Rania bimbang untuk mengiyakan ajakan Vinko beristirahat. Yang dia lakukan hanya diam membisu sembari menatap lurus ranjang besar itu. Dan seakan tahu tentang kebimbangan Rania, Vinko segera berdiri."Aku tidak mungkin melakukannya, karena kamu belum memberiku jawaban," ucap Vinko tanpa diminta. Dia lantas menghampiri sofa panjang yang ada di sudut ruangan. "Tapi bagaimanapun juga, aku tetaplah lelaki. Munafik jika aku tidak menginginkannya," Pria muda itu segera membaringkan seluruh tubuhnya di atas sofa, meski harus sedikit menekuk lutut karena panjangnya tetap tak bisa menampung tinggi badan Vinko.Bola mata Rania bergetar penuh haru dan rasa hormat pada Vinko. Seumur hidup dia tidak pernah merasa begitu dihormati sebagai seorang wanita, karena ketika dia mulai beranjak remaja, Rania sudah menikah dengan Tama. Tak terasa senyum samar mulai muncul di bibir Rania, bersamaan dengan dia yang mulai berbaring."Tapi ucapanku tadi serius, Ran," ujar Vinko tiba-tiba. "Kuharap kamu segera m
"Vin, Vinko?!" panggil Nita sedikit berteriak, karena Vinko tidak menjawab."I-iya, Ma," jawab Vinko gugup."Kamu cepetan pulang, ya," Klik. Sambungan diputus tiba-tiba.Kini pandangan Vinko tampang kosong. Baru kali ini dia merasa sedikit gentar ketika mendengar nama Tama disebut. Sementara Rania memilih untuk berhenti makan, dan ikut diam bersama Vinko. Meskipun dia tidak mendengar jelas pembicaraan Vinko dan Nita, namun Rania tahu jika semuanya sedang tidak baik-baik saja."Ada apa?" tanya Rania."Sepertinya kita harus pulang," jawab Vinko. "Aku tidak mau Tama semakin menyakitimu jika kita disini terlalu lama,""Apa yang terjadi?"Vinko tampak panik. Dia bergegas memasukkan barang-barang Rania dan barang-barangnya sendiri. Bahkan dia merapikan rambut Rania meski wanita itu diam kebingungan dengan aksi Vinko."Vin, jawab aku! Apa yang terjadi?" desak Rania.Karena nada Rania yang meninggi, mau tak mau Vinko berhenti sejenak. Dia memandang Rania dengan tatapan cemas sekaligus takut.
Tama bangkit berdiri. Dia sudah tidak bisa lebih lama menahan amarahnya. Dengan langkah cepat dia menghampiri Rania dan mencengkeram erat kedua pipi wanita itu. Mata Tama menyorotkan kemarahan luar biasa, hingga nafasnya memburu tak aturan."Aku sudah tahu semuanya," ucap Tama.Rania meringis menahan nyeri, tapi tak berani berontak. Dia membiarkan Tama mengeluarkan kemarahannya."Aku tahu kamu menipuku," Tama menambahi. Kemudian dia menarik pinggang Rania mendekat ke tubuhnya. "Bisa-bisanya kamu meminta Dokter Ilham agar membiarkan alat itu ada di tubuhmu, saat aku ingin kamu segera hamil?!"Rania membelalak. Dia kira, topik pembicaraan Tama adalah tentang hubungannya dengan Vinko. Tapi diluar dugaan, Tama justru membahas tentang alat kontrasepsi yang sengaja dipertahankan oleh Rania secara sembunyi-sembunyi."Ikut aku," Tama menarik paksa tangan Rania menuju pintu."Tama, mau kemana?!" pekik Rania."Akan kupastikan tida
Segalanya terjadi dengan begitu cepat, hingga tanpa terasa mobil Arif mulai memasuki pelataran rumah besar Tama. Tapi yang membuatnya berbeda adalah sosok Vinko yang berdiri dengan wajah ketus di depan pos satpam rumah Tama. Pandangannya mengikuti dimana mobil Tama itu diparkir."Apa yang anak itu lakukan disini?" geram Tama, bicara pada Arif."Apa yang harus saya lakukan, Tuan?""Suruh para pelayan untuk membawa Rania masuk. Biar aku yang bicara dengan anak itu," suruh Tama. Dan Arif segera mengangguk patuh, bergegas turun demi memanggil para pelayan. Sepertinya Tama tidak ingin Vinko bertemu dengan Rania.Tama berjalan pelan penuh wibawa menuju pos satpam, tempat dimana Vinko sudah menunggunya. Kedua pria itu saling pandang, dengan kekuatan yang sama-sama besar. Bagaimanapun, dalam diri mereka mengalir darah yang sama. Mereka terlahir sebagai putra Tuan Hadi yang berjaya."Apa maumu?" tanya Tama ketus."Dimana Rania?" Vinko bal
"Kamu sudah bangun?" tegur Tama, duduk di sofa yang berseberangan tepat dengan ranjang yang kini ditempati Rania.Rania lamat-lamat mencoba untuk membuka mata. Dengan keadaan setengah sadar, dia mengibaskan selimut yang menutupi tubuhnya."Jam berapa sekarang?" tanyanya pada Tama.Tama menyeruput habis kopinya. Dengan kaki disilangkan, dia lurus menatap Rania. "Mungkin jam 2 siang. Ada apa?"Rania tidak menjawab. Dia hanya tampak mencari-cari sesuatu, menyisir seluruh sisi ranjang bahkan hingga kebagian dalam selimut. Tama mengerutkan kening melihat kebingungan Rania."Apa yang kamu cari?" tanya Tama heran."Dimana ponselku?"Tama menautkan alis. Lantas dia duduk makin tegak dengan mata tajam ke arah Rania. Senyum licik tersunggih di bibirnya. Tama selalu tampak menawan dan berwibawa, membuat siapa saja yang ditatap olehnya tidak bisa berkutik."Siapa yang ingin kamu hubungi? Anak itu?" tebak Tama, sengaja memancing emosi Rania.Rania mengerutkan kening kesal. Giginya bergemeretak men
"Aku bukan barang milikmu … " ucap Rania pelan. Matanya merah dengan seluruh wajah bengkak akibat menangis."Aku sudah membelimu lima tahun lalu. Menghidupimu, melunasi seluruh hutang ayahmu. Apakah itu semua kamu lupakan?"Air mata kembali menetes dari mata Rania. "Jadi selama ini menikahiku adalah membeliku?" tanya Rania dengan nada bergetar."Tidak ada cinta di dunia ini. Semua orang menikah karena kepentingan dan uang," tandas Tama. "Hanya orang-orang naif yang percaya cinta. Suatu saat Vinko akan menertawai kelakuannya ini. Dia akan menyesal pernah melawanku," Pria itu beranjak berdiri. Lantas mulai bergerak hendak meninggalkan Rania yang masih bersimpuh di lantai gudang."Suatu saat?" seru Rania. Berhasil membuat Tama berhenti. "Kamu yakin dia akan selamat?"Tidak hanya berhenti sejenak, Tama juga memutar tubuhnya lagi untuk menghadap Rania. "Jika dia tidak selamat–" Tama sengaja berhenti. Namun ekspresinya sama sekali tidak bisa dibaca. "Itu sudah menjadi takdirnya," Tama kemba
"Tuan Hadi?" Nita terkejut, tak menyangka jika seluruh keluarga besar Tuan Hadi datang untuk menjenguk Vinko. "M-mari silahkan masuk," Dia cukup kikuk untuk menyapa satu-persatu dari mereka, karena entah apa yang terjadi, suasana tegang tampak sangat terasa.Nita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan juga tidak berani untuk bertanya. Padahal sudah dua kali dia mengajak keluarga itu untuk masuk ke dalam kamar Vinko, tapi tidak diindahkan. Tuan Hadi terus menatap Tama dan Rania bergantian dengan tatapan penuh curiga, sementara Dewi dan Laura diam mematung menunggu perintah sang ayah."Katakan padaku, Tama. Apa yang terjadi?" ulang Tuan Hadi.Tama bergeser sedikit untuk bisa leluasa memandang Rania. Dia menunggu respon dari wanita itu, tapi tentu saja Rania tidak akan berani berterus terang. Bicara jujur pada Nita saja dia tidak tega, apalagi harus terus terang pada Tuan Hadi. Mungkin Rania akan ditendang keluar dari rumah jika hal itu dilakukan."Ayo kita masuk, Bu, Tante!!" seru
"Selamat siang, Tante?" sapa Regina, pelan-pelan masuk ke dalam kamar rawat Vinko sambil membawa sekeranjang penuh buah-buahan."Mama nggak ada!" celetuk Vinko, berhasil membuat Regina melompat kaget. Vinko seketika mengernyitkan dahi. "Kenapa reaksimu begitu?" protesnya."Aku kira kamu masih belum sadar," jawab Regina jujur. Dia lantas meletakkan buah itu di meja ruang tamu, lalu mengambil duduk di samping ranjang Dino.Vinko melipat tangannya dengan pandangan ketus. "Kamu pikir aku selemah itu? Aku orang yang cepat menyembuhkan diri,"Regina nyengir saja mendengarnya. "Terserah kamu," timpalnya, menatap Vinko dengan tatapan aneh."Kudengar, kamu dihajar sama suami Bu Rania, alias kakakmu sendiri," tukas Regina, sembari duduk di sebelah Vinko. "Untung kamu masih hidup, ya?""Aku pasti akan membalasnya!" seru Vinko."Kupikir setelah babak belur begini, kamu akan kapok dan berhenti mengejar kakak iparmu," Regina mendengus kesal menghadapi Vinko yang keras kepala.Vinko menggeleng penuh