Share

Bab 7 Beracun

Salah satu dari mereka tampak menelan ludah, dengan peluh perlahan menetes saat melihat tampilan seksi Rania.

“Brengsek … “ umpat Tama, seraya menodongkan pistol.

Kolega yang ditodong pistol itu spontan angkat tangan dengan badan gemetar ketakutan.

“Apa kau menjadikan istriku fantasi seksualmu?” Tama bertahan dengan pistolnya. Dengan senyum menyeringai, dia mengarahkan pistol itu tepat di kepala sang kolega.

“M-maafkan saya, Tuan Tama,” Bergetar suara si kolega, sangat takut Tama akan menarik pelatuk pistol itu.

Selain suasana yang menegang diantara Tama dan dua koleganya, Rania pun ikut gemetar. Sebenarnya ini bukanlah pengalaman pertama baginya, saat Tama tiba-tiba marah setelah dengan sukarela mempertontonkan Rania.

Tapi Rania tidak bisa terbiasa dengan hal sadis itu. Badannya akan gemetar seakan mengalami serangan panik.

“Tapi Tuan–” Salah satu dari dua kolega–yang tidak ditodong pistol tiba-tiba bersuara. “Kenapa Anda marah, padahal Anda sendiri yang menunjukkan istri Anda pada kami?”

Tama menyeringai. “Kau … berani melawanku. Kau cukup cerdik,” komentar Tama. “Kau tahu aku tidak akan mungkin menembak kalian di tempat ini, makanya kau berani bicara,”

Kemudian Tama menoleh pada Rania yang masih gemetaran. Dia mengelus pelan lengan Rania. “Sayang, sebaiknya kamu pulang dulu. Aku ada sedikit urusan dengan mereka,” bisik Tama sembari menggulung lengan kemeja panjangnya.

Rania mengangguk patah-patah. Badannya masih gemetaran.

Tak lama, Arif masuk ke dalam ruangan untuk menutupi tubuh Rania dengan kain lebar. Dan menuntun wanita itu meninggalkan ruangan.

Buak! Buak!

Setelah berada di luar, Rania bisa mendengar pukulan keras yang tampak terjadi bertubi-tubi, diiringi jerit kesakitan–yang entah dari siapa.

Rania memeluk tubuhnya yang terbungkus kain lebar, masih gemetaran.

“Mari pulang, Rania,” ajak Arif.

“Apakah kalian puas saling menghabisi?” tanya Rania, tak mau beranjak.

“Itulah kehidupan kami,” timpal Arif. “Kamu sudah hidup bersama kami selama empat tahun, harusnya kamu sudah terbiasa,”

“Aku tidak akan terbiasa. Karena aku bukan bagian dari kalian,” sangkal Rania.

Arif tidak menanggapi. Dia hanya membujuk Rania untuk pergi–tapi tetap bertahan di tempat.

“Sebaiknya kita pergi, sebelum … “

“Kamu masih disini,” Tama tiba-tiba membuka pintu.

Arif tak lagi bisa melanjutkan ucapannya, dan Rania makin bergetar saat melihat suaminya itu.

Dengan noda darah di kemejanya, bisa dipastikan Tamalah yang menghajar mereka berdua hingga babak belur.

“Rif, tolong bereskan,” suruh Tama. “Jangan sampai ada yang tersisa,”

“Baik, Tuan,” Arif mengangguk patuh, lalu masuk ke dalam.

“Huek!” Rania tiba-tiba mual. Bukan karena apa, tapi karena membayangkan tubuh lebam penuh luka dari dua kolega Tama itu.

Tama melingkarkan lengannya di pundak Rania. “Mari kita menghabiskan malam bersama. Di hotel kesukaanmu,” bisik Tama, lalu mengecap leher Rania penuh gairah.

“S-sebaiknya kita bersihkan dulu bajumu,”

“Tentu saja, Sayang. Bersihkan sampai bersih,” Tama menggoda Rania, membuat bulu kuduk wanita itu berdiri.

***

“Rania,” panggil Tama, setelah Rania membersihkan diri dan keluar dari kamar mandi hotel.

Dengan menggunakan piyama handuk, Rania menghampiri Tama. Dia buka satu persatu kancing kemeja Tama yang penuh noda darah.

“Biar kubersihkan dulu bajumu,” ucap Rania, tanpa sedikitpun senyum terulas di bibirnya.

Tama tersenyum–lebih seperti menyeringai. “Mandikan aku,” pintanya.

Rania tidak menjawab. Dia hanya menuntun langkah Tama untuk memasuki kamar mandi, menunaikan tugasnya sebagai seorang istri yang baik.

“Bagaimana? Apa kamu menikmati hidangan di restoran tadi?” tanya Tama sembari Rania membersihkan tubuhnya.

“Hidangan?” ulang Rania penuh penekanan. “Manakah yang kamu maksud hidangan?”

Gelak tawa tak dapat terbendung dari bibir Tama. “Kamu memang seorang wanita pintar. Tak salah aku membiayai pendidikanmu,”

Rania tak bergeming.

“Kuharap para dosen itu memperlakukanmu dengan baik,” ujar Tama, saat Rania membasuh sisa sabun dari badannya.

“Mereka sangat menghormatiku sebagai rekan kerja,”

“Oh iya–” Tama berseru, seperti ingat sesuatu. “Apakah ada sesuatu yang unik di kelasmu?”

“Unik?”

“Iya! Mungkin … kamu–” Tama tak melanjutkan ucapannya. “Sudah, lupakan,”

Rania tidak minat dengan pembahasan Tama, maka dia diam saja meski Tama memutus ucapannya begitu saja.

Dia melanjutkan aktivitasnya, menjadi istri yang melayani dan memuaskan Tama.

Setelah membuat Tama dimabuk kepayang dengan permainannya di kamar mandi, Rania mulai mengenakan piyama handuknya kembali.

“Aku tadi belum sempat makan malam di restoran, jadi sekarang aku lapar,” tukas Rania.

“Kamu mau apa, Sayang?”

“Aku akan memesan makanan, selagi kamu membersihkan diri,”

Tama mengangguk saja. Tanpa tahu jika Rania sengaja memesan makanan, demi bisa memasukkan obat yang dapat membunuh Tama secara perlahan.

Tak lama setelah Rania memesan makanan, pesanan mereka pun diantar ke dalam kamar.

“Ini nasi goreng kesukaanmu,” Dengan senyum manis, Rania menyerahkan nasi goreng beracun itu pada Tama.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status