Share

Bab 4. Bersabar Menunggu Kamu Menerima Saya

Romi yang ditanya seperti itu langsung menjawab, “Kalau boleh jujur sih, Mas, Nesa lebih cantik. Dan ada perbedaan jelas karakter mereka. Nesa tampak polos dan murni, tidak memiliki muslihat—”

Mendengar kata muslihat membuat hati Barata seketika dingin. “Yang kutanyakan bukan tentang karakter, tapi fisik. Ah, lama kelamaan kamu jadi seperti Tuan Kusuma yang terhormat.”

Barata berlalu setelah melontarkan kalimat sarkasme yang membuat temannya itu menggigit lidahnya sendiri sebab sudah berani berkata jujur. Seharusnya dia tak lupa kalau majikannya sangat sensitif terkait sifat dan sikap gadis masa lalunya. Bosnya itu seolah selalu menulikan telinga jika kejelekan gadis itu diungkit.

“Mas, Mas, padahal jelas-jelas perempuan itu mengkhianati kamu.” Romi menggeleng sambil memandang punggung majikannya semakin menjauh.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Nesa dibangunkan Mbok Dami untuk bergegas ke kamar mandi. Nesa membuka kelopak matanya dan langsung meraih tangan perempuan itu. “Mbok, tolong bantu saya kabur dari sini. Saya mohon,” rengeknya sambil mengguncang lengan perempuan yang kepalanya terdapat beberapa helai uban.

Mbok Dami melihat iba wajah sembap Nesa. Andai saja dia bisa mengabulkan permohonan gadis itu. Tetapi dia sadar dia tak berdaya. Dia tak ingin kehilangan pekerjaannya. Apalagi di jaman sekarang pekerjaan sulit didapatkan sementara beban kehidupan menumpuk. Jadi, alangkah baiknya dia tak turut campur masalah ini. Yang perlu dilakukannya adalah menutup mata dan menulikan telinga dengan apa yang terjadi.

“Mbak Nesa, ada baiknya Mbak legowo dan menerima saja. Lagi pula, Mas bos itu nggak jelek, kan? Dia tampan dan punya harta yang bisa memanjakan Mbak.”

Gadis yang memiliki nama lengkap Annisa Raharja itu menggeleng. “Saya punya pacar, Mbok. Gimana mungkin saya ninggalin pacar saya dan nikah sama orang yang nggak saya cintai. Dan saya nggak gila harta.”

“Kalau boleh saya memberi nasihat, cinta nggak melulu membawa kebahagiaan. Contohnya saya, Mbak Nesa.”

Mbok Dami menghela napas berat karena menggali kisahnya. “Dulu waktu muda, saya dijodohkan orang tua dengan lelaki yang usianya terpaut 17 tahun di atas saya. Tapi dia mapan dan punya ladang luas, dia mempekerjakan orang-orang kampung di ladangnya termasuk orang tua saya. Tapi saya ngotot memilih pemuda—apa bahasa anak sekarang? Labil, ya?”

Nesa hanya mengangguk.

“Nah itu. Saya justru kabur dan kawin lari dengan pemuda labil yang cuma modal kata rayuan dan gombalan. Singkat cerita saya menyesal, Mbak. Ternyata hidup dengan yang katanya “cinta” nggak semanis yang saya bayangkan. Saya sengsara, suami KDRT karena saya menuntutnya untuk mencari kerja waktu melihat gentong kosong nggak ada beras sama sekali.”

Nesa tahu apa yang dirasakan Mbok Dami karena terhimpit kekurangan ekonomi memang membawa penderitaan bagi korbannya. Akan tetapi, Bagus orang yang berbeda. Kekasihnya itu bukan pemuda yang malas-malasan, tetapi pekerja keras. Selain menjaga konter, terkadang dia juga menerima pekerjaan memanjat pohon kelapa untuk mengambil buahnya. Jadi, Nesa tak meragukan tanggung jawab sang kekasih jika mereka menikah nanti.

Tapi itu hanya tinggal angan. Sebentar lagi Tuan Barata itu akan menikahinya. Tertutup sudah peluang pernikahan impiannya dengan Bagus terjadi.

Tak ada gunanya berlama-lama mendengar cerita Mbok Dami. Perempuan itu takkan mengerti apa yang dirasakannya. Lebih baik Nesa bergegas ke kamar mandi. Jadi, dia berkata pada Mbok Dami, “Badan saya terasa lengket, Mbok. Lebih baik saya cepat-cepat mandi.”

Mbok Dami mengangguk dan meninggalkan Nesa saat gadis itu mulai beranjak dari ranjang ke kamar mandi.

Beberapa saat kemudian, ruang yang menjadi tempat sakral pengucapan ijab kabul tampak diisi beberapa orang. Tak banyak, hanya kurang lebih 20-an orang. Pun tempat itu tak didekorasi dengan megah, hanya hiasan sederhana.

Sang mempelai pria duduk di depan penghulu mengucapkan kalimat ijab kabul dengan mantap. Duduk juga lelaki yang tak hentinya menampakkan senyum semringah sebab mendapatkan menantu kaya raya. Sementara mempelai wanitanya berada di kamar, menitikkan air mata. Pupus sudah impiannya merajut kebahagiaan bersama Bagus. Dia sudah sah menjadi istri lelaki lain, lelaki yang sama sekali tak dia cintai.

Melihat itu, Mbok Dami yang menemaninya sedari dia dirias sampai sekarang itu mengusap lengannya seraya berucap, “Saya percaya Mbak Nesa kuat dan tabah menghadapi ini.”

Lalu tangan perempuan itu menghilangkan jejak air mata di pipinya dengan tisu. Gerakannya sangat hati-hati supaya tak merusak riasan. Setelah itu dia berkata sambil meraih siku Nesa, “Mari Mbak, orang-orang sudah menunggu.”

Dengan setengah hati Nesa menggerakkan kakinya, mengikuti ke mana saja perempuan itu membawa raganya. Dia sudah pasrah.

Sepasang bola mata Bara tak berkedip saat melihat gadis yang sah menjadi istrinya menuruni tangga. Istri mungilnya itu berkali lipat lebih cantik dengan balutan kebaya putih dengan payet rumit yang memperindah bentuk tubuhnya, dan sarung songket warna cokelat keemasan yang melilit bagian tubuh bawahnya.

“Kamu sangat teramat cantik, Nes,” ucap Bara, menyambut kedatangan Nesa. Gadis itu hanya diam tanpa emosi di wajahnya. Air mukanya tampak datar. Bahkan, dia tak melirik bapaknya yang entah sejak kapan datang, tahu-tahu sudah menjadi walinya di sana.

Lalu penghulu menginstruksikan pengantin wanita untuk mencium punggung tangan suaminya dan sang suami mencium keningnya. Saat Nesa merasakan sentuhan bibir di keningnya, hatinya terasa perih seperti diiris-iris. “Jadi ini sungguh terjadi? Aku sudah bukan milik Bagus?” Hatinya bertanya pedih.

•••

Hari sudah beranjak sore saat Bara memasuki kamar pengantinnya. Beberapa jam ke belakang dia sangat sibuk menghadapi orang-orang yang tadi menyaksikan dia akhirnya melepas lajang. Sebagian besar dari mereka adalah rekan bisnis berbagai lini. Dia cukup kewalahan menjawab pertanyaan mereka ini itu terkait pengantin wanitanya.

“Nes, maaf ya menunggu lama.” Barata yang melihat istrinya memandang taman dari depan jendela kaca, langsung memeluk istrinya dari belakang. Gadis yang mengenakan baju rumahan warna kuning itu tak bereaksi sama sekali dengan tindakannya. Dia merasa seperti memeluk sebuah patung.

Bara sontak mengingat perkataan Nesa kemarin. Dia hanya akan mendapatkan raga tanpa jiwa. Gadis itu menggunakan istilah robot untuk menggambarkannya. Akhirnya Bara berkata sambil menumpukan dagunya di pundak Nesa, “Maaf juga karena saya memaksamu dalam pernikahan ini. Tapi saya berjanji tidak akan memaksa dalam satu hal.”

Bara menunggu Nesa merespons ucapannya, tetapi sampai dia menunggu beberapa saat gadis itu tetap bungkam. Akhirnya dia melanjutkan, “Satu hal itu adalah saya tidak akan memaksamu melayani saya. Nesa, saya akan bersabar menunggu kamu menerima saya. Selama itu belum terjadi, cukup kamu berada di sisi dan saya terus melihat wajahmu.”

Setelah bergeming beberapa waktu, akhirnya Nesa menggerakkan bibirnya untuk berkata, “Bahkan jika akhirnya kamu mendapatkan tubuhku, tapi kamu bukan yang pertama, Mas Bara. Karena aku sudah menyerahkan kesucianku pada Bagus.”

Memang berat mendengar itu, tetapi Bara tak memiliki alasan marah pada Nesa. Itu wajar sebab mereka—Nesa dan Bagus—saling mencintai. “Saya menerima kamu sepenuhnya, Nes. Masa lalumu, tak masalah buat saya. Yang penting adalah masa depan. Dan saya adalah masa depanmu, begitupun sebaliknya.”

Suasana kembali hening, Nesa tak bersuara untuk membalas ucapan Bara dan suaminya itu tak beranjak dari tubuhnya, justru semakin mengeratkan pelukannya. Pandangan mereka sama-sama menjurus ke gazebo dengan pemikiran masing-masing. Nesa yang mengenang pertemuan terakhir kali dengan Bagus malam itu, sementara Bara memahami apa yang gadis itu pikirkan tentang gazebo itu. Bara mempertimbangkan, apakah dia perlu merombak atau sekalian meniadakan bangunan itu supaya istrinya tak mengingat pemuda itu?

Ya, sepertinya Bara perlu melakukan itu.

Suara ketukan pintu memecah keheningan mereka yang bergolak dengan pikiran masing-masing. Bara langsung menghambur ke pintu. Dari pola ketukannya Bara menangkap ada hal yang urgent.

“Mas bos, gawat, Mas!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status