Pelit Bin Medit
Part 5Hari sudah menjelang sore, aku sudah mandi, cantik dan rapi. Sebentar lagi Bang Suryo akan pulang, tak sabar rasanya menunggu, sebab ini hari gajian.Tak berapa lama, terdengar suara motor masuk ke pekarangan rumah. Ahaa, pasti Bang Suryo.Dengan kecepatan bak kilat, aku segera membuka pintu untuk menyambut suamiku."Eh suamiku sayang udah pulang." Ucapku menyambutnya.Bang Suryo hanya menjawab dengan senyuman. Pasti dia capek habis pulang dari luar kota. Aku bergegas ke belakang mengambil air putih untuknya."Minum dulu Bang." Ucapku sambil menyodorkan air putih ke Bang Suryo yang sedang duduk di sofa.Dan dalam sekejap saja air dalam gelas tersebut langsung tandas."Gak ada cemilan, Dek?""Gak adalah Bang, orang duit juga gak ada.""Masak apa tadi? Abang laper banget.""Gak masak aku Bang. Cuma masak mie aja tadi. Emang Abang belum makan?""Ya belumlah.""Dih, pelit banget bos Abang gak ngasih makan!""Siang ya dikasih, dek. Tapi kan siang tadi. Sekarang Abang udah laper.""Ya udah minta duit sini, biar beli makanan." Ucapku mengulurkan tangan kepada Bang Suryo."Diatur yang bener, gak usah ngutamain emas dulu. Emasmu udah banyak." Kata Bang Suryo sambil menyerahkan uang gaji dengan muka masam."Oke sayang." Ucapku girang.Aku pun bergegas keluar untuk membeli makanan. Tapi baru sampai teras, aku teringat ada undangan hari ini. Bergegas aku masuk lagi menemui Bang Suryo."Bang, tapi hari ini kita dapat undangan dari Wak Umar lho.""Jadi?""Ayolah undangan aja, biar Abang makan di sana, lumayan bisa makan sepuasnya. Hehehe." Ucapku bersemangat."Ayolah, ayo! Siap-siap dulu." Ucap Bang Suryo tak kalah semangat.Kami sekeluarga pun langsung bersiap-siap. Tak lupa kukenakan gelang keroncong kebanggaan yang ku punya, kalung yang paling besar bandulnya, cincin ... Pakai dua aja deh. Kalau pakai cincinnya banyak ribet nanti kalau makan."Udah kayak toko emas berjalan kamu Dek." Kata Bang Suryo saat aku sedang sibuk memakai bedak dan lipstik."Tapi keren kan?""Bukan keren, tapi norak! Itu juga lipstik sama bedak, mbok ya beli yang baru dek.""Cerewet banget sih Bang. Yang make juga aku, bukan Abang!" Kataku sambil keluar dari kamar.Cerewet banget Bang Suryo beberapa hari ini. Kayaknya jampinya mulai luntur nih. Upss!***Setelah sampai di acara pesta Wak Umar, segera kami menyerbu prasmanan. Mana makanannya enak-enak banget lagi. Lumayan perbaikan gizi."Baru datang Mi?" Sapa seseorang yang suaranya amat sangat kukenal, Emakku."Iya Mak. Emak udah dari tadi di sini?""Dari siang pun Mi, kan Emak disuruh bantu-bantu.""Wah, bisa ni agak-agak dibungkusin makanan kalo pulang." Ucapku berbisik pada Emak."Aman ...." Jawab Emak sambil mengacungkan jempol."Eh kalungmu baru ni Mi kayaknya." Sambung Emak sambil memegang kalung kebanggaanku."Iya dong Mak.""Gitu dong anak Emak, emasnya banyak. Gak kayak Kakak iparmu itu. Kalo makan mau yang enak-enak aja, sampe emas sebiji pun gak ada." Ucap Emak sambil menunjuk Kak Rita, Kakak iparku.Pandanganku pun beralih ke Kak Rita yang sedang mengobrol dengan temannya. Iya ih, Kak Rita masa pergi kondangan polos banget gitu. Gak ada gantungannya sama sekali di badan. Kalau aku gak pedelah. Mending gak usah pergi kondangan aku kalo gak pake emas.***Sepulang dari kondangan, aku segera merebahkan badan di depan televisi. Kekenyangan. Mau tidur, belum terlalu malam. Mata juga belum ngantuk. Ditambah lagi anak-anak pada main di luar, maklum malam Minggu.Lagi asyik-asyiknya nonton sinetron kesukaanku, tiba-tiba ada suara motor berhenti di pekarangan rumah.Siapa lagi, malam-malam mau bertamu? Kayak gak tau waktu. Aku beranjak ke teras untuk melihat siapa yang datang. Ternyata Kak Rani, Kakaknya Bang Suryo.Mau ngapain lagi dia, malam-malam datang kemari? Males banget aku kalau Kak Rani udah datang. Bakalan tekor aku ini. Kalau dia udah datang banyak banget yang dimintai. Dasar celamitan!"Dari mana Kak? Tumben banget malam-malam ke sini." Tanyaku."Dari rumah. Suryo ada?""Ada, di dalam. Ada apa emangnya Kak?""Yo ...." Tanpa menjawab pertanyaanku, Kak Rani nyelonong aja masuk ke rumah tanpa kupersilahkan. Dasar!"Eh dari mana Kakak?" Tanya Suamiku yang baru keluar dari kamar."Dari rumah. Ini lho Yo, Kakak cuma mau bilang. Minggu depan Emak mau pulang kemari."What? Emak mau pulang? Bisa gawat dunia persilatan ini.Emak dan bapak Bang Suryo selama ini memang merantau ke Dumai. Di sana mereka termasuk sudah sukses, punya banyak kebun sawit dan kebun karet. Makanya mereka memutuskan menetap di sana. Lumayan deh, selama mereka di sana, rumah mereka di sini aku yang menempati.Tapi apa yang kudengar sekarang ini? Emak mau pulang? Oh, no!Part 59Lamunanku langsung buyar saat ponsel yang kuletakkan di nakas bergetar. Gegas kuraih ponsel tersebut."Nomor baru?" Gumamku saat melihat ke layar ponsel.Segera kugeser layar ponsel untuk menerima panggilan tersebut."Hallo ... Siapa ya?" Tanyaku pada sang penelpon."Pak, ini Pak Beni kan?" Tanya seseorang di seberang sana. Terdengar nada panik dari suaranya."Iya saya Beni. Ini siapa ya?" Tanyaku lagi."Saya Risman, Pak. Tetangga sebelah rumah, Bapak," ujarnya masih dengan nada begitu panik."Rumah? Rumah yang mana?" Tanyaku bingung. Jelas aku bingung, selama ini aku tak mengenal seseorang bernama Risman, dan sekarang tiba-tiba ada yang menelpon dan mengaku-ngaku sebagai tetanggaku."Rumah Bapak yang di komplek perumahan Permai Indah Residence."Aku langsung terkesiap begitu lelaki tersebut menyebutkan alamat tempat di mana kutinggalkan Tami sendiri."Oh iya, ada apa? Saya sed
Part 58Masih dengan wajah menunduk, perlahan kuturunkan kaca jendela, agar orang tersebut tak bertambah marah. Namun alangkah terkejutnya aku saat mendapati siapa yang sedari tadi mengetuk pintu mobilku."Su-suryo?" Aku langsung terkejut begitu melihat siapa orang yang sedari tadi marah-marah sambil mengetuk kaca mobilku."Beni?!" Serunya tak kalah kaget."Gila kamu ya, Ben! Main tabrak aja. Keluar cepat!" Hardiknya membuatku sedikit ciut. Padahal dulu saat kami akrab tak pernah kami bertengkar hebat. Lagi-lagi aku menyalahkan Tami atas kerengganganku dengan Suryo.Karena takut kena bogeman dari Suryo, mau tak mau aku pun turun dari mobil. Begitu turun, alangkah terkejutnya aku saat mendapati seorang bapak-bapak sudah tergeletak di hadapan mobilku dengan gerobak yang juga terlihat berantakan akibat tertabrak mobilku."Oooh, ini penabraknya! Tanggung jawab kamu! Atau kami akan laporin ke polisi," ancam salah seorang warga yang be
Part 57Masih dengan menutup hidung, aku masuk ke dalam rumah hendak mencari keberadaan Tami dan bertanya perihal bau busuk ini. Bergegas aku menuju kamar kami, namun ternyata pintunya tertutup. Kucoba perlahan membukanya, ternyata tak terkunci."Tamiii ...." Aku memekik kala melihat Tami yang hanya memakai pakaian dalam itu, sedang tergeletak di atas ranjang dengan posisi meringkuk sambil memegangi organ intimnya.Semakin aku mendekatinya semakin pekat pula bau busuk itu menguar. Atau jangan-jangan memang bau busuk ini berasal dari tubuh Tami?Dengan menahan napas aku berusaha membalikkan tubuh Tami yang membelakangiku. Alangkah terkejutnya aku, saat melihat wajah Tami sudah tak secantik kemarin. Bibirnya terlihat berwarna merah membengkak, begitu juga keseluruhan wajahnya terlihat timbul benjolan-benjolan yang mengeluarkan nanah berbau busuk.Yang lebih parah lagi, saat aku melihat ke arah kewanitaan Tami terlihat banyak sekali cairan
Part 56Dengan kecepatan tinggi Lilis mengemudikan mobil, membuat aku ketakutan dan menjerit-jerit karena takut kecelakaan. Namun, Lilis tetap tak menurunkan laju kendaraannya. Ia terlihat benar-benar gusar. Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Nyai Warsih padanya?Setelah melalui perjalanan yang mendebarkan tersebut, akhirnya aku bisa bernapas lega setelah kami sampai di rumahku. Terlihat Mas Beni sedang duduk santai di teras rumah sambil merokok."Aku pamit langsung pulang ya, Mi," ucap Lilis tanpa menatapku. Pandangannya terlihat menerawang ke depan. Benar-benar aneh sikapnya."Kenapa buru-buru?" Tanyaku benar-benar penasaran dengan perubahan sikap Lilis."Aku sudah ditunggu suami." Lilis menjawab dengan sangat cepat."Tapi, Lis ... Setelah ini aku harus gimana?" Tanyaku lagi meminta solusi pada Lilis."Nanti kita bicarakan lagi ya, Mi. Aku harus cepat-cepat pulang," tukas Lilis. Kali ini dengan menatap wajahku.
Part 55POV ViviHatiku benar-benar panas kala mengetahui soal perselingkuhan Mas Beni dengan karyawannya. Apalagi video mesum mereka sampai viral di medsos. Membuat aku semakin malu dan tak ada muka untuk bertemu dengan geng sosialitaku. Sudah pasti aku jadi bahan gunjingan mereka saat ini.Sejak kejadian video Mas Beni viral, aku mulai membatasi geraknya. Pabrik kuambil alih, begitu juga dengan ponsel. Awalnya setelah perselingkuhannya terbongkar sebenarnya aku berniat mengajukan gugatan cerai pada Mas Beni. Tapi ia langsung memohon-mohon dan mengemis maaf padaku agar aku tak meninggalkannya. Bahkan ia janji tak akan mengulangi kesalahan itu lagi.Awalnya aku tak peduli dan tetap kukuh pada pendirian. Namun saat melihat Mas Beni yang benar-benar menunjukkan bahwa ia ingin berubah membuat hatiku jadi luluh dan percaya bahwa ia tak akan mengulangi kesalahan itu lagi.Mas Beni juga menunjukkan perubahan. Ia mulai menjauh dari si pelakor te
Part 54Begitu sampai di rumah sakit. Aku langsung mengatakan keluhanku pada dokter yang sedang berjaga di IGD. Mereka memintaku berbaring di ranjang, dan langsung memeriksa bagian sensitifku. Sudah persis seperti orang yang akan melahirkan keadaanku saat ini.Mereka langsung terkejut begitu melihat apa yang terjadi pada organ intimku. Bahkan aku pun lebih terkejut lagi, kala dokter memberitahu bahwa ada belatung yang keluar dari sana. Pantas saja tadi aku merasa ada yang bergerak-gerak di sana.Dokter dan perawat langsung membersihkan cairan yang keluar beserta belatung itu. Terlihat wajah mereka sangat menderita saat melakukannya. Apalagi bau busuk yang keluar semakin kuat. Bahkan mereka sampai memakai masker ganda demi menghalau bau yang keluar dari kewanitaanku.Dokter spesialis kulit dan kelamin pun datang. Berbagai macam pertanyaan ia lontarkan padaku. Apa aku selama ini melakukan seks bebas? Apa aku pernah berhubungan dengan pengidap PMS? A
Part 53Baru saja berjalan sekitar setengah jam, tiba-tiba ponsel Mas Beni berdering. Ia langsung membeliak begitu melihat sang penelpon yang tak lain adalah Vivi. Dengan media video callku pula. Matilah aku!"Gimana ini, Mas?" Tanyaku panik pada Mas Beni yang juga terlihat bingung sambil memandang layar ponsel."Emm ... Kamu keluar dulu bisa, Mi? Sembunyi agak jauh dari mobil," titah Mas Beni membuat hatiku dongkol.Aku berdecak kesal."Kenapa gak dimatikan saja sih, Mas? Ganggu saja!" Keluhku kesal."Gak bisa, Mi. Mas udah janji sama Vivi, bakal sering-sering hubungi dia, karena itu jugalah Vivi mengizinkan Mas pergi," ujar Mas Beni dengan raut wajah memelas.Aku memanyunkan bibir lalu keluar dari mobil sesuai perintah Mas Beni. Baru saja bertemu, sudah ada gangguan. Bagaimana lagi ke depannya? Masa iya sedang sibuk bermesraan nanti pun bakal terganggu dengan Vivi. Huh! Ingin kusantet saja rasanya wanita itu.
Part 52Vivi terus mendekat ke arah kami. Dan begitu sampai di hadapanku ....Plaaak!Belum sempat aku berucap apa-apa, telapak tangan Vivi sudah mendarat di pipiku, meninggalkan rasa panas yang menjalar di sana."Dasar perempuan tak tau malu! Masih ada nyali kau datang ke sini, hah?" Hardiknya dengan mata melotot seperti akan copot dari rongganya."Aku kemari bukan untuk bertemu denganmu!" Tandasku tak mau kalah. Jelas aku tak akan pernah mau mengalah jika itu dengan rival."Terus mau ketemu dengan Mas Beni?! Jangan mimpi!" Ucap Vivi sengit dibarengi oleh tarikan tangannya pada rambutku.Aku langsung meringis menahan perih pada kulit kepala. Ternyata Vivi tak bisa diajak bicara baik-baik. Aku yang tak mau kalah darinya langsung membalas menarik surai pirang panjang miliknya. Kami pun saling jambak-jambakan satu sama lain, diiringi dengan berbagai macam sumpah serapah dan makian dari Vivi.Kericuhan ka
Part 51"Tolong, berhenti ... Jangaaan ... Aku betul-betul tak bersalah," rintihku dengan air mata yang mulai menitik, merasa benar-benar terdzolimi dengan perbuatan mereka.Namun bukannya iba dengan keadaanku, mereka malah makin beringas ingin melucuti pakaianku.Saat baju atasanku hampir terlepas sempurna, barulah terdengar suara seseorang membelaku."Hei! Sudah-sudah! Jangan main seperti ini. Matikan kameranya. Jangan asal viral-viralkan!" Terdengar suara seseorang yang amat sangat kukenal. Suara Heni."Halah! Kamu bela karena kamu temannya, kan?" Terdengar sahutan salah satu penghuni kost.Heni berdecak kesal, lalu beralih menatap Bu Diah."Bu, emang ibu mau kalau suami Ibu viral? Ibu udah siap mental belum, kalau dijulidin orang? Terus, apa ibu mau kalau kost ini jadi sepi karena para orang tua tak mempercayakan lagi anaknya ngekost di sini?" Sepertinya perkataan Heni kali ini berhasil meluluhkan mereka, terbukti me