Mata Alif kembali melebar, menatap Dira dengan tajam, tapi sayangnya bibirnya malah terkatup rapat tidak bisa berkata-kata. Tanpa Dira tahu, ada yang berdebar semakin hebat di dada Alif.
Dira mengulum senyum melihat reaksi suaminya. Kemudian dengan gemas, Dira menepuk pipi Alif.
“Ya sudah kalau gak cemburu. Katamu mau beliin aku serabi, kan? Yuk, buruan!!!”
Alif terdiam, wajahnya sudah mengendur. Ronanya pun tak semerah tadi. Ia tersenyum sambil menganggukkan kepala.
“Yuk!!”
Tak lama mereka tampak berjalan bergandengan menuju kedai serabi yang letaknya searah dengan jalan pulang.
Pukul delapan pagi saat mereka tiba di rumah, Bi Rahmi tergesa menyambut mereka berdua.
“Pak, Bu tadi ada telepon dari Bu Mery,” ucap Bi Rahmi.
“Tante Mery? Kenapa dengan Tante Mery?” tanya Dira.
Bi Rahmi terdiam sejenak seolah sedang mengatur napasnya.
“Katanya Pak Fabian masuk rumah
Dira membisu, mengatupkan rapat bibirnya sambil menatap Alif dengan tajam. Dari awal, cerita hubungannya dengan Rayhan hanya bohongan. Itu semua sengaja dibuat Dira untuk melihat reaksi Alif. Tidak disangka suaminya masih menyimpan rasa ingin tahu mengenai hal itu.“Kok malah diem. Jawab, dong!!” seru Alif.Dira mengulum senyum sambil menatap Alif. “Harus dijawab, Mas?”Alif mengangguk. “Ya iya, dong. Aku kan sudah blak-blakan sama kamu tadi.”Dira diam sejenak, kemudian jarinya terlihat mengetuk dagu sambil menatap Alif.“Barusan kok pacarannya. Mungkin dua tahun-an,” jawab Dira asal.Alif tercengang kaget mendengar jawaban Dira.“Kok Rayhan gak pernah ngomong tentang itu.”“Aku memang yang minta dia gak usah ngomong-ngomong. Lagian Mas Alif kan udah tunangan ama Disa saat itu.”Alif berdecak sambil menggelengkan kepala. “Jadi beneran, perasaa
Dira semakin menangis saat mendengar pernyataan Alif. Ia tidak menduga pria yang siang malam ia impikan dan rindukan ternyata memiliki perasaan yang sama padanya.“Aku menyukaimu sejak kamu belum tahu arti kata suka,” imbuh Alif.Dira mengangguk sambil menyeka air matanya. Ia ingat mendengar Alif mengatakan hal itu saat menjelang tidur. Saat itu, Dira tidak tahu artinya, tapi kini dia mengerti.“Apa itu artinya kamu suka sejak kita masih kecil?”Alif mengulum senyum, menyeka air mata Dira dengan jarinya kemudian mengangguk.“Kamu yang masih kecil, kalau aku udah gede, kan?”Dira tersenyum sambil menatap Alif dengan lembut.“Terus kenapa saat aku bilang suka, kamu marah dan malah membenciku?”Alif menghela napas panjang sambil menatap Dira dengan sendu.“Saat itu … aku galau. Pasalnya, Tante Luna baru saja memintaku agar menjaga Disa seumur hidupku.”
Alif tidak menjawab, hanya diam dengan mata menatap tajam ke buku tersebut. Fabian tersenyum melihat reaksinya.“Gak papa, Lif. Sudah saatnya semua tahu. Bawa pulang dan baca di rumah saja. Om yakin butuh banyak waktu untuk membacanya.”Alif hanya mengangguk, kemudian melihat Dira dan dengan isyarat meminta Dira untuk menyimpannya.Selang beberapa saat mereka sudah tiba di rumah. Dira tampak duduk termenung di sofa sambil menatap buku harian Disa di pangkuannya.Alif yang baru saja keluar dari kamar mandi, memperhatikan dengan saksama kemudian berjalan mendekat dan duduk di sampingnya.“Kenapa?”Dira mendongak, membuat matanya beradu dengan Alif. Helaan napas panjang terdengar keluar dari bibir Dira.“Entahlah, Mas. Aku merasa bersalah karena sudah lancang membaca yang harusnya tidak aku baca.”Alif menghela napas, menggeser duduknya hingga mendekat kemudian meraih tangan Dira dan menggenggam
“Aku cinta kamu,” lanjut Alif.Ia sudah tidak kuasa menahan semuanya dan berharap Dira mau memaklumi pernyataannya melalui online ini.Alif terdiam, ia sedikit lega usai mengatakan semuanya dan berharap mendapat reaksi dari Dira. Namun, hingga satu menit menunggu, Dira tidak menjawab.“Sayang … kamu dengar aku, kan?”Tidak ada jawaban dari seberang sana. Alif melihat ponselnya dan matanya langsung mengerjap saat tahu ponselnya kehabisan daya.“SHIT!! Ponselku mati. Pantes saja Dira gak dengar.”Alif kesal. Buru-buru menghubungkan ponselnya ke sumber daya. Di seberang sana, Dira tampak bingung sambil menatap ponselnya yang tiba-tiba mati.“Mas Alif mau ngomong apa, sih? Makin lama makin aneh nih orang,” gumam Dira.Ia meletakkan ponselnya ke meja dan kembali sibuk dengan pekerjaannya. Namun, tiba-tiba Dira menghentikan aktivitasnya, melirik ponsel dan mengulum senyum.
“Ka—kamu … dari mana mendapatkannya?” tanya Vania gagap.Alif tersenyum lebar, duduk bersandar di kursi sambil bersedekap menatap Vania.“Gak perlu aku jelaskan dapat dari mana data tersebut. Sekarang jawab saja pertanyaanku tadi?”Alif mendapatkan data itu dari Firman. Sepertinya Firman bisa mengancam sang Anonim hingga mau memberikan bukti transaksinya dengan Vania beserta percakapan mereka.“Kamu yang meminta penyebaran berita gosip tentang aku. Kamu bekerja sama dengan Maura untuk melakukannya. Iya, kan?”Tidak ada jawaban yang keluar dari bibir Vania. Ia hanya diam sambil menatap kertas yang ada di tangannya.“Aku juga tahu jika perusahaan keluargamu di luar mengalami pailit. Itu sebabnya kamu menggunakan dana donatur untuk subisid silang. Sayangnya, masalahmu terlalu pelik, hingga tidak dapat menyelesaikan semuanya.”Vania masih terdiam. Alif melirik Kevin yang duduk d
“Kamu tidak berkata bohong kan, Vin?” tanya Alif kemudian.Kevin mendengkus keras sambil menggelengkan kepala. Alif hanya diam memperhatikannya.“Untuk apa juga aku bohong. Aku punya berita yang pasti membuatmu terkejut lagi.”Alis Alif terangkat dengan mata yang menatap tajam. “Apa?”“Bisnis keluarga Vania di luar negeri sedang bermasalah dan sepertinya akan gulung tikar. Itu sebabnya, ia menggunakan dana donatur yang terkumpul untuk subsidi silang perusahaannya.”“Namun, sepertinya tidak berhasil. Itu juga sebabnya dia membuka perusahaan baru di kota ini. Dia berniat bekerja sama dengan perusahaan lain yang bisa ia kadali kemudian mengeruk keuntungan untuk diri sendiri.”“Aku dengar juga status lahan yang hendak ia jadikan proyek masih sengketa. Ia belum membayar lunas semuanya.”Alif tercengang kaget mendengar semua penjelasan Kevin. Pantas saja Vania bersikera