LOGINEvelyn bangkit berdiri seraya membereskan semua berkas yang harus ia tunjukkan pada Barra. Jantung wanita itu tidak bisa dinormalisasikan sejak tadi. Pikirannya tengah berada entah di mana. Ia benar-benar stress memikirkan jalan hidupnya mengingat ucapan sang teman yang mengatakan bahwa Barra tengah mencari istri.
“Semangat, Lyn! Barang kali entar dilamar.” Fani memberikan candaan yang disambut tawaan oleh orang sekitar. Sementara Evelyn hanya bisa tersenyum seraya menunduk malu. Dengan dada yang berdebar tidak karuan, Evelyn berjalan menuju ruang di mana Barra berada. Lelaki itu telah menunggu di sana. Senyum lelaki itu langsung menyambut setelah Evelyn mengetuk pintu dan masuk. Melihat senyum manis itu, Evelyn semakin gugup. Ia sangat membenci jika berada dalam situasi seperti ini, sebab kegugupannya terlihat dengan sangat jelas. “Saya minta maaf, Tuan.” Evelyn langsung menyuguhkan kata maaf seraya menyerahkan lembaran-lembaran berisi design miliknya. “Untuk?” Barra mengerutkan kening, tidak mengerti. Ia menerima tumpukan kertas yang diserahkan oleh Evelyn. “Design gaun yang Tuan minta tidak bisa saya selesaikan.” Evelyn berucap dengan rasa bersalah yang besar. Ia takut jika sang bos akan marah, sebab itu gaun yang diminta untuk diberi perhatian lebih. Dan kini design untuk gaun itu malah tidak ada gambaran sedikit pun. Barra menarik napas dalam. Ia tidak menanggapi ucapan Evelyn. Matanya terfokus pada gambar-gambar yang berada di kertas dalam genggaman. “Tidak apa-apa.” Akhirnya Barra menjawab dengan nada lemah. Sepasang mata tajam dan penuh dengan binar itu tampak meredup dan melemah. Seakan ada hal yang membuatnya sedih dan tengah ia sembunyikan. Evelyn mendongak. Tidak percaya jika tanggapan Barra akan seperti itu. Ia mengira akan diberi teguran keras, nyatanya ia bahkan tidak diberi teguran sama sekali. “Apa yang memesan gaun itu orang penting?” Evelyn bertanya hati-hati. Bara terdiam untuk beberapa saat. Kemudian menarik napas berat. “Sebenarnya gaun itu saya yang mesan, itulah sebabnya saya meminta kamu untuk memberikan perhatian lebih pada gaun itu. Namun, percuma juga. Tunangannya dibatalkan.” Sejenak mereka terdiam. Barra tenggelam dengan pikirannya. Sementara Evelyn tidak tahu harus memberikan respons seperti apa. Ia tengah bingung kini. Bukankah selama ini bos muda yang tengah duduk di hadapannya tidak memiliki pacar sama sekali? Lantas, mengapa tiba-tiba mendapat kabar bahwa tunangannya dibatalkan? “Evelyn.” Barra memanggil dengan sangat serius. Evelyn kembali mendongak. Ia membalas tatapan Barra dengan sangat dalam. Untuk beberapa saat mereka terdiam dengan saling tatap. Evelyn merasakan wajahnya memanas, sejalan dengan rona merah yang mulai timbul di kedua pipinya. Perasaan gugup yang sedari tadi mengukung dirinya, kini semakin membuat ia gugup dan terkunci agar tidak bisa bergerak. Ia seakan terikat oleh tatapan itu. “Apa kau benar-benar menyukaiku? Bukan karena kau mengincar hartaku?” Barra bertanya dengan serius. Pertanyaan yang mendadak dan serius seperti itu membuat Evelyn terdiam dan berhenti bernapas untuk beberapa detik. Selama dua tahun bekerja dengan Barra, ia telah menahan diri untuk tidak jatuh cinta, tapi pada kenyataannya ia telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Untuk mencairkan suasana, Evelyn tertawa terbahak. “Kau tengah membicarakan apa, Tuan? Aku tidak mengerti.” Ia mengelak untuk mengakui. Barra menarik napas dalam. “Aku tengah mencari ibu untuk putraku. Kupikir kau menyukaiku.” Barra mengempaskan punggung pada sandaran kursi, lalu melipat tangan di dada. “Mungkin aku akan menawarkan pada gadis lain jika kau menolak.” Evelyn terdiam. Ia benar-benar bingung sekarang. Ada banyak hal yang telah ia lewatkan selama dua tahun menjadi followers Barra. Ia tidak tahu jika lelaki itu telah pernah menikah sebelumnya, bahkan telah memiliki seorang anak. Bagaimana mungkin? Bahkan karyawan yang lain pun tidak mengetahui kabar itu. Apa memang serahasia itu Barra dalam menyimpan privasi? “Tunggu dulu.” Evelyn menahan. Ia mengerutkan kening sembari menutup mata. Mencoba untuk berpikir. Ia merasa pusing memikirkan pujaan hatinya itu. “Aku tidak pernah tahu bahwa kau pernah menikah.” Evelyn berucap tidak percaya. Ia menyipitkan mata menatap Barra. “Lalu, masalah tunangan, juga anak. Aku tidak mengerti sama sekali. Semua orang tahu bahwa kau lajang, Tuan.” Evelyn benar-benar tidak mengerti. Apalagi lelaki itu tidak terlihat seperti hot papa sama sekali. Ia terlihat seperti pemuda lajang pada umumnya. Bahkan media sosialnya pun hanya ada foto dirinya. Barra tertawa tipis. Ia merasa miris. “Kau tahu kasus penculikan akhir-akhir ini sangat pesat. Aku hanya tidak ingin putraku menjadi salah satu korban. Tidak ada yang tahu bahwa dia adalah putraku, kecuali keluarga inti.” Barra menjelaskan. “Berapa usianya?” “Lima tahun.” Kini giliran Evelyn yang tertawa. Ia menertawakan diri sendiri, sebab ia bisa terkecoh untuk fakta sebesar itu. Ia selalu mencaritahu semua hal yang berkaitan dengan Barra, tapi bisa melewatkan hal sepenting itu. Untuk beberapa saat Evelyn terdiam. Ia tidak bisa mengambil keputusan, sebab dirinya sendiri sudah tidak berstatus lajang sejak kemarin. Ia telah menjadi istri orang kini. “Kau terlambat, Tuan!” Evelyn berucap dalam hati. Andai Barra mengutarakan niatnya lebih cepat, mungkin hasilnya akan berbeda. “Kau menjadikanku pilihan hanya karena kau batal tunangan? Andai dia tidak meninggalkanmu, kau tidak akan pernah menawarkan ini kepadaku?” Evelyn memberikan jawaban yang sekiranya tidak perlu menyertai alasan bahwa ia tidak bisa karena ia telah menikah. “Aku yang membatalkan. Dia bukan wanita yang tepat, karena dia hanya bersandiwara bahwa dia menyukai putraku.” Bara menegaskan bahwa dia tidak ditinggalkan, tapi dia yang meninggalkan. Evelyn seperti orang gila kini. Ia lagi-lagi tertawa untuk pembicaraan yang sangat serius. Sebab, pikirannya tengah terbelit-belit. “Apa kau tidak bisa memberikanku waktu? Aku butuh pendekatan denganmu, juga dengan putramu.” Evelyn berucap dengan lemah. Sesungguhnya ia akan langsung berkata iya andai statusnya masih lajang kini. “Aku tahu menikah bukan permainan. Namun, aku hanya memiliki waktu tiga bulan dari sekarang sebelum hak asuh putraku diambil alih oleh orang tua mendiang istriku.” Barra terlihat frustrasi ketika mengatakan hal itu. Kini Evelyn paham apa yang tengah terjadi sekarang. Ia terdiam. Berusaha berpikir mencari jalan keluar. Bagaimana pun, ia tidak ingin jika Barra mencari gadis lain, sebab posisi itu telah ia inginkan sejak dulu. Entah lajang atau duda, Barra tetaplah Barra. Lelaki itu telah mencuri hatinya sejak pertemuan pertama mereka dulu. Evelyn tidak ingin memikirkan apa pun. Ia setuju, tanpa berpikir panjang akan risiko ke depan. “Aku akan menikah denganmu, tolong jangan cari wanita lain lagi. Beri aku waktu dan kesempatan.” Evelyn berucap dengan serius. Ia menggenggam tangan Barra sebagai penegasan. Telapak tangan itu terasa sangat dingin sekarang. Barra tersenyum seraya mengangguk setuju. “Tuhan, tolong beri aku jalan!” Evelyn menjerit dalam hati. Kini Evelyn punya dua pilihan. Memperjuangkan cintanya untuk Barra, atau mempertahankan pernikahannya dengan mantan kakak iparnya.Ponsel Evelyn berdering sejak tadi. Namun, ia tidak ingin memberikan respons apa pun. Wanita itu membiarkan begitu saja ponselnya berbunyi hingga mati sendiri karena tidak kunjung mendapatkan jawaban. Waktu telah menunjukkan pukul 21.00 kini, tapi ia belum menginjakkan kaki ke rumah Vernon sepulang dari kantor. Ia butuh waktu sendiri untuk menenangkan diri. Ada banyak hal yang membuatnya pusing dan stress jika dipikirkan. Hingga akhirnya Evelyn memutuskan untuk mengunjungi bar sekadar minum beberapa gelas alkohol agar ia bisa sedikit lebih tenang. Baru dua gelas saja, kepala Evelyn langsung terasa sakit. Ia merasa pusing, dan mulai mabuk. Sementara ia telah sering mencoba minuman itu, tapi selalu saja memberikan efek yang sama untuk dirinya. Ia selalu kalah dalam gelas kedua. Sebelum mabuknya semakin parah, Evelyn memutuskan untuk pulang. Untung saja tidak terjadi apa-apa pada dirinya hingga ia masuk ke dalam taksi dengan aman. Taksi melaju dengan kecepatan tinggi menuju alamat ya
Evelyn bangkit berdiri seraya membereskan semua berkas yang harus ia tunjukkan pada Barra. Jantung wanita itu tidak bisa dinormalisasikan sejak tadi. Pikirannya tengah berada entah di mana. Ia benar-benar stress memikirkan jalan hidupnya mengingat ucapan sang teman yang mengatakan bahwa Barra tengah mencari istri. “Semangat, Lyn! Barang kali entar dilamar.” Fani memberikan candaan yang disambut tawaan oleh orang sekitar. Sementara Evelyn hanya bisa tersenyum seraya menunduk malu. Dengan dada yang berdebar tidak karuan, Evelyn berjalan menuju ruang di mana Barra berada. Lelaki itu telah menunggu di sana. Senyum lelaki itu langsung menyambut setelah Evelyn mengetuk pintu dan masuk. Melihat senyum manis itu, Evelyn semakin gugup. Ia sangat membenci jika berada dalam situasi seperti ini, sebab kegugupannya terlihat dengan sangat jelas. “Saya minta maaf, Tuan.” Evelyn langsung menyuguhkan kata maaf seraya menyerahkan lembaran-lembaran berisi design miliknya. “Untuk?” Barra mengerutkan
“Papa mana?” Evelyn bertanya pada Joy yang tengah sarapan seorang diri di ruang makan. Wanita itu masih belum bisa memaafkan sikap Vernon yang menurutnya sudah sangat keterlaluan. Bukan hanya pakaiannya yang basah, tapi barangnya yang lain juga. Terlebih design-design yang sudah dengan susah payah ia gambar. Apalagi salah satunya harus diserahkan pagi ini. “Sudah berangkat kerja.” Joy menjawab dengan ceria. Gadis kecil itu tampaknya sudah biasa tidak diberi perhatian oleh Vernon. Evelyn hanya bisa menarik napas dalam. Ia mengambil posisi duduk di sebelah Joy, lalu meraih roti dan mengoleskannya dengan selai. “Bi, nanti tolong bereskan kamar mandi Vernon, ya. Baju-baju saya bawa saja ke loundry.” Evelyn merogoh tas, lalu menyerahkan dua lembar uang seratus ribu. Wajah Evelyn tampak kusut. Ia memijit pelipis atas karena merasa sangat pusing. Selama ini kinerjanya selalu diberikan pujian, karena hasilnya yang selalu sesuai harapan. Namun, hari ini alasan apa yang akan ia berikan? Sal
Evelyn membuka koper untuk mencari handuk yang telah ia bawa dari rumah. Ada tiga koper miliknya yang tergeletak tidak menentu di dalam kamar milik Vernon. Wanita itu terlihat sangat tenang setelah mengobarkan bendera perang pada mantan iparnya itu. Meski kini jantungnya masih belum bisa dikendalikan, tapi ia berusaha agar bisa tetap terlihat tenang. Vernon tidak bisa berkata-kata, ia hanya menatap dengan tajam sembari melipat tangan di dada. “Mau apa kau?” Vernon terlihat panik ketika Evelyn mulai membuka kancing piama. Evelyn menoleh, lalu tersenyum menyeringai. “Kau ingin membukakan kancing bajuku?” Wanita itu tersenyum menggoda. Dalam hati ia bersorak gembira, merasa menang melihat ekspresi yang tergaris di wajah suaminya itu. “Jangan kurang ajar kamu!” Vernon berucap dengan kasar, ia meraih seragam yang tergeletak di atas ranjang, lalu bergegas keluar kamar. Ia memilih untuk mengalah, daripada menyaksikan wanita itu melepas pakaian di hadapannya. Akhirnya tawa Evelyn terdeng
“Kau tidur di kamar Joy saja.” Vernon berucap dengan dingin. Ia bahkan tidak menoleh sama sekali pada wanita yang baru saja ia nikahi itu. Evelyn Arabella. Nama wanita cantik yang tengah berdiri dengan bingung di samping ranjang milik Vernon. Ia memeluk guling dengan erat, mengerutkan kening mendapatkan kalimat perintah seperti itu. Mungkin mereka memang belum bisa menerima satu dengan yang lain. Namun, tidur di kamar Joy bukanlah solusi yang baik. Anak itu akan banyak bertanya mengapa maminya tidak tidur dengan papanya. Lalu, besok anak itu akan menjawab dengan jujur ketika ditanya oleh omanya. “Apa kau tuli?” Lelaki itu bertanya dengan datar, tapi terdengar sangat menusuk oleh Evelyn. Sesungguhnya mereka sama-sama tersiksa dengan perjodohan ini. Evelyn hanya diam. Ia menatap lelaki yang berstatus kakak iparnya itu dalam beberapa tahun ini, lantas kini berubah status menjadi suami. Vernon berbalik, menatap Evelyn yang masih berdiri dengan tenang di sisi kiri ranjang. Ia menatap







