Share

Menikah

Helga balik badan sambil mengutarakan, “Karena calon suamiku sudah bercerai, aku ingin mereka tidak menunjukkan kemesraan di depan publik.”

“Bagaimana bisa?! Kau jangan meminta yang aneh-aneh!” pekik Adi tampak murka. “Ingat, Helga ... selama ini kau dibantu Tuan Hans!”

“Aku cuma meminta hakku sebagai calon menantunya. Bukankah itu masih menjadi hakku? Aku tidak mau calon suamiku dicap sebagai pria hidung belang,” terang Helga sebelum dia melewati pintu. “Selagi aku memilih gaun pernikahan, tolong pikirkan syaratku, Tuan Hans.”

“Aku tidak bisa menyetujui syaratmu itu. Syaratmu sangat berpengaruh untuk karier mantan menantuku, dan dia tidak akan terima jika skandal perselingkuhannya muncul lagi.”

“Lalu untuk apa aku dinikahi?” tanya Helga yang benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikiran keluarga Anderson itu, tidak ayah, tidak anak, ternyata semuanya sama saja. Terlihat bodoh hanya karena wanita.

“Seperti kataku sebelumnya, jika kau keberatan menikah dengan putraku, tolong pikirkan cucuku ... selama ini dia tidak mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Hanya aku yang terkadang masih memedulikannya, Nak.”

Mengingat Ivander, ia kembali mengaca pada dirinya sendiri. Korban yang paling tersiksa jika orang tua bercerai, atau pun keluarga berantakan. “Tuan juga tidak memikirkan bagaimana orang-orang di luar sana menilai anak Tuan? Pak Hadyan ... maksudku, Gavi ... dia dicap sebagai dosen yang suka mempermainkan wanita, terutama gadis muda.”

“Putraku kebal akan semua kabar miring itu. Ketahuilah, yang dia jaga hanya citra ibu dari anaknya, Ilana.”

Dengan menghela napas panjang, Helga memilih pergi saja. Ia sungguh tidak mengerti dengan arti pernikahan dan perceraian di dalam keluarga itu. “Sebenarnya untuk apa pak Hadyan melakukan ini semua?” gumamnya dan dalam sekejap ia ditarik oleh seseorang dari arah kiri. 

Di saat Helga memberontak, tubuhnya sudah melayang. Refleks ia mengalungkan sepasang lengannya di leher pria itu. “Pak Hadyan?!” teriaknya terkejut. “Bapak mau apa?!”

Ia dibawa Hadyan ke dalam sebuah ruangan, yang isinya hampir sama dengan ruangan sebelumnya. Bedanya, di ruangan ini terdapat lemari besar yang menampung puluhan gaun mewah. Helga menebak bahwa gaun-gaun itu dirancang khusus, sesuai permintaan klien. Dia di turunkan di tengah-tengah ruangan, dengan ekspresi Hadyan yang garang menatapnya lekat-lekat. 

“Jangan pernah sekali pun kau berbicara buruk mengenai mantan istriku.”

Helga sedikit tersenyum mendengar nada suara Hadyan. “Oh, ternyata Bapak sangat mencintai mantan istri Bapak yang selingkuh itu dan sulit move on?!” Helga tersenyum miring. “Miris sekali, cinta tulus Bapak dikhianati.”

Mendengar penghinaan Helga, wajah Hadyan memerah seperti orang menahan marah. Ia melangkah maju, sampai tubuhnya menempel dengan Helga yang membuat gadis itu menatap penuh waspada. Terlebih lagi saat tubuhnya sudah menempel pada dinding, akibat tubuh Hadyan menekannya. 

"Berhati-hatilah berbicara, batas kesabaranku bisa habis kapan saja ...," bisik Hadyan yang membuat Helga meremas kedua lengan pria itu, meminta Hadyan menjauh. "Ilana urusanku, dan tugasmu hanya menikah denganku, tidak lebih. Terima saja pernikahan ini sebagai bayaran atas semua uang yang dikeluarkan ayahku demi kuliahmu."

Helga kian meremas lengan Hadyan saat harum napas lelaki itu terasa segar.

"Jika tidak, aku tidak yakin kau bisa wisuda."

“Jangan mengancamku!”

“Tentukan pilihanmu,” balas Hadyan dengan sebelah tangannya membelai lembut pipi kanan Helga. “Menikah denganku sebagai bayaran uang kuliahmu, atau ... saya drop out sekarang juga, Galenka Helga.” 

“Bapak tidak pantas disebut dosen!”

“Kau sendiri tidak layak dibantu, jika tidak tahu artinya balas budi,” balas Hadyan sambil mendekatkan mukanya. 

“Aku memang tidak tahu kalau dibantu tuan Hans, ayah Bapak! Aku juga tidak mengharapkan bantuan kalian!”

“Masa depanmu ada di tanganmu,” tutup Hadyan masih dengan jemari mengelus pipi Helga.

Sesudah itu tangan lain Hadyan menekan bel yang berada di samping kepala Helga. Beberapa detik kemudian dua orang pegawai butik memasuki ruangan, dan barulah Hadyan menyingkir dari hadapan Helga. Ia meminta mereka untuk membantu Helga mencoba beberapa gaun pernikahan. Sedang dia sendiri memutuskan untuk angkat kaki dari sana, masuk ke ruangan yang lain.

“DASAR ...! DOSEN MURAHAN SIALAN!” pekik Helga yang tak tertahankan. Membuat dua pegawai yang tengah berusaha mengambil gaun terperanjat, kaget. “Ah, maaf ...,” sesalnya merasa tak enak hati.

“Kalau kesabaranku masih tidak dihargai, jangan salahkan aku kalau berubah menjadi perempuan pemberontak,” batin Helga ketika teringat malam, di mana dia memohon pada Adi agar pernikahannya dan Hadyan diundur. “Dosen paling bodoh yang pernah kutemui, aku masih tak percaya kalau kau bodoh sekali hanya karena wanita,” ujarnya lagi di dalam hati sambil menatap pintu ruangan yang tertutup rapat.

Tak apa, dia berusaha siap untuk masuk ke dalam dunia Hadyan dan mantan istrinya itu. Ia akan mengembalikan arti pernikahan yang suci, dan tidak akan ia biarkan Ivander menderita. “Tolong pilihkan aku gaun yang paling mewah, kalau ada gaun pengantin yang terlihat seksi juga. Calon suamiku suka dengan gaun yang terbuka,” pinta Helga dengan senyum lebarnya. “Lihat saja, aku akan membuatmu buka mata selebar dunia, Hadyan Gavi Anderson.” 

*

Hari yang dinanti-nantikan oleh Hans akhirnya tiba. Putranya yang telah lama menduda, kini membuka lembaran baru. Di depan sana, Hadyan dan Helga berdiri saling berhadapan dan mengikrarkan janji sehidup semati kepada Tuhan di hadapan semua tamu yang datang. 

Acara pernikahan itu hanya dihadiri oleh rekan dan sanak saudara, yang jumlahnya tidak sampai seratus orang. Meski begitu, Helga sungguh merasa puas. Dirinya berhasil membuat Hadyan terus menatapnya sejak dia masuk ke dalam gedung pernikahan, tak sedikit pun sang dosen memalingkan muka. Terutama ketika kini dia berdiri di dekat Hadyan. 

Sampai tiba waktunya kedua mempelai dipersilakan untuk menunjukkan cinta suci mereka. Helga yang nyatanya belum siap menerima ciuman dari Hadyan, kakinya sedikit mundur. Ia merasa waktu berhenti sementara kala bibir mereka saling melekat. Melalui bibir Hadyan yang menempel pada bibirnya itu, jantungnya berdebar-debar. 

Riuhnya suara tepuk tangan para tamu undangan membuat suasana hati Helga makin tidak tenang. Walau gugup, dia mencoba untuk menikmati lembutnya sapaan bibir Hadyan. Tanpa disadari, dirinya semakin larut oleh permainan bibir sang dosen.

“Aku tidak suka melihat istri kecilku mengenakan gaun sialan ini,” bisik Hadyan sambil meremas pinggang Helga sesudah ciuman mereka berakhir.

Tak sampai sepuluh detik mereka berciuman di atas panggung. Helga yang ingin membalas bisikan Hadyan itu dikejutkan oleh suara seseorang. “Mama!” teriak bocah tampan berumur tiga tahun itu sambil berlari ke arah panggung. 

Semua orang di sana tak bisa menahan tawa melihat Ivander berlari dan mengangkat dua tangannya pada Helga. Dibantu salah seorang kru wedding organizer, Ivander berhasil naik dan berdiri di atas panggung, bersama papa dan ibu barunya. Bocah itu mendongak sambil tersenyum ke arah Helga. 

“Dia bukan ibumu, Vander,” ucap seseorang dengan tatapan tajamnya, duduk di kursi paling depan. Sejak acara dimulai, fokusnya hanya pada gadis di samping mantan suaminya. Gadis cantik nan muda yang mengenakan gaun pengantin putih glamour tanpa lengan, dengan belahan dadanya sangat rendah. “Akulah yang pantas kau panggil mama.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status