Betapa terkejutnya Helga begitu turun dari motor ojek online, dilihatnya sosok berumur tengah berbincang dengan sang kakek. Helga bisa menebak bahwa yang berdialog dengan Adi tak lain dan tak bukan adalah calon mertuanya, Hans Anderson.
Mengetahui dirinya datang, sang kakek lantas melambai dan menyebut namanya. “Helga! Kemarilah!” titah Adi dan Hans yang memerhatikan ikut melihat ke arah Helga berada. Gadis itu pun makin cepat berjalan menuju teras. “Tuan Hans akan membawamu ke butik, pergilah bersamanya.”
Bagai disambar petir, tubuhnya tiba-tiba kaku. Helga bahkan hanya melotot menatap Adi, antara terkejut dan protes karena sungguh dadakan. Ia pikir sang kakek tengah memohon pada Hans untuk mengulur hari pernikahannya, tapi ternyata permintaan calon mertuanya yang tak ingin dia dengar.
Hans mengajaknya dengan menunjuk mobil yang terparkir di halaman rumahnya. “Mari, masuk ke mobil, Nak,” ucap Hans.
Gadis itu tak langsung setuju, tapi berlari ke arah Adi. “Bukankah ini terlalu cepat, Kek?” tanya Helga dengan suara bergetar dan meraih tangan sang kakek. “Bisa diulur lebih lama lagi?” tambahnya dengan tatapan memohon, dan hal itu semakin membuat Adi merasa bersalah padanya. “Aku pikir Kakek ingin mengajukan pertimbangan lagi, supaya pernikahan ini diundur lebih lama lagi.”
“Tidak ada yang perlu kau takutkan, Nak,” sahut Hans yang ikut mendekat. “Tidak ada yang harus kau khawatirkan. Kau masih bisa meneruskan pendidikan meskipun menikah dengan anakku.”
“Benar, Helga. Ikutlah Tuan Hans.”
“Aku ingin Kakek ikut,” jawabnya yang disetujui Hans.
Pria itu pun meminta Helga masuk ke dalam mobil lebih dulu. Sementara dirinya dan Adi masuk kemudian. Ketiganya berangkat dengan menaiki mobil hitam elegan milik Hans yang tiga tahun lalu masih dikendarai oleh Adi. Karena alasan umur yang sudah menginjak angka lima puluh lima tahun, Hans memberhentikan Adi dan meminta bawahan sekaligus temannya itu untuk beristirahat.
Di dalam perjalanan itulah Helga baru teringat akan foto dari Nafa, di mana Hadyan tengah berada di pusat perbelanjaan bersama seorang perempuan. Tentunya Helga tersenyum senang, ia bisa menunjukkan foto itu pada Hans dan menjadikan cincin yang dipakai Hadyan sebagai alasan untuknya menolak pernikahan ini.
Dengan muka semangat, ia pun meminta foto sang dosen pada Nafa. Jelas Nafa menghujaninya dengan berbagai pertanyaan sebelum mengirimkan foto itu padanya. Butuh kesabaran untuk memohon sampai Nafa akhirnya mengirimkan foto dua manusia bak sepasang suami istri yang harmonis tersebut, walau berujung Nafa menuntut penjelasan Helga.
“Maaf Tuan Hans, saya ingin bertanya dan tolong jawab dengan jujur,” ujarnya sambil menatap layar ponsel yang menampilkan sosok Hadyan dengan sang wanita.
“Baiklah, tanya saja apa pun itu, aku akan menjawabnya, Nak.”
“Apakah pak Hadyan sudah menikah?” tanyanya yang membuat Hans menoleh ke belakang, ke arahnya, dengan tatapan bingung lalu tertawa kecil. “Mengapa Tuan tertawa?”
“Helga,” cegah Adi karena merasa sang cucu sudah berlebihan bertanya.
Tanpa banyak bicara lagi, Helga pun menunjukkan foto itu pada Hans. Foto yang hampir menampilkan seluruh tubuh anaknya dan bergandengan dengan seorang wanita. “Tuan bisa lihat dengan sangat jelas bahwa itu adalah anak Tuan.”
“Apa maksudmu, Helga?” tanya Adi yang juga ikut menoleh. Begitu melihat ke arah handphone sang cucu, ia tak lagi bersuara.
“Lihat cincin yang dipakai mereka, bukankah ini sebuah cincin pernikahan? Mereka juga tampak bahagia. Oh, atau ... mungkinkah mereka menikah diam-diam tanpa sepengetahuan Tuan?”
Tiba-tiba mobil yang ditumpangi mereka berhenti. Disusul dengan suara sopir yang memberitahu bahwa mereka sudah sampai di tempat tujuan. “Mari kita turun, aku akan menjelaskan semuanya kepadamu di dalam,” terang Hans dengan senyum penuh wibawa.
Helga yang merasa masih ada kesempatan untuk lepas dari perjodohan, dengan ragu-ragu turun setelah Adi dan Hans keluar. Ketiganya memasuki butik, dan disambut oleh pekerja di sana dengan sangat ramah. Hans pun meminta ruangan khusus, dan dengan cepat mereka di antar ke sebuah ruangan besar.
Hans duduk di sebuah single sofa. Helga dan Adi diminta Hans untuk duduk di depannya. Adi yang merasa bersalah tiba-tiba menyeletuk, “Maaf, aku belum menceritakan semuanya pada cucuku.”
“Tidak apa-apa.”
“Jadi, apa benar pak Hadyan sudah menikah?”
“Benar, tapi itu dulu. Anakku sudah menduda cukup lama, bahkan sebelum Adi berhenti menjadi sopir pribadiku.”
Helga sungguh terkejut sekarang, ia baru tahu bahwa dosennya itu seorang duda, lebih tepatnya duda keren nan genit yang digandrungi seluruh mahasiswi, kecuali dirinya pastinya. “Lalu, untuk apa mereka masih mengenakan cincin pernikahan?” Helga sangat tak mengerti dengan jalan pikiran orang-orang itu. “Dan untuk apa mereka berdua berpisah jika masih saling mencintai?”
“Kau salah, Nak. Anakku tidak mencintai wanita mana pun. Hatinya sudah mati sejak perselingkuhan yang dilakukan oleh mantan istrinya, Ilana Johnson,” balas Hans sembari melirik tangan Helga yang menggenggam ponsel. “Keduanya terlihat dekat demi anak mereka, dan kepentingan pekerjaan Ilana sebagai model di luar negeri. Di dalam foto itu seharusnya ada diriku yang tengah menggendong cucuku, Ivander."
Ingin sekali Helga membantah itu semua dan mengeluarkan segala keburukan Hadyan di kampus yang sering gonta-ganti perempuan. Namun, ia belum punya bukti apa pun. Bisa-bisa dirinya dianggap menyebar fitnah. Tahu begini ia ikut bergosip saja saat di kampus, agar foto-foto Hadyan bersama para gadis bisa dia kantongi.
“Jadi, aku harus menikahi anak Tuan yang duda beranak satu itu?”
“Ya, dan aku mohon padamu ... buatlah dia kembali seperti Hadyan yang dulu.” Hans bangkit dari sofa dan mendekati Helga dengan ekspresi penuh memohon. “Aku percayakan dia padamu. Kau pasti bisa menumbuhkan cinta di hatinya kembali, Nak Helga.” Sembari mengeluarkan gawai, Hans mengotak-atik sebelum memberikan ponselnya pada Helga lalu berkata, “Jika tidak, tolong pikirkanlah cucuku.”
Adi mengangguk dan merangkul sang cucu. “Dia bukan hanya membutuhkan kasih sayang orang tua, tapi juga teman dan perhatian, terutama cinta seorang ibu. Nasibnya hampir sama sepertimu, bedanya orang tuanya masih hidup.”
“Apa selama ini pak Hadyan mengabaikan buah hatinya yang masih kecil ini?” Hans dan Adi mengangguk. Tampak raut wajah tak tega terpasang di muka Helga. Adi memandangi sang cucu sembari menepuk-nepuk pundaknya. “Siapa namanya?” tanya Helga setelah cukup lama memerhatikan foto dari sosok balita tampan bersama senyum mengembang di atas pangkuan Hans.
“Ivander Gerald Anderson,” balas Hans yang membuat Helga berdiri dari tempat duduknya. Gadis itu menyerahkan benda pipih berwarna hitam pada sang pemilik dengan muka datar. Hans menerimanya lalu kembali membuka mulutnya. “Jadi, bagaimana? Kau akan menikah dengan anakku tanpa terpaksa?” tanya Hans masih dengan tatapan memohon. “Hanya kaulah gadis yang terlihat tulus di mataku, Nak.”
Adi ikut berdiri dan mendekat pada Helga. “Jangan lupakan biaya perkuliahanmu selama ini. Semua itu bantuan dari Tuan Hans, Helga. Kita berhutang budi padanya,” timpal Adi yang membuat Helga menghela napas lalu melepas pegangan tangan sang kakek di lengannya.
“Aku setuju.” Helga menjawab sambil membelakangi dua pria berumur yang sama-sama tersenyum lega. “Tapi dengan satu syarat,” sambungnya sebelum membuka pintu ruangan.
Adi yang kaget memperingatkan, “Jangan melewati batas, Helga. Ingat diri, kita ini siapa.”
Hans tiba-tiba bertanya, “Apa syaratnya?” Pria itu penasaran. Dari awal ia sudah tertarik dengan Helga, dan ternyata dugaannya benar, Helga bukan gadis polos yang selalu menurut.
Helga balik badan sambil mengutarakan, “Karena calon suamiku sudah bercerai, aku ingin mereka tidak menunjukkan kemesraan di depan publik.”“Bagaimana bisa?! Kau jangan meminta yang aneh-aneh!” pekik Adi tampak murka. “Ingat, Helga ... selama ini kau dibantu Tuan Hans!”“Aku cuma meminta hakku sebagai calon menantunya. Bukankah itu masih menjadi hakku? Aku tidak mau calon suamiku dicap sebagai pria hidung belang,” terang Helga sebelum dia melewati pintu. “Selagi aku memilih gaun pernikahan, tolong pikirkan syaratku, Tuan Hans.”“Aku tidak bisa menyetujui syaratmu itu. Syaratmu sangat berpengaruh untuk karier mantan menantuku, dan dia tidak akan terima jika skandal perselingkuhannya muncul lagi.”“Lalu untuk apa aku dinikahi?” tanya Helga yang benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikiran keluarga Anderson itu, tidak ayah, tidak anak, ternyata semuanya sama saja. Terlihat bodoh hanya karena wanita.“Seperti kataku sebelumnya, jika kau keberatan menikah dengan putraku, tolong pikirka
Acara pernikahan Helga dengan sang dosen masih berlanjut, namun kali ini lebih santai. Para kerabat Hans Anderson dan Hadyan Gavi Anderson dipersilakan menikmati hidangan yang ada. Beberapa dari mereka memilih untuk memberi selamat pada dua insan di atas panggung tersebut lebih dulu. Ditemani Ivander, pengantin baru itu menyalami kerabat mereka yang baris untuk memberi restu.Melihat Helga mengulurkan tangan, Ivander turut melakukan hal sama. Helga yang mengetahui itu tersenyum senang, otomatis merasa bahwa dirinya dijadikan panutan. Beberapa tamu yang bersalaman dengannya, membuat senyum tulus Helga terbingkai. Tiba di mana seorang wanita yang pakaiannya tak kalah seksi dengan gaun resepsi pernikahannya saat ini berdiri di depan sang suami.“Selamat untuk pernikahan kalian,” ucap wanita yang tersenyum lebar ke arah Hadyan, lalu memandang Helga. Tangannya terulur pada Hadyan dan menambahkan dengan suara berbisik, “Ingat, Honey ... pernikahan ini tidak boleh terekspos media, karena kit
Mau tidak mau, suka tidak suka, Hadyan menuruti perintah Helga. Perlahan-lahan tangan lelaki itu menjauh dari punggung Helga yang tak tertutupi oleh gaun mewah di tubuh ideal berkulit bersih nan mulus. Hadyan lantas mengalihkan fokusnya pada makanan yang tersedia di atas meja, dan memilih beef steak untuk mengisi perut kosongnya.Waktu yang berlalu di acara resepsi pernikahan Helga dan Hadyan terasa sangat lambat bagi mempelai wanita. Karena pernikahan dua manusia beda usia itu dilanjut dengan beberapa rangkaian acara seperti berdansa dan bernyanyi, warna langit di atas sana makin gelap. Pesta pun digelar hari itu juga, mengakibatkan pasangan yang baru sah itu merasa kelelahan, terutama si pengantin wanita.Rasa ingin cepat-cepat masuk ke kamar tidur tertunda saat rumah mewah terpampang di depan mata. Dari memasuki halaman saja Helga sudah dibuat tercengang dengan rumah Hadyan. Ternyata tempat tinggal Hadyan bersama keluarga kecilnya ini lebih besar dari rumah Hans yang sebelumnya dit
Keesokan pagi harinya, Helga tidak melihat sosok sang dosen yang sudah menjadi suaminya. Di atas kasur berukuran besar, hanya dirinya yang terbaring di sana. Sedikit mengerang kesakitan, Helga berusaha duduk sambil membungkus penuh tubuhnya dengan selimut putih tebal. Perempuan berumur dua puluh satu tahun itu mengingat-ingat kembali kejadian semalam saat punggung bersandar pada kepala ranjang.Beberapa detik kemudian memori akan percintaan yang membuatnya kesakitan itu terputar kembali, juga perdebatannya dengan Hadyan. “Sial! Aku tidak percaya kenapa aku bisa ditaklukkan!” Mengacak-acak rambutnya yang sudah tidak rapi, Helga kecewa pada diri sendiri karena sadar kalau semalam kurang mampu menolak sentuhan Hadyan dan sang dosen sukses unboxing dirinya. “Oke ... semalam aku memang berhasil disentuh, tapi tidak akan ada malam-malam berikutnya!” Ia sungguh-sungguh pada ucapannya.Meringis ngilu, Helga pelan-pelan turun dari tempat tidur. Ia tak menyangka kalau malam pertama yang konon
Helga yang sudah turun dari kursi, menoleh ke arah Ilana. Sambil tersenyum lebar, dia mengangguk. “Ya, aku wajib untuk merasa terbiasa, karena aku tahu kalau kalian berdua sebenarnya pasangan yang serasi. Sama-sama mura—ekhm, aku hampir kelepasan.”Ilana tampak marah, dengan tatapan tajam mengarah pada Helga. Sementara Hadyan masih sibuk sarapan, enggan meributkan hal yang baginya sepele. Helga yang melihat perubahan mimik wajah Ilana jelas merasa berhasil membuat Ilana geram padanya. Mengusap sekilas puncak kepala Ivander, Helga menambahkan, “Tidak jadi, ada anakku yang mendengar, dan aku tidak mau kepolosannya terkontaminasi.” Sesudah itu Helga benar-benar pergi ke dapur untuk membuat minuman dengan sepasang tangan di sisi tubuhnya terkepal kuat.Sesampainya di dapur, Sonya menatap Helga dengan perasaan tak enak hati. Helga melewatinya dan menuju lemari penyimpanan alat makan dan minum. Ia mengambil dua gelas, satu gelas besar untuk Ivander, dan yang sa
“Baguslah kalau diusir, berarti tahu etika kalau bertamu pagi-pagi sangat mengganggu,” lirih Helga sebelum menatap Ivander. Baru ingin menambah roti yang sudah teroles selai cokelat agar menjadi satu rangkap, Helga mendengar suara langkah kaki dari belakang.“Jangan salah sangka, aku tidak pernah mengusir tamuku,” ucap seseorang yang kembali bergabung. Lagi-lagi sanggup membuat kedua perempuan di sana tercengang. Meski begitu, Helga cepat-cepat menormalkan ekspresinya. Sementara Sonya segera meminta maaf karena asal bicara dan membereskan makanan sisa milik Ilana juga Hadyan, lalu pamit ke dapur. Helga yang memerhatikan Ivander, membantu mengelap mulut bocah tiga tahun itu karena kotor. Tanpa mengambil tisu, Helga menyeka cokelat di sudut bibir Ivander menggunakan punggung tangannya. Begitu telaten dan tak lupa untuk menyodorkan susu cokelat pada putra sambungnya.“Ilana terpaksa pergi karena mendadak ada pekerjaan. Jadi, satu minggu ini kau tid
“Entahlah,” jawab Helga seadanya. Masih melirik Nafa, dia bertanya, “Kamu tidak lihat aku sedang sibuk?”“Ya, aku lihat.” Nafa melirik sekilas ke layar laptop, lalu memandangi si pemilik laptop. “Omong-omong, Hel ... kenapa pak Hadyan hanya memberi tugas puisi untukmu? Lagi pula, dua bulan lalu kita sudah mendapat tugas itu.”“Hem. Aku tidak tahu.” “Segala tugas yang berkaitan tentang puisi sudah diselesaikan dari bulan lalu, 'kan? Pasti ada yang tidak beres dengan pak Hadyan.”Helga lagi-lagi membalas sesingkat mungkin. Ia sendiri menebak-nebak kalau apa yang dilakukan Hadyan itu hanya untuk mengerjainya saja. Bagaimana tidak? Dari sekian banyaknya mahasiswa di kelas, hanya dirinya yang diminta untuk membuat puisi. “Memang cari masalah,” batin Helga sambil membuka botol berisi air mineral. Sebelum merevisi laporannya yang kurang sempurna di mata sang dosen playboy, tubuhnya harus terhidrasi.“Tema puisinya romantis ...,” lirih Nafa. Tan
Sore harinya di saat jam sudah menunjukkan pukul tiga lebih, Helga yang berjalan di tengah-tengah kedua temannya merasa cukup resah. Bukan tanpa alasan, itu terjadi karena pesan dari Hadyan yang meminta dirinya untuk datang ke ruangan sang suami. Ditambah resah lagi saat Nafa mengatakan, “Aku pulang, Hel. Bersiaplah untuk pasang telinga.”“Semoga tugasmu sudah benar di mata kesayanganku,” sahut Emma menambahkan. Kali ini ucapan Emma membuat hatinya merasa sedikit aneh. Ada ketidaksukaan kala mendengar kata ‘kesayangan’ meluncur dari bibir sahabatnya. “Apakah perlu aku temani?”“Kau mau menemaniku menemui Pak Hadyan?”“Mau,” jawab perempuan berkemeja merah itu cepat. “Sangat mau!” Nafa yang mendengar balasan Emma itu menggeleng dan tertawa. “Kamu selalu suka kalau bertemu pak Hadyan.” Nafa melipat tangannya dan menambahkan, “Kalau aku sudah tidak terlalu mengidolakan begitu tahu dia ternyata milik orang.”“Boleh kalau ditawari jadi yang k