu tapi dia nggak akan mendapat apapun.”

Jingga tercenung. Kedua belah telapak tangannya meremas pakaiannya.

“Selama menikah dengan kamu, Davin nggak pernah merasa bahagia. Dia justru malah tertekan karena harus menanggung kesalahan yang dibuat kakeknya,” tegas Lucy sambil bersedekap dada. Ia kembali melanjutkan, “Jadi, setelah acara peresmian minggu depan, saya harap kamu segera pergi dari kehidupan Davin dan menjauh sejauh-jauhnya, sampai Davin nggak bisa menemukan kamu lagi selamanya!”

Jingga terhenyak, ia menatap Lucy dengan mata sedikit membulat. Seharusnya Jingga tidak terkejut mendengar hal tersebut, tapi kenapa hatinya terasa sakit ketika ia harus menghapus Davin dari pandangan matanya untuk selamanya?

***

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Makandolu Effy
pergi saja jingga ga usah pedulikan suamimu pasti ada yang lebih baik untuk mu dan oliver
goodnovel comment avatar
Suhartini Shakila
hmmm mantasap ceritanya carry on
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
lebih baik begitu jingga kmu pergi jauh jangan sampe klga Davin tau d mana .kmu rawat itu anak mu kmu bahagia bersama anak mu biar kn Dabin hidup dgn chelsy blum tentu bahagia dn klga itu akan mendapat karma nya .bangkrut perusahaan yg d pimpim Davin
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status