Share

Bab 2. Besok Kamu Jadi Istri Saya

“Mbok Damiii.”

Terdengar seruan yang memanggil nama perempuan itu. Mbok Dami dengan tergopoh-gopoh keluar kamar Nesa dan meninggalkan obrolan mereka.

“Iya, sebentar Mas Rom!”

Nesa menghela napas dalam-dalam. “Dari suara beratnya dia terdengar tua. Mungkin rumor itu nggak sepenuhnya cuma rumor. Nesa, sebaiknya legowo dan bersiaplah menjadi istri lelaki tua.” Dia memejamkan matanya.

Bebera jam kemudian. Saat langit sudah tampak gelap.

“Mbak Nesa, bangun Mbak.”

Dengan setengah kesadarannya, Nesa mendengar suara Mbok Dami membangunkannya dan merasakan tangan perempuan itu mengguncang lengannya.

“Bangun, Mbak. Ini saya bawakan baju dan peralatan mandi untuk Mbak Nesa. 20 menit lagi waktunya makan malam.”

Sambil menggosok kedua matanya, Nesa menguap. “Makasih lagi Mbok, sudah bangunkan saya,” ucap Nesa setelah kesadarannya berangsur pulih. Beberapa jam di perjalanan membuat tenaganya terkuras dan untunglah beberapa jam lalu tidurnya nyenyak dan mudah-mudahan efektif mengembalikan tenaganya.

Mbok Dami hanya mengangguk lalu pergi. Sementara Nesa mulai beranjak dari kasur ke kamar mandi.

Beberapa saat kemudian, Nesa sudah berada di ruang makan. Tak ada siapa pun di sana. Mungkin Tuan Barata itu datang setelah semua kursi terisi. Mungkin itu sudah kebiasaannya.

Nesa memandangi makanan yang terhidang di atas meja. Itu sangat menggiurkan dan nyaris membuat liurnya menetes. Perutnya juga sudah keroncongan. Ingin melahap makanan itu, tetapi Nesa merasa sebelum sang tuan rumah mempersilakan bukankah itu tidak sopan?

Saat dia sedang mempertimbangkan tiba-tiba terdengar suara langkah dan seseorang berkata, “Ambil saja yang kamu inginkan, Nesa dan mulailah makan.”

Sepasang bola mata Nesa mencari si empunya suara. Bukankah itu suara Tuan Barata? Tetapi tiba-tiba dugaannya sedikit oleng sebab yang lensa matanya tangkap adalah wajah tampan dengan rahang tegas dibingkai bulu-bulu halus, matanya tajam dan alisnya menungkik sempurna. Hidung dan bibirnya proporsional, tak berlebihan.

Air liur yang siap menetes karena makanan tadi kini kembali tetapi itu dikarenakan hidangan di depannya yang lebih menggiurkan. Bahkan mata Nesa melihat sosok rupawan itu tanpa berkedip.

“Nesa ....” Bibir Barata tersungging senyuman melihat reaksi Nesa saat melihatnya. Hal ini sudah diprediksi lelaki 35 tahun tersebut. “Ayo isi piringmu dengan makanan yang kamu sukai.” Barata mengatakan sambil mengambil duduk di kursi.

Mendengar suara itu lagi membuat Nesa akhirnya tersadar. Dia mengangguk lalu dengan gerakan canggung tangannya mengambil beberapa hidangan ke piringnya. “Jadi, lelaki ini benar Tuan Barata?” batinnya bertanya.

“Kamu mengira saya bandot tua, gendut, jelek dan mata keranjang?”

Bara memulai obrolan saat Nesa memasukkan makanan ke dalam mulut yang kemudian makanan itu nyaris keluar karena ucapannya. Nesa tersedak dan dengan sigap Bara menyodorkan segelas air putih untuknya.

“Makasih em ... Mas Bara,” ucap Nesa setelah meneguk air putih.

Bara tersenyum. “Kamu juga pasti menganggap saya terlalu PD menyuruhmu memanggil saya Mas.”

Nesa mengusap tengkuknya. Bagaimana orang ini bisa tahu?

“Itu wajar dan saya memakluminya.” Bara berkata setelah melihat Nesa salah tingkah dan tampaknya tak ingin menjawabnya. “Lanjutkan makanmu dan setelah itu temani saya di taman belakang.”

Nesa mengangguk dan melanjutkan makannya. Dalam hati dia berbisik, “Jadi di meja makan sebesar ini cuma dua orang yang makan? Terus di malam-malam sebelumnya apakah lelaki ini makan sendirian?

Beberapa saat kemudian keduanya sudah berada di taman belakang, duduk bersebelahan di atas gazebo.

“Bagaimana perasaanmu setelah hampir sehari berada di sini?” Bara yang mengawali percakapan setelah lelaki itu beberapa saat hanya memandangi wajah gadis di sampingnya. Nesa jauh lebih cantik daripada di foto. Apakah lelaki tua ayah gadis ini tak merasa bersalah dan sayang telah menukarkannya dengan uang untuk modal foya-foya?

“Baik, Mas Bara.” Nesa menunduk, memandangi jari-jari kakinya. Tak berani menatap lelaki yang bertanya.

“Hanya baik? Tidak merasa senang?” Barata bertanya. “Rumah ini besar dilengkapi furnitur mahal. Semuanya tercukupi di sini. Makanannya juga enak-enak. Tidak seperti di rumahmu, bukan?”

Mendengar itu, ada sudut hati Nesa yang seolah tercubit. Rumahnya memang kecil dan lebih pantas disebut gubuk. Dia juga tak pernah memakan makanan enak seperti di sini. Tapi itulah rumahnya. Di sana banyak menyimpan kenangan bersama almarhumah ibunya. Di sana juga ada adiknya yang kehadirannya mampu menjadi penguat Nesa ketika keputusasaan dan kerapuhan kerap kali menerjangnya.

Melihat Nesa bergeming dan tampak memikirkan sesuatu, Barata meraih tangannya dan berkata, “Nesa, besok kamu sah menjadi istri saya. Saya berjanji kamu akan selalu dikelilingi kebahagiaan. Kamu hanya perlu patuh dan nurut sama saya dan jangan pernah berpikir untuk mengkhianati saya. Apakah kamu sanggup?”

Barata menatap saksama wajah gadis itu. Dia seperti melihat seseorang di masa lalu. Seseorang yang sangat mirip dengan Nesa. “Nesa, apakah kamu sanggup?”

Mata Nesa berkaca-kaca. “Apakah saya punya pilihan selain menuruti permintaan Mas Bara?”

Bara menghela napas panjang. Ada sedikit rasa bersalah pada Nesa sebab dia telah menyeret gadis itu ke dalam hubungan yang tak pernah si gadis impikan. Mungkin Nesa menganggapnya kejam. Tapi, Bara juga tak sanggup mengenyahkan wajah itu dari pikirannya barang sedetik pun.

Bara membawa tangan Nesa ke bibirnya. “Maaf jika saya terkesan memaksa kamu.”

Nesa segera menarik tangannya, merasa risih. Mereka baru bertemu belum ada 24 jam dan bukankah sikap Bara terlalu berlebihan? Meskipun Nesa tak memungkiri dan tak mungkin menyangkal ketampanan Barata, tetapi dia masih memiliki akal sehat. Terlalu gegabah jika dia terbuai dengan lelaki itu sekarang. Lagi pula, hatinya juga terpaut dengan seseorang.

Melihat respons Nesa tersebut Barata lantas berdiri lalu berkata, “Kembalilah ke kamar dan tidur dengan nyenyak. Besok adalah hari yang melelahkan untukmu. Saya harap kamu bersiap.”

Nesa melihat punggung yang sudah menjauh itu kemudian suara tangisnya pecah. “Kenapa Bapak jahat sama Nesa, Pak?”

Lalu berkelebat wajah Bagus di kepalanya. Itu semakin membuat tangisnya pecah. “Maafkan aku, Gus. Aku nggak bermaksud hianatin kamu, aku nggak ada niatan ninggalin kamu. Tapi keadaanku—”

Nesa tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Yang terdengar setelah itu hanya tangisan yang sangat memilukan. Dia sangat mencintai Bagus dan begitupun pemuda itu. Mereka sudah berpacaran dua tahun dan dalam jangka waktu itu, keduanya sudah merancang masa depan indah bersama.

Dari jendela yang menjorok ke pemandangan taman itu, Bara melihat tangis Nesa. Dia memejamkan mata sejenak dan bergumam, “Maafkan keegoisan saya, Nesa.”

Ketika membuka matanya, Barata teramat terkejut. Lalu dia melesat dari kamarnya dengan perasaan murka. “Berani sekali dia menyusup di rumahku!” umpatnya di sela-sela langkahnya.

“Hei, anak muda, menyingkir darinya!” Lengan berotot Bara menarik pemuda yang sedang merengkuh gadis dalam pelukannya. Sontak pelukannya terurai dan tubuh gadis itu sedikit oleng karenanya.

“Hentikan! Jangan sakiti dia! Dia pacar saya!” Nesa berteriak histeris saat melihat Bara yang memukul kekasihnya tepat di perutnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status