Share

Nyaris Ketahuan

Di sisi lain, Valerie belum bergerak, namun bola matanya berputar menatap gerombolan laki-laki berpakaian hitam itu. Takut gadis yang ditolongnya mungkin tidak bisa bernafas karena Valerie mengunci rapat sleting kopernya, pelan-pelan Valerie melonggarkannya dan membuat jalur udara. Saat salah seorang dari gerombolan itu menengok ke arah Valerie lagi, dia segera menarik tangannya dari koper dan berusaha bersikap normal.

Beberapa orang penumpang terlihat kesal saat gerombolan itu secara sengaja memeriksa di sekitar tempat duduk. Sebagian bersikap kasar dan membentak ketika penumpang menolak digeledah. Peluh makin membanjiri wajah Valerie seiring dengan warna wajahnya yang berubah pucat. Bagaimana kalau mereka kembali dan memaksa memeriksa barangnya seperti yang mereka lakukan pada penumpang lain?

Tubuh Valerie bergetar hebat saat laki-laki yang menanyainya kembali berbalik. Dia menelan ludah, berpura-pura memejamkan matanya seolah-olah dia sedang istirahat. Dengan erat dia memeluk buku hariannya hingga buku itu nyaris terlipat.

“Nona, apa kamu yakin dia ke sana?”

Valerie membuka matanya. Pelan-pelan dia menegakkan tubuhnya, lalu mengangguk. Beberapa pasang mata dari penumpang lain terlihat khawatir pada Valerie, mungkin mereka sempat melihat gadis itu mendatanginya.

“Lalu kenapa kamu berkeringat dan wajahmu pucat?”

Jantung Valerie berdegup semakin cepat, memaksanya untuk berpikir mengeluarkan alasan yang tepat. Tapi apa? Bagaimana bisa dia menemukan alasan di tengah-tengah kekacauan seperti ini?

“Ada apa ini?” Seorang laki-laki berdiri di antara mereka, dengan memegang sebuah termos di tangannya.

“Apa perutmu masih sakit? Aku sudah membawa air hangat seperti yang kamu bilang. Jangan khawatir, kita akan tiba beberapa menit lagi.”

Valerie melongo tak percaya saat laki-laki itu menyodorkan termos yang dipegangnya, dan masih dengan mata yang tak berkedip, Valerie menerima termos itu. Siapa dia? Kenapa dia mengatakan hal itu? Apa dia juga melihat gadis itu lalu berniat menolongku?

“Ma-masih."

Dengan terbata-bata Valerie menempelkan termos kecil yang ternyata kosong itu ke perutnya, seolah-olah memang dia sedang sakit.

“Keringatmu banyak sekali. Sabar sebentar, kita akan segera tiba.”

Seperti sudah kenal dekat, laki-laki itu duduk di samping Valerie, mengeluarkan sebuah sapu tangan dan menghapus peluh di wajah Valerie. Dia mengangkat wajahnya, menatap laki-laki berjas hitam itu sembari mengangkat alisnya.

“Maaf, ada perlu apa dengan adikku? Dia sedang sakit. Kalau ada hal yang penting, kamu bisa bicara padaku.”

“Tidak. Maaf mengganggu.”

Laki-laki berjas hitam itu memberi kode pada yang lain, lalu dalam sekejap mereka sudah pergi melanjutkan pencarian mereka ke tempat lain. Valerie memejamkan matanya dan menelan ludah setelah gerombolan itu menjauh. Dia menghela nafas lega, tersenyum menatap laki-laki yang duduk di sampingnya.

“Thanks sudah menolongku.” ucap Valerie sungguh-sungguh. “Oh, ini. Termosnya ku kembalikan.”

“Pegang saja.” Laki-laki itu tersenyum. “Kita tidak tahu apakah mereka masih akan kembali atau tidak.”

“Kamu ... melihat gadis itu ke arahku?”

Laki-laki itu mengangguk. “Saat melihatnya berlari ketakutan, aku sudah merasa ada yang aneh padanya. Benar saja. Dia memang sedang diincar oleh beberapa orang. Untung saja kamu menolongnya.”

Valerie mengangguk-angguk. Dia melihat ke sekitarnya, lalu diam-diam membuka sleting kopernya dan berbisik, “Aku pikir keadaannya sudah aman sekarang.”

“Tidak. Sebelum kita turun dari kereta api ini, tidak ada yang aman.” sahut gadis itu dari dalam koper. “Tenang saja. Tubuhku sangat fleksibel. Koper ini bukan apa-apanya dan aku baik-baik saja di dalam sini.”

“Tapi apa kamu bisa bernafas dengan baik?”

“Sedikit sesak memang.” Valerie mendengar suara memelas. “Tapi masih lebih baik daripada bertemu mereka lagi.”

Valerie dan laki-laki di sampingnya saling bertatapan “Sebentar lagi aku akan tiba di tempat tujuanku. Aku akan segera mengeluarkanmu saat kita sudah sampai.”

“Baiklah.” Laki-laki si sebelah Valerie tiba-tiba berdiri. “Aku akan kembali ke kursiku.”

“Tunggu.” Valerie menarik tangannya, dan saat laki-laki itu berbalik, Valerie melepas tangannya sendiri karena dia tahu sudah bertingkah tidak sopan. “Jika mereka kembali dan menemukanmu duduk di kursi yang lain, mereka akan curiga padaku.”

Laki-laki itu menatap Valerie karena tidak mengerti maksud pembicaraannya.

“Maksudku, bisakah kamu pindah duduk di sini sampai aku tiba di tempat tujuanku? Ini demi keamanan kita berdua juga bukan?” ujar Valerie lagi.

“Kita bertiga.”

Terdengar suara gadis dari dalam koper, hingga membuat Valerie dan laki-laki itu tertawa kecil. Laki-laki itu mengangguk setuju.

“Baiklah. Akan ku ambil barang-barangku terlebih dahulu.”

Setelah laki-laki itu setuju untuk duduk di sampingnya, barulah Valerie bisa bernafas lega. Dia terus menatap koper di sampingnya sambil sesekali mengetuk untuk mengecek apakah gadis tadi masih bernafas atau tidak. Dia akan mendengar suara sungut-sungut dari dalam setelah dia mengetuknya dan Valerie hanya bisa tersenyum.

Tak lama kemudian laki-laki itu kembali bersama barang bawaannya. Tidak banyak. Hanya sebuah ransel hitam dan satu tas tangan kecil. Laki-laki itu menaruhnya di dekat kaki sementara dia duduk di samping Valerie.

“Ngomong-ngomong, namaku Zachary Wellbee. Kamu bisa memanggilku Zach.” Zach menyodorkan tangannya pada Valerie.

“Valerie Riven.”

Keduanya berjabat tangan lalu sama-sama tersenyum. Tiba-tiba.

“Namaku Isabelle Lysander, kalau kalian tidak keberatan berkenalan denganku. “ sahut gadis dari dalam koper Valerie sembari mengeluarkan setengah telapak tangannya dari lobang udara yang dibuat Valerie.

Mereka berdua tidak bisa menahan tawa. Valerie mengulurkan tangannya, memegang jemari Isabelle seperti seolah mereka sedang berjabat tangan. “Hai, Aku Valerie Riven.”

“Dan aku Zachary Wellbee.”

“Sudah ku dengar kalian menyebutkan nama kalian. Aku tidak tuli.” sungutnya dari dalam koper.

“Untuk seseorang yang sedang dalam bahaya, kamu terlalu banyak bicara.” seru Zach, diikuti anggukan kecil dari kepala Valerie.

“Ku pikir aku sudah tidak dalam bahaya lagi karena ada kalian. Jadi, aku sudah menganggap semuanya aman.”

Valerie dan Zach hanya bisa tersenyum. Kemudian mereka mengobrol beberapa hal hingga Valerie tiba di tujuannya. Dia berdiri, bersiap untuk turun. Namun saat dia mendorong kopernya, dia sedikit kesulitan karena berat kopernya yang luar biasa.

“Akan ku bantu.” Zach berdiri, mengenakan ranselnya terlebih dahulu lalu membantu Valerie mendorong kopernya.

“Tapi kamu bilang kamu tidak berhenti di sini.”

“Aku akan ambil kereta api lainnya nanti. Kita urus saja dia dulu, setelah itu baru aku bisa pergi dengan tenang.”

Valerie mengangguk setuju. Mereka berdua mendorong koper berisi gadis bernama Isabelle itu keluar dari kereta api. Dengan hati-hati keduanya mengangkat koper dan meletakkannya di peron. Valerie sedikit terengah-engah, mengingat berat nya yang luar biasa. Jika tidak ada Zach, dia tidak akan sanggup mengeluarkannya dari dalam kereta api dan hal itu bisa membuatnya ketahuan.

Saat mereka kembali melihat gerombolan laki-laki berjas hitam itu mondar-mandir di sekitaran peron, Valerie dan Zach berusaha bersembunyi di balik layar LCD raksasa yang berisi iklan produk kesehatan yang terletak di sepanjang peron. Jantung Valerie berdegup kencang, jemarinya gemetar memegang koper sambil sesekali mengintip.

“Ku pikir kita tidak akan aman di sini. Ayo.”

Zach mendorong koper Valerie sendirian, dan dengan tergopoh-gopoh Valerie mengikutinya dari belakang. Saat Valerie berbalik, dia melihat laki-laki yang menanyainya tadi terlihat menunjuk ke arahnya. Sial. Apa mereka ketahuan?

“Zach, aku rasa mereka mencoba mengikuti kita.” gumam Valerie panik.

“Aku tahu.” seru Zach. “Ikuti saja aku.”

Mereka tergesa-gesa membelah ratusan manusia yang memadati stasiun kereta api. Jam menunjukkan pukul tiga sore, tapi entah apa yang manusia-manusia ini lakukan di stasiun hingga rasanya tempat ini menjadi menyesakkan. Setelah berhasil keluar dari kerumunan lautan manusia, Zach mendorong koper Valerie ke balik tembok dan buru-buru membukanya.

“Isabelle, kami tidak bisa menyembunyikanmu di sini terus. Mereka mengikuti kita, jadi jika kamu terus berada dalam koper, kita akan ketahuan.”

Isabelle yang sudah keluar dari koper dan berdiri dengan kaku –mungkin karena otot-ototnya terlalu lama terlipat, mengangguk dan mencoba mengedarkan pandangannya ke segala sudut.

“Aku akan sembunyi di sana.” Dia menunjuk sebuah ruangan khusus staff, namun sepertinya sudah tidak dipakai lagi. “Kalian harus bersikap biasa saja, dan kamu ...” Isabelle menunjuk Valerie. “Bersikaplah pura-pura sakit.”

Valerie dan Zach mengangguk.

“Tolong berikan aku ponselmu. Aku perlu menghubungi keluargaku. Setelah aman, aku akan keluar.”

Valerie merogoh kantongnya dan memberikan ponselnya pada Isabelle. Dengan langkah berderap, Isabelle melesat meninggalkan mereka sementara Zach mencoba mengintip. Mereka berdua bisa mendengar degupan jantung masing-masing. Valerie tidak akan berbohong. Dia benar-benar merasa jika hidupnya akan segera berakhir. Dia membayangkan bagian tubuhnya yang mana yang akan ditembus oleh peluru panas itu. Dan memikirkannya membuat air mata menggenang di pelupuk mata Valerie.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Indah Syi
semoga menjadi awal persahabatan yg baik
goodnovel comment avatar
Tu Es Belle
ikutan deg deg an
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status