Wajah panik Romi langsung terlihat setelah Bara membuka pintu. “Katakan dengan jelas, Rom,” tuntutnya tak sabar. Pasti ada yang salah.
“Lele, gurame dan lobster di semua kolam mati, Mas bos. Sepertinya ada pihak yang menyabotase.”“Kurang ajar!” Bara langsung mengambil langkah lebar. Tujuannya tentu saja ke tempat budidaya ikan-ikan yang menjadi salah satu ladang bisnis pencetak uangnya yang saat ini telah diobrak-abrik orang tak bertanggung jawab, dengki dan tak senang dengan kesuksesannya.Romi menyusul dengan berlari. Tempat itu berada kira-kira 20 meter dari gerbang belakang rumah.Nesa mengernyit melihat keributan itu. Dia sempat melihat Bara yang murka dari jendela kaca. Tiba-tiba berkelebat dalam benaknya, bukankah ini adalah peluang? Mungkin Tuhan merasa iba padanya dan memberinya kesempatan untuk kabur.Tanpa pertimbangan lagi, Nesa cepat-cepat berlari menuruni tangga. Ketika berpapasan dengan Mbok Dami, perempuan itu menyapanya dan dia mengatakan ingin melihat-lihat sekitar rumah.Tanpa curiga Mbok Dami mengusap lengannya dan berkata, “Hati-hati, rumah ini di tengah-tengah hutan. Jadi meskipun rumah ini sudah dikelilingi pagar tembok yang tinggi dan kokoh, masih ada kemungkinan ular bisa masuk ke sekitaran sini.”Nesa tersenyum kecil. “Jangan kuatir, Mbok. Saya cuma mau lihat rumput yang menghampar di sisi kanan dan kiri yang memanjang sampai pintu gerbang itu, lho. Penasaran saya. Kayaknya itu bukan rumput asli, ya.”Mbok Dami tertawa mendengar itu lalu menyuruh Nesa cepat-cepat mengobati rasa penasarannya. Dia tak sedikit pun khawatir kalau Nesa sedang berencana melarikan diri sebab dia pikir dua satpam penjaga gerbang stand by di sana. Jadi, jika gadis itu mencoba kabur, pastilah harus menghadapi dua keamanan itu dan itu bukanlah hal mudah.Nesa dengan gerakan santai supaya tak menciptakan gelagat mencurigakan berhasil keluar dari pintu utama. Dia berpura-pura melihat dan menelusuri rumput palsu itu dan mencermati keadaan sekitar. Ternyata pos satpam sedang kosong. Syukurlah, Tuhan benar-benar ingin menolongnya.Dengan tangan gemetar dan jantung berdetak cepat, dia membuka pintu gerbang lalu cepat-cepat berlari keluar. Semenjak kakinya menginjak tanah di luar gerbang, dia tak sekalipun menoleh ke belakang apalagi berhenti. Dia fokus berlari sambil bibirnya menggumamkan permohonan keselamatan.Sudah cukup jauh dia berlari hingga napasnya tersengal-sengal dan keringat bercucuran di sekujur tubuhnya. Kakinya pun terasa sangat kelelahan. Dia sudah hampir keluar dari hutan dan jalan raya sudah tampak dari tempatnya sekarang. Dia berlutut sebentar untuk menormalkan napas dan mengistirahatkan kakinya.Beberapa saat kemudian, Nesa sudah berada di tepi jalan. Tangannya beberapa kali menghentikan kendaraan yang lewat, tetapi tak satu pun yang peduli. Sampai akhirnya sebuah pickup usang berhenti dan orang di balik kemudi bertanya padanya, “Sudah menjelang petang kok anak gadis berani sendirian di sini, Non? Ini jalanan terkenal sepi, loh.”Nesa membasahi mulutnya yang kering sebelum menjawab, “S-saya kabur dari orang jahat. Di dalam hutan sana saya disekap, tolong saya, saya akan dijual, Pak.” Nesa berbohong untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan rumit yang mungkin saja orang itu katakan jika mendengar cerita sebenarnya.Wajah orang itu langsung menunjukkan rasa iba. Dia teringat anak gadisnya di rumah, apakah sanggup jika hal itu terjadi pada anaknya. Dia akhirnya menyuruh Nesa masuk dan duduk di kursi penumpang.“M-makasih, Pak.” Nesa berucap setelah duduk di kursi penumpang.Orang itu mengangguk dan mulai mengemudi. “Saya teringat anak saya yang kelihatannya seumuran kamu. Gimana kamu bisa diculik, apa ada andil keluarga dalam penculikan kamu? Biasanya begitu, karena gelap mata demi uang, orang terdekat dikorbankan.”Hati Nesa seakan ditusuk. Keluarga? Yang terlintas seketika di kepalanya adalah wajah bapaknya. Orang yang seharusnya jadi pelindungnya itu justru tega mengkhianati dan menjerumuskannya. Pantas saja sebelum dikirim ke rumah Barata, orang itu menyita hp-nya. Ternyata itu upaya agar dia tak dapat menghubungi siapa pun untuk meminta tolong, tak terkecuali menghubungi kekasihnya—Bagus.Air mata Nesa meleleh.“Duh, maaf. Yang membuatmu nangis pertanyaan Bapak, ya.” Orang baik itu merasa bersalah saat melihat Nesa menangis tanpa suara. “Lupakan saja, Non. Anggap saja itu tadi angin lalu. Jangan dipikirin pertanyaan Bapak.”Nesa diam dan mengusap air matanya.“Jadi ini Non mau diantar ke mana?”Nesa menyebutkan nama desanya.Mendengar nama Desa Nesa, orang itu menyesal dan berkata, "Waduh, ternyata kita sekarang berjalan ke arah yang berlawanan dari Desa Non."Nesa terlihat bingung dan waswas. “Terus, gimana dong, Pak? Apa Bapak akan nurunin saya di sini?”Tampak orang itu berpikir sejenak hingga akhirnya berkata, “Gini aja deh, Non. Kamu di rumah Bapak dulu. Jangan takut, saya nggak ada niatan buruk sama kamu, di rumah ada istri dan anak Bapak.”“Saya numpang terus di rumah Bapak?” Nesa merasa bimbang, dia ingin cepat pulang lalu menemui Bagus.“Dua hari, Non. Karena tiga hari lagi kayaknya saya akan melewati desa kamu. Bos saya nyuruh ngirim serabut kelapa di desa tetangga Non itu. Gimana, mau pulang sama Bapak?”Nesa menggigit bibirnya, bimbang. Tapi sepertinya dia tak punya pilihan lain, jadi dia mengangguk setuju.Sementara Nesa sudah semakin menjauh dari wilayah Barata, di rumah lelaki itu sedang heboh. Seluruh orang mencari keberadaan gadis itu. Barata menggeram murka setelah menginterogasi satu per satu pembantu. Ke mana saja mereka sampai istrinya lolos.Mbok Dami sudah menangis sedari tadi. “Maafkan saya, Mas bos. Saya benar-benar ceroboh. Saya kira gerbang depan dijaga satpam.”Barata memejamkan mata, mencoba meredam amarah. Dia juga tak dapat menyalahkan Mbok Dami. Berita menggemparkan sore tadi terkait sabotase ikan-ikannya, memang berhasil mencuri perhatian semua orang.Dua satpamnya tak luput dari fenomena itu hingga mengabaikan penjagaan pintu gerbang dan justru ikut melihat kekacauan di kolam. Dirinya pun tanpa melihat Nesa langsung bergegas ke TKP. Jadi, di sini tak ada yang dapat disalahkan selain memang sudah celahnya untuk istrinya itu kabur.Lalu Bara menggunakan ponselnya, menelepon seseorang. “Kabari saya jika dia sudah datang,” ucapnya di akhir panggilan. Barusan yang dihubunginya adalah Raharja, bapak Nesa. Lelaki itu tampaknya sudah sampai di rumahnya, dia meninggalkan rumah menantunya tak lama setelah acara sakral tadi pagi usai.Dia mondar-mandir. Dia berpikir, dia tak bisa jika hanya menunggu. Akhirnya dia menyambar kunci mobil lalu melesat ke parkiran.Romi terlihat tergopoh-gopoh menghampirinya saat dia sudah di balik kemudi. Dia menurunkan kaca pintu mobil untuk mendengar asistennya itu berkata.“Apa tidak sebaiknya saya saja, Mas, yang memeriksa ke desa. Kata orang pamali pengantin baru keluar berkendara.”“Peduli setan dengan takhayul, Rom. Aku kehilangan istriku, apa kamu pikir aku bisa diam?”Barata sampai di desa Nesa setelah empat jam perjalanan. Dia langsung disambut sang mertua dengan informasi yang sangat tidak dia harapkan. “Nesa tidak ada di sini, Tuan.” Raharja berbicara dengan takut. Khawatir menantu kayanya itu akan murka padanya. “Panggil saja Bara, saya menantu Bapak sekarang.” Di luar perkiraan, justru menantunya itu bersikap jauh dari kata murka. Barata tampak mampu mengendalikan emosi.Bara lantas memeriksa rumah yang hanya sepetak itu untuk memastikan. Dia mengetatkan rahang, istrinya memang tak ada di sana. Ke mana gadis itu pergi? Selama perjalanan pun netranya menyisiri jalan kalau-kalau melihat istrinya. Tetapi, sekadar bayangannya pun tak dia dapati. Barata menjadi semakin khawatir.“Pemuda itu ... pacar Nesa, di mana rumahnya?” Barata bertanya dengan nada tak sabar. Melihat ikatan emosi Nesa dan Bagus malam itu, instingnya berkata kalau sewaktu-waktu Nesa pergi ke rumah pemuda itu untuk menemuinya atau mungkin saat ini Nesa memang sudah berada di sa
“Oh, Bapak baru ingat,” sahut Pak Agung. Lalu dia melihat Nesa dan bertanya, “Kamu disekap di tempat kayak apa, Non?”“Di gubuk, dindingnya berupa bambu, Pak,” jawab Nesa berbohong. Dalam hati dia bergumam, semoga saja orang-orang yang mengelilinginya ini tak menaruh curiga padanya.“Padahal di hutan itu ada rumah Tuan Barata lho, Non. Banyak pegawainya juga di sana. Bapak heran kok yang nyulik kamu itu berani berbuat macam-macam di wilayah Tuan Barata. Kamu nggak lihat di sana ada rumah besar yang dikelilingi tembok tinggi?”Nesa menelan ludahnya dan mencoba menyembunyikan kegugupannya. Andai Pak Agung tahu bahwa nama orang yang disebutnya barusan merupakan tersangka dalam kasus ini. Kemudian Nesa menggeleng setelah kepalanya menemukan jawaban. “Saya dibius saat tidak jauh dari rumah. Setelahnya tahu-tahu sudah ada di gubuk itu dengan beberapa orang yang mengawasi saya. Jadi, saya nggak tahu tentang rumah tuan yang Bapak sebut itu tadi.” “Gimana cara kamu kabur dari sana?” Bu Agung
“Non, hati-hati, ya. Kamu harus bisa jaga diri. Kalau bisa kejadian kemarin jangan sampai terulang lagi.” Bu Agung merangkul tubuh Nesa, mengantarnya sampai depan pickup yang akan mengantarnya pulang. Sementara Pak Agung sudah berada di balik kemudi kendaraan usang tersebut.Nesa tersenyum serta kepalanya mengangguk. Hampir dua hari berada di rumah ini, Nesa seperti mendapatkan keluarga baru. Mereka memperlakukan Nesa dengan baik dan hangat layaknya saudara jauh yang sudah lama hilang komunikasi lantas berkunjung secara tiba-tiba memberi kejutan. Hati Nesa benar-benar menghangat.Bu Agung melepas Nesa, kini giliran Indah yang merangkulnya dan gadis itu berbisik di telinganya, “Mbak, Indah tahu Mbak Nesa menyembunyikan sesuatu, tapi apa pun kebenarannya, Indah harap semuanya akan baik-baik saja.” Nesa mengerjapkan mata. Jadi, gadis yang tampak polos ini selama ini mengamatinya dan tahu kalau dia berbohong, tetapi tidak mencoba mendesaknya berkata jujur? Sontak, Nesa hilang kata-kata m
“Nes, ke mana aja kamu?” Suhana itu sepertinya orang yang suka penasaran dan takkan berhenti sampai keingintahuannya mendapat jawaban. Dia mengguncang lengan Nesa tatkala gadis itu terlihat melamun. Nesa mengangkat pandangannya dari lantai. Setelah mencocokkan informasi dari Suhana, dia menarik kesimpulan—Bagus belum sempat pulang semenjak kedatangannya ke rumah Barata waktu itu. Satu memori melintas di kepala, kalimat perintah Barata kepada Romi malam itu terngiang-ngiang di telinga. Air matanya merebak, kekasihnya mengalami kesulitan karena dirinya. Dan amarah serta kebenciannya pada Barata bertambah berkali-kali lipat. “Ke mana kamu buang pacarku, Mas Bara? Belum puaskah kamu merampas kebahagiannya dengan memisahkan kami? Dan kamu sepertinya nggak akan berhenti sampai membuatnya menderita dengan terluntang-lantung di jalanan.” Hati Nesa begitu pedih seiring bait demi bait kesedihan menggedor dari dalam sana. “Oh, Bagus, semoga kamu baik-baik aja.” Tak terasa bibirnya menggumam p
Bulu mata lentik itu berkedip beberapa kali, bergerak dengan lemah seirama gerakan kelopak mata yang dipayunginya. Rasa pening langsung menyergap gadis yang sedang telentang dengan keadaan tak berdaya, menuntun tangannya terangkat ke pelipis untuk memberi sentuhan meredakan di sana. Suara lenguhan keluar dari sela bibirnya yang mungil, dan kesadaran yang tiba-tiba membuatnya menyentakkan punggung ke kepala ranjang. Dia bangkit secara spontan, mengabaikan kondisi sekujur tubuhnya yang terasa seperti remuk oleh sebab diremas tangan-tangan besi.“Mereka berhasil menangkapku!” memori terakhir yang dapat direkam kepalanya sebelum dia menemukan kesadarannya adalah wajah lelaki yang berjarak tak kurang sejengkal dari wajahnya—menyeringai iblis kepadanya.“Sudah berapa lama aku nggak sadarkan diri?” tanyanya pada diri sendiri. Tangannya mengusap tengkuknya berulang kali.Meskipun rasa sakit begitu menggelayut, Nesa memaksa mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Ini bukan kamar yang di
Tampang lelaki yang dipanggil Awan itu terlihat kesal saat menoleh pada suara yang menyerukan namanya, yang bergerak semakin dekat padanya dengan pelan, namun pasti. Bibirnya berdecak tak suka sebab kegiatan menyenangkannya diinterupsi. “Harusnya aku curiga waktu kamu mengajukan diri turun ke lapangan, alih-alih menyerahkan tugas sepele itu pada anak buahmu,” kata lelaki tua yang diikuti beberapa orang di belakangnya. Berdiri di depan sang putra dengan tongkat wallker di tangan kanannya, matanya memicing penuh selidik. “Kamu memang pemburu andal, Nak. Tapi kali ini kubur dulu bakatmu yang itu.”Si lelaki tua dengan gaya parlente itu melirik sekilas gadis yang raut mukanya dihiasi ketakutan yang dominan. “Memang kenapa, Ayah?” Awan mendengkus tak senang. “Aku yang menemukannya, maka terserahku mau ku apakan dia.”Bulu kuduk gadis yang menjadi topik pembicaraan bergidik mendengar itu. Kali ini Nesa melafalkan doa dalam hati, semoga Tuhan menolongnya lagi, lolos dari lingkaran setan le
“Mas bos.” Barata yang merebahkan tubuh di atas sofa dengan malas akibat kemelut pikirannya mencari keberadaan Nesa langsung memicingkan mata, melihat Romi menjulang di atasnya dengan benda kotak di tangan lelaki itu.“Paket,” kata Romi sembari menyodorkan benda kotak kecil yang misterius. “Kata satpam dari semalam.”Tanpa minat, Barata menyuruh Romi membukanya. Benda itu tak meyakinkan, dia pun tak merasa memesan sesuatu atau ada laporan pihak yang akan mengirimkan barang padanya. Romi mengambil posisi duduk dan langsung membuka paket di tangannya. Kernyitan dalam muncul di kening Romi saat melihat benda tersembunyi di dalamnya. “Mas ....” Romi menunjukkan benda mungil cantik berwarna silver. “Kurang ajar!” Barata langsung bangkit lantas merebut benda yang sangat dia kenali dari tangan Romi. Bagaimana tak mengenal? Dia sendiri yang memilih dengan teliti benda itu untuk dia pasangkan di jari Nesa pada hari pernikahan mereka. “Siapa yang mencoba memancingku! Sangat pengecut mengguna
Nesa merasakan tubuhnya ingin menciut kecil selaras dengan keberaniannya yang menyusut, ketakutannya meningkat pesat tatkala melihat pintu kamar dibuka dari luar, dan menampilkan tubuh tegap Awan berjalan masuk dengan bibir melengkung sempurna yang kini Nesa tahu apa maksud di balik senyum itu. Tiap derap yang kaki lelaki itu ciptakan saat melangkah pun terdengar seperti membawa bahaya pada tiap entakannya.‘Ya Tuhan, kapan aku akan terbebas dari situasi mengerikan ini. Berada di sini seperti merasakan hawa neraka. Begitu mencekam, begitu menakutkan.’“Selamat malam, Kelinci kecil.” Lelaki itu langsung melintasi kasur, menyisakan jarak hanya beberapa jengkal dari Nesa. Nesa langsung merapatkan punggungnya pada sandaran ranjang dengan degup jantung yang berantakan, seakan jantung itu sangat siap melompat keluar. Dia melihat lelaki di depannya ini laksana predator yang lebih dari siap untuk memangsanya. “Kamu takut padaku?” Sepasang mata predator Awan menelisik ekspresi wajah gadis di