Share

5. Anu apa sih?

Huri tergelak melihat wajah pucat pasi suaminya. Bagaikan sedang berhadapan dengan malaikat maut. Yah ... bisa dibilang seperti itu. Menikah dengan Huri, seperti mengantarkan nyawanya ke liang lahat. Sambil merasa kengerian, Elang juga merasa terpesona dengan tawa gadis itu. Segar dan tidak dibuat-buat.

"Abang gak usah takut," ujarnya setelah tawa itu reda.

"Kalau semua pria yang melamar kamu mati, apalagi saya yang langsung menikahi kamu," sahut Elang dengan jakun naik turun.

"Justru itu, makanya Mama gak mau Abang lamar Huri, tapi langsung dinikahkan. Manusia dan jin, masih lebih cerdas manusia, Bang." Bulu tangan dan tengkuk Elang berdiri seketika. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri, memastikan keadaan sekitar kamar yang terasa sedikit horor. Ditambah lagi gerimis halus mulai turun. Suasana begitu mencekam bagi Elang.

"Oh ... begitu, trus? Berarti saya lolos dari maut?" tanya Elang dengan polosnya. Tawa Huri kembali pecah dan tidak bisa berhenti untuk beberapa detik lamanya. Air matanya bahkan sampai menggenang di pelupuk mata, karena merasa lucu dengan ucapan suaminya.

"Tapi ada syaratnya, kalau Abang mau lolos dari maut."

"Syarat apa?" Elang memasang baik-baik telinganya, sekaligus menyiapkan hatinya. Apapun akan ia lakukan agar terbebas dari kutukan Huri yang mengerikan untuknya.

"Syarat apa?" tanya Elang lagi karena Huri masih diam saja, tetapi ekspresinya seperti sedang mengulum senyum. Wajah gadis itu pun merona merah, mulai dari pipi, hingga ke telinganya.

"Mmm ... jika dalam satu bulan, Abang bisa anuin saya, maka Abang selamat," ujar Huri sambil menunduk. Elang yang otaknya standar Pentium tiga, tentulah tidak paham ucapan Huri. Keningnya mengerut dalam dengan bola mata bergerak tak beraturan. Sepertinya Elang tengah berpikir keras, anuin itu apa? Kalimat Huri terdengar bukan lagi lelucon, melainkan keseriusan harus disikapi dengan bijak.

"Anuin itu apa, sih?" tanya Elang akhirnya. Huri kembali tertawa. Gadis itu sudah bisa menebak, jika Elang; suaminya, walaupun berusia lebih tua, tetapi pikirannya polos.

"Anu, Bang ...." Huri menggigit bibir bawahnya ,masih dengan tatapan malu-malu.

"Anu apa? Duh, jangan bikin saya bingung. Anu itu apa? Biar semakin cepat saya lakukan, maka semakin bagus untuk kemaslahatan umur saya," tanya Elang gemas. Duduknya semakin dekat dengan Huri. Sudah tidak canggung lagi, karena memang sedang penasaran. Apapun pasti akan dia lakukan, bahkan disuruh menangkap ikan hiu di lautan pun pasti akan dia lakukan, asal umurnya masih panjang.

"Alhamdulillah kalau Abang mau cepat-cepat. Saya juga gitu. Kata teman saya, semakin cepat semakin baik. Bisa menumbuhkan cinta pula."

  Elang semakin tidak paham. Lelaki itu menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Anu apa sehingga bisa memperpanjang usia dan menumbuhkan rasa cinta?

"Saya buka baju sekarang, Bang?" Huri bersiap menarik ujung bajunya"Lha, jangan! Duh ... ini anu apa sih, Huri? Saya bingung," ujar Elang lagi dengan gemas. Tangannya refleks menahan tangan Huri, sehingga menimbulkan sengatan begitu tajam, hingga ke otak. Halus. Kulit tangan istrinya halus. Elang segera menarik tangannya dengan canggung.

Perutnya semakin mulas dengan keringat sudah membanjiri wajah dan seluruh badannya. Padahal AC di kamar Huri sangat dingin, tetapi ia merasa sangat kegerahan. Huri menarik napas panjang, lalu menghembuskan ya dengan perlahan.

"Jadi, jodoh saya akan panjang, jika saya menikah dengan suami orang. Kesialan pada suami orang tersebut, bisa luntur jika si suami bisa menganukan saya sebelum tiga puluh hari."

"Anu lagi! Anu apa?" Elang merasa emosinya mulai tersulut. Huri sampai menunduk takut karena ekspresi suaminya yang berubah marah.

"Jika Bang Elang bisa memerawani saya sebelum tiga puluh hari, maka Abang selamat."

"Eh ...." Elang semakin pucat.

"Kok, eh ? Bukannya hore?" Huri tidak paham dengan suaminya. Elang memalingkan wajah agar rona merah yang muncul di pipinya, tidak terbaca oleh istri mudanya. Lelaki itu menunduk dan tidak tahu harus mengatakan apalagi pada gadis di depannya ini.

"Baiklah, nanti pasti saya lakukan, tapi tidak sekarang. Mungkin besok, lusa, atau minggu depan, atau minggu depannya lagi," ujar Elang dengan gemetaran. Dihapusnya keringat dengan punggung tangan. Tidak mungkin secepat ini dia mengkhianati Kiya? Dia tidak bisa. Bagaimanapun di hati dan pikirannya hanya ada Kiya.

Huri terdiam sejenak. "Ya sudah kalau begitu, kita tidur saja. Besok baru Abang ceritakan tentang diri Abang dan keluarga Abang. Siapa nama Istri Abang?"

"Kiya."

"Saya panggil Teh Kiya, boleh?" Huri tersenyum kembali pada Elang. Lelaki itu mengangguk membolehkan.

Huri masuk ke dalam selimut, disusul Elang yang ikut berbaring terlentang dengan kaku di samping kiri Huri. Kasurnya empuk, bantal tidurnya juga. Nyaman, tetapi gadis di sampingnya kapan saja bisa membuat jantungnya berhenti berdetak.

"Bang, kata Mama, suami Huri itu orang Soleh dan rajin salat, makanya dua hari lalu, Huri udah hapalin doa-doa sehari-hari," ujar Huri antusias. Elang menoleh ke samping, lalu tersenyum tipis.

"Abang mau dengar gak, doa mau tidur? Huri udah hapalin siang malam, Bang," tantang Huri lagi ingin memamerkan kemampuannya menghapal banyak doa dalam dua hari saja. Hebat bukan? Elang mengangguk.

"Allahumma baarik lanaa fiima rozaqtana wa qinaa azaabannaar."

"Ha ha ha ... itu bukan doa mau tidur, Huri. Itu doa mau makan. Ha ha ha ...." Elang tak sanggup lagi menahan tawa.

Bu Latifah yang malam ini ikut bermalam di rumah Bu Rima, mendengar suara tawa anaknya dari dalam kamar. Wanita paruh baya itu tersenyum miring, "katanya gak mau, gak mau ... udah di kamar ketawa terus." Bu Latifah yang kebetulan lewat di depan kamar pengantin, memasang telinganya baik-baik di daun pintu. Berharap mendengar suara yang lain, tetapi hanya suara tawa saja yang masih terdengar dari dalam sana.

"Ya Allah, semoga umur lu panjang, Lang," gumam Bu Latifah pasrah. 

****

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status