MasukPonsel Evelyn berdering sejak tadi. Namun, ia tidak ingin memberikan respons apa pun. Wanita itu membiarkan begitu saja ponselnya berbunyi hingga mati sendiri karena tidak kunjung mendapatkan jawaban.
Waktu telah menunjukkan pukul 21.00 kini, tapi ia belum menginjakkan kaki ke rumah Vernon sepulang dari kantor. Ia butuh waktu sendiri untuk menenangkan diri. Ada banyak hal yang membuatnya pusing dan stress jika dipikirkan. Hingga akhirnya Evelyn memutuskan untuk mengunjungi bar sekadar minum beberapa gelas alkohol agar ia bisa sedikit lebih tenang. Baru dua gelas saja, kepala Evelyn langsung terasa sakit. Ia merasa pusing, dan mulai mabuk. Sementara ia telah sering mencoba minuman itu, tapi selalu saja memberikan efek yang sama untuk dirinya. Ia selalu kalah dalam gelas kedua. Sebelum mabuknya semakin parah, Evelyn memutuskan untuk pulang. Untung saja tidak terjadi apa-apa pada dirinya hingga ia masuk ke dalam taksi dengan aman. Taksi melaju dengan kecepatan tinggi menuju alamat yang Evelyn sebutkan. “Pak, kenapa dunia itu kejam sekali? Kenapa saya dilamar oleh pujaan hati setelah saya menikah dengan lelaki yang tidak saya cintai?” Evelyn protes pada supir taksi yang berada di kursi kemudi. Sepertinya ia tidak bisa mengendalikan ucapan karena ia setengah sadar. Tampaknya sang supir sudah terbiasa mendapat penumpang seperti itu. Ia tampak biasa saja dan tidak merespons sama sekali. Mungkin ia juga tengah berpikir mengapa anak-anak muda zaman sekarang menjadikan mabuk-mabukan sebagai pelampiasan dari amarah yang ada. Bukannya menjadi solusi, malah masalah yang semakin bertambah. Setelah beberapa saat, akhirnya taksi tiba di depan pagar rumah Vernon. Evelyn turun setelah membayar tagihan. Ia membuka pintu pagar dan berjalan setengah terhuyung menuju pintu masuk. Sesekali wanita itu hampir terjatuh karena tersandung kaki sendiri. “Bi ... Bi Asih ....” Evelyn memanggil dengan sangat lemah. Menit berikutnya, pintu terbuka. Evelyn masuk dengan langkah yang tidak beraturan. Ia langsung jatuh terduduk di sofa ruang depan. Bi Asih yang memerhatikan tidak bisa berbuat apa-apa. Ia juga tidak punya hak untuk memarahi ketika mendapati majikannya pulang dalam keadaan mabuk. Namun, satu hal yang mengganjal hati dan pikirannya saat ini. Yaitu Joy. “Bi, Evelyn dan Joy sudah pulang?” Vernon bertanya dari lantai atas sana. Ia melongok ke bawah, melihat-lihat keadaan. Namun, tidak ia temukan putri kecilnya di sana. Bi Asih terdiam. Ia juga bingung harus menjawab apa. Harusnya Evelyn pulang bersama dengan Joy. Namun, nyatanya tidak sama sekali. Lalu, ke mana putri kecilnya itu pergi? Vernon bergegas menuruni anak-anak tangga. Ia masih mengenakan pakaian kerja yang lengkap. Sebab, ia tidak bisa tenang sebelum Evelyn pulang membawa putrinya ikut serta. “Di mana Joy?” Vernon langsung bertanya setelah ia hanya menemukan Evelyn di sofa. “Aku baru pulang, harusnya kau lebih tau.” Evelyn menjawab dengan nada tidak bersahabat. “Bukankah kau sudah kuminta untuk menjemputnya dan mengantarnya pulang tadi siang?” Vernon protes. “Kau tidak berkata apa pun padaku.” “Kau tidak membuka pesan yang kukirim?” Vernon menebak dengan benar. Seketika semua orang yang berada di sana memasang wajah panik. Tidak terkecuali Evelyn. Ia langsung sadar dari mabuknya. Detik itu juga ia bangkit berdiri dan berjalan cepat menuju pintu ke luar. Vernon seolah paham apa yang terjadi, juga ikut berlari keluar dari rumah. Mobil yang belum ia masukkan ke garasi, mempermudah dirinya untuk masuk ke mobil. “Keluar dari mobilku!” Vernon berucap dengan nada tinggi ketika Evelyn ikut masuk dan duduk di kursi samping kemudi. “Ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat. Semakin banyak yang mencari akan semakin bagus.” Evelyn tidak peduli dengan ketidaksukaan yang ditunjukkan oleh Vernon. “Orang mabuk sepertimu tidak akan berguna sama sekali.” Vernon berucap secara frontal. Ia tidak menyangka jika Evelyn menyukai minuman semacam itu. Wanita itu benar-benar jauh berbeda dibanding dengan Inara. Vernon membuka pintu mobil, lalu mendorong Evelyn agar lekas enyah dari sana. “Vernon, cukup! Berhenti kekanak-kanakan. Joy lebih penting sekarang!” Evelyn protes akan sikap Vernon yang dalam keadaan genting seperti ini pun tidak ingin mengalah pada egonya. Sekuat apa pun Vernon mendorong, Evelyn tidak ingin keluar. Sebab, ia ingin ikut serta dalam mencari Joy. Biar bagaimana pun ia tetap salah dalam hal ini. Vernon terdiam. Ia berhenti meminta Evelyn untuk turun dari mobilnya. Sebab, apa yang dikatakan oleh Evelyn ada benarnya juga. Beberapa saat kemudian, mobil mulai melesat dengan kecepatan tinggi menuju sekolah Joy. Sepanjang perjalanan mereka hanya diam sembari melihat kiri dan kanan. Mereka tidak seakrab itu untuk menenangkan satu dengan yang lain. Mereka juga tidak sedekat itu untuk saling bertukar kata. Mobil berhenti ketika mereka tiba di area sekolah. Mesin mobil sengaja tidak dimatikan, sebab keadaan yang sangat gelap. Evelyn gegas turun dan berlari sembari memanggil nama anak sambungnya itu dengan rasa panik yang besar. “Joy! Ini mami, Sayang!” Evelyn berlari mengitari sekolah, mengelilingi setiap sudut dengan Vernon secara berpencar. Namun, tidak ada tanda-tanda keberadaan bocah itu di sana. Tiba-tiba ucapan Barra mengenai kasus penculikan anak lewat begitu saja di pikiran Evelyn. Ia semakin panik dan semakin merasa bersalah. Seluruh tubuhnya terasa meluruh. Ia telah lalai menjadi seorang ibu, juga lalai menjadi seorang bibi yang baik untuk gadis kecil itu. “Joy!” Evelyn memanggil dengan histeris, tapi tidak ada sahutan sama sekali. Evelyn tidak lagi bisa menahan tangis, tangisnya pecah memikirkan keadaan bocah itu. Tangannya gemetar mengusap wajah dengan kasar. Evelyn dan Vernon kembali bertemu di depan mobil. Mereka sama-sama panik. Namun, Evelyn terlihat jauh lebih panik. Sebab, ia menanggung dua beban sekaligus. Vernon memiliki tanggung jawab untuk Joy karena Joy adalah anak kandungnya. Sementara tanggung jawab Evelyn lebih besar, karena Joy adalah anak sambungnya. “Jika terjadi sesuatu kepada Joy, kau tidak akan pernah kumaafkan.” Vernon berucap datar, tapi terdengar sangat tajam dan menusuk. Evelyn mendongak. Ia mengusap wajah dan menatap Vernon dengan sangat tajam. “Sebagai seorang ayah, apakah kau merasa telah memberikan kasih sayang yang cukup untuk Joy? Berapa kali dalam sehari kau memberikan pelukan untuknya? Berapa kali dalam sehari kau memberikan ciuman padanya? Berapa kali dalam sehari kau mengatakan bahwa kau mencintainya? Berapa banyak waktu dalam sehari kau habiskan untuk dirinya?!” Evelyn membalas dengan tajam. Melampiaskan amarah yang selama ini tertahan dalam dada. Evelyn tahu selama lima tahun ini Joy hidup dengan kekurangan kasih sayang. Setiap kali Joy berlibur ke tempat Evelyn, Joy selalu berkata bahwa papanya sangat sibuk dan ia merasa kesepian. “Kau merasa telah menjadi ayah yang baik? Ke mana kau ketika kakakku meninggal saat melahirkan anakmu?!” Evelyn berucap dengan kasar. Plak! Satu tamparan mendarat di pipi Evelyn dengan kasar. Sudut bibir dan hidungnya mengeluarkan darah saat itu juga. Pipinya memerah dengan gambar telapak tangan membekas di sana. Evelyn mengusap hidungnya dengan punggung tangan hingga noda merah mengotori punggung tangan itu. Vernon terdiam membatu. Ia kaku, tidak percaya bahwa ia akan sanggup memberikan tamparan untuk istrinya. Sementara selama hidupnya ia tidak pernah menyakiti wanita sama sekali. Selama ia bernapas, ia belum pernah memukul wanita sekali pun. Ini yang pertama kali. Evelyn tertawa tipis. Ia mundur beberapa langkah hingga punggungnya membentur dinding pos penjaga. Pandangan wanita itu menggelap, tapi ia menahan diri agar tidak tumbang. Sementara Vernon masuk ke dalam mobil dan menyesali sikapnya barusan. Ia memaki diri sendiri karena telah menjadi lelaki pengecut yang berani main tangan. Pandangannya kosong menatap tangan kanannya yang gemetar.Ponsel Evelyn berdering sejak tadi. Namun, ia tidak ingin memberikan respons apa pun. Wanita itu membiarkan begitu saja ponselnya berbunyi hingga mati sendiri karena tidak kunjung mendapatkan jawaban. Waktu telah menunjukkan pukul 21.00 kini, tapi ia belum menginjakkan kaki ke rumah Vernon sepulang dari kantor. Ia butuh waktu sendiri untuk menenangkan diri. Ada banyak hal yang membuatnya pusing dan stress jika dipikirkan. Hingga akhirnya Evelyn memutuskan untuk mengunjungi bar sekadar minum beberapa gelas alkohol agar ia bisa sedikit lebih tenang. Baru dua gelas saja, kepala Evelyn langsung terasa sakit. Ia merasa pusing, dan mulai mabuk. Sementara ia telah sering mencoba minuman itu, tapi selalu saja memberikan efek yang sama untuk dirinya. Ia selalu kalah dalam gelas kedua. Sebelum mabuknya semakin parah, Evelyn memutuskan untuk pulang. Untung saja tidak terjadi apa-apa pada dirinya hingga ia masuk ke dalam taksi dengan aman. Taksi melaju dengan kecepatan tinggi menuju alamat ya
Evelyn bangkit berdiri seraya membereskan semua berkas yang harus ia tunjukkan pada Barra. Jantung wanita itu tidak bisa dinormalisasikan sejak tadi. Pikirannya tengah berada entah di mana. Ia benar-benar stress memikirkan jalan hidupnya mengingat ucapan sang teman yang mengatakan bahwa Barra tengah mencari istri. “Semangat, Lyn! Barang kali entar dilamar.” Fani memberikan candaan yang disambut tawaan oleh orang sekitar. Sementara Evelyn hanya bisa tersenyum seraya menunduk malu. Dengan dada yang berdebar tidak karuan, Evelyn berjalan menuju ruang di mana Barra berada. Lelaki itu telah menunggu di sana. Senyum lelaki itu langsung menyambut setelah Evelyn mengetuk pintu dan masuk. Melihat senyum manis itu, Evelyn semakin gugup. Ia sangat membenci jika berada dalam situasi seperti ini, sebab kegugupannya terlihat dengan sangat jelas. “Saya minta maaf, Tuan.” Evelyn langsung menyuguhkan kata maaf seraya menyerahkan lembaran-lembaran berisi design miliknya. “Untuk?” Barra mengerutkan
“Papa mana?” Evelyn bertanya pada Joy yang tengah sarapan seorang diri di ruang makan. Wanita itu masih belum bisa memaafkan sikap Vernon yang menurutnya sudah sangat keterlaluan. Bukan hanya pakaiannya yang basah, tapi barangnya yang lain juga. Terlebih design-design yang sudah dengan susah payah ia gambar. Apalagi salah satunya harus diserahkan pagi ini. “Sudah berangkat kerja.” Joy menjawab dengan ceria. Gadis kecil itu tampaknya sudah biasa tidak diberi perhatian oleh Vernon. Evelyn hanya bisa menarik napas dalam. Ia mengambil posisi duduk di sebelah Joy, lalu meraih roti dan mengoleskannya dengan selai. “Bi, nanti tolong bereskan kamar mandi Vernon, ya. Baju-baju saya bawa saja ke loundry.” Evelyn merogoh tas, lalu menyerahkan dua lembar uang seratus ribu. Wajah Evelyn tampak kusut. Ia memijit pelipis atas karena merasa sangat pusing. Selama ini kinerjanya selalu diberikan pujian, karena hasilnya yang selalu sesuai harapan. Namun, hari ini alasan apa yang akan ia berikan? Sal
Evelyn membuka koper untuk mencari handuk yang telah ia bawa dari rumah. Ada tiga koper miliknya yang tergeletak tidak menentu di dalam kamar milik Vernon. Wanita itu terlihat sangat tenang setelah mengobarkan bendera perang pada mantan iparnya itu. Meski kini jantungnya masih belum bisa dikendalikan, tapi ia berusaha agar bisa tetap terlihat tenang. Vernon tidak bisa berkata-kata, ia hanya menatap dengan tajam sembari melipat tangan di dada. “Mau apa kau?” Vernon terlihat panik ketika Evelyn mulai membuka kancing piama. Evelyn menoleh, lalu tersenyum menyeringai. “Kau ingin membukakan kancing bajuku?” Wanita itu tersenyum menggoda. Dalam hati ia bersorak gembira, merasa menang melihat ekspresi yang tergaris di wajah suaminya itu. “Jangan kurang ajar kamu!” Vernon berucap dengan kasar, ia meraih seragam yang tergeletak di atas ranjang, lalu bergegas keluar kamar. Ia memilih untuk mengalah, daripada menyaksikan wanita itu melepas pakaian di hadapannya. Akhirnya tawa Evelyn terdeng
“Kau tidur di kamar Joy saja.” Vernon berucap dengan dingin. Ia bahkan tidak menoleh sama sekali pada wanita yang baru saja ia nikahi itu. Evelyn Arabella. Nama wanita cantik yang tengah berdiri dengan bingung di samping ranjang milik Vernon. Ia memeluk guling dengan erat, mengerutkan kening mendapatkan kalimat perintah seperti itu. Mungkin mereka memang belum bisa menerima satu dengan yang lain. Namun, tidur di kamar Joy bukanlah solusi yang baik. Anak itu akan banyak bertanya mengapa maminya tidak tidur dengan papanya. Lalu, besok anak itu akan menjawab dengan jujur ketika ditanya oleh omanya. “Apa kau tuli?” Lelaki itu bertanya dengan datar, tapi terdengar sangat menusuk oleh Evelyn. Sesungguhnya mereka sama-sama tersiksa dengan perjodohan ini. Evelyn hanya diam. Ia menatap lelaki yang berstatus kakak iparnya itu dalam beberapa tahun ini, lantas kini berubah status menjadi suami. Vernon berbalik, menatap Evelyn yang masih berdiri dengan tenang di sisi kiri ranjang. Ia menatap







