Share

7. Kabar Duka

Satu sudut bibir Davin terangkat.

Setelah memberi gugatan cerai, sekarang dia meneleponku? batin Davin sambil mengangkat panggilan tersebut.

“Selamat siang. Apa benar ini dengan keluarganya Jingga Thania?”

Davin menegakkan punggung saat ia mendengar suara pria di seberang telepon. Ia juga mendengar suara berisik di belakang pria itu.

“Siapa ini? Kenapa handphone istri saya ada di tangan Anda?”

“Apakah Bapak suaminya?” “Ya.”

“Kami dari kepolisian, ingin memberitahu sebuah kabar buruk yang baru saja menimpa Bu Jingga.”

Seketika, Davin menginjak rem, mobilnya berhenti mendadak. Klakson mobil di belakang meneriaki Davin saling bersahutan. Cepat-cepat Davin menepikan kendaraannya ke kiri. Jantungnya mendadak berdebar- debar.

“Taksi yang ditumpangi Bu Jingga mengalami kecelakaan. Dan Bu Jingga meninggal dunia di tempat kejadian. Lokasinya berada di….”

Ponsel Davin terjatuh. Wajahnya seketika berubah pucat pasi. Tubuhnya lemas dan bergetar.

Dan Davin merasakan dunia di sekitarnya tiba-tiba runtuh.

**

“Mas, ayo pulang. Sudah mau turun hujan lagi.” Amarylis menyentuh bahu Davin.

“Kalian duluan saja,” gumam Davin dengan suara serak yang nyaris tak terdengar. “Aku masih mau di sini.”

Tubuh Davin basah kuyup. Wajahnya kusut. Pandangannya yang kosong tertuju pada nama Jingga Thania yang terukir pada batu nisan.

“Baiklah, aku pulang.” Amarylis hendak berbalik, tapi ia mengurungkannya. Ia berjongkok dan menaruh payung hitam yang terbuka di tangannya, ke samping Davin. “Oliver ada di rumah, aku akan menjaga dia. Mas jangan khawatir.”

Davin tidak memberikan respons apapun. Tubuhnya beku dan kaku. Kepalan tangannya seakan tak bisa berhenti bergetar. Kini, ia hanya duduk bersimpuh seorang diri di depan tumpukan tanah yang masih basah. Bunga-bunga segar di atasnya mulai layu.

Davin hanya melamun, terdiam di sana entah berapa lama. Hingga akhirnya hujan kembali turun dengan deras. Seakan-akan alam pun sedih mengantar kepergian Jingga untuk selama-lamanya.

Selamanya?

Jingga pergi untuk selamanya?

Davin terus mengulang-ulang pertanyaan itu di dalam kepalanya yang kacau balau.

Davin merasa ia sedang bermimpi buruk.

Ia menyaksikan sendiri, di depan matanya, tubuh Jingga yang bagian kakinya nyaris hancur terjepit kerangka mobil yang ringsek.

Ia juga menyaksikan jasad Jingga terbujur kaku sebelum dikebumikan.

Seharusnya ia tidak perlu merasa sakit hati dan hancur, bukan? Jingga bukan orang yang penting dalam hidupnya.

Namun, kenapa respons tubuhnya seperti ini? Davin merasa kehilangan seluruh energi. Untuk menggerakkan jari jemarinya saja ia butuh tenaga lebih. Bahkan, bernapas pun rasanya enggan. Dadanya sesak. Setiap tarikan napasnya terasa begitu menyakitkan.

Pertengkarannya dengan Jingga di kantornya selalu terbayang-bayang di benak Davin. Ia tak menyangka, bahwa itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Jingga.

Andai saja Davin tahu sejak awal….

Andai saja ia tahu Jingga akan meninggal dunia….

Ia akan… meminta maaf dan bersikap lebih baik.

Di bawah hujan deras, bahu Davin berguncang, kepalanya tertunduk.

Membayangkan ia tak akan lagi melihat Jingga untuk selamanya, hati Davin seketika dirundung perasaan hampa dan nyeri.

“Maafkan aku, Jingga. Maafkan aku,” rintih Davin di sela-sela tangisannya. Bayangan-bayangan sikapnya yang selalu memperlakukan Jingga dengan buruk terus berputar-putar di kepala.

Apakah Jingga sangat membencinya?

Sampai-sampai… dia tidak memberi kesempatan sama sekali pada Davin untuk meminta maaf dan… mengutarakan perasaannya yang sesungguhnya.

**

“Pak Davin, kita sudah sampai.”

Ucapan sang sopir mengeluarkan Davin dari lamunannya. Sejak tadi ia asyik melamun, hingga tidak sadar jika mobil sudah berhenti di depan rumahnya.

Satu sudut bibir Davin terangkat. Ia mengambil tas kerjanya, tapi ia menghentikan gerakannya saat teringat sesuatu, lalu merapikan rambutnya terlebih dulu menggunakan jari jemari.

“Pak Dodi, apa penampilanku sudah rapi?”

Sang sopir menoleh ke belakang, tersenyum lebar sambil mengangkat ibu jari tangannya. “Seperti biasa, Pak Davin selalu ganteng.”

Davin mendengus pelan.

“Mungkin Pak Davin nggak sadar, tapi setiap pulang ke rumah, Pak Davin selalu menanyakan hal yang sama. Pak Davin pasti ingin selalu terlihat ganteng di depan mendiang Bu Jingga ya?” komentar Dodi sambil tetap tersenyum.

Mendiang?

Seketika Davin membeku. Rasa nyeri kembali menyerang dada.

Benar, Jingga sudah meninggalkannya satu minggu yang lalu. Wanita itu sudah tidak ada lagi di dalam rumahnya. Bahkan di planet ini sekalipun.

Selama seminggu ini, di saat seharusnya ia masih berkabung, Davin justru malah menyibukkan dirinya dengan pekerjaan di siang hari. Lalu pergi ke club malam untuk mabuk-mabukkan sampai pagi hari. Sebab, saat ia memiliki waktu senggang, pikirannya selalu dipenuhi Jingga.

Davin melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Biasanya, aroma bayi dan parfum beraroma mawar yang selalu menguar di dalam rumah setiap kali Davin pulang.

Namun, hari ini hanya tercium aroma bayi.

Tidak ada lagi yang menyambutnya ke pintu sambil berjalan dengan langkah terseok-seok. Tidak ada lagi yang mengucapkan kata “selamat datang di rumah”. Tidak ada lagi wanita bertubuh kurus yang selalu sigap melepas jas, dasi dan jam tangannya.

Isi rumah itu masih sama. Akan tetapi, perasaan Davin terasa berbeda. Ia merasa hampa dan… kehilangan.

Pulang ke rumah menjadi sesuatu yang paling menyakitkan.

“Pak, barusan Pak Ethan datang ke sini,” ucap seorang wanita paruh baya—yang bertugas mengurus rumah dan mengasuh Oliver.

Pikiran Davin masih kacau, ia belum bisa memberi keputusan terhadap Oliver, apakah anak itu akan dikirim ke panti asuhan atau tidak. Bagaimanapun, ia sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengan anak itu.

“Benarkah?” Davin memeriksa ponsel. Ternyata mati. Mungkin Ethan sempat menghubunginya tapi tidak tersambung. “Dia bilang apa?”

“Pak Ethan cuma bilang agar Pak Davin segera menghubunginya. Ada hal penting yang ingin disampaikan.”

Davin mengangguk. Sebelum masuk ke kamar, ia sempat menatap Oliver yang juga tengah menatapnya dengan tatapan polos.

Davin mengepalkan tangan. Saat menatap Oliver, ia merasa seperti sedang menatap Jingga. Dan itu membuat rasa sesak di dadanya semakin hebat.

“Apa… dia sudah makan?”

“Sudah, Pak. Tapi dari pagi Oliver rewel, sepertinya dia rindu sama Bu Jingga.”

Davin tercenung. Rindu?

Apakah… yang Davin rasakan juga sekarang adalah rasa rindu?

**

Satu minggu setelah kepergian Jingga, Davin tak pernah melewatkan malamnya tanpa alkohol. Saat ia mabuk, ia tak akan merasakan sesak di dalam dada dan rasa rindu yang tak sanggup ia bendung.

“Tadi sore kamu datang ke rumah. Ada apa? Aku rasa ada sesuatu yang sangat penting,” ujar Davin sebelum menenggak segelas wiskey—yang entah gelas ke berapa yang ia minum malam ini.

“Berhenti minum.” Ethan mengambil botol minuman di atas meja, tapi dengan cepat Davin merebutnya.

“Jangan mengaturku. Katakan saja apa urusanmu.”

Ethan menghela napas panjang. Ekspresi wajahnya tidak sekeras dan selicik sebelumnya. Ia melipat tangan di dada seraya menatap Davin dengan iba.

“Jangan lupa kalau aku nggak pernah menyukaimu.” Davin mendengus.

“Aku tahu.”

“Tapi malam ini….” Ethan kembali menghela napas. “Aku akan mengakui kesalahanku.”

“Kesalahan yang mana?” Davin tersenyum sinis. “Terlalu banyak kesalahan yang kamu buat.”

Ethan tampak tidak tergoda untuk membalas sindiran sepupunya. “Aku nggak tahu kalau Jingga akan meninggal secepat ini,” gumamnya, “Kalau tahu akhirnya akan seperti ini, sudah dari dulu aku mengatakan kebenaran yang nggak kalian ketahui.”

Davin menghentikan tangannya yang akan menuang wiskey ke dalam gelas. Ia menatap Ethan dengan kening berkerut. “Kebenaran apa maksudmu?”

“Oliver… dia… anak kandungmu.”

***

Komen (33)
goodnovel comment avatar
Santi
ceritanya sedih banget
goodnovel comment avatar
Ririn Satkwantono
knp jingga dibikin pergiiiiiii............
goodnovel comment avatar
Sinar Berkah
sedihhhhh bgt ceritanya, gmn kelanjutannya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status