“Apa yang bisa kamu lakukan untuk saya, Nes?”
Suara berat dengan bahasa formal yang kaku itu menyentak kesadaran Nesa. Sudah pasti lelaki itu persis dengan apa yang digambarkan kepalanya. Dari namanya saja seolah sudah terbaca; Barata—Tua, tambun, jelek dan genit.Jemari Nesa meremas ujung baju kurungnya yang menjuntai hingga atas lutut dengan kuat. Dia dikirim ke rumah besar ini sebagai tebusan utang menggunung bapaknya pada sang tuan tanah.Dia harus kabur dari sini. Dia sudah berbalik dan hendak mengeluarkan jurus seribu langkah, tetapi suara bariton lelaki itu berhasil menghentikannya.“Jika kamu nekat keluar dari rumah ini, maka pintu rumah ini akan selamanya tertutup untuk kamu. Dan kamu tahu apa artinya?”Nesa meneguk salivanya susah payah. Bapaknya akan dipenjara jika tidak segera melunasi utang itu dan bagaimana nasib adik-adiknya selanjutnya?Akhirnya dia menggeleng dan segera berbalik lagi menghadap lelaki yang sedang duduk memunggunginya itu. Dia tak boleh egois. Mungkin ini pengorbanan terbesarnya demi kedua adiknya.“Ng-nggak, Pak, eh Om, eh, Tuan.” Lihat, bahkan Nesa tidak tahu panggilan mana yang pas untuk lelaki itu.Sudut bibir lelaki itu terangkat mendengar suara gugup gadis yang selama ini hanya dia pandang dari foto. “Kamu bisa memanggil saya Mas Bara.”Nesa melongo. Mas? Bukankah lelaki tua itu terlalu percaya diri? Dari kabar burung yang didengarnya, lelaki itu sudah nyaris kepala lima dan memanggilnya “Mas” terasa terlalu memujanya.Namun, apa yang bisa Nesa lakukan selain mengangguk setuju dan berkata, “Baik, Mas Bara.”Nesa melihat kepala Bara mengangguk lalu lelaki itu berkata, “Bagus. Berapa umurmu?”Nesa yang masih berdiri dengan tangan meremas ujung bajunya menjawab, “Dua bulan lagi 20, Mas.”Sudut bibir lelaki itu kembali terangkat. “Kamu tahu kamu dikirim ke sini sebagai tebusan, bukan?”Nesa mengangguk meskipun dia tahu Bara tak dapat melihatnya.“Lalu menurutmu, apa yang bisa kamu lakukan untuk saya, Nesa?”Lagi-lagi Nesa menelan ludahnya susah payah. “Sa-saya bisa membersihkan kolam renang Bapak eh Mas Bara. Saya juga bisa menyapu dan mengepel rumah ini. Memasak pun saya sanggup.”Barata terkekeh mendengar penuturan gadis lugu itu. Tidakkah dia sudah di-briefing oleh bapaknya sebelum memasuki rumah ini sebagai istri tebusan?Nesa yang mendengar kekehan lelaki itu tiba-tiba merasakan ketakutan.“Pekerjaan yang kamu sebutkan tadi itu sudah ada orang-orang saya yang melakukannya. Bukankah kamu lihat di sini banyak pembantu?”Hati Nesa semakin waswas mendengar kalimat Bara. Apakah dugaannya selama ini benar bahwa bapaknya mengirimnya ke rumah ini sebagai pengantin wanita untuk sang tuan tanah?Tapi bapaknya itu bilang bahwa dia dikirim hanya sebagai simbol ketundukannya pada sang tuan tanah yang sudah berbaik hati tak ingin menuntut utangnya. Dia hanya perlu berbuat baik dan tidak macam-macam di rumah itu. Dan tunggu ... Bapaknya itu juga bilang dia juga perlu menyenangkan Tuan Barata. Apa maksudnya itu?Tiba-tiba kekecewaan menjalari hati Nesa. Dia tak menyangka bapaknya tega menjerumuskannya ke rumah ini.“Nesa ....” Barata tahu gadis itu sedang mencoba mencerna sesuatu.“I-iya, Mas. Lalu apa yang bisa saya lakukan?” Nesa menggigit bibirnya. Rasanya dia tak percaya dengan ucapannya sendiri. Itu terdengar seperti menawarkan diri.“Hanya satu tempat yang kosong di sini, yaitu di ranjang saya. Di sebelah saya tidur.”Nesa memejamkan matanya sejenak. Tebakannya tidak meleset.“Kamu akan mengisi kekosongan itu, Nesa. Bersiaplah untuk besok pagi. Kita akan menikah.”Sudut mata Nesa menitikkan buliran kristal. Jadi, inikah akhir kegadisannya? Dinikahi oleh bandot tua tak tahu diri itu?Nesa hanya dapat mengangguk pasrah dan berkata, “Baik, Mas Bara.”“Bagus. Kamu ternyata tidak berusaha menyulitkan saya,” ucap Bara. Lalu lelaki itu menggunakan ponselnya dan menelepon seseorang yang disebutnya Romi.Beberapa saat kemudian Nesa melihat seorang perempuan tidak terlalu tua masuk lalu menyapanya dengan semringah. “Mbak Nesa, mari Mbok antar ke kamar Mbak.”“Pastikan tempatnya nyaman dan semua kebutuhannya terpenuhi, Mbok,” ucap Barata memperingatkan perempuan yang memiliki nama Dami itu.Mbok Dami mengangguk meskipun sang tuan tak melihatnya. Sambil memandang kepala Barata dia menjawab, “Siap, Mas Bos.”Lalu tanpa menunggu jawaban dari Barata, Mbok Dami meraih siku Nesa dan membawanya keluar dari ruangan pribadi Barata.“Nah, ini kamar sementara Mbak Nesa,” ujar Mbok Dami setelah mengantarkan Nesa ke dalam kamarnya. Ruangan itu tidak terlalu besar dan sempit. Ukurannya sedang, tetapi terlihat nyaman.Setelah mengamati sekeliling dengan sepasang bola matanya yang cokelat, Nesa berkata pada Mbok Dami, “Makasih, Mbok sudah mau antar saya.”Tangan perempuan itu terulur ke pundaknya. “Itu sudah tugas saya. Kalau begitu, selamat beristirahat, Mbak Nesa. Pasti perjalanan dari kampung Lamoan ke sini sangat melelahkan. Nanti malam saya bangunin untuk makan bersama Mas Bos.”Nesa mengangguk. Mbok Dami sudah berbalik dan akan melangkah pergi, tetapi tiba-tiba Nesa menghentikan langkahnya. “Mbok,” panggilnya.“Iya, Mbak. Ada yang Mbak Nesa perlukan?” Mbok Dami memandang Nesa.“Emm ... Itu, Pak Barata punya berapa istri, ya?” Akhirnya kalimat itu meluncur dari bibir Nesa. Dia sempat ragu bertanya pada orang yang kelihatannya sudah lama bekerja pada Tuan Barata itu.Bukannya menjawab, Mbok Dami justru tertawa seolah perkara yang baru didengarnya barusan adalah sesuatu yang lucu.Melihat itu, Nesa tidak bisa tidak bertanya. “Loh, kenapa tertawa Mbok?”Sambil berusaha meredakan tawanya, Mbok Dami menjawab, “Habisnya Mbak Nesa lucu, sih. Apa majikan saya terlihat tua dan punya banyak istri?”Nesa meringis dan menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Dia memang belum pernah melihat wajah yang bapaknya sebut Tuan Barata itu. Tetapi, dari rumor yang sering dia dengar kan dia—“Ah, Mbak Nesa pasti bingung.” Usapan tangan Mbok Dami di lengannya membuyarkan lamunannya seketika. “Mbak Nesa juga pasti kemakan sama rumor yang beredar ya?”“Hah? Rumor apa ya, Mbok?” Nesa semakin bingung. Banyak yang dia tak mengerti di sini.Mbok Dami menjawab, “Itu lho, Mbak. Rumor yang bilang kalau bilang kalau Tuan Bara itu sosok yang mengerikan. Rata-rata pasti bilang Tuan Bara itu pria tua yang jelek dan genit. Bahkan, ada yang bilang dia juga pria mesum yang suka mengincar wanita muda. Tapi, padahal, Tuan Bara sama sekali gak begitu. Rumor itu kan beredar juga ada alasannya."“Jika rumor itu salah, mengapa dia memintaku untuk menikah ...?” Tanpa sadar bibir Nesa menggumam lirih. “Lalu, mengapa rumor itu bisa beredar, Mbok? Dan bagaimana sosok Mas Bara yang sebenarnya?” tanya Nesa penasaran.Nesa memang ragu, terlebih setelah mendengar suara dan melihat punggung Bara sebelumnya. Pria itu tak terlihat seperti pria yang dikatakan orang-orang. Namun, bisa jadi, Mbok Dami juga hanya membela pria itu agar Nesa tak kabur.
“Mbok Dami!” Sebuah suara bariton yang berasal dari ruang utama seketika mengejutkannya. Membuat Nesa kecewa, karena belum sempat ia mendapat jawaban, Mbok Dami sudah harus pergi meninggalkannya.“Mbak jangan khawatir, gak lama lagi, Mbak juga akan tahu sosok Tuan Bara yang sebenarnya.”“Mbok Damiii.” Terdengar seruan yang memanggil nama perempuan itu. Mbok Dami dengan tergopoh-gopoh keluar kamar Nesa dan meninggalkan obrolan mereka.“Iya, sebentar Mas Rom!” Nesa menghela napas dalam-dalam. “Dari suara beratnya dia terdengar tua. Mungkin rumor itu nggak sepenuhnya cuma rumor. Nesa, sebaiknya legowo dan bersiaplah menjadi istri lelaki tua.” Dia memejamkan matanya.Bebera jam kemudian. Saat langit sudah tampak gelap.“Mbak Nesa, bangun Mbak.”Dengan setengah kesadarannya, Nesa mendengar suara Mbok Dami membangunkannya dan merasakan tangan perempuan itu mengguncang lengannya.“Bangun, Mbak. Ini saya bawakan baju dan peralatan mandi untuk Mbak Nesa. 20 menit lagi waktunya makan malam.” Sambil menggosok kedua matanya, Nesa menguap. “Makasih lagi Mbok, sudah bangunkan saya,” ucap Nesa setelah kesadarannya berangsur pulih. Beberapa jam di perjalanan membuat tenaganya terkuras dan untunglah beberapa jam lalu tidurnya nyenyak dan mudah-mudahan efektif mengembalikan tenagan
“Masuk ke kamarmu, Nesa!” Bara yang kini mencengkeram kerah kemeja lusuh pemuda yang diakui sebagai pacar Nesa itu menatap Nesa dengan tajam. Nesa menggeleng lalu yang membuat Bara tercengang adalah gadis itu tiba-tiba berlutut dan menyentuh kakinya. “Saya mohon lepaskan Bagus dan saya, Mas. Kami saling mencintai.”Air mata Nesa yang memang sudah membasahi pipi kini mengalir lebih deras. “Saya mohon, Mas Bara.”Mata Bara menyipit dan melepas cengkeraman tangannya. “Kamu tahu konsekuensinya, kan?”Nesa mengangguk. “Saya akan bekerja keras untuk melunasi utang Bapak. Saya berjanji.” Suara Nesa mengandung permohonan yang sangat. Kehadiran Bagus di depannya membuat ketabahannya menerima nasib sebagai istri tebusan otomatis goyah. Sambil berkacak pinggang, Barata tertawa. “Kamu tahu berapa nominal utang bapak kamu?”Nesa menggeleng lemah. “300 juta, Nesa. 300. Dan itu semuanya uang, bukan daun!” Bara menunduk, memandang gadis itu dengan perasaan kecewa dan sakit. Secinta itukah Nesa den
Romi yang ditanya seperti itu langsung menjawab, “Kalau boleh jujur sih, Mas, Nesa lebih cantik. Dan ada perbedaan jelas karakter mereka. Nesa tampak polos dan murni, tidak memiliki muslihat—”Mendengar kata muslihat membuat hati Barata seketika dingin. “Yang kutanyakan bukan tentang karakter, tapi fisik. Ah, lama kelamaan kamu jadi seperti Tuan Kusuma yang terhormat.”Barata berlalu setelah melontarkan kalimat sarkasme yang membuat temannya itu menggigit lidahnya sendiri sebab sudah berani berkata jujur. Seharusnya dia tak lupa kalau majikannya sangat sensitif terkait sifat dan sikap gadis masa lalunya. Bosnya itu seolah selalu menulikan telinga jika kejelekan gadis itu diungkit. “Mas, Mas, padahal jelas-jelas perempuan itu mengkhianati kamu.” Romi menggeleng sambil memandang punggung majikannya semakin menjauh.Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Nesa dibangunkan Mbok Dami untuk bergegas ke kamar mandi. Nesa membuka kelopak matanya dan langsung meraih tangan perempuan itu. “Mbok, to
Wajah panik Romi langsung terlihat setelah Bara membuka pintu. “Katakan dengan jelas, Rom,” tuntutnya tak sabar. Pasti ada yang salah.“Lele, gurame dan lobster di semua kolam mati, Mas bos. Sepertinya ada pihak yang menyabotase.”“Kurang ajar!” Bara langsung mengambil langkah lebar. Tujuannya tentu saja ke tempat budidaya ikan-ikan yang menjadi salah satu ladang bisnis pencetak uangnya yang saat ini telah diobrak-abrik orang tak bertanggung jawab, dengki dan tak senang dengan kesuksesannya.Romi menyusul dengan berlari. Tempat itu berada kira-kira 20 meter dari gerbang belakang rumah. Nesa mengernyit melihat keributan itu. Dia sempat melihat Bara yang murka dari jendela kaca. Tiba-tiba berkelebat dalam benaknya, bukankah ini adalah peluang? Mungkin Tuhan merasa iba padanya dan memberinya kesempatan untuk kabur.Tanpa pertimbangan lagi, Nesa cepat-cepat berlari menuruni tangga. Ketika berpapasan dengan Mbok Dami, perempuan itu menyapanya dan dia mengatakan ingin melihat-lihat sekitar
Barata sampai di desa Nesa setelah empat jam perjalanan. Dia langsung disambut sang mertua dengan informasi yang sangat tidak dia harapkan. “Nesa tidak ada di sini, Tuan.” Raharja berbicara dengan takut. Khawatir menantu kayanya itu akan murka padanya. “Panggil saja Bara, saya menantu Bapak sekarang.” Di luar perkiraan, justru menantunya itu bersikap jauh dari kata murka. Barata tampak mampu mengendalikan emosi.Bara lantas memeriksa rumah yang hanya sepetak itu untuk memastikan. Dia mengetatkan rahang, istrinya memang tak ada di sana. Ke mana gadis itu pergi? Selama perjalanan pun netranya menyisiri jalan kalau-kalau melihat istrinya. Tetapi, sekadar bayangannya pun tak dia dapati. Barata menjadi semakin khawatir.“Pemuda itu ... pacar Nesa, di mana rumahnya?” Barata bertanya dengan nada tak sabar. Melihat ikatan emosi Nesa dan Bagus malam itu, instingnya berkata kalau sewaktu-waktu Nesa pergi ke rumah pemuda itu untuk menemuinya atau mungkin saat ini Nesa memang sudah berada di sa
“Oh, Bapak baru ingat,” sahut Pak Agung. Lalu dia melihat Nesa dan bertanya, “Kamu disekap di tempat kayak apa, Non?”“Di gubuk, dindingnya berupa bambu, Pak,” jawab Nesa berbohong. Dalam hati dia bergumam, semoga saja orang-orang yang mengelilinginya ini tak menaruh curiga padanya.“Padahal di hutan itu ada rumah Tuan Barata lho, Non. Banyak pegawainya juga di sana. Bapak heran kok yang nyulik kamu itu berani berbuat macam-macam di wilayah Tuan Barata. Kamu nggak lihat di sana ada rumah besar yang dikelilingi tembok tinggi?”Nesa menelan ludahnya dan mencoba menyembunyikan kegugupannya. Andai Pak Agung tahu bahwa nama orang yang disebutnya barusan merupakan tersangka dalam kasus ini. Kemudian Nesa menggeleng setelah kepalanya menemukan jawaban. “Saya dibius saat tidak jauh dari rumah. Setelahnya tahu-tahu sudah ada di gubuk itu dengan beberapa orang yang mengawasi saya. Jadi, saya nggak tahu tentang rumah tuan yang Bapak sebut itu tadi.” “Gimana cara kamu kabur dari sana?” Bu Agung
“Non, hati-hati, ya. Kamu harus bisa jaga diri. Kalau bisa kejadian kemarin jangan sampai terulang lagi.” Bu Agung merangkul tubuh Nesa, mengantarnya sampai depan pickup yang akan mengantarnya pulang. Sementara Pak Agung sudah berada di balik kemudi kendaraan usang tersebut.Nesa tersenyum serta kepalanya mengangguk. Hampir dua hari berada di rumah ini, Nesa seperti mendapatkan keluarga baru. Mereka memperlakukan Nesa dengan baik dan hangat layaknya saudara jauh yang sudah lama hilang komunikasi lantas berkunjung secara tiba-tiba memberi kejutan. Hati Nesa benar-benar menghangat.Bu Agung melepas Nesa, kini giliran Indah yang merangkulnya dan gadis itu berbisik di telinganya, “Mbak, Indah tahu Mbak Nesa menyembunyikan sesuatu, tapi apa pun kebenarannya, Indah harap semuanya akan baik-baik saja.” Nesa mengerjapkan mata. Jadi, gadis yang tampak polos ini selama ini mengamatinya dan tahu kalau dia berbohong, tetapi tidak mencoba mendesaknya berkata jujur? Sontak, Nesa hilang kata-kata m
“Nes, ke mana aja kamu?” Suhana itu sepertinya orang yang suka penasaran dan takkan berhenti sampai keingintahuannya mendapat jawaban. Dia mengguncang lengan Nesa tatkala gadis itu terlihat melamun. Nesa mengangkat pandangannya dari lantai. Setelah mencocokkan informasi dari Suhana, dia menarik kesimpulan—Bagus belum sempat pulang semenjak kedatangannya ke rumah Barata waktu itu. Satu memori melintas di kepala, kalimat perintah Barata kepada Romi malam itu terngiang-ngiang di telinga. Air matanya merebak, kekasihnya mengalami kesulitan karena dirinya. Dan amarah serta kebenciannya pada Barata bertambah berkali-kali lipat. “Ke mana kamu buang pacarku, Mas Bara? Belum puaskah kamu merampas kebahagiannya dengan memisahkan kami? Dan kamu sepertinya nggak akan berhenti sampai membuatnya menderita dengan terluntang-lantung di jalanan.” Hati Nesa begitu pedih seiring bait demi bait kesedihan menggedor dari dalam sana. “Oh, Bagus, semoga kamu baik-baik aja.” Tak terasa bibirnya menggumam p