Davin mengeluarkan sebatang rokok dan menyelipkannya di bibir. Ia meraba-raba saku celana tapi tidak menemukan apa yang ia cari.
“Butuh ini?”
Davin mendongak dan mendapati sepupunya menjulurkan pemantik api ke hadapannya.
Dengan malas Davin mengambil alat tersebut dan menyalakan rokok miliknya.
“Thanks.” Davin menyerahkan pemantik api itu kembali kepada Ethan.
Ethan, yang dua tahun lebih tua dari Davin itu duduk di samping Davin dan melakukan hal yang sama dengannya.
Kedua pria tersebut adalah cucu dan pewaris mendiang Eddie Walton. Mereka nyaris tidak pernah akur semenjak kecil dan selalu berkompetisi dalam hal apapun. Ibu mereka adalah dua bersaudara.
Sebetulnya dalam surat wasiat yang Eddie tinggalkan sebelum meninggal dunia, Eddie meminta Davin atau Ethan untuk menemukan Jingga. Dan siapa di antara mereka yang menemukan Jingga lebih dulu lalu menikahinya, maka dia yang akan mendapatkan New Pacific Group, salah satu perusahaan besar yang ada di tanah air.
Ternyata Davin-lah yang lebih dulu menemukan dan menikahi Jingga, sehingga perusahaan sang kakek akan jatuh ke tangannya dan akan resmi menjadi miliknya minggu depan.
“Bukankah dia cantik?”
Mata Davin menyipit pada Ethan. “Dia? Siapa?”
Ethan mengedikkan dagu ke arah halaman rumah. Saat ini keduanya sedang duduk di balkon lantai dua. “Istrimu.”
Davin mengalihkan tatapannya ke arah yang ditunjuk Ethan. Terlihat Jingga dan Oliver baru saja keluar dari mobil yang dikemudikan sopir pribadi Davin.
Davin tidak memberi tanggapan apapun pada ucapan Ethan, selain dengusan kasar.
“Memang, kecantikannya tertutupi oleh kekurangan yang dia miliki di kakinya dan sikapnya yang pendiam,” lanjut Ethan sambil mengembuskan asap rokok dari hidungnya. “Selain dua hal itu, dia perempuan yang sempurna menurutku. Dia cantik dan menarik. Bahkan dengan Chelsea saja, aku rasa… Jingga masih jauh lebih cantik.”
Seketika, Davin menatap Ethan dengan tatapan penuh permusuhan. Rahangnya berubah mengeras.
Bagi Davin, Jingga tetaplah wanita yang buruk. Dia murahan dan telah memanfaatkan sikap lugunya untuk menipu orang lain. Andai wanita itu tidak hamil di luar nikah, mungkin penilaian Davin akan sedikit lebih baik terhadapnya.
“Di keluarga kita, hampir semua orang tahu kalau kamu nggak menaruh hati padanya,” lanjut Ethan dengan senyuman licik. “Dan banyak yang meragukan, apa Oliver benar-benar anakmu atau bukan.”
“Sebenarnya apa yang ingin kamu bicarakan?” Davin merasa tidak tertarik dengan topik pembicaraan mereka. Ia menyesap rokoknya kembali dengan perlahan.
“Aku sudah tahu, Oliver memang bukan anakmu.”
Davin mengeluarkan asap rokok dari mulutnya dan berpaling ke arah lain. “Lalu?”
“Setelah kamu mendapatkan perusahaan Kakek, kamu akan menceraikan dia. Apa aku benar?”
Rahang Davin berkedut, tanpa memberi jawaban.
Ethan terkekeh kecil. “Kalau aku menikahi dia setelah kamu menceraikannya, lalu aku mengumumkan kalau Oliver bukan anakmu, melainkan darah dagingku, kira- kira menurutmu apa yang akan terjadi?”
Seketika, Davin mengepalkan kedua belah telapak tangannya hingga rokok yang terselip di antara jemarinya nyaris hancur. Rahangnya mengeras, matanya menatap Ethan dengan tajam seolah-olah ingin menghabisi sepupunya detik ini juga.
“Jangan pernah berani mengambil milikku dariku,” desis Davin dengan tajam dan penuh penekanan. “Aku yang lebih dulu menemukan wanita itu.”
Satu sudut bibir Ethan terangkat. “Jadi? Siapa yang kamu klaim sebagai milikmu? Wanita itu? Atau perusahaan kakek?”
**
Jingga tidak pernah merasa nyaman setiap kali berada di rumah mertuanya. Dadanya selalu terasa sesak. Ia gugup dan cemas. Tidak ada satu orang pun yang akrab dengan Jingga di keluarga Davin. Mereka sama sekali tidak menyukai kehadiran Jingga.
Lucy—ibu Davin, bahkan tidak pernah menganggap Jingga sebagai menantu. Kondisi fisik Jingga yang tidak sempurna, dan asal usul keluarganya yang tidak jelas, membuat Jingga dibenci oleh seluruh anggota keluarga besar Davin yang terpandang dan dihormati orang lain.
Padahal kaki Jingga menjadi tidak sempurna pun karena Jingga menolong Eddie Walton di masa lalu yang nyaris tertabrak mobil. Sehingga Eddie pun selamat setelah ditolong Jingga. Akan tetapi, Jingga justru malah menjadi korban dalam kecelakaan tersebut.
Meski begitu, kehadiran Jingga di keluarga ini seolah-olah ia adalah sampah yang harus disingkirkan. Jingga menjadi alat bagi Davin untuk mendapatkan harta kekayaan Eddie Walton.
“Jingga, kamu sudah tahu ‘kan minggu depan Davin akan resmi menjadi pemilik NP Group?” Lucy bertanya sambil mengelus cangkir perak di tangannya, lalu menyeruput tehnya dengan anggun.
Mereka duduk di ruang tamu. Hanya ada Jingga, kedua mertuanya dan Amarylis—satu-satunya adik Davin, yang baru pulang dari London setelah menyelesaikan program sarjananya.
Jingga mengangguk. “Tahu, Tante,” jawabnya, Lucy tidak pernah mau dipanggil ‘mami’ oleh Jingga.
“Kamu tahu artinya apa?"
Itu artinya mereka akan segera bercerai. Sekali lagi Jingga mengangguk. “Tahu, Tante.”
“Bagus.” Lucy tersenyum. “Segera bereskan barang- barangmu di rumah Davin. Setelah kalian resmi bercerai, kamu bisa hidup bebas dan Davin akan segera menikahi Chelsea.”
Chelsea?
Jingga tercenung. Dadanya semakin sesak, ia tak sanggup membayangkan suaminya yang dingin itu akan hidup bahagia dengan perempuan pujaan hatinya.
Percakapan mereka terinterupsi oleh kedatangan Ethan dan Davin yang baru saja turun dari lantai dua.
“Tante, aku pulang dulu,” ucap Ethan sambil menghampiri Lucy.
“Lho? Wajah kamu, Ethan?” Lucy tampak terkejut melihat rahang Ethan yang babak belur dan ada darah di sudut bibirnya.
Ethan menyengir. “Biasa, Tante. Ada sedikit insiden kecil barusan.” Lalu ia menatap Jingga setelah menyalami Anthony dan Lucy. Ethan tersenyum pada Jingga sambil mengedipkan sebelah matanya.
Jingga mengerjap. Di satu sisi, ia bingung dengan sikap Ethan, padahal biasanya Ethan pun bersikap dingin padanya. Namun di sisi lain, Jingga merasa takut ketika berinteraksi secara intens dengan pria lain selain Davin.
“Sampai ketemu lagi, Jingga,” ucap Ethan, “dan saat kita bertemu lagi nanti, kamu akan mendengar sesuatu yang sangat mengejutkan dariku.”
“Pergi,” desis Davin sambil mendorong punggung Ethan. “Mas, yang sopan sama sepupumu.” Lucy mengingatkan.
Ethan terkekeh. “Santai saja, Tante. Aku pulang dulu, selamat malam semuanya.”
Jingga menatap kepergian Ethan dengan tatapan penuh kebingungan.
Apa maksud ucapan Ethan barusan? Kabar apa yang akan disampaikan Ethan kepadanya?
Sampai punggung Ethan menghilang di balik pintu, Jingga kembali meluruskan pandangannya ke depan.
Tanpa sengaja tatapannya dan tatapan Davin bertemu. Pria yang duduk di hadapannya itu tengah menatap Jingga dengan tajam.
Seketika itu juga, Jingga melarikan pandangannya ke arah lain, karena ia tak sanggup membalas tatapan suaminya yang selalu menyakitkan hati.
“Mas, kalian berantem?” tanya Amarylis yang baru terlihat ceria setelah kedatangan Davin. “Wajah Mas Davin juga lebam-lebam gitu. Ada apa sih? Ada masalah ya?.”
Jingga kembali menatap Davin. Benar. Ada lebam samar- samar di rahang Davin, tapi tidak terlihat begitu jelas seperti Ethan.
“Berantem dikit,” jawab Davin sembari menyandarkan punggung ke sofa. “Ini urusan laki-laki, Ary.”
“Dan aku nggak boleh tahu.” Amarylis memutar bola matanya, sudah tahu apa yang akan Davin ucapkan selanjutnya. “Kalian selalu saja nggak akur.”
Anthoni—ayah mereka, hanya diam, sama sekali tidak mengeluarkan satu patah katapun dari mulutnya.
“Mas, jadi tadi itu Mami sama Jingga lagi bahas perceraian kalian.” Lucy kembali bersuara. “Mami sudah menghubungi pengacara keluarga kita, dan besok lusa dia akan datang menemui kamu.”
Davin kembali menatap Jingga, rahangnya seketika berubah mengeras. “Mi, keputusan ada di tanganku.”
“Maksud kamu apa, Mas? Mami gak ngerti.”
Davin mengalihkan tatapannya dari Jingga ke arah Lucy. “Aku yang memutuskan, apakah aku akan menceraikan Jingga atau nggak.”
Mendengarnya, Jingga tertegun. Ia menatap suaminya dengan bingung.
“Mas, tapi ‘kan kamu sudah sepakat akan menceraikan perempuan ini secepatnya setelah acara peresmian.”
Belum sempat Davin menanggapi ucapan ibunya, seorang pelayan rumah tangga datang menghampiri mereka dan menginformasikan sesuatu kepada Lucy, yang membuat wajah Lucy seketika berubah ceria.
“Ada apa, Mi?” Anthoni akhirnya bersuara, menatap istrinya penuh tanya.
Lucy tersenyum lebar. “Mami mengundang seseorang untuk ikut bergabung makan malam dengan kita.”
Seseorang?
Perasaan Jingga semakin tidak nyaman. Entah mengapa, ia merasa seseorang yang diundang ibu mertuanya itu akan membuat suasana hati Jingga semakin kacau.
Dan benar saja dugaan Jingga.
Seorang wanita cantik datang menghampiri mereka dengan senyuman cerah secerah mentari pagi.
Chelsea?
Bukankah dia perempuan yang dicintai Davin? Calon istrinya?
***
“Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta
“Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At
Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,
Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak
Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud
“Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter