Kediaman keluarga Lysander.
“Tuan Emrys ... Tuan Emrys ... "Ky Alexander, asisten sekaligus kaki tangan Emrys berlari memasuki ruang tengah dengan nafas tersenggal. Dia menatap Emrys, lalu menganggukkan kepalanya.“Nona Isabelle menghubungiku. Aku sudah meminta orang-orang kita yang paling dekat dengan lokasinya untuk menyusulnya segera.”“Benarkah? Di mana dia sekarang?”“Stasiun kereta api Hawe, Tuan.”Emrys menyambar jas hitam dan kaca mata hitamnya. Dia langsung meninggalkan kediamannya begitu Ky menyampaikan kabar tentang keberadaan Isabelle. Mengendarai Mercedes-Maybach Exelero miliknya, dia langsung bergerak menembus lalu lintas yang memadati kota. Dia mencoba tetap tenang, walau kenyataannya sedari tadi, Emrys nyaris pingsan saat mengetahui kabar penculikan Isabelle.Isabelle adalah satu-satunya saudaranya. Terpaut usia hampir enam belas tahun membuat Emrys merasa akan sangat gagal jika terjadi sesuatu pada Isabelle. Isabelle adalah tuan puteri kesayangan Emrys. Dia akan melakukan apa pun demi adiknya itu dan tidak mengizinkan siapa pun melukai Isabelle.*Sementara itu di stasiun kereta api Hawe.“Mereka di sini.” seru Zach.Valerie langsung duduk di lantai, menyandarkan tubuhnya dan menekuk kakinya. Dia menunduk, memegang perutnya dan pura-pura mendesah kesakitan. Zach yang berada di sampingnya ikut jongkok di samping Valerie dan tepat saat itu orang-orang yang mengenakan jas tiba di tempat mereka.“Geledah kopernya.” Perintah laki-laki yang menanyai Valerie tadi di dalam kereta api.“Apa yang kalian lakukan?” Zach berdiri. “Sudah ku bilang adikku sedang sakit, kenapa kalian terus mencari masalah dengan kami?”“Diamlah bocah.” seru salah seorang dari mereka.Valerie menarik jari telunjuk Zach, memberi kode untuk tidak banyak bicara sambil menggelengkan kepalanya. Keadaannya sudah sangat pelik, Valerie tak ingin gerombolan orang tak dikenalnya itu tersulut emosi karena nada bicara Zach sehingga malah melukai mereka.“Kopernya kosong, Bos.”Laki-laki yang dipanggil Bos tadi mendekati keduanya, lalu menyibak jas dan menampakkan senjatanya dengan sengaja. Tentu saja dia tidak berniat sekedar menakut-nakuti.“Di mana gadis itu?”Valerie menelan ludah. Jantungnya memompa lebih cepat dan harapannya perlahan menguap. Terlebih saat bos itu menarik kerah baju dan mendorong Zach hingga menempel ke tembok, Valerie nyaris berteriak karena ketakutan dan langsung berdiri memegangi Zach. Salah satu tangan laki-laki itu digunakan untuk menekan tubuh Zach, dan tangan yang lain mengambil senjata dari pinggangnya.Namun tiba-tiba.“Bos, kelompok Xannex sedang menuju ke sini.” bisik salah satu anggotanya.Bos kelompok itu melepas kerah baju Zach, sambil menatap keduanya dengan dingin dan liar seolah-olah Valerie dan Zach adalah seonggok daging yang lezat. Kelebat mata itu juga terasa penuh dendam karena keduanya melakukan sesuatu yang mungkin membuatnya sangat rugi.“Akan ku buat perhitungan dengan kalian.” bisiknya. “Ayo pergi.”Dalam sekejap, gerombolan mereka lenyap dari hadapan Valerie dan Zach. Kaki Valerie langsung layu dan dia jatuh di lantai, begitu pula Zach. Keduanya masih bernafas terengah-engah, saat beberapa waktu kemudian Isabelle keluar dari ruangan staff dengan mengendap-endap.“Apa kalian baik-baik saja?” Isabelle terlihat khawatir. “Maafkan aku. Aku menyeret kalian ke dalam masalah ini.” Dia nyaris menangis.“Tidak masalah.” Zach mencoba berdiri, namun kakinya masih gemetar sehingga dia kembali jatuh.Valerie dan Isabelle memeganginya. Ketiganya duduk berdekatan sembari mencoba menenangkan diri mereka masing-masing. Valerie menatap Isabelle diam-diam. Sekarang dia baru menyadari jika Isabelle sangat cantik. Kulitnya putih bagaikan susu dan terlihat sangat terawat. Sepertinya dia bukanlah dari kalangan biasa seperti dirinya. Apa motif penculikan itu adalah uang?“Kalian pasti kebingungan.” Isabelle bergeser ke dinding untuk menyandarkan tubuhnya. “Dan sebenarnya aku juga sama bingungnya dengan kalian. Tadi pagi saat aku baru saja mengambil ijazahku di sekolah, tiba-tiba sebuah mobil SUV hitam berhenti di sampingku.”Isabelle menarik nafasnya, lalu mendesah panjang. “Kejadiannya sangat cepat. Tahu-tahu aku sudah berada dalam mobil itu dan mereka langsung membekapku. Mereka membawaku berputar-putar, berhenti dari satu titik ke titik yang lain. Entah apa alasan mereka menganti transportasi mereka dari mobil menjadi kereta api, tapi aku berpikir, satu-satunya caraku untuk bisa lolos adalah ketika berada di kereta api. Dan berkat kalian... " Dia menatap Valerie dan Zach penuh rasa haru. “Aku bisa selamat. Terimakasih banyak sudah menyelamatkanku.”“Tapi itu tadi pengalaman yang sangat mengagumkan.” seru Zach pada akhirnya setelah dia berhasil memulihkan dirinya dari semua ketakutannya dan menemukan kembali kekuatan fisiknya. “Aku nyaris mati ketakutan saat melihat senjata apinya.”“Aku juga.” sungut Valerie. “Aku pikir, aku segera menyusul grannyku yang baru meninggal seminggu yang lalu. Aku bahkan sudah menyusun kata-kata terakhirku dalam buku ini.” Dia mengangkat buku hariannya yang sudah kusut karena terlalu kuat dipeluk olehnya.Isabelle tertawa kecil, namun dari sudut matanya mengalir bongkahan bening. Dia menatap keduanya, lalu memeluk mereka secara bersamaan. “Aku tidak tahu bagaimana membalas kebaikan kalian.”“Tidak perlu membalas kami.” gumam Valerie. “Kita selamat dan baik-baik saja adalah hal yang sangat menakjubkan. Aku tidak pernah sebahagia ini mengetahui aku masih bisa hidup.” lanjutnya lagi.“Kamu bicara seolah-olah kehidupanmu sangat menyedihkan.” gurau Zach.Mereka tertawa bersamaan. Zach merogoh kantongnya, lalu mengeluarkan ponsel miliknya.“Aku merasa jika pertemuan kita adalah takdir. Hal yang baru saja kita lalui, tidak semua orang pernah merasakannya. Jadi, tidak keberatan jika aku meminta nomor kontak kalian, bukan? Aku masih ingin berteman dengan kalian.”“Tentu saja.” Mata Isabelle berbinar, diikuti anggukan kecil dari Valerie.“Kita harus tetap terhubung. Apa pun yang terjadi, kita harus bersahabat.” ujar Valerie.Isabelle mengetik nomor kontaknya di ponsel Zach, namun tiba-tiba dia berhenti.“Tapi ponsel ku hilang entah di mana. Mungkin kalian harus menunggu kabar dariku jika harus menghubungiku.”“Tidak masalah. Aku akan mencatat nomor ku di kertas ini dan kamu bisa menghubungi kapan saja. Untuk sementara, aku dan Zach yang akan saling berhubungan dulu.”Valerie menyobek kertas dari buku hariannya setelah menulis nomor kontaknya dan menyerahkannya pada Isabelle. Setelah itu dia menerima ponsel Zach, mengetik nomornya sendiri lalu mengembalikan ponsel itu pada pemiliknya.“Oh, ini ponselmu.” Isabelle memberi ponsel Valerie yang tadi dipakainya. “Berkat ponselmu, aku bisa menghubungi asisten Kakakku. Mereka akan segera tiba sebentar lagi.”Hal pertama yang dilakukan Isabelle adalah memeluk erat Valerie ketika dia turun dari sedan yang membawanya kembali ke rumah. Dalam diam, dia menangis sesenggukan, menumpahkan semua rasa sakit hati dan penyesalan yang tak terukur dalam dirinya. Isabelle tidak bisa menggambarkan betapa terlukanya perasaannya dan sedalam apa rasa sakitnya.Rasa sakit itu bukan hanya karena dia berpikir jika dia kehilangan Valerie, namun juga karena rasa cinta yang sudah menggebu-gebu dalam dirinya untuk Rick. Tapi keadaan ini membuat dirinya sendiri tidak mengizinkan cinta itu berbalas. Dia sangat sakit hati hingga dia membatasi dirinya untuk tidak mencintai.“Heh, berikan Grandpa kesempatan.” Isabelle melepas pelukannya. Dia berdiri di sisi Valerie, menyeka air matanya dan membiarkan Grandpa memeluk sosok yang sangat dirindukannya itu.Tangisan Grandpa pecah saat memeluk Valerie. Dia terus mengelus punggung Valerie dan mengatakan maaf, bukan hanya sekali dua kali, namun berkali-kali hingga Valerie pun
“Emrys bunuh diri.” Lucy tergesa-gesa masuk ke dalam rumah Karlis ketika Valerie sedang menonton televisi.Valerie berdiri, kedua bola matanya membulat tak percaya, namun dia kembali duduk dengan santai. "Jangan membohongiku. Aku tidak akan percaya.""Valerie...""Aku tahu kamu selalu memaksaku pulang. Tapi jangan menggunakan cara seperti ini." ujar Valerie."Aku tidak berbohong. Emrys benar-benar bunuh diri." Lucy membuka ponselnya, menunjukkan pesan yang dikirim oleh Ky padanya. “Apa katamu?” desis Valerie.“Setelah mengirim pesan padaku, dia menghubungiku juga. Dia bertanya dimana aku sekarang dan aku berbohong jika aku sedang diluar kota untuk urusan pekerjaan. Dia memintaku untuk menenangkan Isabelle dan memberitahu jika Emrys bunuh diri.”“Ke-kenapa bisa...”“Dia melompat dari tebing yang sama dengan tebing tempatmu nyaris dibunuh. Dalam suratnya yang dia letakkan di meja kamar, dia mengatakan jika dia ingin mengalami sendiri apa yang kamu alami.”“Tapi ini sudah satu setengah
Lucy berguling menghadapkan tubuhnya pada Valerie yang masih terlentang menatap kosong langit-langit kamar. Setiap akhir pekan, Lucy selalu menyempatkan diri untuk melihat Valerie dan bermalam di sana. Valerie selalu mengalami mimpi buruk, berteriak dalam tidurnya untuk diselamatkan. Lucy tahu sahabatnya itu terluka sangat dalam hingga dalam mimpi pun dia masih bergulat. Namun, Lucy juga tidak bisa melakukan apa-apa.“Belum mengantuk?” bisik Lucy.Valerie menggeleng, menarik selimut menutupi dadanya. Dia mendesah panjang. “Bagaimana kondisi perusahaan Emrys?”“Sudah lebih baik.” Lucy memilih duduk. “Sejak aku memutuskan untuk menarik semua produk yang kami luncurkan dan mengembalikan apa yang seharusnya milik Lysander Kingdom berikut hak ciptanya, perusahaan mereka semakin membaik.”“Bagaimana dengan Isabelle?”“Isabelle?” Lucy mengingat-ingat. “Aku tidak terlalu sering bertemu dengannya karena aku sibuk di perusahaan. Tapi Rick mengatakan jika Isabelle masih marah dan menolak dirinya
Sebulan kemudian.Sepasang bola mata yang indah dan teduh itu menatap layar televisi yang ukurannya nyaris seukuran dengan kardus pembungkus mie instan yang biasa dimakannya. Kedua bola mata itu bergerak mengikuti arah gambar yang menayangkan acara komedi. Dia tidak tertawa saat tokoh dalam acara itu menjatuhkan dirinya ke dalam kubangan lumpur. Apapun adegannya, dia tidak tersenyum.Seorang wanita paruh baya masuk ke ruanganya. Dia membawakan semangkuk bubur yang masih mengepul panas dan meletakkannya di atas meja. Dengan lembut wanita itu menarik remote dari tangannya dan mematikan saluran televisi. “Sudah malam, Nak. Makanlah dulu. Kamu perlu tetap hidup demi janin dalam perutmu.”Pemilik mata teduh itu adalah Valerie. Ketika wanita yang menemukannya dan menyelamatkannya itu menyebut janinnya, dia secara naluri memegang perutnya. Di keningnya ada beberapa bekas luka goresan yang belum hilang, begitu pula di tangannya.Dia ingat. Ketika tubuhnya dihempas oleh arus, seseorang tiba-t
“Bagaimana Grandpa, Belle?” Rick dan Zach menghampirinya bersamaan.Isabelle tidak menyahut, pun tidak melirik mereka. Dia melengos begitu saja lalu pergi mengambil beberapa kaleng alkohol dari dalam kulkas dan membawanya ke taman belakang rumahnya. Hati Isabelle benar-benar kacau dan dia masih sakit hati. Semua kebohongan yang mereka lakukan di depannya membuat dia tidak bisa memaksakan diri untuk berbicara pada keduanya.Dia membuka kaleng alkoholnya dan langsung menenggaknya. Dalam sekali tegukan panjang, dia menghabiskan seisi kaleng itu hingga tumpah ke pakaiannya. Isabelle menghela nafas, menyeka sisa alkohol yang membanjiri dagunya. Isabelle mengingat Valerie. Dia menunduk, air matanya jatuh dan dia menangis sesenggukan hingga dadanya terasa sangat sesak. Dia memukul-mukul dadanya yang seolah terhimpit oleh beban berat, berusaha mencari oksigen agar bisa bernafas lebih leluasa. Namun sesak itu bukan karena jantungnya kekurangan oksigen, melainkan karena semua kekacauan dalam h
Angin malam yang kencang membuat tubuh Victoria yang terayun-ayun merasakan kengerian yang teramat besar. Dia berteriak meminta agar Emrys menurunkannya. Rasanya dia nyaris pingsan melihat betapa tingginya posisinya berada hingga benda-benda di bawahnya terasa sangat kecil. Victoria menangis, kembali memohon agar Emrys bermurah hati padanya.Hati Emrys tidak tergugah. Dia sama sekali tidak tergerak. Tekadnya sudah bulat sekalipun dia akan membayar apa yang dilakukannya dengan nyawanya sendiri.Dia akan melakukan apa pun, dia sanggup menukar apa pun, hanya jika Valerie bisa kembali.Ketika Emrys hendak melempar tubuh Victoria dari lantai enam belas bangunan itu, tiba-tiba beberapa anggota kepolisian menghampirinya dan berusaha menahannya.“Emrys, jangan.” Sosok kapten yang ditemuinya di villa tadi malam berdiri di sana. “Jangan kotori tanganmu, ini bukan gayamu.”Air mata Emrys mengalir terus dan dia benar-benar tidak berdaya. Bayang-bayang bagaimana Valerie jatuh menari-nari di kepala