Ketika kamu tidak bisa mengontrol dengan baik amarahmu, sebaiknya engkau pergi menjauh. Hal itu yang dilakukan oleh Elang. Ia tidak mungkin terus menjadi tontonan orang banyak saat bertengkar dengan Kiya. Selain rasa malu, ia juga tidak ingin sampai hatinya mendidih mendengarkan cecaran Kiya dalam setiap kalimat yang keluar dari bibirnya.Ia baru sadar, seorang Huri terlalu baik untuk ia sakiti. Gadis itu mungkin hanya minta sedikit perhatian, tidak lebih. Bahkan jatah menginap tidak ada pun, ia tidak protes, lalu saat ini istrinya itu pergi meninggalkan dirinya. Bukan lagi hanya sekedar merajuk, tetapi juga menceraikannya.Elang melajukan motornya menuju kampus Huri. Lelaki itu tidak tahu harus ke mana lagi untuk mencari keberadaan istrinya. Ia mendesak Bu Latifah mengaku dan mengatakan di mana Huri kini, tetapi ibunya selalu mengatakan bahwa ia tidak tahu.Mungkin sebagian menganggapnya suami yang bodoh, karena benar-ben
Ternyata tidak semudah itu untuk melupakan lelaki bernama Elang Herlambang. Huri mulai kehilangan nafsu makan sejak kemarin. Mulutnya terasa pahit dan lidahnya terasa tebal. Semua makanan yang masuk ke dalam mulutnya terasa hambar dan membuat perutnya merasa mual.Hari ini yang paling parah. Rasa mual itu tidak mau berhenti, padahal dia sudah membawa mata dan tubuhnya untuk beristirahat. Sore hari Huri terbangun dengan wajah sembab, karena tidur siang yang sangat lama. Kepalanya terasa begitu berat dan menyiksa."Non Huri, masih gak enak badan?" tanya Bik Upah yang menemaninya selama tiga hari ini."Iya, Bik. Saya mau dikerokin ya, Bik. Sepertinya masuk angin," kata Huri sambil menunjuk minyak kayu putih yang ada di meja dengan dagunya.Bik Ipah masuk ke dalam kamar Huri, lalu meraih botol minyak kayu putih dan mengambil uang koin dari dalam saku dasternya. Hur
Elang tiba lebih awal di pengadilan. Setelah mengonfirmasi kehadiran pada petugas, Elang duduk di kursi tunggu yang sudah disediakan. Orang berlalu-lalang pun banyak. Bola matanya bergerak ke sana-kemari memperhatikan begitu banyak orang di tempat seperti ini.Ada yang membawa anak kecil, orang tuanya, mungkin temannya, dan juga ada yang membawa bayi. Sungguh kasihan anak sekecil itu sudah merasakan panasnya udara persidangan.Elang masih mencari keberadaan Huri dan ibunya. Sambil mengunyah potongan buah mangga yang ia bawa dari rumah, mata Elang tidak berkedip memantau gerbang masuk pengadilan."Masih pagi sudah makan mangga, Mas, perutnya gak sakit?" tanya seorang ibu yang baru saja duduk di sampingnya."Iya, Bu, saya tidak bisa makan apapun, rasanya eneg. Malah makan mangga seperti ini baru tidak mual," jawab Elang sambil memegang perutnya. Si Ibu tersenyum hangat, lalu berkata, "istrinya sedang hamil y
Elang memilih langsung pulang ke rumah karena merasa demam dan sakit kepalanya semakin berat. Dengan mengendarai motornya, lelaki itu sempat berhenti tiba-tiba beberapa kali karena pandangannya yang samar menatap jalan raya yang hari ini sangat ramai. Jika bisa berteriak, ia ingin sekali langsung ada yang menggotongnya untuk berbaring di ranjang. Namun tidak mungkin, dengan sisa tenaga ia mengendari motor dengan sangat pelan, hingga berhasil sampai di rumah dengan selamat.Kiya yang sedang memasak di dapur, langsung meninggalkan aktifitasnya untuk menghampiri suaminya yang pulang lebih awal. Diraihnya kerudung yang ia gantung di punggung kursi, lalu ia pakai asal. Pintu depan ia kunci tadi, sehingga suara ketukan dari suaminya membuat Kiya bergegas mencari kunci rumah yang tiba-tiba saja lupa di mana ia taruh.TokTok"Assalamualaikum, Kiya ... cepat buka pintunya," seru Elang dengan suara lemas di seberang sana.
"Bagaimana, Bu?" Bu Rima menatap nanar layar monitor USG. Matanya yang mulai berkaca-kaca mengerjap beberapa kali. Ia akan menjadi seorang nenek sebentar lagi. Bukan hanya ada satu, tapi kembar."Ma," panggil Huri dengan suara tercekat. Gadis itu menggeleng keras, sama seperti air mata yang mengalir juga dengan derasnya. Bu Rima tersenyum hangat, lalu mengusap rambut panjang Huri yang berkeringat."Mama akan menemanimu membesarkan mereka," ujar Bu Rima akhirnya. Dokter kandungan dan juga perawat ikut terharu dengan keadaan di depan mereka saat ini. Wanita yang cantik dan terlihat dari kalangan mampu, tetapi nampak tidak bahagia dan penuh kesedihan."Baiklah, saya akan berikan vitamin terbaik agar keduanya tumbuh sehat dan lincah di dalam sana ya." Dokter itu kembali tersenyum hangat pada Bu Rima dan juga Huri. Ia menuliskan resep yang harus ditebus dan meminta Huri berkunjung kembali ke rumah sakit bulan depan.
Kiya diturunkan Bu Nani tepat di depan kontrakannya. Di tangan Kiya sudah memegang erat kantung plastik bening yang berisi dua botol air mineral yang sudah dibacakan doa serta disembur oleh Mbah Rep. Sebenarnya Kiya sedikit jijik dengan tercampurnya air liur ke dalam botol minuman untuk suaminya, tetapi mau bagaimana lagi, semua ini demi kesembuhan Elang."Terima kasih, Bu Nani. Semoga cocok ya," ujar Kiya sambil membungkukkan sedikit tubuhnya sebagai tanda terima kasih."Aamiin. Semoga Mas Elang cepat sehat lagi ya." Bu Nani pun ikut tersenyum, lalu segera meluncur meninggalkan rumah Kiya.Kiya memutar kunci rumah yang memang ia bawa. Elang pasti tidur sepanjang hari seperti orang pingsan sehingga suaminya itu takkan sadar jika ia keluar dan pintu ia kunci dari luar."Assalamualaikum," seru Kiya saat kaki kanannya masuk ke dalam rumah. Tidak ada sahutan, Kiya kembali mengunci pintu, lalu meletakkan bungku
Bu Rima mempercepat langkah kakinya begitu memasuki lorong rumah sakit. Tujuan pertamanya adalah resepsionis untuk menanyakan perihal pasien rawat inap yang tidak lain adalah Elang. Mantan menantunya. Yah, hakim sudah mengetuk palu bahwa secara agama dan negara, Elang sudah menjadi mantan menantunya. Walau sertifikat mungkin baru keluar dua bulan lagi.Lalu untuk apa dia ke sini? Untuk apa menjenguk Elang? Salah satu sudut hatinya menegur dirinya sendiri. Bu Rima berusaha meneguhkan hatinya bahwa yang dilakukannya saat ini atas dasar kemanusiaan. Apalagi dia sempat dekat dengan Bu Latifah mantan besannya. Jadi anggap saja saat ini ia tengah mengunjungi salah satu anak temannya.Kini Bu Rima sudah berdiri di depan pintu ruang perawatan kelas tiga, sesuai dengan petunjuk petugas di lobi depan tadi. Bu Rima mengatur napas sebelum tangannya yang sudah memegang kenop pintu, mendorong daun pintu itu agar segera terbuka.
Bu Rima mempercepat langkah kakinya begitu memasuki lorong rumah sakit. Tujuan pertamanya adalah resepsionis untuk menanyakan perihal pasien rawat inap yang tidak lain adalah Elang. Mantan menantunya. Yah, hakim sudah mengetuk palu bahwa secara agama dan negara, Elang sudah menjadi mantan menantunya. Walau sertifikat mungkin baru keluar dua bulan lagi.Lalu untuk apa dia ke sini? Untuk apa menjenguk Elang? Salah satu sudut hatinya menegur dirinya sendiri. Bu Rima berusaha meneguhkan hatinya bahwa yang dilakukannya saat ini atas dasar kemanusiaan. Apalagi dia sempat dekat dengan Bu Latifah mantan besannya. Jadi anggap saja saat ini ia tengah mengunjungi salah satu anak temannya.Kini Bu Rima sudah berdiri di depan pintu ruang perawatan kelas tiga, sesuai dengan petunjuk petugas di lobi depan tadi. Bu Rima mengatur napas sebelum tangannya yang sudah memegang kenop pintu, mendorong daun pintu itu agar segera terbuka.