Share

Bab 6 Gaun Merah Marun

“Bagaimana? Ibu mau coba?” tegur mahasiswa itu, karena tahu Rania tengah melamun.

Rania tergagap, kemudian mulai bersikap lebih tenang. “Apa?”

Mahasiswa itu tersenyum geli. Kemudian menyerahkan remote drone miliknya pada Rania. “Ibu cukup tekan tombol ini untuk naik, dan dua tombol ini untuk mengatur gerakannya,” jelasnya.

Meskipun gengsi untuk mencoba, namun Rania penasaran. Dia pun membuang perasaan gengsinya sendiri, dan mengikuti arahan sang mahasiswa untuk mencoba menerbangkan drone itu.

Saat drone itu perlahan mulai naik–meski pergerakannya kacau, senyum Rania mengembang lebar. Dia tidak pernah merasa seasyik ini dengan suatu hal, yang di satu sisi membuatnya fokus namun juga membuatnya senang.

Diam-diam, si mahasiswa melirik ke arah Rania dengan senyum hangat. “Ngomong-ngomong, namaku Vinko,” ujarnya memperkenalkan diri.

“Oh, Vinko,” gumam Rania, terus fokus pada drone itu. “Jadi kamu mahasiswa baru angkatan tahun ini?”

“Siapa bilang?”

Dahi Rania berkerut. Dia menoleh patah-patah ke arah Vinko. “Kamu ikut kelasku tadi, dan kebanyakan mahasiswa baru,”

“Aku mengulang lagi,” jawab Vinko, sembari meringis.

Rania tertawa. Hingga tanpa sadar drone itu mulai terbang tak seimbang, dan meluncur bebas hampir jatuh andai Vinko tidak sigap menangkapnya.

“Maaf, ya?” sesal Rania, ketika menyadari hampir saja merusak drone milik Vinko.

“Tidak masalah, Bu,” sahut Vinko. “Apalagi untuk ibu dosen cantik seperti Bu Rania,” selorohnya santai, melirik Rania untuk melihat reaksinya.

Wajah Rania bersemu merah. Bukan karena tersipu senang, melainkan malu. Dia tidak pernah digoda oleh lelaki muda dibawah usianya, dan hal itu sungguh memuakkan.

Maka Rania serta merta menarik tasnya, pergi meninggalkan Vinko tanpa mengucapkan apapun.

“Bu Rania?” panggil Vinko.

Namun Rania terus berjalan cepat, karena kebetulan dia juga sudah melihat mobil Arif terparkir tak jauh dari sana.

Vinko hendak menyusul, namun langkahnya terhenti saat melihat Rania masuk ke dalam mobil sedan hitam yang dikendarai Arif. Tatapannya gamang, penuh rasa ingin tahu.

“Maaf terlambat, Ran,” ujar Arif, sesaat setelah Rania duduk di jok belakang.

Rania menggeleng. “Kemana kita akan bertemu Tama?”

“Tempat biasa kalian bertemu, saat kencan di hari Minggu,”

“Tempat itu?” Rania melempar pandangan ke luar kaca mobil, sembari menggigit bibir.

Dia sangat tahu tempat yang dimaksud. Bukan karena dia tidak menyukainya, tapi karena rasa trauma yang ditorehkan Rama padanya mengenai tempat itu.

“Rif, apa yang harus kulakukan?” tanya Rania, ketika jemarinya mulai gemetar ketakutan.

Arif melirik Rania sekilas dari spion depan. Lalu dia memejamkan mata sejenak. “Maafkan aku. Aku tidak bisa melindungimu,” sesalnya.

Lalu Arif tampak meraih sebuah tas berbahan kertas yang diletakkan di sampingnya. Dan memberikan itu pada Rania.

“Tuan Tama menyuruhku memberikan ini padamu. Dan harus kamu pakai sebelum menemuinya,” ucapnya.

Rania segera memeriksa isi tas, dan menemukan sebuah gaun sangat cantik sekaligus sangat minim. Gaun itu berwarna merah marun dengan aksen berkilauan.

Rania meremasnya, menunduk demi menjaga agar jemarinya tak lagi gemetar. “Aku tidak bisa, Rif. Aku tidak bisa terus seperti ini … “ Rania mulai terisak.

Arif tidak menjawab. Suara isakan tangis Rania cukup membuat tenggorokannya tercekat tak berdaya.

“Dia benar-benar monster … terkutuk … “ Rania mengumpati Tama dalam tangisannya.

Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit serta berganti pakaian, kini tibalah Rania di sebuah restoran mewah yang dimaksud.

Arif segera mengantarnya menuju ruang makan privat yang khusus dipesan Tama setiap kali mengajak Rania bertemu di restoran mewah ini.

Dan Rania menutupi seluruh tubuhnya dengan jaket besar pemberian Arif. Dadanya berdegup kencang, bersamaan dengan langkah kakinya yang bergerak cepat mengikuti arahan Arif.

“Masuklah,” ucap Arif pelan, setelah sampai di ruangan yang dimaksud.

Rania meringis. “Tolong aku,” bisiknya.

Arif menggeleng. Kemudian menuntun langkah Rania untuk maju ke dalam ruangan, karena Tama sudah menunggu.

Saat sudah masuk, Tama berseru senang melihat Rania datang. Dan di sana Rania bisa melihat suaminya itu sedang duduk santai bersama dengan dua orang yang tampak seperti koleganya.

Tama menarik tubuh Rania, untuk diperkenalkan satu persatu dengan para kolega itu. Dan setelah selesai berkenalan, Tama menautkan kedua alisnya, saat melihat Rania masih merapatkan jaket besar menutupi tubuhnya.

“Lepaskan, Sayang,” bisik Tama, memberi isyarat.

Rania tampak ragu. Dia tidak ingin melepas jaket besar itu, karena minimnya gaun yang dia kenakan. Gaun yang seharusnya cukup dinikmati berdua bersama Tama, tapi karena kegilaan Tama, terpaksa harus dia pakai di depan para kolega suaminya.

“Buka,” Tama memberi peringatan keras dengan tatapan tajam.

Mau tak mau Rania menurut. Dengan berat hati, dia melepas jaket besar itu. Dan dua kolega Tama seketika terdiam saat melihat lekukan tubuh indah Rania yang dibalut gaun minim merah marun pemberian Tama.

Sementara Tama tampak angkuh, memandang Rania dari atas sampai bawah dengan tatapan bangga seakan Rania adalah barang miliknya.

“Bagaimana?” Tama mengedarkan pandangan pada dua koleganya. “Apakah istriku cantik?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status