Salah satu dari mereka tampak menelan ludah, dengan peluh perlahan menetes saat melihat tampilan seksi Rania.
“Brengsek … “ umpat Tama, seraya menodongkan pistol.Kolega yang ditodong pistol itu spontan angkat tangan dengan badan gemetar ketakutan.“Apa kau menjadikan istriku fantasi seksualmu?” Tama bertahan dengan pistolnya. Dengan senyum menyeringai, dia mengarahkan pistol itu tepat di kepala sang kolega.“M-maafkan saya, Tuan Tama,” Bergetar suara si kolega, sangat takut Tama akan menarik pelatuk pistol itu.Selain suasana yang menegang diantara Tama dan dua koleganya, Rania pun ikut gemetar. Sebenarnya ini bukanlah pengalaman pertama baginya, saat Tama tiba-tiba marah setelah dengan sukarela mempertontonkan Rania.Tapi Rania tidak bisa terbiasa dengan hal sadis itu. Badannya akan gemetar seakan mengalami serangan panik.“Tapi Tuan–” Salah satu dari dua kolega–yang tidak ditodong pistol tiba-tiba bersuara. “Kenapa Anda marah, padahal Anda sendiri yang menunjukkan istri Anda pada kami?”Tama menyeringai. “Kau … berani melawanku. Kau cukup cerdik,” komentar Tama. “Kau tahu aku tidak akan mungkin menembak kalian di tempat ini, makanya kau berani bicara,”Kemudian Tama menoleh pada Rania yang masih gemetaran. Dia mengelus pelan lengan Rania. “Sayang, sebaiknya kamu pulang dulu. Aku ada sedikit urusan dengan mereka,” bisik Tama sembari menggulung lengan kemeja panjangnya.Rania mengangguk patah-patah. Badannya masih gemetaran.Tak lama, Arif masuk ke dalam ruangan untuk menutupi tubuh Rania dengan kain lebar. Dan menuntun wanita itu meninggalkan ruangan.Buak! Buak!Setelah berada di luar, Rania bisa mendengar pukulan keras yang tampak terjadi bertubi-tubi, diiringi jerit kesakitan–yang entah dari siapa.Rania memeluk tubuhnya yang terbungkus kain lebar, masih gemetaran.“Mari pulang, Rania,” ajak Arif.“Apakah kalian puas saling menghabisi?” tanya Rania, tak mau beranjak.“Itulah kehidupan kami,” timpal Arif. “Kamu sudah hidup bersama kami selama empat tahun, harusnya kamu sudah terbiasa,”“Aku tidak akan terbiasa. Karena aku bukan bagian dari kalian,” sangkal Rania.Arif tidak menanggapi. Dia hanya membujuk Rania untuk pergi–tapi tetap bertahan di tempat.“Sebaiknya kita pergi, sebelum … ““Kamu masih disini,” Tama tiba-tiba membuka pintu.Arif tak lagi bisa melanjutkan ucapannya, dan Rania makin bergetar saat melihat suaminya itu.Dengan noda darah di kemejanya, bisa dipastikan Tamalah yang menghajar mereka berdua hingga babak belur.“Rif, tolong bereskan,” suruh Tama. “Jangan sampai ada yang tersisa,”“Baik, Tuan,” Arif mengangguk patuh, lalu masuk ke dalam.“Huek!” Rania tiba-tiba mual. Bukan karena apa, tapi karena membayangkan tubuh lebam penuh luka dari dua kolega Tama itu.Tama melingkarkan lengannya di pundak Rania. “Mari kita menghabiskan malam bersama. Di hotel kesukaanmu,” bisik Tama, lalu mengecap leher Rania penuh gairah.“S-sebaiknya kita bersihkan dulu bajumu,”“Tentu saja, Sayang. Bersihkan sampai bersih,” Tama menggoda Rania, membuat bulu kuduk wanita itu berdiri.***“Rania,” panggil Tama, setelah Rania membersihkan diri dan keluar dari kamar mandi hotel.Dengan menggunakan piyama handuk, Rania menghampiri Tama. Dia buka satu persatu kancing kemeja Tama yang penuh noda darah.“Biar kubersihkan dulu bajumu,” ucap Rania, tanpa sedikitpun senyum terulas di bibirnya.Tama tersenyum–lebih seperti menyeringai. “Mandikan aku,” pintanya.Rania tidak menjawab. Dia hanya menuntun langkah Tama untuk memasuki kamar mandi, menunaikan tugasnya sebagai seorang istri yang baik.“Bagaimana? Apa kamu menikmati hidangan di restoran tadi?” tanya Tama sembari Rania membersihkan tubuhnya.“Hidangan?” ulang Rania penuh penekanan. “Manakah yang kamu maksud hidangan?”Gelak tawa tak dapat terbendung dari bibir Tama. “Kamu memang seorang wanita pintar. Tak salah aku membiayai pendidikanmu,”Rania tak bergeming.“Kuharap para dosen itu memperlakukanmu dengan baik,” ujar Tama, saat Rania membasuh sisa sabun dari badannya.“Mereka sangat menghormatiku sebagai rekan kerja,”“Oh iya–” Tama berseru, seperti ingat sesuatu. “Apakah ada sesuatu yang unik di kelasmu?”“Unik?”“Iya! Mungkin … kamu–” Tama tak melanjutkan ucapannya. “Sudah, lupakan,”Rania tidak minat dengan pembahasan Tama, maka dia diam saja meski Tama memutus ucapannya begitu saja.Dia melanjutkan aktivitasnya, menjadi istri yang melayani dan memuaskan Tama.Setelah membuat Tama dimabuk kepayang dengan permainannya di kamar mandi, Rania mulai mengenakan piyama handuknya kembali.“Aku tadi belum sempat makan malam di restoran, jadi sekarang aku lapar,” tukas Rania.“Kamu mau apa, Sayang?”“Aku akan memesan makanan, selagi kamu membersihkan diri,”Tama mengangguk saja. Tanpa tahu jika Rania sengaja memesan makanan, demi bisa memasukkan obat yang dapat membunuh Tama secara perlahan.Tak lama setelah Rania memesan makanan, pesanan mereka pun diantar ke dalam kamar.“Ini nasi goreng kesukaanmu,” Dengan senyum manis, Rania menyerahkan nasi goreng beracun itu pada Tama.“Rania, aku merasa sedikit pusing,” ucap Tama keesokan paginya, saat menghampiri Rania yang sedang mandi.Senyum tipis terulas samar di bibir Rania. “Mungkin kamu kurang sehat, Sayang. Bagaimana kalau hari ini tidak usah ke kantor?”“Tidak bisa. Ada banyak tugas yang harus kuselesaikan,”“Kalau begitu, biar aku hubungi Arif untuk menjemputmu,” Rania mengambil handuknya.Namun Tama buru-buru menggenggam kedua tangannya, mulai menelusuri seluruh tubuhnya yang sudah bersih itu.“Aku harus ke kampus pagi ini,” ucap Rania, meski dia tidak melawan.“Lebih penting mana, aku atau mahasiswamu?” balas Tama. “Ingat, akulah yang membiayai semua kebutuhanmu,”Rania tidak bisa berkutik. Meskipun benci, namun melawan Tama secara terang-terangan bukanlah ide yang baik.“Argh!” Tama tiba-tiba mengerang, sedikit limbung dengan tangan mencengkeram kepalanya. Dia tampak kesakitan.Rania buru-buru memegang tubuh Tama, dengan ekspresi cemas. “Ada apa?” tanyanya. Padahal dalam hati, Rania senang karena sep
“Keluarlah,” suruh Tama, ketika mobil yang dikemudikan Arif itu sudah sampai di depan pelataran kampus Rania.Rania gemetaran, memegangi ujung gaunnya yang tampak makin naik. Dia berusaha menurunkan ujung gaun itu.“Kenapa ditutupi?” hardik Tama. “Ini adalah gaun limited edition, berharga puluhan juta dan hanya untukmu. Kamu harusnya bangga memakainya,” kelakar Tama dengan senyum licik.“Tapi bukan untuk dipakai di kampus,” ucap Rania pelan.“Bukan hakmu untuk bicara,” Tama berbisik di telinga Rania. Lalu dia lingkarkan lengannya di pundak istrinya itu. “Sekarang turunlah. Biar semua orang memandang kearahmu,”“T-tidak, Sayang,” Suara Rania juga gemetar. Bagaimana mungkin dia mengajar dengan gaun sangat minim yang hanya pantas digunakan untuk acara pesta malam hari?“Keluar! Sekarang!” paksa Tama, menyuruh Arif turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk Rania.Tama sedikit mendorong Rania agar dia segera turun dari mobil.“Nikmatilah hukumanmu,” ujar Tama, tertawa licik bahagia saat
“Vin, aku terlambat!” seru Rania, tiba-tiba bangkit berdiri. Kepalanya lurus menatap jam di tangan.Vinko menganga. “Ibu masih berani masuk kelas dengan baju mau manggung ini?”Lalu Rania tersadar. Otomatis dia memeluk tubuhnya dan terduduk kaku. “Kamu benar. Aku tidak mungkin masuk kelas dengan baju seperti ini,” timpal Rania.“Bu Rania belum menjawab pertanyaanku,”“Pertanyaan apa?”Vinko mengernyitkan dahi. “Kenapa Ibu memakai baju seperti ini?”Rania terdiam. Dia tidak mungkin bilang bahwa suaminya yang menyuruh. Itu sama saja membuka aibnya sendiri.“Jangan banyak bertanya,” hardik Rania. “Sedikit sopanlah pada orang yang lebih tua, apalagi aku dosenmu,”Vinko mencibir. “Tunggu disini, Bu. Aku akan segera kembali,” Dia berlari. Tak peduli meski Rania berteriak memanggilnya untuk kembali.Rania tidak punya pilihan selain duduk diam di taman itu. Namun pandangan matanya tetap waspada, barangkali ada mobil Tama terparkir di suatu tempat dan mengawasinya.“Bu Rania!” Vinko berteriak,
Vinko terus memberontak. Dia menendang ke segala arah, karena kini tangan dan mulutnya dikunci.Tiga orang pria besar itu berkali-kali mengumpat karena Vinko mengamuk secara membabi-buta. Tak mereka sangka jika pria muda seperti Vinko cukup energik hingga bisa terus melawan meski dibentak dan dipukul terus-menerus.Vinko bisa merasakan, saat mobil van hitam itu mulai memasuki suatu tempat. Mereka berhenti dengan kasar, dan mengeluarkan Vinko pun dengan cara yang kasar.Mereka membanting Vinko begitu saja.“Dimana aku?! Woi, dimana aku!!” teriak Vinko, karena sekarang matanya juga ikut ditutup.Ketiga pria itu saling tatap dan tak mau bertindak gegabah sebelum ketua mereka–yang bertugas mengemudi datang.Meskipun sudah tak sabar ingin menghajar Vinko, namun ketiga pria itu memilih untuk menunggu hingga ketua mereka turun dari mobil.Dan ketua mereka adalah Arif. Dengan gerakan lambat yang dramatis, Arif melempar tiga pasang sarung tangan pada anak buahnya. Seakan berusaha menghilangkan
“Kita harus bebaskan dia. Malam ini juga. Antar dia ke rumah sakit,” perintah Arif. Raut mukanya tampak menegang setelah memeriksa kondisi Vinko yang babak belur.“Tapi Bos, bukankah Tuan … ““Lakukan saja! Kalian hanya pesuruh, aku tidak butuh pendapat kalian,” sambar Arif, kesal karena anak buahnya itu tidak segera bergegas.Melihat kemarahan Arif, mereka bertiga tidak mau ambil resiko. Dua orang segera melepas tali yang melilit tubuh Vinko, dan satunya menyiapkan van hitam untuk membawanya ke rumah sakit.“Bawa ke rumah sakit milik Tuan. Apapun yang terjadi, jangan ada yang buka mulut,”Setelah ketiga anak buahnya–beserta Vinko pergi, Arif mulai memutar otak untuk mengatur strategi. Bagaimana pun, Tama tidak boleh terlibat. Dia harus menyelesaikan masalah Vinko seorang diri, karena bekerja di lapangan adalah tanggung jawabnya.Dan sampailah Vinko di UGD rumah sakit, dengan muka berlumuran darah dan tubuh sakit luar biasa akibat dipukuli.Dia sadar dia telah berada di tempat aman–ru
Tama memeluk erat bahu Rania. Seakan memberi peringatan pada Vinko, bahwa Rania adalah miliknya. Tama tersenyum licik. “Jika aku tahu, kita pasti sudah jadi teman baik, kan?” timpalnya.Vinko balas tersenyum. Rasa nyeri yang menjalar ke seluruh sisi wajahnya itu kini sudah tidak berasa. Tergantikan oleh perasaan marah, karena ternyata kakaknya yang membuat dia babak belur.“Kamu sangat mencintai istrimu, ya?” Vinko seperti sengaja memancing.“Tama, Vinko, kenapa jadi tegang begini?” Nita berusaha mencairkan suasana. Dia merangkul bahu Vinko, dengan senyum kikuk ke arah Tama. “Kamu sudah besar ya, Tama?” selorohnya berusaha membuyarkan ketegangan antara Tama dan Vinko.“Aku sudah dua puluh tahun saat kau menikah dengan Ayah,” sahut Tama culas.Nita salah tingkah. Dengan tawa paksa yang justru makin memperkeruh suasana, dia menarik pelan tangan Vinko untuk menjauhi Tama.Vinko tak bisa mengalihkan pandangannya dari Tama. Pun demikian dengan Tama. Mereka berdua seakan sedang bertikai me
"Laura, hentikan," Suara menggema dari Tuan Hadi, berhasil membungkam mulut Laura. Gadis itu–meski setengah sempoyongan memilih untuk mengalah dan pergi meninggalkan Dewi, ibunya.Hubungan Laura dengan ayah dan ibunya memang selalu tegang. Sebagai keluarga lintah darat yang paling berpengaruh di seluruh penjuru kota, sudah selayaknya jika Tuan Hadi lebih mengharapkan anak laki-laki hadir dalam kehidupannya. Selain bisa dia gunakan sebagai pewaris, anak laki-laki dianggapnya mampu untuk menjaga agar kekuatan internal keluarga Hadi tetap terjaga tanpa campur tangan orang luar.Maka Laura hidup sebagai sebuah beban, yang terus menghantuinya seumur hidup. Dia sadar, dia tidak diinginkan. Apalagi setelah tahu jika Nita, selingkuhan ayahnya juga memiliki seorang anak laki-laki. Namun Laura tidak berdaya. Dia tidak punya cukup nyali untuk memberontak dan pergi meninggalkan keluarga yang terus memberikan segala fasilitas paling mewah yang pernah ada."Lau … " Rani
Rania tak berkutik, ketika Tama menggenggam erat kedua bahunya dan menyuruhnya untuk menyingkir. Arif berdiri di samping Rania, tak bergeming meski Rania bisa merasakan bahwa pria itu juga sama tegang sepertinya."Ada yang ingin kamu jelaskan padaku?" tanya Tama dengan nada berat, kepada Vinko. Tama sengaja membusungkan dada, demi memberi efek intimidasi pada Vinko.Namun sepertinya dia salah sangka. Vinko dan dirinya berbagi darah yang sama, sehingga bisa saja Vinko memiliki sifat yang sedikit banyak sama saja dengan Tama. Karena lelaki muda itu tampak tak gentar meski terus ditindas."Penjelasan seperti apa yang kamu mau?" tantang Vinko, dengan dagu diangkat.Tama menyunggingkan sebelah senyum. Merasa cukup tertarik dengan keberanian Vinko. Dia pun memasukkan satu tangan ke dalam saku celana, sembari berdehem."Apapun. Tentangmu–" Dia lalu menoleh ke arah Rania. "Dan tentang istriku,"Vinko balas tersenyum. Senyuman licik, dima