“Bagaimana? Ibu mau coba?” tegur mahasiswa itu, karena tahu Rania tengah melamun.
Rania tergagap, kemudian mulai bersikap lebih tenang. “Apa?”Mahasiswa itu tersenyum geli. Kemudian menyerahkan remote drone miliknya pada Rania. “Ibu cukup tekan tombol ini untuk naik, dan dua tombol ini untuk mengatur gerakannya,” jelasnya.Meskipun gengsi untuk mencoba, namun Rania penasaran. Dia pun membuang perasaan gengsinya sendiri, dan mengikuti arahan sang mahasiswa untuk mencoba menerbangkan drone itu.Saat drone itu perlahan mulai naik–meski pergerakannya kacau, senyum Rania mengembang lebar. Dia tidak pernah merasa seasyik ini dengan suatu hal, yang di satu sisi membuatnya fokus namun juga membuatnya senang.Diam-diam, si mahasiswa melirik ke arah Rania dengan senyum hangat. “Ngomong-ngomong, namaku Vinko,” ujarnya memperkenalkan diri.“Oh, Vinko,” gumam Rania, terus fokus pada drone itu. “Jadi kamu mahasiswa baru angkatan tahun ini?”“Siapa bilang?”Dahi Rania berkerut. Dia menoleh patah-patah ke arah Vinko. “Kamu ikut kelasku tadi, dan kebanyakan mahasiswa baru,”“Aku mengulang lagi,” jawab Vinko, sembari meringis.Rania tertawa. Hingga tanpa sadar drone itu mulai terbang tak seimbang, dan meluncur bebas hampir jatuh andai Vinko tidak sigap menangkapnya.“Maaf, ya?” sesal Rania, ketika menyadari hampir saja merusak drone milik Vinko.“Tidak masalah, Bu,” sahut Vinko. “Apalagi untuk ibu dosen cantik seperti Bu Rania,” selorohnya santai, melirik Rania untuk melihat reaksinya.Wajah Rania bersemu merah. Bukan karena tersipu senang, melainkan malu. Dia tidak pernah digoda oleh lelaki muda dibawah usianya, dan hal itu sungguh memuakkan.Maka Rania serta merta menarik tasnya, pergi meninggalkan Vinko tanpa mengucapkan apapun.“Bu Rania?” panggil Vinko.Namun Rania terus berjalan cepat, karena kebetulan dia juga sudah melihat mobil Arif terparkir tak jauh dari sana.Vinko hendak menyusul, namun langkahnya terhenti saat melihat Rania masuk ke dalam mobil sedan hitam yang dikendarai Arif. Tatapannya gamang, penuh rasa ingin tahu.“Maaf terlambat, Ran,” ujar Arif, sesaat setelah Rania duduk di jok belakang.Rania menggeleng. “Kemana kita akan bertemu Tama?”“Tempat biasa kalian bertemu, saat kencan di hari Minggu,”“Tempat itu?” Rania melempar pandangan ke luar kaca mobil, sembari menggigit bibir.Dia sangat tahu tempat yang dimaksud. Bukan karena dia tidak menyukainya, tapi karena rasa trauma yang ditorehkan Rama padanya mengenai tempat itu.“Rif, apa yang harus kulakukan?” tanya Rania, ketika jemarinya mulai gemetar ketakutan.Arif melirik Rania sekilas dari spion depan. Lalu dia memejamkan mata sejenak. “Maafkan aku. Aku tidak bisa melindungimu,” sesalnya.Lalu Arif tampak meraih sebuah tas berbahan kertas yang diletakkan di sampingnya. Dan memberikan itu pada Rania.“Tuan Tama menyuruhku memberikan ini padamu. Dan harus kamu pakai sebelum menemuinya,” ucapnya.Rania segera memeriksa isi tas, dan menemukan sebuah gaun sangat cantik sekaligus sangat minim. Gaun itu berwarna merah marun dengan aksen berkilauan.Rania meremasnya, menunduk demi menjaga agar jemarinya tak lagi gemetar. “Aku tidak bisa, Rif. Aku tidak bisa terus seperti ini … “ Rania mulai terisak.Arif tidak menjawab. Suara isakan tangis Rania cukup membuat tenggorokannya tercekat tak berdaya.“Dia benar-benar monster … terkutuk … “ Rania mengumpati Tama dalam tangisannya.Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit serta berganti pakaian, kini tibalah Rania di sebuah restoran mewah yang dimaksud.Arif segera mengantarnya menuju ruang makan privat yang khusus dipesan Tama setiap kali mengajak Rania bertemu di restoran mewah ini.Dan Rania menutupi seluruh tubuhnya dengan jaket besar pemberian Arif. Dadanya berdegup kencang, bersamaan dengan langkah kakinya yang bergerak cepat mengikuti arahan Arif.“Masuklah,” ucap Arif pelan, setelah sampai di ruangan yang dimaksud.Rania meringis. “Tolong aku,” bisiknya.Arif menggeleng. Kemudian menuntun langkah Rania untuk maju ke dalam ruangan, karena Tama sudah menunggu.Saat sudah masuk, Tama berseru senang melihat Rania datang. Dan di sana Rania bisa melihat suaminya itu sedang duduk santai bersama dengan dua orang yang tampak seperti koleganya.Tama menarik tubuh Rania, untuk diperkenalkan satu persatu dengan para kolega itu. Dan setelah selesai berkenalan, Tama menautkan kedua alisnya, saat melihat Rania masih merapatkan jaket besar menutupi tubuhnya.“Lepaskan, Sayang,” bisik Tama, memberi isyarat.Rania tampak ragu. Dia tidak ingin melepas jaket besar itu, karena minimnya gaun yang dia kenakan. Gaun yang seharusnya cukup dinikmati berdua bersama Tama, tapi karena kegilaan Tama, terpaksa harus dia pakai di depan para kolega suaminya.“Buka,” Tama memberi peringatan keras dengan tatapan tajam.Mau tak mau Rania menurut. Dengan berat hati, dia melepas jaket besar itu. Dan dua kolega Tama seketika terdiam saat melihat lekukan tubuh indah Rania yang dibalut gaun minim merah marun pemberian Tama.Sementara Tama tampak angkuh, memandang Rania dari atas sampai bawah dengan tatapan bangga seakan Rania adalah barang miliknya.“Bagaimana?” Tama mengedarkan pandangan pada dua koleganya. “Apakah istriku cantik?”Salah satu dari mereka tampak menelan ludah, dengan peluh perlahan menetes saat melihat tampilan seksi Rania.“Brengsek … “ umpat Tama, seraya menodongkan pistol.Kolega yang ditodong pistol itu spontan angkat tangan dengan badan gemetar ketakutan.“Apa kau menjadikan istriku fantasi seksualmu?” Tama bertahan dengan pistolnya. Dengan senyum menyeringai, dia mengarahkan pistol itu tepat di kepala sang kolega.“M-maafkan saya, Tuan Tama,” Bergetar suara si kolega, sangat takut Tama akan menarik pelatuk pistol itu.Selain suasana yang menegang diantara Tama dan dua koleganya, Rania pun ikut gemetar. Sebenarnya ini bukanlah pengalaman pertama baginya, saat Tama tiba-tiba marah setelah dengan sukarela mempertontonkan Rania.Tapi Rania tidak bisa terbiasa dengan hal sadis itu. Badannya akan gemetar seakan mengalami serangan panik.“Tapi Tuan–” Salah satu dari dua kolega–yang tidak ditodong pistol tiba-tiba bersuara. “Kenapa Anda marah, padahal Anda sendiri yang menunjukkan istri Anda pada k
“Rania, aku merasa sedikit pusing,” ucap Tama keesokan paginya, saat menghampiri Rania yang sedang mandi.Senyum tipis terulas samar di bibir Rania. “Mungkin kamu kurang sehat, Sayang. Bagaimana kalau hari ini tidak usah ke kantor?”“Tidak bisa. Ada banyak tugas yang harus kuselesaikan,”“Kalau begitu, biar aku hubungi Arif untuk menjemputmu,” Rania mengambil handuknya.Namun Tama buru-buru menggenggam kedua tangannya, mulai menelusuri seluruh tubuhnya yang sudah bersih itu.“Aku harus ke kampus pagi ini,” ucap Rania, meski dia tidak melawan.“Lebih penting mana, aku atau mahasiswamu?” balas Tama. “Ingat, akulah yang membiayai semua kebutuhanmu,”Rania tidak bisa berkutik. Meskipun benci, namun melawan Tama secara terang-terangan bukanlah ide yang baik.“Argh!” Tama tiba-tiba mengerang, sedikit limbung dengan tangan mencengkeram kepalanya. Dia tampak kesakitan.Rania buru-buru memegang tubuh Tama, dengan ekspresi cemas. “Ada apa?” tanyanya. Padahal dalam hati, Rania senang karena sep
“Keluarlah,” suruh Tama, ketika mobil yang dikemudikan Arif itu sudah sampai di depan pelataran kampus Rania.Rania gemetaran, memegangi ujung gaunnya yang tampak makin naik. Dia berusaha menurunkan ujung gaun itu.“Kenapa ditutupi?” hardik Tama. “Ini adalah gaun limited edition, berharga puluhan juta dan hanya untukmu. Kamu harusnya bangga memakainya,” kelakar Tama dengan senyum licik.“Tapi bukan untuk dipakai di kampus,” ucap Rania pelan.“Bukan hakmu untuk bicara,” Tama berbisik di telinga Rania. Lalu dia lingkarkan lengannya di pundak istrinya itu. “Sekarang turunlah. Biar semua orang memandang kearahmu,”“T-tidak, Sayang,” Suara Rania juga gemetar. Bagaimana mungkin dia mengajar dengan gaun sangat minim yang hanya pantas digunakan untuk acara pesta malam hari?“Keluar! Sekarang!” paksa Tama, menyuruh Arif turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk Rania.Tama sedikit mendorong Rania agar dia segera turun dari mobil.“Nikmatilah hukumanmu,” ujar Tama, tertawa licik bahagia saat
“Vin, aku terlambat!” seru Rania, tiba-tiba bangkit berdiri. Kepalanya lurus menatap jam di tangan.Vinko menganga. “Ibu masih berani masuk kelas dengan baju mau manggung ini?”Lalu Rania tersadar. Otomatis dia memeluk tubuhnya dan terduduk kaku. “Kamu benar. Aku tidak mungkin masuk kelas dengan baju seperti ini,” timpal Rania.“Bu Rania belum menjawab pertanyaanku,”“Pertanyaan apa?”Vinko mengernyitkan dahi. “Kenapa Ibu memakai baju seperti ini?”Rania terdiam. Dia tidak mungkin bilang bahwa suaminya yang menyuruh. Itu sama saja membuka aibnya sendiri.“Jangan banyak bertanya,” hardik Rania. “Sedikit sopanlah pada orang yang lebih tua, apalagi aku dosenmu,”Vinko mencibir. “Tunggu disini, Bu. Aku akan segera kembali,” Dia berlari. Tak peduli meski Rania berteriak memanggilnya untuk kembali.Rania tidak punya pilihan selain duduk diam di taman itu. Namun pandangan matanya tetap waspada, barangkali ada mobil Tama terparkir di suatu tempat dan mengawasinya.“Bu Rania!” Vinko berteriak,
Vinko terus memberontak. Dia menendang ke segala arah, karena kini tangan dan mulutnya dikunci.Tiga orang pria besar itu berkali-kali mengumpat karena Vinko mengamuk secara membabi-buta. Tak mereka sangka jika pria muda seperti Vinko cukup energik hingga bisa terus melawan meski dibentak dan dipukul terus-menerus.Vinko bisa merasakan, saat mobil van hitam itu mulai memasuki suatu tempat. Mereka berhenti dengan kasar, dan mengeluarkan Vinko pun dengan cara yang kasar.Mereka membanting Vinko begitu saja.“Dimana aku?! Woi, dimana aku!!” teriak Vinko, karena sekarang matanya juga ikut ditutup.Ketiga pria itu saling tatap dan tak mau bertindak gegabah sebelum ketua mereka–yang bertugas mengemudi datang.Meskipun sudah tak sabar ingin menghajar Vinko, namun ketiga pria itu memilih untuk menunggu hingga ketua mereka turun dari mobil.Dan ketua mereka adalah Arif. Dengan gerakan lambat yang dramatis, Arif melempar tiga pasang sarung tangan pada anak buahnya. Seakan berusaha menghilangkan
“Kita harus bebaskan dia. Malam ini juga. Antar dia ke rumah sakit,” perintah Arif. Raut mukanya tampak menegang setelah memeriksa kondisi Vinko yang babak belur.“Tapi Bos, bukankah Tuan … ““Lakukan saja! Kalian hanya pesuruh, aku tidak butuh pendapat kalian,” sambar Arif, kesal karena anak buahnya itu tidak segera bergegas.Melihat kemarahan Arif, mereka bertiga tidak mau ambil resiko. Dua orang segera melepas tali yang melilit tubuh Vinko, dan satunya menyiapkan van hitam untuk membawanya ke rumah sakit.“Bawa ke rumah sakit milik Tuan. Apapun yang terjadi, jangan ada yang buka mulut,”Setelah ketiga anak buahnya–beserta Vinko pergi, Arif mulai memutar otak untuk mengatur strategi. Bagaimana pun, Tama tidak boleh terlibat. Dia harus menyelesaikan masalah Vinko seorang diri, karena bekerja di lapangan adalah tanggung jawabnya.Dan sampailah Vinko di UGD rumah sakit, dengan muka berlumuran darah dan tubuh sakit luar biasa akibat dipukuli.Dia sadar dia telah berada di tempat aman–ru
Tama memeluk erat bahu Rania. Seakan memberi peringatan pada Vinko, bahwa Rania adalah miliknya. Tama tersenyum licik. “Jika aku tahu, kita pasti sudah jadi teman baik, kan?” timpalnya.Vinko balas tersenyum. Rasa nyeri yang menjalar ke seluruh sisi wajahnya itu kini sudah tidak berasa. Tergantikan oleh perasaan marah, karena ternyata kakaknya yang membuat dia babak belur.“Kamu sangat mencintai istrimu, ya?” Vinko seperti sengaja memancing.“Tama, Vinko, kenapa jadi tegang begini?” Nita berusaha mencairkan suasana. Dia merangkul bahu Vinko, dengan senyum kikuk ke arah Tama. “Kamu sudah besar ya, Tama?” selorohnya berusaha membuyarkan ketegangan antara Tama dan Vinko.“Aku sudah dua puluh tahun saat kau menikah dengan Ayah,” sahut Tama culas.Nita salah tingkah. Dengan tawa paksa yang justru makin memperkeruh suasana, dia menarik pelan tangan Vinko untuk menjauhi Tama.Vinko tak bisa mengalihkan pandangannya dari Tama. Pun demikian dengan Tama. Mereka berdua seakan sedang bertikai me
"Laura, hentikan," Suara menggema dari Tuan Hadi, berhasil membungkam mulut Laura. Gadis itu–meski setengah sempoyongan memilih untuk mengalah dan pergi meninggalkan Dewi, ibunya.Hubungan Laura dengan ayah dan ibunya memang selalu tegang. Sebagai keluarga lintah darat yang paling berpengaruh di seluruh penjuru kota, sudah selayaknya jika Tuan Hadi lebih mengharapkan anak laki-laki hadir dalam kehidupannya. Selain bisa dia gunakan sebagai pewaris, anak laki-laki dianggapnya mampu untuk menjaga agar kekuatan internal keluarga Hadi tetap terjaga tanpa campur tangan orang luar.Maka Laura hidup sebagai sebuah beban, yang terus menghantuinya seumur hidup. Dia sadar, dia tidak diinginkan. Apalagi setelah tahu jika Nita, selingkuhan ayahnya juga memiliki seorang anak laki-laki. Namun Laura tidak berdaya. Dia tidak punya cukup nyali untuk memberontak dan pergi meninggalkan keluarga yang terus memberikan segala fasilitas paling mewah yang pernah ada."Lau … " Rani