Share

Chapter 02

"Saya duda."

Byurrr~

"Astaga, Reina!" Pekik Tara yang langsung mengambil tisu untuk mengusap wajahnya. "Kok main nyembur aja?!"

Rendi malah memejamkan mata. Menghela napas, lalu memandang jalanan dengan tangan kanan yang meraih sapu tangan.

Reina membuka mulut lebar-lebar. Dari sekian tempat yang ada di dunia ini, mengapa dia harus bertemu dengan Om Ganteng di restoran yang dijejaki bersama dua sahabatnya itu?

Gadis itu menggeleng, menepuk pipinya sendiri. "Aduh!" Meringis, Reina langsung menatap tajam Om Ganteng. Teringat dengan perkataan laki-laki itu yang berhasil mengejutkannya tadi.

Dia duda??? batinnya memekik heboh.

"Kalian teman-temannya Reina? Silakan pesan lagi, tidak perlu membayar. Ini restoran saya." Ucap Om Duda yang berhasil mengejutkan tiga manusia di hadapannya itu.

"Makasih, Om. Om namanya siapa?

"Alex."

"Alexander Graham Bell?" tanya Tara, menampikkan tawa kecilnya.

Tara langsung mendapat tepukan dari Reina dan Rendi secara bersamaan. Perempuan itu berseru, lalu melayangkan tatapan tajam yang membuat keduanya jadi menciut. Melihat interaksi tiga sahabat itu, Alex tersenyum simpul.

"Alexander-nya sama. Tapi bagian belakangnya berbeda." Tanpa aba-aba, Alex duduk di samping Reina. Gadis itu melotot, tapi tidak digubris.

"Jadi, ini yang kamu maksud, Re?" tanya Rendi memancing emosi. "Om-om yang katanya dijodohkan sama kamu?"

Reina memberikan tatapan tajam. Namun bagi Rendi dan Tara, tatapan tajamnya tidak mempan. Dia tidak bisa berlagak galak. Di mata dua sahabatnya, Reina itu menggemaskan. Makanya, banyak sekali yang naksir karena kegalakan Reina tidak memberikan efek apa-apa pada wajah cantiknya.

"Yah ...." Alex memiringkan kepala. "Saya memang om-om. Kenapa?"

Tara menggeleng secepat kilat. "Enggak apa-apa kok! Tapi apakah saya sama Rendi harus panggil Om juga?"

"Kalau kalian nggak masalah. Saya juga sadar umur saya."

Alex memberikan senyum kepada dua orang di hadapannya. Namun, tangannya perlahan bergerak ke punggung gadis di sampingnya, menepuk-nepuknya seolah hal itu sudah biasa dilakukan.

Reina menggulung matanya setelah menyaksikan manik kedua sahabatnya membesar, memberikan kode kepadanya yang seolah berkata, "Ini dia orangnya! Kenapa kamu ragu?"

Reina menjadi heran, kenapa justru mereka yang antusias? Pasalnya dua orang itu tak pernah mendukung hubungannya dengan Andre, malah dengan om-om itu mereka tenang dan setuju? Rasanya Reina mau mencari teman baru yang mampu menghargai perasaannya saja.

"Kalian berteman sejak kapan?" tanya Alex setelah sebuah pesanan yang tidak mereka pesan datang dengan sendirinya. Tara dan Rendi menerima makanan tersebut tanpa keraguan sedikit pun. Sejenak, Reina jadi malu sendiri. Punya dua sahabat yang selera makannya luar biasa, juga tidak tau malu.

"Kami sudah berteman sejak kuliah sih! Memang kelihatannya kayak baru temenan, tapi kami nyambung sekali di segala situasi. Alhasil, jadi keterusan bareng-bareng sampai sekarang." Jelas Rendi, yang lebih pandai mengatur kata-kata daripada Tara atau Reina.

"Ah, begitu. Kerja di mana aja kalian? Saya penasaran, sekalian mau lebih dekat sama sahabatnya calon istri saya."

Reina mendelik tak suka. Sedangkan Tara dan Rendi sudah senyam-senyum menyebalkan. Reina ingin sekali menonjok keduanya sampai terbang ke Mars.

"Saya supervisor, Bang. Kalau Tara ini interpreter. Oh iya, tolong dimaklumi kalau kami sering merusuh sama Reina. Kami udah kayak Three Musketeers. Ke mana-mana sering bareng." Sambung Rendi. Mendadak, Alex tersenyum, merasa terkesan dengan perbuatan kedua sahabat calon istrinya itu.

Tara menyahut, "Tapi kami tetap tau diri kok! Kalau kalian berdua butuh waktu, kami bakal undur diri."

Alex tertawa pelan. Di sampingnya, Reina memberengut. Dia merasa diasingkan. Alex, Rendi, dan Tara seperti sahabat saja. Padahal baru bertemu dan berkenalan.

"Kamu nggak tambah makanan?" tanya Alex dengan suara beratnya yang tau-tau saja membuat Reina merinding.

Reina berdecak kesal, "Ck! Aku pulang dululah!"

"Saya an—"

"Stop!"

Reina memberanikan diri untuk menatap Alex. Dalam hati, dia kelimpungam lantaran tidak mengira bahwa Om Duda di depannya itu cukup memikat dan menggoda. Reina menelan ludahnya susah payah. Jangan sampai terlihat bahwa dirinya jatuh ke pesona Alex dengan begitu mudahnya.

"Saya pulang sendiri, terima kasih atas itikad baiknya."

Alex mengangguk. Tidak mau berbuat lebih, malah kembali duduk dan mengobrol dengan dua sahabatnya yang biasa-biasa saja.

Reina tak memercayai penglihatannya. Bukannya tadi Alex mau menawarkan diri untuk mengantarnya pulang? Biasanya, bukannya laki-laki akan berusaha lagi saat penolakan pertama ya?

Lantas, kenapa laki-laki itu malah nimbrung bersama Tara dan Rendi?

"Ck!"

Kesal, Reina langsung mengambil ponsel dan berniat untuk menghubungi seseorang yang sudah janji akan menjemputnya sekaligus kencan.

"Halo, Sayang? Bisa jemput? Aku udah selesai nih!"

•••••

Sebuah mobil merah dengan atap terbuka baru saja meninggalkan restoran tempat Reina dan dua sahabatnya makan. Sepertinya Reina sengaja menyuruh Andre untuk menjemputnya tepat di hadapan Alex. Tentu saja untuk membuktikan bahwa hatinya terpaut pada Andre, bukan Alex.

Dikira bakal marah, mereka bertiga malah kompak melambaikan tangan ke arah Reina. Andre mengernyit melihat eksitensi laki-laki baru yang duduk bersama Tara dan Rendi.

"Itu siapa? Aku nggak pernah lihat dia kan?" tanya Andre menyelidik.

"Nggak usah dipikirin, Ndre. Orang nggak penting itu." Reina tersenyum manis. "Jadi? Kita mau kencan ke mana?"

Sementara itu, Tara melahap udang keju dengan ketidaksukaan pada sosok Andre yang seenaknya saja merangkul Reina saat hendak memasuki mobil tadi.

"Itu pacarnya?" tanya Alex.

Tara dan Rendi mengangguk malas.

"Maaf ya, Bang. Reina masih dijampi-jampi sama Andre, makanya nggak bisa melihat potensi yang ada dalam diri Bang Alex." Ucap Rendi.

"Potensi?" tanya Alex, alisnya menaut, merasa bingung dengan apa yang disebutkan Rendi.

Tara meringis, "Maksudnya, kalau memang permintaan terakhirnya Om Hindrawan adalah menjadikan Bang Alex sebagai suaminya Reina, ya jelas ada alasannya kan? Biarpun kami bukan anaknya Om Hindrawan, tapi kami tau pasti Om Hindrawan nggak bakalan salah pilih kan?"

Alex termangu. Entah karena kejujuran yang dilayangkan oleh sahabat Reina, atau kenyataan bahwa dirinya memang bukan seseorang yang salah di mata almarhum Hindrawan, Alex kesulitan berkata-kata.

"Tenang aja, Bang." Rendi mengulurkan kartu namanya. "Kalau mau coba buat mencuri hatinya Reina, kami ada sebagai bala bantuan."

Alex menyimpan kartu nama Tara dan Rendi. "Terima kasih atas bantuan kalian. Tapi saya punya cara sendiri untuk menghadapi sahabat kalian yang satu itu."

"Oh iya?" tanya Tara sambil mencomot dua udang keju lagi. "Bagus dong! Kami juga senang kalau Reina bisa lolos dari jeratnya Si Monyet."

"Si Monyet?"

"Andre, Bang. Pacarnya Reina yang tadi jemput itu. Kami sendiri nggak suka sama Andre karena kayaknya cuma bisa bikin Reina sakit hati aja." Balas Rendi.

Alex manggut-manggut, memandang dua sahabat Reina secara bergantian. Aneh sekali. Padahal tadi dia cuma sekadar menyapa, tapi langsung dekat. Keduanya juga memberi lampu hijau atas perjodohan berlandaskan permintaan Hindrawan itu.

Di usianya yang menjelang empat puluhan, Alex terkejut bahwa dirinya masih bisa bergaul dengan Tara dan Rendi.

Satu lagi, sepertinya dia harus mengatur siasat agar Reina menyetujui perjodohan mereka secepat mungkin.

Sebab dia memiliki satu tujuan pula.

"Terima kasih. Kalian nggak perlu khawatir, saya nggak akan menyakiti hati sahabat kalian itu."

•••••

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status