Share

Istri Mungil Milik Tuan Tanah
Istri Mungil Milik Tuan Tanah
Author: The Lucky

Bab 1. Dia Lelaki Tua?

“Apa yang bisa kamu lakukan untuk saya, Nes?”

Suara berat dengan bahasa formal yang kaku itu menyentak kesadaran Nesa. Sudah pasti lelaki itu persis dengan apa yang digambarkan kepalanya. Dari namanya saja seolah sudah terbaca; Barata—Tua, tambun, jelek dan genit.

Jemari Nesa meremas ujung baju kurungnya yang menjuntai hingga atas lutut dengan kuat. Dia dikirim ke rumah besar ini sebagai tebusan utang menggunung bapaknya pada sang tuan tanah.

Dia harus kabur dari sini. Dia sudah berbalik dan hendak mengeluarkan jurus seribu langkah, tetapi suara bariton lelaki itu berhasil menghentikannya.

“Jika kamu nekat keluar dari rumah ini, maka pintu rumah ini akan selamanya tertutup untuk kamu. Dan kamu tahu apa artinya?”

Nesa meneguk salivanya susah payah. Bapaknya akan dipenjara jika tidak segera melunasi utang itu dan bagaimana nasib adik-adiknya selanjutnya?

Akhirnya dia menggeleng dan segera berbalik lagi menghadap lelaki yang sedang duduk memunggunginya itu. Dia tak boleh egois. Mungkin ini pengorbanan terbesarnya demi kedua adiknya.

“Ng-nggak, Pak, eh Om, eh, Tuan.” Lihat, bahkan Nesa tidak tahu panggilan mana yang pas untuk lelaki itu.

Sudut bibir lelaki itu terangkat mendengar suara gugup gadis yang selama ini hanya dia pandang dari foto. “Kamu bisa memanggil saya Mas Bara.”

Nesa melongo. Mas? Bukankah lelaki tua itu terlalu percaya diri? Dari kabar burung yang didengarnya, lelaki itu sudah nyaris kepala lima dan memanggilnya “Mas” terasa terlalu memujanya.

Namun, apa yang bisa Nesa lakukan selain mengangguk setuju dan berkata, “Baik, Mas Bara.”

Nesa melihat kepala Bara mengangguk lalu lelaki itu berkata, “Bagus. Berapa umurmu?”

Nesa yang masih berdiri dengan tangan meremas ujung bajunya menjawab, “Dua bulan lagi 20, Mas.”

Sudut bibir lelaki itu kembali terangkat. “Kamu tahu kamu dikirim ke sini sebagai tebusan, bukan?”

Nesa mengangguk meskipun dia tahu Bara tak dapat melihatnya.

“Lalu menurutmu, apa yang bisa kamu lakukan untuk saya, Nesa?”

Lagi-lagi Nesa menelan ludahnya susah payah. “Sa-saya bisa membersihkan kolam renang Bapak eh Mas Bara. Saya juga bisa menyapu dan mengepel rumah ini. Memasak pun saya sanggup.”

Barata terkekeh mendengar penuturan gadis lugu itu. Tidakkah dia sudah di-briefing oleh bapaknya sebelum memasuki rumah ini sebagai istri tebusan?

Nesa yang mendengar kekehan lelaki itu tiba-tiba merasakan ketakutan.

“Pekerjaan yang kamu sebutkan tadi itu sudah ada orang-orang saya yang melakukannya. Bukankah kamu lihat di sini banyak pembantu?”

Hati Nesa semakin waswas mendengar kalimat Bara. Apakah dugaannya selama ini benar bahwa bapaknya mengirimnya ke rumah ini sebagai pengantin wanita untuk sang tuan tanah?

Tapi bapaknya itu bilang bahwa dia dikirim hanya sebagai simbol ketundukannya pada sang tuan tanah yang sudah berbaik hati tak ingin menuntut utangnya. Dia hanya perlu berbuat baik dan tidak macam-macam di rumah itu. Dan tunggu ... Bapaknya itu juga bilang dia juga perlu menyenangkan Tuan Barata. Apa maksudnya itu?

Tiba-tiba kekecewaan menjalari hati Nesa. Dia tak menyangka bapaknya tega menjerumuskannya ke rumah ini.

“Nesa ....” Barata tahu gadis itu sedang mencoba mencerna sesuatu.

“I-iya, Mas. Lalu apa yang bisa saya lakukan?” Nesa menggigit bibirnya. Rasanya dia tak percaya dengan ucapannya sendiri. Itu terdengar seperti menawarkan diri.

“Hanya satu tempat yang kosong di sini, yaitu di ranjang saya. Di sebelah saya tidur.”

Nesa memejamkan matanya sejenak. Tebakannya tidak meleset.

“Kamu akan mengisi kekosongan itu, Nesa. Bersiaplah untuk besok pagi. Kita akan menikah.”

Sudut mata Nesa menitikkan buliran kristal. Jadi, inikah akhir kegadisannya? Dinikahi oleh bandot tua tak tahu diri itu?

Nesa hanya dapat mengangguk pasrah dan berkata, “Baik, Mas Bara.”

“Bagus. Kamu ternyata tidak berusaha menyulitkan saya,” ucap Bara. Lalu lelaki itu menggunakan ponselnya dan menelepon seseorang yang disebutnya Romi.

Beberapa saat kemudian Nesa melihat seorang perempuan tidak terlalu tua masuk lalu menyapanya dengan semringah. “Mbak Nesa, mari Mbok antar ke kamar Mbak.”

“Pastikan tempatnya nyaman dan semua kebutuhannya terpenuhi, Mbok,” ucap Barata memperingatkan perempuan yang memiliki nama Dami itu.

Mbok Dami mengangguk meskipun sang tuan tak melihatnya. Sambil memandang kepala Barata dia menjawab, “Siap, Mas Bos.”

Lalu tanpa menunggu jawaban dari Barata, Mbok Dami meraih siku Nesa dan membawanya keluar dari ruangan pribadi Barata.

“Nah, ini kamar sementara Mbak Nesa,” ujar Mbok Dami setelah mengantarkan Nesa ke dalam kamarnya. Ruangan itu tidak terlalu besar dan sempit. Ukurannya sedang, tetapi terlihat nyaman.

Setelah mengamati sekeliling dengan sepasang bola matanya yang cokelat, Nesa berkata pada Mbok Dami, “Makasih, Mbok sudah mau antar saya.”

Tangan perempuan itu terulur ke pundaknya. “Itu sudah tugas saya. Kalau begitu, selamat beristirahat, Mbak Nesa. Pasti perjalanan dari kampung Lamoan ke sini sangat melelahkan. Nanti malam saya bangunin untuk makan bersama Mas Bos.”

Nesa mengangguk. Mbok Dami sudah berbalik dan akan melangkah pergi, tetapi tiba-tiba Nesa menghentikan langkahnya. “Mbok,” panggilnya.

“Iya, Mbak. Ada yang Mbak Nesa perlukan?” Mbok Dami memandang Nesa.

“Emm ... Itu, Pak Barata punya berapa istri, ya?” Akhirnya kalimat itu meluncur dari bibir Nesa. Dia sempat ragu bertanya pada orang yang kelihatannya sudah lama bekerja pada Tuan Barata itu.

Bukannya menjawab, Mbok Dami justru tertawa seolah perkara yang baru didengarnya barusan adalah sesuatu yang lucu.

Melihat itu, Nesa tidak bisa tidak bertanya. “Loh, kenapa tertawa Mbok?”

Sambil berusaha meredakan tawanya, Mbok Dami menjawab, “Habisnya Mbak Nesa lucu, sih. Apa majikan saya terlihat tua dan punya banyak istri?”

Nesa meringis dan menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Dia memang belum pernah melihat wajah yang bapaknya sebut Tuan Barata itu. Tetapi, dari rumor yang sering dia dengar kan dia—

“Ah, Mbak Nesa pasti bingung.” Usapan tangan Mbok Dami di lengannya membuyarkan lamunannya seketika. “Mbak Nesa juga pasti kemakan sama rumor yang beredar ya?”

“Hah? Rumor apa ya, Mbok?” Nesa semakin bingung. Banyak yang dia tak mengerti di sini.

Mbok Dami menjawab, “Itu lho, Mbak. Rumor yang bilang kalau bilang kalau Tuan Bara itu sosok yang mengerikan. Rata-rata pasti bilang Tuan Bara itu pria tua yang jelek dan genit. Bahkan, ada yang bilang dia juga pria mesum yang suka mengincar wanita muda. Tapi, padahal, Tuan Bara sama sekali gak begitu. Rumor itu kan beredar juga ada alasannya."

“Jika rumor itu salah, mengapa dia memintaku untuk menikah ...?” Tanpa sadar bibir Nesa menggumam lirih. “Lalu, mengapa rumor itu bisa beredar, Mbok? Dan bagaimana sosok Mas Bara yang sebenarnya?” tanya Nesa penasaran. 

Nesa memang ragu, terlebih setelah mendengar suara dan melihat punggung Bara sebelumnya. Pria itu tak terlihat seperti pria yang dikatakan orang-orang. Namun, bisa jadi, Mbok Dami juga hanya membela pria itu agar Nesa tak kabur. 

“Mbok Dami!” Sebuah suara bariton yang berasal dari ruang utama seketika mengejutkannya. Membuat Nesa kecewa, karena belum sempat ia mendapat jawaban, Mbok Dami sudah harus pergi meninggalkannya.

“Mbak jangan khawatir, gak lama lagi, Mbak juga akan tahu sosok Tuan Bara yang sebenarnya.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status