"Apa yang harus aku lakukan? Aku belum pernah bertemu dengan Grand Duke Leonhard... hanya mendengar desas-desus mengerikan di kalangan pelayan... Iblis Perang... dari Utara... Bagaimana jika dia tahu? Bagaimana jika dia menolakku di altar nanti?"
Lyra Valeska d’Argelline meremas kedua tangannya yang dingin di pangkuan. Gaun pengantin mewah bertabur berlian—kiriman Kaisar Edmure, ironisnya—terasa seperti rantai yang mencekik seluruh tubuhnya. "Bukan hanya kau yang akan digantung... aku pribadi akan memastikan ibumu... merasakan neraka di bumi..." Ancaman Lavinia menusuk seperti duri es. "Dan jangan lupa, kau harus menemukan bukti sesuai perintah Kaisar Edmure." Kalimat-kalimat Lavinia dan Lady Ilmae terus menghantui pikiran Lyra. 'Bukti dari kerajaan Vordane?' Lyra bergumam. Bagaimana dia seorang pengganti yang diawasi setiap geraknya, bisa melakukan tugas mata-mata untuk Kaisar Edmure—pria yang licik yang jelas-jelas bersaing sengit dengan Leonhard dalam hal kekuasaan? 'Sial, aku benar-benar terjebak!' runtuk Lyra dalam hati. Titah Kaisar adalah mutlak, dan lady Ilmae telah menjadikan Lyra sebagai persembahan dalam permainan ganda yang mematikan ini. Kini Lyra sendirian menuju ke Katedral. Tidak ada ayah, ibu tiri, atau bahkan Lavinia yang berpura-pura mengantarnya. Hanya kereta Vordane yang dingin dan sunyi, membawa Lyra menuju takdir yang tidak ia inginkan. Lyra merasa seperti domba yang diantar ke tempat penjagalan. Lyra memejamkan mata, ia menghembuskan napas berat. 'Bertahanlah, Lyra. Demi Ibu. Kau harus bertahan.' ____ Putri Lavinia Estel d’Avarel tersenyum puas menatap pantulan dirinya di cermin perak besar. Lavinia mengenakan gaun sutra berwarna zamrud, rambut pirangnya ditata indah, jemarinya dihiasi cincin permata. Di belakangnya, Lady Ilmae d’Argelline mondar-mandir dengan gelisah, wajahnya tegang. "Lavinia, Ibu khawatir. Bagaimana jika ada yang menyadari jika yang menikah dengan Grand Duke bukan dirimu? Terutama Kaisar... Jika beliau tahu kita mengirim pengganti... ini pengkhianatan!" ujar Lady Ilmae, panik. Lavinia memutar bola matanya, masih mengagumi dirinya sendiri di depan cermin. "Tenanglah, Ibu. Kepanikan tidak cocok dengan kerutan di wajahmu." Lavinia berbalik, senyum wanita itu sinis. "Siapa yang akan tahu? Apakah Kaisar Edmure pernah benar-benar melihatku dari dekat? Atau Grand Duke Vordane itu? Mereka terlalu sibuk dengan peta dan intrik mereka." "Tapi ini pernikahan tingkat tinggi! Pasti ada utusan Kaisar di sana! Dan keluarga Vordane... mereka itu kalangan arisotrak. Bukan sekumpulan manusia bodoh!" Lavinia Mengibaskan tangannya acuh. "Orang-orang dari kerajaan Vordane tidak pernah berkunjung ke wilayah kita sebelumnya. Mereka baru tertarik sekarang karena Kaisar membuat perjanjian yang melibatkan tanah perbatasan ini." Lavinia mendekati Lady Ilmae, wajahnya jelas penuh keculasan. "Mereka buta akan hal lain selain keuntungan politik dan wilayah. Leonhard Vordane tidak melihatku sejak aku masih anak-anak. Baginya, pernikahan ini hanya formalitas untuk mengamankan perjanjian. Dia tidak akan peduli siapa wanita yang dia nikahi, selama wanita itu membawa nama 'Lavinia'." Lady Ilmae masih tampak ragu. "Tapi Lyra... anak itu..." "Anak itu hanyalah batu loncatan. Jika dia berhasil menipu semua orang dan mendapatkan apa yang diinginkan oleh Kaisar dari Vordane, itu hal yang bagus. Jika wanita dari anak hina itu gagal dan ketahuan..." Senyum kejam terbit di bibir Lavinia. "... maka anak haram itu yang akan menanggung akibatnya. Kita akan cuci tangan. Salahkan saja si wanita pebawa sial itu sepenuhnya karena telah menipu kita semua. Sederhana, bukan?" imbuh Lavinia. Lady Ilmae menghela napas, tampak sedikit lebih tenang oleh logika kejam Lavinia. "Kau benar. Yang penting tujuan kita tercapai." "Tentu saja aku benar." Lavinia kembali ke cermin. "Sekarang, biarkan aku menikmati hari tenangku selagi si anak haram itu menjalani mimpi buruknya." ___ "Kita sudah sampai di Katedral Agung, Yang Mulia." Suara kusir kerajaan terdengar. Lyra tersentak dari lamunan, ia menegakkan punggung. "Baik, terima kasih." Krek! Pintu kereta terbuka. Seorang Usher berseragam kerajaan membungkuk hormat, wajahnya datar tanpa ekspresi. Udara dingin pagi menerpa wajah Lyra, membawa aroma dupa dan bunga lili dari dalam gereja. 'Semua akan baik-baik saja... harus baik-baik saja.' Lyra menguatkan hati, menegakkan punggungnya di balik lapisan kain mahal. Lyra tidak boleh terlihat lemah. Tidak sekarang. Lyra melangkah turun, Veil tebal yang menutupi wajah Lyra langsung menarik perhatian dan bisikan sinis para aristokrat yang hadir saat langkah Lyra menuju ke kartedal agung. "Penutup wajahnya tebal sekali! Pasti buruk rupa." "Pengantin wanitanya dari wilayah perbatasan miskin, kudengar. Pantas saja wajahnya disembunyikan." "Memalukan bagi Vordane..." "Kaisar Edmure benar-benar sengaja menjatuhkan Vordane. Bisa-bisanya Grand Duke menikahi wanita dari wilayah terpinggirkan." Lyra menelan ludah, memaksakan diri tetap berjalan, ia merasa jika tapak kakinya tak pernah sampai ke altar. Kakinya seperti dikekang oleh rantai beban, sangat berat saat melewati kerumunan para bangsawan yang menghinanya. Musik organ yang agung terdengar sumbang di telinga Lyra. 'Aku seperti dikuliti. Pandangan mereka seakan menelanjangiku,' batin Lyra, cemas. Lyra mencoba mengangkat dagunya. 'Aku tidak boleh menunjukan kecurigaan!' Lyra terus melangkah, mengabaikan semua cemoohan yang datang. Di depan sana, di altar, sudah berdiri Grand Duke Leonhard Vordane. Tubuh pria dengan pakaian Velvet Cloak hitam pekat menjulang. Di dekat Grand Duke, tatapan beku keluarga Vordane menusuk. "Kak, apa mempelai wanita itu datang sendirian?" tanya Mathilda, wanita cantik adik dari Leonhard. Di samping Mathilda, duduk pria berwajah dingin disertai paras penuh jumawa, Darren Vordane, Kakak dari Leonhard yang akan menjadi raja Vordane. "Dengan gelar Baron, keluarga mempelai wanita itu tidak pantas menduduki posisi sah sebagai pendamping Grand Duke,” desis Darren tanpa menurunkan volume suaranya, memastikan semua yang duduk di barisan depan bisa mendengar dengan jelas. “Tapi ya, beginilah jadinya jika politik lebih berkuasa daripada darah.” Mathilda hanya menghela napas pelan, matanya terpaku pada langkah Lyra yang kini berdiri di sisi altar. “Setidaknya… dia punya keberanian,” ucap Mathilda. Di posisi Lyra , wanita itu tampak resah, pernikahan ini tidak terlalu mewah untuk sekelas kerajaan yang berpengaruh. Pendeta tua melangkah maju perlahan, suara lantangnya memenuhi langit-langit Katedral Agung. “Sebelum kita melanjutkan pada ikatan suci di hadapan Tuhan, sesuai tradisi lama, mempelai pria diminta untuk membuka veil mempelai wanita.” Bisik-bisik langsung terdengar. Leonhard menoleh pelan. Tatapannya menelusuri wajah Lyra yang masih tersembunyi di balik kerudung putih berenda halus. Ia tidak berbicara, tidak menolak, hanya maju satu langkah. Tangan Grand Duke Leonhard terangkat. Jemarinya menyentuh veil itu. Di balik veill, degup jantung Lyra berdegup kencang begitu keras hingga ia merasa dunia bisa mendengarnya. ‘Tolong… jangan gemetaran… jangan tunjukkan rasa takutmu, Lyra…’ Lyra memejamkan matanya, tak sanggup membayangkan apa yang selanjutnya akan terjadi jika veilnya tersibak. ‘Jika dia tahu… jika dia melihat sekilas saja kegugupan ini… semuanya akan berakhir. Ibu… maafkan aku jika aku gagal…’ Jari-jari sang Grand Duke menyentuh dagunya. Lembut namun tegas. Lalu, dalam satu gerakan hening—veil itu tersingkap. Cahaya matahari yang tembus dari kaca patri jatuh tepat ke wajah Lyra. Deg! Dan dunia mendadak diam. "Oh... Ya ampun!" seru beberapa orang."Ahh... Untuk apa lagi mereka datang menemuiku?" gumam Lyra. Lyra berbalik. Benar saja, Lady Ilmae dan Saudagar Thalor berdiri di ambang pintu, menatap Lyra dengan senyum mengejek.Ilmae melangkah mendekat, matanya menatap Lyra dari atas ke bawah dengan tatapan menghina. "Oh, lihatlah... si anak haram sudah bisa menikmati pemandangan balkon istana. Bagaimana rasanya, Lyra? Apa udara di atas sini terasa berbeda bagi paru-paru rendahan sepertimu?"Thalor mendengus, kesal melihat penampilan Lyra yang dibalut oleh kemewahan dan sungguh jauh berbeda dengan putrinya yang harus menyamar sebagai pelayan rendahan. "Baru beberapa hari memakai gaun sutra, tingkahmu sudah seperti Ratu sungguhan. Kau lupa siapa yang memungutmu dari lumpur setelah ibumu yang tak tahu malu itu mencoreng nama keluarga kita dengan perzinaannya?" hina Thalor. Lyra mengepalkan tangannya di balik gaun, menahan amarah yang mulai membara. Ia memasang senyum dingin."Jika aku adalah lumpur yang dipungut, lalu kalian ini
"Nak, simpan ini dengan baik. Jangan perlihatkan pada siapa pun… kecuali di keadaan mendesak."Gema suara ibu Lady Sharaphina menggema dari sudut ingatan Lyra, seperti bisikan roh dari masa lalu yang kini datang menghantam keras kesadarannya.Lyra terpaku. Pandangannya tak bisa lepas dari pedang di tangan Kaisar Edmure. Di sanalah ia melihatnya—simbol itu. Lambang naga perak melingkar, menelan matahari terbit. Simbol yang tak pernah ia lihat selain di satu tempat:Kalung ibunya.Kalung yang selama ini tersembunyi rapi di kotak perhiasan kayu tua yang hanya Lyra yang tahu tempatnya. Kalung yang—oleh ibunya sendiri—diberi peringatan keras untuk tidak diperlihatkan kepada siapa pun.Kalung yang dulu dikira Lyra hanya pusaka biasa.“Ibu…” gumam Lyra, nyaris tanpa suara. Matanya membelalak, penuh gemetar. “Siapa kau sebenarnya?” tangan Lyra mencengkeram lipatan gaun, dingin dan berkeringat.'Kenapa lambang itu ada di sini? Di pedang suci milik Kaisar? Di pedang kerajaan?'Sementara itu, Ka
Keheningan menyelimuti balkon itu setelah Darren Vordane mengucapkan tawarannya yang tak tahu malu. Count Albrecht menahan napas, sementara Darren menatap Kaisar Edmure dengan senyum licik yang tetap kokoh. Setelah beberapa detik yang terasa panjang, Kaisar Edmure justru tertawa kecil. "Hahahaha!" Tawa yang dingin, tanpa guyon, dan penuh cemoohan. "Pangeran Darren, kau benar-benar tidak pernah gagal membuatku terkesan." Ia berjalan perlahan mengitari Darren. "Kau rela menjual kehormatan istri adikmu sendiri demi membebaskan kekasihmu?" Intonasi suara kaisar Edmure terdengar geli. Ia jelas menikmati drama keluarga Vordane ini. Wajah Darren tetap tenang. "Ini bukan menjual, Yang Mulia. Ini tentang pertukaran yang adil dan efisiensi politik. Anda mendapatkan apa yang Anda inginkan, saya mendapatkan apa yang saya inginkan, dan loyalitas Vordane pada Anda terbukti tak tergoyahkan." Kaisar berhenti di depan Darren, matanya menyipit penuh perhitungan. Ia melihat celah untuk menghancurk
"Ampun, Nona Lavinia! Hamba... hamba tidak tahu! Beberapa hari yang lalu, ada pengawal dari Lady Ilmae yang datang membawa tawanan tersebut. Pengawal tersebut berkata jika dia akan memindahkan tawanan itu." Penjaga Tua seketika bersujud di lantai."Hahahaha!" Lavinia tertawa, tawa yang terdengar gila dan menakutkan. "Perintah Ibuku? Kau pikir aku peduli?!" Ia menendang punggung penjaga itu dengan ujung sepatunya. "Kau tahu betapa pentingnya wanita itu bagiku! Dan kau membiarkannya pergi begitu saja?!""Ampun, Nona! Hamba bersumpah tidak tahu kemana...""Aku tidak butuh sumpahmu. Kau sudah lalai! Dan sudah membuatku marah!" Lavinia menoleh pada dua pengawal pribadinya yang berdiri kaku di belakangnya. "Bawa dia ke ruang cambuk."Seketika, wajah penjaga tua itu pucat pasi. "Tidak, Nona! Jangan! Ampuni hamba! Hamba mohon!" Lavinia menatap penjaga itu dengan tatapan sadis. "Kau ingin pengampunan?" Ia berjongkok, menjambak rambut si penjaga tua. "Katakan padaku, apa lebih sakit dicambuk
Cahaya matahari pagi yang masih malu-malu meong menyelinap masuk melalui celah tirai, membangunkan Lyra dari tidurnya yang lelap. "Ughhh!" Lyra mengerjapkan mata, merasa seluruh tubuhnya pegal namun anehnya perasaannya lebih rileks dan ringan. Kini tubuh Lura telanjang di balik selimut tebal.'Semalam... benar-benar terjadi? Aku dan Leonhard ?' batin Lyra, rona merah langsung menjalar di pipinya saat kilasan-kilasan ingatan panas dari malam sebelumnya menyerbu benaknya. Lyra menoleh ke samping. Benar saja, Leonhard terbaring di sana, tertelungkup, punggungnya yang lebar dan berotot terekspos. Pria itu masih tertidur pulas, napasnya terdengar teratur dan dalam. 'Aku... Benar-benar bercinta dengan Grand Duke Leonhard Vordane. Bukan karena paksaan, bukan karena ramuan... tapi karena... hasrat. Setelah ini, aku pasti akan sangat malu bertatap dengannya. Tolong! Siapapun, sembunyikan aku di bawah kerak bumi!' jerit Lyra sambil mengamati punggung suaminya, namun tatapannya seketika ter
"Apa rasanya sakit seperti pertama kali kau menusukku?" tanya Lyra polos, menatap Leonhard yang duduk di antara kedua kakinya yang terbuka lebar. Mendengar pertanyaan Lyra, Leonhard menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. Jari-jari menggesek permukaan lembah kenikmatan Lyra yang sudah sangat basah. "Tidak akan sakit. Lubang milikmu sudah cukup untuk menerima kehadiran benda keras ini yang sedari tadi tegang," jawab Leonhard. Mendengar jawaban Leonhard, rona merah menjalar di pipi Lyra. Pertanyaan polosnya dijawab dengan kepastian yang entah kenapa terasa begitu sensual. Kepercayaan dirinya pada pria ini tumbuh, mengalahkan rasa takut yang tersisa.“Kalau begitu…” bisik Lyra, matanya yang berkabut hasrat menatap Leonhard dengan tatapan menantang sekaligus pasrah.“Buktikan padaku.”Sebuah seringai buas—penuh gairah dan dominasi—terbit di bibir Leonhard. “Perintahmu adalah kesenanganku, Yang Mulia Grand Dhucess.” Leonhard menundukkan tubuhnya, kejantanannya yang panas dan berde