Share

Istri yang Disimpan

Acara pernikahan Helga dengan sang dosen masih berlanjut, namun kali ini lebih santai. Para kerabat Hans Anderson dan Hadyan Gavi Anderson dipersilakan menikmati hidangan yang ada. Beberapa dari mereka memilih untuk memberi selamat pada dua insan di atas panggung tersebut lebih dulu. Ditemani Ivander, pengantin baru itu menyalami kerabat mereka yang baris untuk memberi restu.

Melihat Helga mengulurkan tangan, Ivander turut melakukan hal sama. Helga yang mengetahui itu tersenyum senang, otomatis merasa bahwa dirinya dijadikan panutan. Beberapa tamu yang bersalaman dengannya, membuat senyum tulus Helga terbingkai. Tiba di mana seorang wanita yang pakaiannya tak kalah seksi dengan gaun resepsi pernikahannya saat ini berdiri di depan sang suami.

“Selamat untuk pernikahan kalian,” ucap wanita yang tersenyum lebar ke arah Hadyan, lalu memandang Helga. Tangannya terulur pada Hadyan dan menambahkan dengan suara berbisik, “Ingat, Honey ... pernikahan ini tidak boleh terekspos media, karena kita masih dipandang sebagai pasangan suami istri di luar sana ....”

Hadyan tidak menjawab iya maupun menyanggah. Pria itu hanya diam sembari menerima uluran tangan Ilana. Sampai tangan Ilana beralih mengusap-usap kepala anak mereka, sebelum beralih memandang ke Helga.

Helga yang berdiri di samping suaminya, dapat mendengar jelas ucapan Ilana pada Hadyan. Dia sama sekali tidak mengalihkan pandangan, sampai mantan istri Hadyan itu kembali melirik. 

Helga tersenyum seraya menerima uluran tangan Ilana. “Terima kasih sudah berkenan hadir di pernikahan kami,” ujar Helga kala senyum miring Ilana tersungging. “Silakan nikmati pestanya,” tambahnya masih tersenyum lebar.

“Meskipun statusmu istri Gavi dan ibu tiri dari Vander, bukan berarti kau bisa melakukan apa pun pada mereka,” bisik Ilana setelah menarik genggaman tangannya pada Helga ke arahnya. Membuat punggung Helga tertarik maju. Sambil meremas tangan Helga, ia melanjutkan, “Jangan terlalu senang, kau itu hanya istri yang disimpan di rumah, tidak ada orang di luaran sana yang mengenalmu sebagai pasangan Hadyan Gavi Anderson.”

“Tentu jauh lebih baik aku karena disimpan, daripada dirimu. Kau tahu kau siapa?” tanya Helga ikut berbisik. “Cuma wanita yang sudah dibuang ...,” lanjutnya seraya bergerak mundur dengan senyum lebih mengembang. 

Saat ini Helga dapat menangkap tatapan benci dari sorot mata Ilana yang ditujukan untuknya. Masih tersenyum, Helga melirik Ivander dan mengatakan, “Peluk ibumu, Vander ....” Ivander mendongak pada Helga lebih dulu sebelum melemparkan diri ke Ilana. “Vander memang anakmu, lahir dari rahimmu, aku tidak mungkin menjauhkan Vander dari ibu kandungnya sendiri,” ucap Helga saat Ilana merendahkan postur tubuhnya dan membalas pelukan Ivander.

Ilana langsung melengos mendengar ucapan Helga, dan menatap sang mantan suami. “Aku akan sering mengunjungi Vander,” kata Ilana tidak bercanda.

“Setelah putraku menikah lagi, kau justru mendekati anak kandung yang sebelumnya tidak pernah mendapatkan kasih sayangmu?” suara itu muncul setelah sosok Hans ikut naik ke atas panggung. “Pikirkanlah pekerjaanmu dan media, jika tidak ingin pernikahan Gavi terpajang di sosial media mana pun,” tambah pria tua itu yang membuat Ilana berdiri tegak. Tanpa membalas, ia pun turun dari sana, persis setelah Hans melewatinya dan berdiri di depan Helga.

Sesudah para tamu memberikan ucapan selamat dan doa untuk pernikahannya dan Hadyan, saat itulah Hadyan mengajaknya turun dari panggung bersama dengan Ivander yang berada di gendongan pria itu. Ketiganya duduk di kursi makan yang disiapkan khusus oleh tim penyelenggara acara. 

“Bukankah sudah kuperingatkan tentang gaunmu yang sebelumnya? Mengapa gaun yang sekarang begini?”

Helga sedikit tersenyum. “Kenapa? Lebih terbuka?” tebaknya yang membuat Hadyan mengangguk.

“Mengapa gaun santai ini lebih buruk?” tanya pria itu lagi seraya melirik paha sang istri yang terlihat begitu jelas. “Kau ingin menunjukkan paha, punggung, dan dadamu pada siapa?”

“Mau bagaimana lagi? Gaun cantik ini sudah aku pesan, kamu yang seharusnya memeriksa gaunku sebelum kita menikah,” jawab Helga yang dengan sengaja menyalahkan Hadyan. “Karena menurutku gaun ini cocok sekali di tubuhku, aku pilih saja. Jadi, salahku apa?”

“Kau ini wanita bersuami, kau istriku. Sudah sepatutnya memikirkan apa yang kau pakai, jagalah perasaan suamimu.”

Helga tertawa pelan sambil memindah Ivander dari pangkuan Hadyan, karena bocah itu minta duduk bersamanya. “Pertama, yakin kalau aku ini sudah menjadi wanitamu, Bapak Hadyan?” tanyanya pelan, akan tetapi dapat membuat Hadyan tarik napas. “Kedua, untuk apa aku memikirkan perasaan suamiku kalau dia saja belum tentu memikirkan perasaanku?” Kemudian mengambil sepiring sate ayam untuknya. Helga juga memberikan satu tusuk pada Ivander. 

“Apa maksud pertanyaan pertamamu?” Hadyan tersenyum miring seraya membiarkan tangan kanannya menjalar ke atas paha Helga. “Wanitaku?”

Helga yang sedang menggigit sate lantas mendelik, lalu melirik ke arah jari-jari Hadyan yang mengelus-elusnya. Ia tetap tenang, meski hatinya sudah memaki-maki sang dosen kurang ajar. “Memang bukan wanitamu, aku cuma istrimu. Kau sendiri yang bilang begitu saat di ruang ganti butik lalu, dan sekarang tugasku hanya mengingatkanmu.” Dengan tangan yang tadi melingkar di perut Ivander, kini berubah menyentil punggung tangan Hadyan. “Singkirkan tanganmu,” perintahnya tajam.

“Sepertinya aku berubah pikiran. Bukankah di dalam pernikahan setiap istri wajib melayani suaminya?” bisik Hadyan tepat di belakang telinga Helga dengan tangan membelai punggung Helga yang terbuka. “Terutama pada malam hari ...,” lirihnya menambahkan.

“Mama, aku mau minum,” ucap si kecil Ivander sambil menunjuk ke arah semangkuk es krim di atas meja. Helga yang tidak bisa mengabaikan Ivander, menaruh satenya ke piring. Satu tangannya mengambilkan es krim penggugah selera itu, dan memberikan satu suapan pada Ivander.

“Habiskan makananmu lebih dulu sebelum menyantap es krim, Vander,” suara berat Hadyan itu membuat Ivander menoleh dan mengangguk takut-takut.

Helga dengan cepat pun bersuara, “Dia pasti kehausan, memangnya kau tidak lihat dia dari tadi menemani kita berdiri?”

“Jika memang haus, Vander bisa memilih air mineral. Dia saja yang tertarik dengan es krim, dan aku tidak menyukai itu.”

“Anak-anak wajar suka es krim.”

“Apa pun yang berkaitan dengan es, tidak baik untuk tenggorokannya.” 

Helga menatap Hadyan dalam-dalam sebelum menarik napasnya lebih panjang. “Apa Vander sering makan es krim? Tidak, ‘kan? Kebetulan saja minuman yang dipesan tuan Hans di resepsi ini es krim. Jadi, berhentilah kolot pada anakmu sendiri.”

“Bedakan kolot dengan khawatir.”

“Berlebihan,” putus Helga dan beralih memakan sate ayamnya. Ia juga lebih fokus memberikan Ivander minum dari sebotol air mineral di atas meja. “Minum air putih dulu, Vander. Papamu tidak suka kau batuk.” Beruntungnya Ivander tidak banyak protes, ia menyetujui saja dan lanjut memakan sate ayam.

Hadyan yang memerhatikan dua manusia di sampingnya itu tak bisa menghentikan degup jantung yang meningkat. Melihat pemandangan itu membuatnya semakin yakin bahwa keputusannya menikah dengan Helga adalah keputusan benar. Namun, di sisi lain ia masih memikirkan pula reputasi sang mantan istri. Bohong jika dia sudah tidak mencintai Ilana, wanita itu masih singgah di hatinya.

“Jauhkan tanganmu dari punggungku,” ucap Helga yang kembali menatap Hadyan. “Seperti permintaanmu kemarin ... statusku cuma istri di buku pernikahan saja, Pak Hadyan ...,” bisik Helga yang masih merasakan sentuhan Hadyan di punggung mulusnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status