Share

7. Kabar Duka

last update Last Updated: 2024-01-22 10:59:45

Satu sudut bibir Davin terangkat.

Setelah memberi gugatan cerai, sekarang dia meneleponku? batin Davin sambil mengangkat panggilan tersebut.

“Selamat siang. Apa benar ini dengan keluarganya Jingga Thania?”

Davin menegakkan punggung saat ia mendengar suara pria di seberang telepon. Ia juga mendengar suara berisik di belakang pria itu.

“Siapa ini? Kenapa handphone istri saya ada di tangan Anda?”

“Apakah Bapak suaminya?” “Ya.”

“Kami dari kepolisian, ingin memberitahu sebuah kabar buruk yang baru saja menimpa Bu Jingga.”

Seketika, Davin menginjak rem, mobilnya berhenti mendadak. Klakson mobil di belakang meneriaki Davin saling bersahutan. Cepat-cepat Davin menepikan kendaraannya ke kiri. Jantungnya mendadak berdebar- debar.

“Taksi yang ditumpangi Bu Jingga mengalami kecelakaan. Dan Bu Jingga meninggal dunia di tempat kejadian. Lokasinya berada di….”

Ponsel Davin terjatuh. Wajahnya seketika berubah pucat pasi. Tubuhnya lemas dan bergetar.

Dan Davin merasakan dunia di sekitarnya tiba-tiba runtuh.

**

“Mas, ayo pulang. Sudah mau turun hujan lagi.” Amarylis menyentuh bahu Davin.

“Kalian duluan saja,” gumam Davin dengan suara serak yang nyaris tak terdengar. “Aku masih mau di sini.”

Tubuh Davin basah kuyup. Wajahnya kusut. Pandangannya yang kosong tertuju pada nama Jingga Thania yang terukir pada batu nisan.

“Baiklah, aku pulang.” Amarylis hendak berbalik, tapi ia mengurungkannya. Ia berjongkok dan menaruh payung hitam yang terbuka di tangannya, ke samping Davin. “Oliver ada di rumah, aku akan menjaga dia. Mas jangan khawatir.”

Davin tidak memberikan respons apapun. Tubuhnya beku dan kaku. Kepalan tangannya seakan tak bisa berhenti bergetar. Kini, ia hanya duduk bersimpuh seorang diri di depan tumpukan tanah yang masih basah. Bunga-bunga segar di atasnya mulai layu.

Davin hanya melamun, terdiam di sana entah berapa lama. Hingga akhirnya hujan kembali turun dengan deras. Seakan-akan alam pun sedih mengantar kepergian Jingga untuk selama-lamanya.

Selamanya?

Jingga pergi untuk selamanya?

Davin terus mengulang-ulang pertanyaan itu di dalam kepalanya yang kacau balau.

Davin merasa ia sedang bermimpi buruk.

Ia menyaksikan sendiri, di depan matanya, tubuh Jingga yang bagian kakinya nyaris hancur terjepit kerangka mobil yang ringsek.

Ia juga menyaksikan jasad Jingga terbujur kaku sebelum dikebumikan.

Seharusnya ia tidak perlu merasa sakit hati dan hancur, bukan? Jingga bukan orang yang penting dalam hidupnya.

Namun, kenapa respons tubuhnya seperti ini? Davin merasa kehilangan seluruh energi. Untuk menggerakkan jari jemarinya saja ia butuh tenaga lebih. Bahkan, bernapas pun rasanya enggan. Dadanya sesak. Setiap tarikan napasnya terasa begitu menyakitkan.

Pertengkarannya dengan Jingga di kantornya selalu terbayang-bayang di benak Davin. Ia tak menyangka, bahwa itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Jingga.

Andai saja Davin tahu sejak awal….

Andai saja ia tahu Jingga akan meninggal dunia….

Ia akan… meminta maaf dan bersikap lebih baik.

Di bawah hujan deras, bahu Davin berguncang, kepalanya tertunduk.

Membayangkan ia tak akan lagi melihat Jingga untuk selamanya, hati Davin seketika dirundung perasaan hampa dan nyeri.

“Maafkan aku, Jingga. Maafkan aku,” rintih Davin di sela-sela tangisannya. Bayangan-bayangan sikapnya yang selalu memperlakukan Jingga dengan buruk terus berputar-putar di kepala.

Apakah Jingga sangat membencinya?

Sampai-sampai… dia tidak memberi kesempatan sama sekali pada Davin untuk meminta maaf dan… mengutarakan perasaannya yang sesungguhnya.

**

“Pak Davin, kita sudah sampai.”

Ucapan sang sopir mengeluarkan Davin dari lamunannya. Sejak tadi ia asyik melamun, hingga tidak sadar jika mobil sudah berhenti di depan rumahnya.

Satu sudut bibir Davin terangkat. Ia mengambil tas kerjanya, tapi ia menghentikan gerakannya saat teringat sesuatu, lalu merapikan rambutnya terlebih dulu menggunakan jari jemari.

“Pak Dodi, apa penampilanku sudah rapi?”

Sang sopir menoleh ke belakang, tersenyum lebar sambil mengangkat ibu jari tangannya. “Seperti biasa, Pak Davin selalu ganteng.”

Davin mendengus pelan.

“Mungkin Pak Davin nggak sadar, tapi setiap pulang ke rumah, Pak Davin selalu menanyakan hal yang sama. Pak Davin pasti ingin selalu terlihat ganteng di depan mendiang Bu Jingga ya?” komentar Dodi sambil tetap tersenyum.

Mendiang?

Seketika Davin membeku. Rasa nyeri kembali menyerang dada.

Benar, Jingga sudah meninggalkannya satu minggu yang lalu. Wanita itu sudah tidak ada lagi di dalam rumahnya. Bahkan di planet ini sekalipun.

Selama seminggu ini, di saat seharusnya ia masih berkabung, Davin justru malah menyibukkan dirinya dengan pekerjaan di siang hari. Lalu pergi ke club malam untuk mabuk-mabukkan sampai pagi hari. Sebab, saat ia memiliki waktu senggang, pikirannya selalu dipenuhi Jingga.

Davin melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Biasanya, aroma bayi dan parfum beraroma mawar yang selalu menguar di dalam rumah setiap kali Davin pulang.

Namun, hari ini hanya tercium aroma bayi.

Tidak ada lagi yang menyambutnya ke pintu sambil berjalan dengan langkah terseok-seok. Tidak ada lagi yang mengucapkan kata “selamat datang di rumah”. Tidak ada lagi wanita bertubuh kurus yang selalu sigap melepas jas, dasi dan jam tangannya.

Isi rumah itu masih sama. Akan tetapi, perasaan Davin terasa berbeda. Ia merasa hampa dan… kehilangan.

Pulang ke rumah menjadi sesuatu yang paling menyakitkan.

“Pak, barusan Pak Ethan datang ke sini,” ucap seorang wanita paruh baya—yang bertugas mengurus rumah dan mengasuh Oliver.

Pikiran Davin masih kacau, ia belum bisa memberi keputusan terhadap Oliver, apakah anak itu akan dikirim ke panti asuhan atau tidak. Bagaimanapun, ia sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengan anak itu.

“Benarkah?” Davin memeriksa ponsel. Ternyata mati. Mungkin Ethan sempat menghubunginya tapi tidak tersambung. “Dia bilang apa?”

“Pak Ethan cuma bilang agar Pak Davin segera menghubunginya. Ada hal penting yang ingin disampaikan.”

Davin mengangguk. Sebelum masuk ke kamar, ia sempat menatap Oliver yang juga tengah menatapnya dengan tatapan polos.

Davin mengepalkan tangan. Saat menatap Oliver, ia merasa seperti sedang menatap Jingga. Dan itu membuat rasa sesak di dadanya semakin hebat.

“Apa… dia sudah makan?”

“Sudah, Pak. Tapi dari pagi Oliver rewel, sepertinya dia rindu sama Bu Jingga.”

Davin tercenung. Rindu?

Apakah… yang Davin rasakan juga sekarang adalah rasa rindu?

**

Satu minggu setelah kepergian Jingga, Davin tak pernah melewatkan malamnya tanpa alkohol. Saat ia mabuk, ia tak akan merasakan sesak di dalam dada dan rasa rindu yang tak sanggup ia bendung.

“Tadi sore kamu datang ke rumah. Ada apa? Aku rasa ada sesuatu yang sangat penting,” ujar Davin sebelum menenggak segelas wiskey—yang entah gelas ke berapa yang ia minum malam ini.

“Berhenti minum.” Ethan mengambil botol minuman di atas meja, tapi dengan cepat Davin merebutnya.

“Jangan mengaturku. Katakan saja apa urusanmu.”

Ethan menghela napas panjang. Ekspresi wajahnya tidak sekeras dan selicik sebelumnya. Ia melipat tangan di dada seraya menatap Davin dengan iba.

“Jangan lupa kalau aku nggak pernah menyukaimu.” Davin mendengus.

“Aku tahu.”

“Tapi malam ini….” Ethan kembali menghela napas. “Aku akan mengakui kesalahanku.”

“Kesalahan yang mana?” Davin tersenyum sinis. “Terlalu banyak kesalahan yang kamu buat.”

Ethan tampak tidak tergoda untuk membalas sindiran sepupunya. “Aku nggak tahu kalau Jingga akan meninggal secepat ini,” gumamnya, “Kalau tahu akhirnya akan seperti ini, sudah dari dulu aku mengatakan kebenaran yang nggak kalian ketahui.”

Davin menghentikan tangannya yang akan menuang wiskey ke dalam gelas. Ia menatap Ethan dengan kening berkerut. “Kebenaran apa maksudmu?”

“Oliver… dia… anak kandungmu.”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (43)
goodnovel comment avatar
Intan Khadijah
sangat membuat penasaran
goodnovel comment avatar
Cristin
cerita bagus tapi kenapa harus pakai koin
goodnovel comment avatar
Hegawan
ceritanya sangat menarik
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 10

    “Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 9

    “Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 8

    Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 7

    Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 6

    Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 5

    “Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status