Frisca sadar sejak tadi ia tidak mendapati Daniel saat dirinya bangun dari tidurnya, bahkan Frisca sudah mencoba menghubunginya. "Ke mana Daniel, kenapa kalau dia pergi dia tidak menghubungiku lebih dulu?" Frisca berdiri di balkon kamarnya menggenggam ponsel miliknya sejak tadi. Gadis itu menatap langit malam yang gelap dan jam menunjukkan pukul tepat tengah malam. Tidak biasanya Daniel akan pergi sampai tengah malam dia belum pulang. Frisca kian cemas dan takut kalau terjadi hal yang buruk pada sang suami. "Ya Tuhan, bagaimana kalau terjadi hal buruk pada suamiku? Apa yang harus aku lakukan sekarang ini?" Ponsel yang Frisca genggam kini berdering, nampak sebuah nomor tanpa nama yang menghubunginya. "Siapa ini?" Frisca takut kalau itu hanya nomor orang yang menjahatinya. "Angkat tidak ya?" Beberapa detik lamanya Frisca menimbang ingin menjawab panggilan itu atau tidak sebelum akhirnya ia memberanikan dirinya menjawab panggilan tersebut. "Ha... Halo? Ini siap...." "Halo Nyonya,
Dante mengajak Daniel ke rumahnya, ia ingin mengambil beberapa file penting yang berada dalam laptopnya yang berhubungan dengan keberadaan Brandon, mantan Frisca. Mereka baru saja sampai di rumah Daniel dan masuk ke dalam rumah, di sana rupanya Tarisa dan Johan masih berada di ruang keluarga. "Dante, Daniel... Kalian mau ke mana?" tanya Tarisa yang terkejut dengan kedatangan mereka berdua. "Ada kabar buruk Ma," ujar Dante mengusap wajahnya yang menahan marah. Tarisa dan Johan langsung bangkit dari duduknya. Mamanya langsung paham dan ia terlihat sangat cemas seketika. "Ada apa? Kenapa dengan Frisca? Di mana Frisca saat ini, Daniel?" tanya Tarisa mendekati mereka berdua. Daniel memejamkan kedua matanya dan mengusap wajahnya frustasi. "Frisca diculik Ma," jawab Daniel. "Di... Diculik?!" teriak Tarisa membekam mulutnya dan kedua matanya langsung berkaca-kaca. "Ka... Kalian pasti hanya bercanda saja kan? Kalian pasti membohongi Mama saja kan?!" Dante dan Daniel hanya diam menunjuk
"Kak Dante... Kenapa dia tidak mengatakan hal ini dari awal? Kenapa dia harus menyembunyikan ini semua dariku?"Frisca duduk meringkuk memeluk kedua lututnya dia atas tumpukan jerami di dalam sebuah ruangan pengap hanya dengan satu jendela kaca kecil dan pintu yang terkunci. Tatapan Frisca begitu nanar menelisik ruangan gelap yang membuatnya jengah. Perlahan ia bangkit mendekati jendela kaca kecil di sudut ruangan. Frisca berdiri di sana menatap ke arah luar yang sangat dingin. Pemandangan laut yang indah, rupanya saat ini ia dikurung di dalam tempat ketinggian. Tidak tahu mana utara dan selatan saat gelap, jam berapa sekarang pun Frisca juga tidak tahu. "Mungkin kalau Kakak memberitahuku, aku tidak akan percaya padanya dan hanya akan membuat aku marah. Jadi dia melakukan hal ini," lirih Frisca mencoba berpikir terbuka. Frisca tertunduk menatap cincin pernikahannya dengan Daniel. Air matanya terjatuh, ia merasa sangat-sangat patah hati dengan apa yang kini ia rasakan. "Daniel to
"Frisca! Kau ada di mana?! Frisca!" Suara teriakan yang sangat familiar terdengar di telinga Frisca usai ia berteriak frustrasi. Mana mungkin Frisca salah mendengar suara Daniel yang begitu ia hafal. "Daniel," lirihnya langsung berusaha berdiri sekuat tenaga melangkah mendekati pintu berwarna hitam di ujung ruangan itu. "Daniel... Aku di sini! Daniel!" Kedua tangan Frisca menarik-narik gagang pintu yang terkunci. Rasa ingin menjerit tertahan di tenggorokannya yang begitu serik akibat terlalu banyak menangis. "Daniel, aku di sini," lirih Frisca lagi. Pandangannya memburam dan kepalanya berdenyut sakit. "Ya Tuhan, tunjukkan pada Daniel kalau aku berada di sini, kumohon." Tubuh Frisca limbung terduduk lemas, wajahnya berkeringat dingin, wajah dan dress putih yang dipakainya kini sudah sangat kotor dan rambutnya yang sudah berantakan. Di luar Daniel berlari menaiki tangga di dalam vila yang sangat gelap gulita. Langkah demi langkah ia berhati-hati, ketiga temannya mencari di tiap-ti
Kesunyian kembali di dengar oleh Frisca juga udara hangat menyelimuti, berbeda halnya dengan saat ia berada di dalam ruangan gelap yang membutanya takut. Kepalanya masih berdenyut sakit namun matanya memaksa ingin terbuka dan memastikan apa ia masih berada dalam neraka kemarin atau di tempat lain. "Eungh...." Frisca melenguh lirih menggerakkan jemari tangannya yang terasa membeku. Kedua matanya terbuka sayu-sayu menatap ruangan yang sangat terang dan seseorang meletakkan kepalanya di atas telapak tangan kirinya. "Daniel," lirih Frisca mengangkat tangan kanannya dan mengusap rambut hitam suaminya. "Daniel, ini kau...." Air mata tidak lagi terbendung di pelupuk mata gadis itu menyadari saat ini ia sudah bersama dengan suaminya. Usapan lembut jemari tangan Frisca sukses membangunkan Daniel yang baru beberapa menit saja tertidur. Laki-laki itu mengangkat kepalanya dan melebarkan kedua matanya tahu Frisca sudah bangun. "Sayang, kau sudah bangun?!" pekik Daniel terkejut dan panik m
Kondisi Frisca sudah membaik dan berangsur pulih hari demi hari. Sang suami juga terus setia menemaninya setiap hari. Laki-laki hebat yang paling Frisca cintai, Daniel bahkan tidak pergi ke kantor dan kampus demi menemani agar istri kecilnya tidak kesepian. "Kak Daniel, Frisca ingin pulang," lirih Frisca yang terbaring menatap langit-langit kamar rawat inapnya. "Kenapa pulang, Sayang? Kondisimu belum sembuh betul," jawab Daniel mengusap punggung tangan Frisca dan mengecupnya sesekali. Jawaban Daniel selalu sama membuat Frisca bosan. Gadis itu membalikkan badannya menatap Daniel dengan bibir yang mengerucut. "Kalau tidak boleh pulang juga tidak papa. Tapi Frisca akan minta Kak Dante saja, tidak ada yang tidak akan dituruti oleh Kakakku yang paling baik sendiri, Kak Dante." Frisca tersenyum tipis membayangkan Kakaknya yang akan membawanya pulang. Daniel meletakkan telapak tangan Frisca di pipinya. "Dante sibuk hari ini. Jadi kau hanya bersamaku saja." "Membosankan. Bersama orang
Helaan napas berat dari bibir Frisca terdengar gusar ketika ia berusaha menyingkirkan lengan kekar Daniel yang melilit pinggangnya dengan sangat erat. Setiap pagi, Frisca selalu berusaha keras menyingkirkan lengan suaminya. Entahlah, mungkin dia takut Frisca akan kabur. Satu kakinya pun menindih kaki Frisca, dalam tidur pun dia masih sangat posesif. "Kak Daniel, lepaskan sebentar...." "Heem, diamlah dan kembali tidur. Kau baru pulih, Sayang," jawab Daniel dengan suara seraknya. Ia malah meliuk mendekatkan wajahnya ke leher jenjang sang istri dan meninggalkan kecupan di sana. Frisca yang dulunya geli dengan kecupan di leher yang selalu Daniel lakukan kini pun ia merasa kalau dirinya sudah terbiasa. "Frisca ingin membuatkan sarapan buat Kak Daniel, bukannya hari ini suamiku harus ke kantor ya?" Frisca menusuk-nusuk pipi Daniel dengan jemari telunjuknya yang lentik. "Tidak. Aku malas, aku ingin berduaan denganmu. Kita bisa mencicil membuat baby, misalnya." Daniel meletakkan kepalan
Frisca menutup pintu rumahnya setelah beberapa detik Leon pergi. Ia duduk di sofa ruang tamu memeluk boneka Unicorn yang laki-laki tadi belikan untuknya. Dalam kepalanya penuh kebimbangan apa Leon benar-benar menyesali perbuatannya atau hanya akal-akalannya saja. "I Love You, istri kecil." Bisikan mesra di telinga Frisca sukses membuat tubuhnya terjingkat. Begitu Frisca menoleh ke belakang, ia menatap sosok Daniel yang berdiri di belakangnya tersenyum manis. "Ka... Kak Daniel, sejak kapan di sini?" tanya Frisca mengerjapkan kedua matanya. Daniel merebut boneka Unicorn di tangan Frisca dan melemparkannya ke sofa seberang. Ia mendekati istrinya dan mengulurkan tangannya menarik pinggang Frisca untuk lebih dekat dengannya. Kedua mata Daniel memperhatikan lekat-lekat wajah cantik istrinya. "Kebanyakan melamun sampai kau tidak sadar aku pulang, hem?" Daniel tertunduk dengan tubuh membungkuk ia mengecupi pipi, rahang, hingga leher Frisca yang khas beraroma mawar. "Sudah, nanti ketah