Seharian libur membuat Frisca jenuh di rumah dan meminta pada suaminya untuk mengantarkannya pulang ke rumah Mamanya, sebelum Daniel pergi ada janji dengan rekan kerjanya. Di rumah orang tuanya, Frisca yang baru saja masuk ke dalam rumah langsung mencari Kakaknya. "Mama," panggil Frisca saat ia disambut sang Mama. "Loh, Daniel mana, Sayang?" tanya Tarisa menatap Frisca. "Kak Daniel ada janji sama temannya, makanya Frisca minta dianterin ke sini aja," jawab Frisca meletakkan tasnya di sofa. Gadis itu menoleh ke kanan dan kiri menatap seisi rumah yang nampak sangat sepi. Gadis itu mengembuskan napasnya pelan mencari-cari Kakaknya. "Kakak ada Ma?" tanya Frisca berjalan perlahan naik ke lantai dua. "Ada, Kak Dante belum bangun." Senyuman Frisca mengembang begitu mendengar apa yang Mamanya katakan kalau Dante belum bangun. Ia langsung berlari ke lantai dua dan membuka pintu kamar sang Kakak. Di sana nampak Dante bergelung di bawah selimut tebal abu-abunya. Frisca menutup pintu per
"Daniel sama Papa mau pergi ke Belanda, sementaranya kamu di rumah sama Mama dan Kakakmu!" Frisca merajuk, ia tidak mau ditinggal oleh Daniel. Entah kenapa, rasanya tidak mau saja ia jauh-jauh dari suaminya. Bahkan Frisca sampai marah-marah andainya Daniel tidak meminta bantuan pada Papa mertuanya untuk menasehati Frisca. "Tapi kan Pa, sama aja satu minggu itu lama," cicit Frisca duduk dalam rangkulan Daniel. "Huh, alay!" sahut Dante yang baru saja muncul dari lantai dua. "Tenang aja, kalau lebih dari satu Minggu nanti kita susulin mereka! Jalan kaki!" Frisca mengerutkan keningnya. "Emang sampai?" "Ya satu abad baru sampai," jawab Dante. "Isshhh Kak Dante!" teriak Frisca hendak melemparkan bantal yang ia bawa pada sang Kakak. Daniel menahan tangan sang istri dan laki-laki itu mengembuskan napasnya pelan. Ditatapnya wajah kesal Frisca sebelum ia tersenyum dan memeluknya dengan tenang. Tatapan mata kedua orang tua Frisca tidak bisa berbohong kalau mereka merasakan apa yang putr
"Jangan nakal kalau di rumah Mama, jangan ganggu Dante terus. Istirahat yang cukup, jangan makan sembarangan, jangan nakal saat di kampus, dan pulang tepat waktu. Satu lagi, jangan lupa selalu hubungi aku." Frisca memeluk Daniel erat-erat dan baru kali ini ia tidak protes saat Daniel memberikannya banyak peraturan baru selama satu minggu Daniel akan pergi. "Iya, tapi Kak Daniel jangan lama-lama, jangan tambah hari. Kalau Papaku pulang, Kakak juga harus pulang! Ngerti!" seru gadis itu mendongak menatap lekat wajah suaminya. "Iya Sayang...." Daniel mengecup kening Frisca dan memeluknya dengan erat. "Heleh, alay banget kek pengantin baru aja! Istri manja-manja mending lempar aja ke selokan, Niel!" Suara Dante membuat Frisca langsung menoleh dan memasang wajah sebal pada sang Kakak. Sosok Dante yang berdiri bersama dengan Tarisa dan juga Johan yang sudah bersiap. Kedua orang tua Frisca hanya tersenyum saja melihat tingkah manja putri bungsu mereka pada suaminya. "Sudah, jangan mera
Frisca diam di dalam kamar mandi, ia duduk menanti-nanti dengan resah hasil test kehamilan yang ia lakukan saat ini. Bagaimana hasilnya, ia masih takut-takut untuk menunggu. Gadis itu tidak tahu pasti apa Daniel akan benar-benar menerima kehamilannya nanti atau tidak. Meskipun suaminya menerima, tapi kalau tidak ia mendengar sendiri dari bibir suaminya, Frisca tidak akan tenang. "Kak Daniel bagaimana ya?" lirih Frisca cemberut. Gedoran pintu kamar mandi membuat tubuh Frisca seketika tersentak kaget. "Dek! Sudah belum? Kepo nih!" teriak Dante dari luar. Helaan napas terdengar dari bibir Frisca, gadis itu mendengus pelan. "Iya sebentar!" balas Frisca. Frisca pun mengambil test kehamilan kecil di hadapannya. Ia membaliknya pelan-pelan dan kedua mata Frisca melebar melihat garis merah berjajar dua di sana. Detik itu juga kepalanya seperti tersiram air es. Frisca memeluk benda itu dan ia tersenyum manis. Rasa bahagia menjalar di hatinya saat ini. "Aku akan dipanggil Mama?" lirih F
Malam ini Frisca tidak mau tidur, ia duduk di teras depan rumah menunggu Daniel pulang. Saat suaminya bilang padanya kalau akan sampai di rumah beberapa jam lagi, di situlah Frisca tidak mau masuk ke dalam rumah dan sukses membuat Kakaknya uring-uringan. Dante sejak tadi memukul lengan, wajahnya yang digigit nyamuk. Herannya adiknya masih tetap santai saja duduk di kursi teras menutup tubuhnya dengan selimut. "Ayolah dek masuk ke dalam rumah, darahku habis lama-lama karena nyamuk!" pekik Dante dengan kesal menatap adiknya. Gelengan kepala diberikan oleh sang adik. Frisca menoleh menatap sang Kakak. "Dermawan sedikit kek sama sesama makhluk!" sentak Frisca pada sang Kakak. Kedua mata Dante melebar seketika. "Heh, kalau saja Mama yang tidak memerintahku, gue kunciin juga lo di luar!" pekik Dante mengarahkan kepalan tangannya pada Frisca. Gadis itu kembali cemberut, dan duduk diam di sana. Dante duduk di teras menyandarkan kepalanya di pilar seraya mengomel tak sudah-sudah. Di dal
Pagi ini Daniel dan Frisca sudah kembali ke rumah mereka. Frisca tidak semangat hari ini, permintaannya pada Daniel tidak dituruti entah apa alasannya Daniel tidak mau menerima permintaan Frisca untuk menghubungi keluarga Daniel atas kabar Kehamilan Frisca. Gadis itu duduk lesu di dalam kamarnya, ia memeluk bantal dengan kakinya yang membujur lurus di atas ranjang. "Kenapa diam saja?" tanya Daniel mendekati istrinya membawa mangkuk kecil berisi buah yang sudah dipotong dadu kecil-kecil. "Ini, aku bawakan buah apel dan pear. Tadi katanya mau makan buah." Kedua mata Frisca menatap isi mangkuk itu, namun ia tetap menggelengkan kepalanya. "Tidak mau," jawabnya mendorong pelan mangkuk kecil di hadapannya. "Tidak mau buah." Daniel mengembuskan napasnya pelan, ia mengusap pucuk kepala sang istri dan mengecup pipi gembilnya."Kenapa istriku rewel sekali? Apa ada yang lainnya kau inginkan, hem?" Daniel menarik selimut menutupi kaki istrinya. Frisca mengulurkan kedua tangannya dan meminta
Seperti janjinya kalau Daniel akan membawa Frisca ke klinik untuk mengecek dan selalu memantau kondisinya dan juga janinnya. Merek berdua kini berada di sebuah klinik khusus ibu hamil dan anak kecil milik salah satu teman Mamanya Frisca. Daniel mencarikan dokter terbaik dan benar-benar ia percaya untuk memantau kondisi Frisca. "Jadi bagaimana kondisi istri saya dan janinnya, Tan?" tanya Daniel pada dokter perempuan yang kini mendekatinya. "Tidak ada masalah, Niel. Semuanya sehat, mungkin kalau mual-mual, pusing, dan lemas di awal kehamilan itu sudah hal yang wajar, untuk yang lainnya pada Frisca tidak ada masalah," jelas dokter itu dengan begitu melegakan hati Daniel. "Syukurlah, aku bisa sedikit bernapas," ujar Frisca tiba-tiba. "Bernapas? Memangnya kenapa, Frisca?" tanya Dokter Sasha seraya tersenyum manis. Frisca cemberut. "Tante tidak tahu sih... Suamiku itu sangat Posesif, seram sekali pokoknya," jawab Frisca. Sementara Daniel yang mendengarnya pun hanya tersenyum. "Aku Po
Pagi ini Frisca bersiap pergi ke kampus. Suaminya masih tidur pun Frisca biarkan saja, tidak biasanya juga Daniel bangun lambat dari pada dirinya, atau mungkin Frisca saja yang kini menjadi sangat rajin. Gadis itu baru saja bersiap, ia menatap Daniel yang terlihat begitu lelah. Frisca pun mendekatinya dan mengusap kening Daniel dengan lembut. 'Dia pasti lelah, sudah mengurusku, mengurus kantor, belum lagi di kampus, dan banyak lagi. Kak Daniel sangat hebat, aku sebagai pendampingnya kenapa tidak bisa mengimbangi sifatnya yang sangat tangguh seperti ini,' batin Frisca sedikit kecewa pada dirinya sendiri. "Kak Daniel," panggil Frisca pelan, ia mengusap pipi Daniel dan mengecupnya. "Kak, bangun sebentar saja. Kak Daniel ke kampus atau tidak?" "Tidak Sayang, aku lelah sekali. Kau juga jangan ke kampus, ayo tidur saja," ajak Daniel malah menarik lengan Frisca ke dalam pelukannya. Kedua mata Frisca sontak melebar dengan tingkah Daniel yang kini malah berubah menjadi sangat manja padany