Sejak bangun, Kala tampak bersemangat. Anak itu bahkan menyiapkan sendiri baju yang ingin dia bawa bermain ke pantai. Cloud sendiri memutuskan untuk tidak berangkat kerja. Ia ingin menemani Kala seharian ini. Setidaknya sebelum meninggalkan Kala kembali bersama Nina dan sekolah. “Ada kapal tidak, Ma? Apa aku boleh naik kapal?” Tanya Kala antusias. “Tidak ada, kalau mau naik kapal besok minta sama Opa,” jawab Cloud. Ia sejak tadi juga tak bisa menyembunyikan rasa bahagia karena Kala sangat ceria. Cloud menggiring Kala masuk ke kamar mandi lalu menutup pintunya, dia meminta anak itu buru-buru membersihkan diri. “Jangan lama-lama mandinya, nanti om Arkan keburu datang.” Cloud putar badan setelah bicara, dia tak sadar Nic sudah berdiri di belakang hingga kepalanya menubruk dada bidang pria itu. “Kenapa berdiri di sini?” “Kenapa lagi-lagi tidak meminta izin dulu? Apa kamu pikir aku akan membiarkan kalian pergi?” Nic bicara dengan pelan, tapi terlihat kesal karena giginya saling berad
"Bagaimana bisa kamu ada di sini?"Cloud yang tak percaya sampai memindai dari atas ke bawah seolah ingin memastikan pria di sebelahnya benar-benar Nic. "Jangan harap aku akan membiarkan rencana busukmu berjalan dengan mulus!"Kening Cloud terlipat halus, dia heran kenapa Nic bisa terus-terusan memiliki pikiran buruk kepadanya. Cloud seolah lupa kalau sang suami memang tidak pernah berpikiran positif atas semua hal yang dia lakukan. Padahal sudah sangat jelas, tujuannya ke pantai adalah untuk membuat Kala senang. "Apapun yang aku lakukan selalu salah di matamu. Bahkan kasih sayangku sebagai ibu ke Kala kamu sebut sebagai rencana busuk." Cloud dan Nic saling melempar tatapan dingin, hingga Kala tanpa sengaja menoleh. Anak itu tersenyum lebar melihat sang papa ada di sana. Selayaknya bocah seusianya, Kala sudah melupakan rasa kesal yang kemarin sempat membelenggu hatinya. "Papa! Papa!" Panggil Kala sambil melompat-lompat kegirangan.Anak itu bahagia melihat Nic, tapi tidak dengan Ar
"Apa kamu tidak berencana menjadikannya janda?"Seketika darah Nic seperti naik sampai ke ubun mendengar Arkan berani bicara seperti itu kepadanya. Ia mendekat hampir meraih kerah baju sang sepupu, tapi Kala lebih dulu keluar dari kamar bilas dengan berceloteh riang."Jaga mulutmu itu! Sejak dulu kamu memang tidak pernah berubah, selalu ingin memiliki apapun yang aku punya." Nic menarik sudut bibir. Ia benar-benar ingin memukul Arkan jika saja tidak berada di tempat umum.Nic terpaksa mengendorkan urat di wajah karena Kala memanggil namanya dan Arkan. Ia memalingkan muka dan tersenyum manis ke putranya itu."Nic, apa kamu tidak sadar? Tingkahmu selalu berlebihan di depanku saat Kala dan Cloud bersamaku. Ini menunjukkan kalau kamu lah yang sebenarnya takut kepadaku," ujar Arkan. Sama seperti Nic tadi, dia juga memulas senyuman mencibir. Arkan melangkah menjauh untuk menghampiri Cloud dan Kala, tapi sebelum itu dia berkata lagi," Meski Cloud tidak cerita, tapi aku tahu hubungan kalian
"Hentikan omong kosongmu! Dan cepat keluar dari sini! Aku harus bekerja."Cloud tak ingin terpancing ucapan Nic. Ia mengabaikan pria itu lalu duduk di meja kerjanya. Meski lelah, tapi Cloud sadar memiliki tanggungjawab yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Ia harus memeriksa konsep peragaan busana untuk peluncuran produk baru perusahaan, konsep itu harus segara dia periksa guna pengambilan keputusan.Cloud pikir Nic akan pergi setelah dia usir, tapi ternyata pria itu masih duduk santai di atas ranjangnya dan sekarang malah tiduran sambil bermain ponsel."Apa kamu tidak ingin pergi ke kamarmu sendiri?" Cloud bertanya lagi sambil menolehkan badan.Seolah tahu Cloud sedang menatap ke arahnya, Nic pun menggeleng. Ia tak peduli dan malah memiringkan tubuh.Cloud hanya bisa membuang napas kasar dari mulut dan kembali menghadap ke meja kerja. Ia memeriksa beberapa email dari staffnya di Neil Fashion, salah satunya berisi undangan untuk menjadi bintang tamu di sebuah stasiun TV swasta."Bu
Sebesar apapun rasa benci yang Cloud dan Nic miliki, tetap tidak bisa menutupi fakta bahwa lima tahun ini mereka sudah menjadi teman ranjang yang saling membutuhkan. Nic sendiri mulai bingung dengan perasaannya ke Cloud. Terkadang dia merasa keterlaluan memperlakukan wanita itu, tapi terkadang juga merasa bahwa Cloud patut menerimanya sebagai pelampiasan dendamnya ke Skala Prawira.Nic masih berada di atas tubuh Cloud setelah menjamah tubuh wanita itu. Deru napasnya yang memburu terdengar jelas di telinga sang istri. Tubuh mereka bahkan masih menyatu, dan perlahan Cloud melepaskan tangan hingga jatuh ke sisi badan.Tak ada rasa malu yang tersisa darinya, bahkan Cloud mulai berpikir sama gilanya seperti Nic. Ia tidak akan pernah menolak seks gratis lagi halal. Meski sesekali Cloud merasa sakit, jika mengingat tak hanya dirinya yang menjadi teman ranjang sang suami."Aku tidak akan pernah berhenti sebelum Papamu menderita dan perlahan mati." Seperti tidak ada kesempatan lain, Nic berbi
"Pa, tidak usah melibatkan orang lain! Papa bisa melakukan investigasi sendiri."Larangan Cloud membuat kening Skala berkerut. Sedangkan Nic hanya melirik dengan ekor mata. Ia seperti sedang melakukan taruhan hidup dan mati, jika sampai Cloud membocorkan rahasianya ke Skala saat ini juga, sudah pasti dia akan mendapat kesulitan. Namun, menyadari Kala berada di gendongannya Nic pun merasa tenang. Ia memeluk bocah itu yang tampak kembali mengantuk, hingga Bianca tak tega dan mengambil alih Kala dari dekapannya."Biarkan Kala tidur sama Mama," ucap Bianca.Nic memberikan Kala ke sang mertua, memandang Bianca yang berjalan keluar sambil menepuk-nepuk lembut punggung Kala. Ia sendiri tak berniat beranjak pergi dari ruangan itu tanpa Cloud bersamanya."Pa, aku yakin kak Rain akan menemukan penyebabnya." Cloud bicara lagi. Ia hanya tak ingin sampai Skala mengiyakan, membuat Nic berakhir membantu dan malah memanipulasi bukti yang ada."Tidak perlu Nic, kamu pasti sudah sibuk memikirkan masala
Nic mematikan televisi yang ada di ruang kerjanya. Ia baru saja melihat berita tentang laporan investigasi kebakaran pabrik milik mertuanya. Nic menarik sudut bibir, sudah sangat jelas bahwa pabrik itu sengaja dibakar oleh orang suruhannya, tapi bagaimana bisa hasil investigasi menyebutkan akibat konsleting listrik, sehingga membuat salah satu mesin produksi terbakar dan meledak."Apa mereka bodoh? Jika meledak pasti akan banyak korban jiwa," ucap Nic. Meski kesal, tapi dia merasa cukup salut karena mitigasi yang dilakukan oleh pabrik Skala benar-benar hebat. Seluruh pabrik hampir habis terbakar. Namun, tidak ada satupun korban jiwa maupun luka.Nic melipat tangan ke depan dada lalu menyandarkan punggung ke kursi. Tatapannya kini tertuju pada ponsel yang ada di meja. Beberapa saat yang lalu Amara memberitahu bahwa Cloud menjadi bintang tamu di salah satu acara yang ada di stasiun TV tempatnya bekerja. Acara itu akan disiarkan secara langsung, dan Amara pun bertanya haruskah dia membua
BRAKAmara membanting pintu ruang kerja Nic dan membuat pria itu kaget sampai berdiri dari kursinya. Rio yang sedang menunggu di depan meja kerja Nic juga ikut kaget. Keduanya heran mendapati Amara masuk dengan emosi bahkan dada wanita itu tampak naik turun tak karuan."Kamu bisa keluar dulu!" Titah Nic ke Rio. Sekretarisnya itu pun mengangguk, tapi sebelum keluar dari ruangan sang atasan, dia bertanya apakah harus membuat teh untuk Amara."Tidak perlu! Aku akan memanggilmu jika membutuhkan sesuatu," ucap Nic. Ia memandang Rio, memastikannya keluar dan menutup pintu, setelah itu bertanya ke Amara. "Kenapa kamu tiba-tiba datang ke sini? Ada apa?""Cloud, wanita itu. Dia memberikan foto-foto kedekatan kita ke papa dan juga CEO-ku," ucap Amara dengan nada geram."Papamu sudah tahu kita berteman lama, dan bilang saja ke CEO-mu kalau kita teman," jawab Nic dengan santai. Menurutnya hal itu tidak perlu diributkan. Berbeda dengan Amara yang kesal karena apa yang dilakukan Cloud menunjukka