Huri tergelak melihat wajah pucat pasi suaminya. Bagaikan sedang berhadapan dengan malaikat maut. Yah ... bisa dibilang seperti itu. Menikah dengan Huri, seperti mengantarkan nyawanya ke liang lahat. Sambil merasa kengerian, Elang juga merasa terpesona dengan tawa gadis itu. Segar dan tidak dibuat-buat.
"Abang gak usah takut," ujarnya setelah tawa itu reda."Kalau semua pria yang melamar kamu mati, apalagi saya yang langsung menikahi kamu," sahut Elang dengan jakun naik turun."Justru itu, makanya Mama gak mau Abang lamar Huri, tapi langsung dinikahkan. Manusia dan jin, masih lebih cerdas manusia, Bang." Bulu tangan dan tengkuk Elang berdiri seketika. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri, memastikan keadaan sekitar kamar yang terasa sedikit horor. Ditambah lagi gerimis halus mulai turun. Suasana begitu mencekam bagi Elang."Oh ... begitu, trus? Berarti saya lolos dari maut?" tanya Elang dengan polosnya. Tawa Huri kembali pecah dan tidak bisa berhenti untuk beberapa detik lamanya. Air matanya bahkan sampai menggenang di pelupuk mata, karena merasa lucu dengan ucapan suaminya."Tapi ada syaratnya, kalau Abang mau lolos dari maut.""Syarat apa?" Elang memasang baik-baik telinganya, sekaligus menyiapkan hatinya. Apapun akan ia lakukan agar terbebas dari kutukan Huri yang mengerikan untuknya."Syarat apa?" tanya Elang lagi karena Huri masih diam saja, tetapi ekspresinya seperti sedang mengulum senyum. Wajah gadis itu pun merona merah, mulai dari pipi, hingga ke telinganya."Mmm ... jika dalam satu bulan, Abang bisa anuin saya, maka Abang selamat," ujar Huri sambil menunduk. Elang yang otaknya standar Pentium tiga, tentulah tidak paham ucapan Huri. Keningnya mengerut dalam dengan bola mata bergerak tak beraturan. Sepertinya Elang tengah berpikir keras, anuin itu apa? Kalimat Huri terdengar bukan lagi lelucon, melainkan keseriusan harus disikapi dengan bijak."Anuin itu apa, sih?" tanya Elang akhirnya. Huri kembali tertawa. Gadis itu sudah bisa menebak, jika Elang; suaminya, walaupun berusia lebih tua, tetapi pikirannya polos."Anu, Bang ...." Huri menggigit bibir bawahnya ,masih dengan tatapan malu-malu."Anu apa? Duh, jangan bikin saya bingung. Anu itu apa? Biar semakin cepat saya lakukan, maka semakin bagus untuk kemaslahatan umur saya," tanya Elang gemas. Duduknya semakin dekat dengan Huri. Sudah tidak canggung lagi, karena memang sedang penasaran. Apapun pasti akan dia lakukan, bahkan disuruh menangkap ikan hiu di lautan pun pasti akan dia lakukan, asal umurnya masih panjang."Alhamdulillah kalau Abang mau cepat-cepat. Saya juga gitu. Kata teman saya, semakin cepat semakin baik. Bisa menumbuhkan cinta pula." Elang semakin tidak paham. Lelaki itu menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Anu apa sehingga bisa memperpanjang usia dan menumbuhkan rasa cinta?"Saya buka baju sekarang, Bang?" Huri bersiap menarik ujung bajunya"Lha, jangan! Duh ... ini anu apa sih, Huri? Saya bingung," ujar Elang lagi dengan gemas. Tangannya refleks menahan tangan Huri, sehingga menimbulkan sengatan begitu tajam, hingga ke otak. Halus. Kulit tangan istrinya halus. Elang segera menarik tangannya dengan canggung.Perutnya semakin mulas dengan keringat sudah membanjiri wajah dan seluruh badannya. Padahal AC di kamar Huri sangat dingin, tetapi ia merasa sangat kegerahan. Huri menarik napas panjang, lalu menghembuskan ya dengan perlahan."Jadi, jodoh saya akan panjang, jika saya menikah dengan suami orang. Kesialan pada suami orang tersebut, bisa luntur jika si suami bisa menganukan saya sebelum tiga puluh hari.""Anu lagi! Anu apa?" Elang merasa emosinya mulai tersulut. Huri sampai menunduk takut karena ekspresi suaminya yang berubah marah."Jika Bang Elang bisa memerawani saya sebelum tiga puluh hari, maka Abang selamat.""Eh ...." Elang semakin pucat."Kok, eh ? Bukannya hore?" Huri tidak paham dengan suaminya. Elang memalingkan wajah agar rona merah yang muncul di pipinya, tidak terbaca oleh istri mudanya. Lelaki itu menunduk dan tidak tahu harus mengatakan apalagi pada gadis di depannya ini."Baiklah, nanti pasti saya lakukan, tapi tidak sekarang. Mungkin besok, lusa, atau minggu depan, atau minggu depannya lagi," ujar Elang dengan gemetaran. Dihapusnya keringat dengan punggung tangan. Tidak mungkin secepat ini dia mengkhianati Kiya? Dia tidak bisa. Bagaimanapun di hati dan pikirannya hanya ada Kiya.Huri terdiam sejenak. "Ya sudah kalau begitu, kita tidur saja. Besok baru Abang ceritakan tentang diri Abang dan keluarga Abang. Siapa nama Istri Abang?""Kiya.""Saya panggil Teh Kiya, boleh?" Huri tersenyum kembali pada Elang. Lelaki itu mengangguk membolehkan.Huri masuk ke dalam selimut, disusul Elang yang ikut berbaring terlentang dengan kaku di samping kiri Huri. Kasurnya empuk, bantal tidurnya juga. Nyaman, tetapi gadis di sampingnya kapan saja bisa membuat jantungnya berhenti berdetak."Bang, kata Mama, suami Huri itu orang Soleh dan rajin salat, makanya dua hari lalu, Huri udah hapalin doa-doa sehari-hari," ujar Huri antusias. Elang menoleh ke samping, lalu tersenyum tipis."Abang mau dengar gak, doa mau tidur? Huri udah hapalin siang malam, Bang," tantang Huri lagi ingin memamerkan kemampuannya menghapal banyak doa dalam dua hari saja. Hebat bukan? Elang mengangguk."Allahumma baarik lanaa fiima rozaqtana wa qinaa azaabannaar.""Ha ha ha ... itu bukan doa mau tidur, Huri. Itu doa mau makan. Ha ha ha ...." Elang tak sanggup lagi menahan tawa.Bu Latifah yang malam ini ikut bermalam di rumah Bu Rima, mendengar suara tawa anaknya dari dalam kamar. Wanita paruh baya itu tersenyum miring, "katanya gak mau, gak mau ... udah di kamar ketawa terus." Bu Latifah yang kebetulan lewat di depan kamar pengantin, memasang telinganya baik-baik di daun pintu. Berharap mendengar suara yang lain, tetapi hanya suara tawa saja yang masih terdengar dari dalam sana."Ya Allah, semoga umur lu panjang, Lang," gumam Bu Latifah pasrah. ****Namanya Kiyara, berusia dua puluh tujuh tahun. Pekerjaan sehari-harinya hanya mengurus rumah dan suami. Kemampuan istimewa lainnya tidak ada, selain memasak di dapur. Kiyara yang hanya mengenyam pendidikan sampai SLTA tidak diijinkan oleh suaminya;Elang untuk bekerja di pabrik atau sekedar menjaga toko. Semua itu dilakukan agar keduanya segera diberi momongan.Tak ada yang begitu istimewa dari kehidupan rumah tangganya, selain suami yang sangat menyayangi dan bersabar atas dirinya yang banyak sekali kekurangan. Yah ... walau beberapa kali ada tawaran untuk mengikuti lomba memasak di media sosial atau di lingkup ibu-ibu PKK, tetapi Kiya tidak pernah meresponnya. Duduk di rumah menonton TV layar datar besar, sambil sesekali berbincang dengan para tetangga adalah hobinya untuk mengusir penat.Namun di satu hari, semua berubah. Tepatnya di hari ini, suaminya telah menikah lagi dengan wanita yang bisa dibilang hampir sempurna. Mungkin memang tidak ada cela pada
"Kenapa Mama menatapku seperti itu?" Bu Latifah dan Bu Rima saling menoleh, lalu tersenyum di balik bibir mereka. Alis gadis itu mengerut. Huri merasa ada yang aneh dengan tatapan kedua ibu yang sudah duduk bersiap di meja makan.Huri menarik kursi untuknya, lalu satu kursi lagi di sampingnya untuk Elang yang belum turun dari lantai dua. Rambutnya yang masih basah, digulung dengan handuk kecil. Wajahnya segar dan aroma sampo dan sabun juga sangat segar ditangkap oleh penciuman."Mana Elang?" tanya Bu Latifah pada menantunya."Ada di atas, Bu. Lagi bersiap mau ke toko. Sebentar lagi turun," sahut Huri sambil menyesap tehnya."Loh, kenapa ke toko? Kalian'kan pengantin baru, kenapa tidak di rumah saja memadu kasih, atau saling berbincang?" tanya Bu Latifah pada Huri. Gadis itu tertawa kecil, lalu menoleh ke belakang, saat mendengar langkah kaki suaminya mendekat."Di sini, Bang." Huri menepuk
"Bang." Huri mengayunkan lima jarinya di depan wajah Elang. Lelaki itu tersentak kaget, lalu mengalihkan pandangan."Ada apa?" tanyanya, lalu senyuman lebar menggoda mengembang di bibir Huri."Apa sedang membayangkan sesuatu? Saya minta cium mungkin? Ha ha ha ... Kalung saya sudah terlepas, kenapa Abang masih bengong? Ayo, katanya harus buru-buru kerja." Huri tertawa renyah, lalu dengan mudahnya berdiri lebih dahulu dari suaminya. Tangannya terulur untuk membantu Elang berdiri, namun sayang, lelaki itu memilih bangun sendiri dengan wajah merah padam menahan malu.Aku menikahi gadis atau jin sih? Kenapa dia bisa tahu bayangan apa yang ada di kepalaku? Elang bergumam dengan bulu tangan yang tiba-tiba meremang."Ini tasnya." Huri berhasil mengambil ransel suaminya. Elang menerima barangnya dengan canggung, lalu membuka resleting di dalamnya. Lelaki itu berjalan ke depan kamar mandi, lalu membuka keranjang pak
“Abang pasti sudah meniduri Huri?” Kiya masih terisak pedih. Ia memunggungi Elang. Sama sekali enggan untuk melihat wajah suaminya. Hatinya sudah terlanjut terbakar api cemburu.“Itu tidak benar.”“Oh ya? Mana ada laki-laki yang bisa menahan godaan wanita cantik dan seksi di depannya. Halal pula. Jangan berbohong, Bang,” sergah Kiya masih dengan suaranya yang bergetar. Elang tidak mengeluarkan suara. Ia tahu istrinya pasti saat ini merasakan api cemburu yang membara dan juga sakit hati yang amat dalam. Tangan Elang terulur untuk meraih ujung rambut Kiya, membawanya ke hidungnya. Elang sangat suka aroma sampo yang dipakai oleh istrinya.“Kamu tuh harus tahu, Kiya—bahwa tidak ada wanita yang lebih cantik, lebih seksi, dan lebih menggoda dari kamu. Saat bersamanya saja, Abang selalu merasa bersalah pada kamu.” Terde
Elang menarik ujung bibirnya dengan ringan, membentuk senyuman samar, sekaligus tragis. Ia tidak ingin mengingat apapun dari masa lalu Kiya yang kelam. Cukup untuk menjadi rahasia mereka berdua saja. Bahkan Ibunya saja tidak mengetahui cukup baik perihal kehidupan Kiya sebelum bertemu dengannya. Elang menatap istrinya tanpa kata-kata. Pandangannya sekilas memang terasa sedang emosi, tetapi Elang berusaha mengontrol dirinya. Ia tidak boleh marah pada Kiya. Karena di posisi saat ini, Kiyalah yang paling terluka dan itu karena dirinya dan juga ibunya.Kiya yang merasa suaminya sedang marah, hanya bisa diam sambil mengepalkan tangannya. Jarang sekali amarah Elang tersulut seperti ini dan dia belum pernah sama sekali dibentak oleh suaminya. Namun baru sehari saja di rumah Huri, Kiya hampir tidak mengenali suaminya. Ia memalingkan wajah, malas bertatapan dengan Elang.“Aku sudah sering mengingatkanmu, Kiya, jangan pernah singgung masa
Jumat pagi, Elang mengatakan pada Kiya akan masuk bekerja hari ini. Ada beberapa pelanggan yang memintanya untuk membetulkan AC dan juga kulkas. Malam panas yang dilewatinya dengan Kiya, tidak serta-merta membuatnya lupa akan janjinya pada Huri. Sepanjang malam tidurnya tidak nyenyak mengingat istri mudanya itu mungkin sedang menunggunya. Sarapan mi goreng yang dihidangkan istrinya dimakan dengan lahap, begitu juga dengan segelas air putih hangat.“Abang nanti lembur lagi?” tanya Kiya saat mengantar Elang sampai di depan teras.“Kalau sedang banyak panggilan saja, kalau tidak ya … langsung pulang,” jawab Elang sambil tersenyum. Kiya pun membalas senyuman suaminya dengan hangat, lalu mengambil punggung tangan Elang untuk dikecup.“Abang berangkat ya.” Elang sudah naik ke atas motor. Menyalakan mesin motornya, lalu meluncur di jalanan yang tidak terlalu rata.Jika Kiy
“Mau ke mana?” tanya Elang dengan canggung saat berjalan beriringan dengan Huri di koridor kampus E.“Ke kamar.” Langkah Elang terhenti dengan wajah menegang. Lelaki itu menelan ludahnya kasar, tanpa berani menoleh pada Huri. Sedangkan gadis yang berdiri di sampingnya malah tertawa cekikikan. Inilah yang membuat Huri sangat sedih bila Elang mengabaikannya. Suaminya ini bagai anak perjaka yang selalu digoda janda. Malu-malu tidak jelas.“Saya hanya bercanda. Bagaimana kalau nonton bioskop? Ada film horror yang lagi rame di media sosial. Judulnya ‘Huri Ngesot’.” Elang lagi-lagi terpaksa menghentikan ayunan langkahnya mendengar ucapan Huri yang selalu saja asal sebut. Ingin ia tertawa, tetapi tidak mungkin. Ia harus tetap jaim di depan istri mudanya.“Mana ada judul seperti itu? yang betul ‘Suster Ngesot’,” tukas Elang sambil kembali melangkah menuju parkiran mot
Ketika Elang mengatakan 'ya', bukan main bahagianya hati Huri. Wajahnya menunduk malu dengan detak jantung yang tidak beraturan. Apakah secepat ini? Tangan dan kakinya terasa membeku dan tidak bisa digerakkan. Baru sekedar ucapan, belum sampai jadi nyata.Film suster itu pun kini sudah tidak menarik lagi. Di kepalanya hanya memikirkan bagaimana nanti saat tidur bersama Elang. Apakah dia sudah menggosok daki? Atau apakah dia sudah memakai deodoran tadi? Huri menjadi pusing sendiri memikirkan bagaimana nanti malam pertamanya dengan suaminya.Elang pun ternyata membuktikan ucapannya. Lelaki itu benar-benar tidur bersama Huri di bioskop. Film horor yang sebenarnya tidak terlalu ia suka, karena bisa berdampak padanya saat di rumah, terpaksa harus ia pelototi selama hampir delapan puluh menit. Maka Elang memutuskan memejamkan mata, dengan kepala bersandar di punggung kursi."Bang, eh ... kok tidur? Ayo, filmnya sudah habis," ser