"Saya duda."
Byurrr~"Astaga, Reina!" Pekik Tara yang langsung mengambil tisu untuk mengusap wajahnya. "Kok main nyembur aja?!"Rendi malah memejamkan mata. Menghela napas, lalu memandang jalanan dengan tangan kanan yang meraih sapu tangan.Reina membuka mulut lebar-lebar. Dari sekian tempat yang ada di dunia ini, mengapa dia harus bertemu dengan Om Ganteng di restoran yang dijejaki bersama dua sahabatnya itu?Gadis itu menggeleng, menepuk pipinya sendiri. "Aduh!" Meringis, Reina langsung menatap tajam Om Ganteng. Teringat dengan perkataan laki-laki itu yang berhasil mengejutkannya tadi.Dia duda??? batinnya memekik heboh."Kalian teman-temannya Reina? Silakan pesan lagi, tidak perlu membayar. Ini restoran saya." Ucap Om Duda yang berhasil mengejutkan tiga manusia di hadapannya itu."Makasih, Om. Om namanya siapa?"Alex.""Alexander Graham Bell?" tanya Tara, menampikkan tawa kecilnya.Tara langsung mendapat tepukan dari Reina dan Rendi secara bersamaan. Perempuan itu berseru, lalu melayangkan tatapan tajam yang membuat keduanya jadi menciut. Melihat interaksi tiga sahabat itu, Alex tersenyum simpul."Alexander-nya sama. Tapi bagian belakangnya berbeda." Tanpa aba-aba, Alex duduk di samping Reina. Gadis itu melotot, tapi tidak digubris."Jadi, ini yang kamu maksud, Re?" tanya Rendi memancing emosi. "Om-om yang katanya dijodohkan sama kamu?"Reina memberikan tatapan tajam. Namun bagi Rendi dan Tara, tatapan tajamnya tidak mempan. Dia tidak bisa berlagak galak. Di mata dua sahabatnya, Reina itu menggemaskan. Makanya, banyak sekali yang naksir karena kegalakan Reina tidak memberikan efek apa-apa pada wajah cantiknya."Yah ...." Alex memiringkan kepala. "Saya memang om-om. Kenapa?"Tara menggeleng secepat kilat. "Enggak apa-apa kok! Tapi apakah saya sama Rendi harus panggil Om juga?""Kalau kalian nggak masalah. Saya juga sadar umur saya."Alex memberikan senyum kepada dua orang di hadapannya. Namun, tangannya perlahan bergerak ke punggung gadis di sampingnya, menepuk-nepuknya seolah hal itu sudah biasa dilakukan.Reina menggulung matanya setelah menyaksikan manik kedua sahabatnya membesar, memberikan kode kepadanya yang seolah berkata, "Ini dia orangnya! Kenapa kamu ragu?"Reina menjadi heran, kenapa justru mereka yang antusias? Pasalnya dua orang itu tak pernah mendukung hubungannya dengan Andre, malah dengan om-om itu mereka tenang dan setuju? Rasanya Reina mau mencari teman baru yang mampu menghargai perasaannya saja."Kalian berteman sejak kapan?" tanya Alex setelah sebuah pesanan yang tidak mereka pesan datang dengan sendirinya. Tara dan Rendi menerima makanan tersebut tanpa keraguan sedikit pun. Sejenak, Reina jadi malu sendiri. Punya dua sahabat yang selera makannya luar biasa, juga tidak tau malu."Kami sudah berteman sejak kuliah sih! Memang kelihatannya kayak baru temenan, tapi kami nyambung sekali di segala situasi. Alhasil, jadi keterusan bareng-bareng sampai sekarang." Jelas Rendi, yang lebih pandai mengatur kata-kata daripada Tara atau Reina."Ah, begitu. Kerja di mana aja kalian? Saya penasaran, sekalian mau lebih dekat sama sahabatnya calon istri saya."Reina mendelik tak suka. Sedangkan Tara dan Rendi sudah senyam-senyum menyebalkan. Reina ingin sekali menonjok keduanya sampai terbang ke Mars."Saya supervisor, Bang. Kalau Tara ini interpreter. Oh iya, tolong dimaklumi kalau kami sering merusuh sama Reina. Kami udah kayak Three Musketeers. Ke mana-mana sering bareng." Sambung Rendi. Mendadak, Alex tersenyum, merasa terkesan dengan perbuatan kedua sahabat calon istrinya itu.Tara menyahut, "Tapi kami tetap tau diri kok! Kalau kalian berdua butuh waktu, kami bakal undur diri."Alex tertawa pelan. Di sampingnya, Reina memberengut. Dia merasa diasingkan. Alex, Rendi, dan Tara seperti sahabat saja. Padahal baru bertemu dan berkenalan."Kamu nggak tambah makanan?" tanya Alex dengan suara beratnya yang tau-tau saja membuat Reina merinding.Reina berdecak kesal, "Ck! Aku pulang dululah!""Saya an—""Stop!"Reina memberanikan diri untuk menatap Alex. Dalam hati, dia kelimpungam lantaran tidak mengira bahwa Om Duda di depannya itu cukup memikat dan menggoda. Reina menelan ludahnya susah payah. Jangan sampai terlihat bahwa dirinya jatuh ke pesona Alex dengan begitu mudahnya."Saya pulang sendiri, terima kasih atas itikad baiknya."Alex mengangguk. Tidak mau berbuat lebih, malah kembali duduk dan mengobrol dengan dua sahabatnya yang biasa-biasa saja.Reina tak memercayai penglihatannya. Bukannya tadi Alex mau menawarkan diri untuk mengantarnya pulang? Biasanya, bukannya laki-laki akan berusaha lagi saat penolakan pertama ya?Lantas, kenapa laki-laki itu malah nimbrung bersama Tara dan Rendi?"Ck!"Kesal, Reina langsung mengambil ponsel dan berniat untuk menghubungi seseorang yang sudah janji akan menjemputnya sekaligus kencan."Halo, Sayang? Bisa jemput? Aku udah selesai nih!"•••••Sebuah mobil merah dengan atap terbuka baru saja meninggalkan restoran tempat Reina dan dua sahabatnya makan. Sepertinya Reina sengaja menyuruh Andre untuk menjemputnya tepat di hadapan Alex. Tentu saja untuk membuktikan bahwa hatinya terpaut pada Andre, bukan Alex.Dikira bakal marah, mereka bertiga malah kompak melambaikan tangan ke arah Reina. Andre mengernyit melihat eksitensi laki-laki baru yang duduk bersama Tara dan Rendi."Itu siapa? Aku nggak pernah lihat dia kan?" tanya Andre menyelidik."Nggak usah dipikirin, Ndre. Orang nggak penting itu." Reina tersenyum manis. "Jadi? Kita mau kencan ke mana?"Sementara itu, Tara melahap udang keju dengan ketidaksukaan pada sosok Andre yang seenaknya saja merangkul Reina saat hendak memasuki mobil tadi."Itu pacarnya?" tanya Alex.Tara dan Rendi mengangguk malas."Maaf ya, Bang. Reina masih dijampi-jampi sama Andre, makanya nggak bisa melihat potensi yang ada dalam diri Bang Alex." Ucap Rendi."Potensi?" tanya Alex, alisnya menaut, merasa bingung dengan apa yang disebutkan Rendi.Tara meringis, "Maksudnya, kalau memang permintaan terakhirnya Om Hindrawan adalah menjadikan Bang Alex sebagai suaminya Reina, ya jelas ada alasannya kan? Biarpun kami bukan anaknya Om Hindrawan, tapi kami tau pasti Om Hindrawan nggak bakalan salah pilih kan?"Alex termangu. Entah karena kejujuran yang dilayangkan oleh sahabat Reina, atau kenyataan bahwa dirinya memang bukan seseorang yang salah di mata almarhum Hindrawan, Alex kesulitan berkata-kata."Tenang aja, Bang." Rendi mengulurkan kartu namanya. "Kalau mau coba buat mencuri hatinya Reina, kami ada sebagai bala bantuan."Alex menyimpan kartu nama Tara dan Rendi. "Terima kasih atas bantuan kalian. Tapi saya punya cara sendiri untuk menghadapi sahabat kalian yang satu itu.""Oh iya?" tanya Tara sambil mencomot dua udang keju lagi. "Bagus dong! Kami juga senang kalau Reina bisa lolos dari jeratnya Si Monyet.""Si Monyet?""Andre, Bang. Pacarnya Reina yang tadi jemput itu. Kami sendiri nggak suka sama Andre karena kayaknya cuma bisa bikin Reina sakit hati aja." Balas Rendi.Alex manggut-manggut, memandang dua sahabat Reina secara bergantian. Aneh sekali. Padahal tadi dia cuma sekadar menyapa, tapi langsung dekat. Keduanya juga memberi lampu hijau atas perjodohan berlandaskan permintaan Hindrawan itu.Di usianya yang menjelang empat puluhan, Alex terkejut bahwa dirinya masih bisa bergaul dengan Tara dan Rendi.Satu lagi, sepertinya dia harus mengatur siasat agar Reina menyetujui perjodohan mereka secepat mungkin.Sebab dia memiliki satu tujuan pula."Terima kasih. Kalian nggak perlu khawatir, saya nggak akan menyakiti hati sahabat kalian itu."•••••Empat tahun setelah kelahiran Nayra, Alex dan Reina mendapatkan kabar bahwa mereka sedang mengandung anak kedua. Alex yang sudah dilanda bahagia, kian senang saat mendapati istri manjanya itu akan memberikan anak lagi.Ah, tapi tidak juga. Sekarang Reina sudah tak semanja dulu. Sejak melahirkan Nayra, rasanya Reina menjadi sosok lain yang mampu menghangatkan hati orang hanya dengan melihatnya saja. Ibu. Ya—Reina telah berubah menjadi seorang ibu yang secara perlahan meningkatkan kepedulian serta tanggungjawabnya untuk merawat dan membesarkan bayi mungil mereka.Pada beberapa kesempatan, Alex terpana. Dia seperti menikahi sosok Reina yang berbeda dari yang sebelumnya. Sebab Reina yang dilihatnya setiap hari jelas berbeda dari Reina yang biasa bergelayut manja padanya. Sempat pada beberapa malam, Alex mendapati istrinya itu menangis usai menidurkan Nayra. Detik itu, Alex mencari apa saja yang dialami seorang ibu ketika baru melahirkan. Ternyata, ada yang dinamakan baby blues. Pada satu
Pagi hari yang damai, Reina sedang merajut di teras rumahnya. Alex telah pergi ke kantor setengah jam yang lalu, maka Reina memanfaatkan waktu tersebut untuk meningkatkan keahlian merajutnya sebelum berkontak dengan Felia dari rumah konveksi.Kehamilannya telah memasuki minggu ke-8. Belakangan Reina jadi susah bergerak, lebih mudah kelelahan. Maka dari itu, Reina memutuskan untuk duduk kalem sembari merajut sesuatu yang bisa mendistraksi pikirannya dari hal-hal buruk.Melupakan ponselnya yang tertinggal di kamar, Reina beranjak untuk meminta Alex memberikan benang rajut yang baru. Kalau tidak diingatkan sekarang, atau paling tidak menyisipkan pesan, suaminya itu akan lupa. Kesibukan yang melanda perusahaan turunan dari sang papa sedang kelewat sibuk. Bahkan sudah dua minggu ini, Alex pulang larut malam."Di mana ya?" Reina mengedar pandang sesampainya di kamar. Terakhir kali, dia menyembunyikan ponsel di salah satu laci nakas samping tempat tidur, sebab tak mau diganggu saat sedang be
Kejutan yang dipersiapkan Alex bukan hanya yang Reina alami seharian ini saja. Melainkan, suaminya itu tengah menyodorkan layar ponselnya yang memperlihatkan pembayaran dua buah tiket penerbangan ke Singapura. Reina menganga sehingga Alex harus menutup mulut istrinya itu secara perlahan. "Mas? Tadinya aku yang mau kasih kejutan, tapi malah Mas yang kasih kejutan dulu ke aku." Reina memindai tiap kata yang tertera pada layar ponsel sang suami. "Kok mendadak sih, Mas?"Alex mengendikkan bahu. Walaupun tidak bisa fokus lantaran penampilan Reina saat ini terlalu menggoda, dia berusaha untuk menjawab. "Benar kata Ibu, Reina. Ada benarnya kalau kita berbulan madu selagi perut kamu belum terlalu besar. Sebenarnya Mas nggak masalah, kalau kamu mau berbulan madu saat menginjak trimester ketiga. Cuma takutnya Mas yang merasa nyaman dengan bulan madu itu, tapi enggak buat kamu."Reina mengelus perutnya yang berada di balik balutan gaun malam tipis—omong-omong, dia baru membelinya sore ini denga
Reina tidak pernah ingat jika suaminya itu memiliki spasi tanpa atap pada ruangan khusus yang dimiliki di lantai dua. Ciuman keduanya yang berada di tangga harus terputus, sebab Tara melihat dari kejauhan dan berseru akan melemparkan piring kalau tidak mencari ruang terlebih dulu untuk melakukannya."Mas?" Reina berhenti melangkah. "Ini semua, Mas yang mempersiapkannya?"Alex mengendikkan bahu. "Enggak tau ya? Memangnya Mas bisa mempersiapkan semua ini di sela kesibukan yang menyerang Mas di kantor?"Reina mencebikkan bibirnya. Seingatnya, ruangan terbuka ini tak pernah ada. Ditilik dari cat kayu yang melapisi sebuah set meja bundar dan sepasang kursi pada tengah bagian, semuanya terlihat baru saja selesai dibangun. Begitu juga dengan sofa panjang berwarna cokelat yang terendus aroma barang baru saat Reina melewatinya."Ah satu lagi," Alex mendekat, lalu meletakkan kedua tangannya pada pinggang Reina. "Apa kamu tau seberapa cemasnya Mas selama beberapa hari ini, Sayang? Mas nggak bisa
"Maaf, Reina."Reina memberanikan diri untuk menatap lawan bicaranya. Terkesan tidak sopan bila dia mengalihkan pandang selagi Gilang mengatakan sesuatu dengan bersungguh-sungguh. Belum selesai, Gilang melanjutkan kalimat yang berasal dari hati paling dalam."Seperti yang kamu lihat, aku juga menjadi bagian dari rencana yang diperbuat oleh Pak Alex dan dua sahabatmu itu."Tadinya Reina mau mengumpat, bahwa dua sahabatnya itu turut menjadi tim perencanaan. Namun dia urung, sebab masih berada dalam atmosfer lain yang Gilang ciptakan. Dan entah mengapa, dia merasakan satu titik kelegaan yang mengisi selubung di antaranya dan Gilang. Reina tak merasa terancam seperti dulu lagi. Situasi sudah berbeda, sehingga Reina tak perlu tertekan."Maaf karena sudah membuat kamu kesal belakangan ini, Reina. Hanya itu satu-satunya cara, supaya aku juga bisa melihat betapa besar kesungguhan yang kamu punya atas cinta suami kamu." Ucap Gilang. "Yah, tapi asal kamu tau, sebagian besar yang aku ucapkan itu
Reina mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Barangkali saja salah mendengar, Reina menajamkan pendengaran, memastikan bahwa suara yang baru didengarnya merupakan khayalan belaka. Satu menit tak tersiar suara apa pun, Reina mengembuskan napas perlahan."Ternyata memang cuma khayalanku aja," wanita itu tersenyum kecut, seraya mengelus perutnya. "Pasti gara-gara semalam kurang tidur.""Apa? Kamu kurang tidur?"Reina terlonjak. Suara itu kembali menyapa telinga, namun kini dia berbalik, menghadap seseorang yang berdiri tepat di belakang sofa. Untuk beberapa saat, Reina tak bisa memercayai penglihatannya. Dunia seakan berhenti berputar, membuat Reina kepayahan untuk berkata-kata, sedangkan kedua matanya mulai memburam dengan sendirinya.Seseorang yang berdiri di belakang sofa lantas bergerak pelan, menghampiri Reina yang mematung dengan penuh kelegaan. Dalam satu tarikan napas, Alex memeluk Reina—sangat erat. Reina bergeming. Belum mampu mencerna segalanya dengan cepat, lantaran dia merasa ba
Serangkaian malam yang tak mudah untuk dilewati lagi. Gambaran mengenai Evelynn yang berusaha menggoda Alex dalam balutan lingerie merah menyala terus menghantui bagaikan kaset rusak. Reina melirik jam dinding. Terbangun pukul tiga dini hari, padahal dia baru memejamkan mata satu jam sebelumnya. Mungkin lingkar matanya sudah seperti panda. Reina tidak mau bercermin kalau begini caranya."Jam delapan ...."Reina bergumam pelan sembari mengingat jadwal penerbangan yang akan Alex dan Evelynn lakukan. Masih tersisa lima jam. Wanita itu terheran-heran, adakah cara agar dua manusia tersebut membatalkan perjalanan udara mereka nanti?Tangannya yang semula hendak meraih ponsel, berubah haluan jadi menutup mulutnya yang menguap lebar-lebar. Tidak ada pilihan. Dia harus tertidur lagi barang sebentar. Demi kebaikan pikiran serta bayinya yang kelelahan di dalam perut, Reina harus mengistirahatkan diri.Reina membaringkan tubuh, tetapi sudut matanya menangkap hasil rajutan yang berada di atas meja
Makan siang kali itu benar-benar menjatuhkan suasana hati Reina hingga ke dasar bumi sekaligus. Tetap saja, meski pada mulanya Alex sudah berbaik hati untuk mengajaknya makan bersama, pada akhirnya yang tampak menikmati sesi tersebut ialah Alex dan Evelynn. Keduanya berbicara seakan tidak ada hari esok. Bahkan yang membuat Reina ingin membanting piring, ketika suaminya menanyakan apa saja yang disukai oleh model cantik itu, begitu juga sebaliknya.Reina yang semula kelaparan, jadi tidak terlalu berminat untuk melahap bebek penyet yang menggugah selera itu. Terutama dengan sejumput pemandangan menyebalkan yang tersaji di hadapannya, Reina hanya mampu melahap sekadarnya demi sang anak yang berada di dalam perutnya.Saat Alex dan Evelynn telah menandaskan makanan masing-masing, keduanya langsung beranjak dan pamit begitu cepat. Reina menganga, tak membayangkan bahwa dia baru saja ditinggal—walaupun yang membayar tetap Alex. Rasanya luar biasa menjengkelkan. Bahkan Alex enggan menanyakan
"Egois?"Gilang memiringkan kepala, sedangkan wanita hamil di depannya itu mengangguk penuh kepastian. Selama beberapa detik, keduanya tak mengeluarkan suara sekecil apa pun. Hanya deru napas masing-masing yang bersahutan seolah melempar amarah melalui udara di sekitar mereka.Reina hendak menyuruh laki-laki itu untuk menyingkir, lantaran tak perlu membicarakan hal lain lagi. Akan tetapi, Gilang malah mendecih disertai seutas senyum yang mengundang kernyitan pada dahi Reina. "Oke!"Lagi-lagi, Reina dibuat tak paham. Bertanya pun sudah terlalu malas, jadi dia membiarkan Gilang bertingkah semau laki-laki itu saja. Terlebih, dia ingin sekali keluar untuk mencari udara segar."Sepertinya semua sudah jelas." Gilang manggut-manggut tanpa diketahui apa penyebabnya. "Kalau begitu, aku pulang dulu ya, Reina? Rasanya lega sekali setelah tau keadaan kamu baik-baik saja. Dan ... perasaanmu masih baik-baik saja."Reina memicingkan mata. "Perasaanku baik-baik saja? Apa maksudnya?"Gilang menggelen