Mata Dira melotot, tangannya terkulai lemas, tubuhnya tak berdaya dalam dekapan Alif. Pria tampan ini begitu pintar membuatnya melayang.
Bahkan Alif tidak mempedulikan tatapan beberapa orang yang masih berada di ruang sidang itu.
Hingga deheman Rendy membuat Alif perlahan mengurai pagutannya. Ia tersenyum menatap Dira dengan lembut. Sedangkan Dira hanya diam, membalasnya dengan linglung.
“Kita lanjut di rumah, ya?”
Alif bersuara sambil mengelus lembut kepala Dira. Tatapan, sentuhan dan suaranya sangat hangat membuat Dira tidak bisa berkata apa-apa.
Apa Alif telah berubah? Apa benar ia sudah mencintainya? Itu sebabnya Alif ingin mempertahankan pernikahan ini. Lalu kemarin yang ia minta hanya sebuah kesalahan yang dicerna Dira.
“Ren, kamu bawa mobil Dira. Biar dia sama aku.”
Suara Alif terdengar kembali seraya memberi titah ke Rendy. Kemudian Alif langsung menggandeng Dira dan membimbingnya keluar dari sana.
“MAS ALIF!!!”Pagi itu suara Dira sudah memenuhi atmosfer kamar berukuran 4x6 di lantai dua sebuah rumah mewah.Alif yang sedang terlelap langsung terjaga. Perlahan ia membuka mata, meski masih samar ia bisa melihat wajah Dira dengan mata membola dan rona merah padam menatap ke arahnya.“LEPASIN!!!”Kembali suara wanita cantik itu terdengar di telinga Alif. Kesadaran Alif yang belum seratus persen kembali hanya diam, tapi matanya sudah melirik ke arah Dira.Jakun Alif naik turun menelan saliva saat melihat tangannya sedang memeluk erat wanita cantik itu. Bahkan salah satu tangannya sudah menyentuh aset berharga Dira.Mata Alif melotot dan tangannya spontan mengurai pelukan. Dira langsung beringsut mundur dan bergegas bangkit lalu duduk di tepi kasur. Mata kecil wanita cantik itu tidak henti mengintimidasi Alif. Alif jadi serba salah dan terpaksa ikut bangun.“Siapa yang suruh Mas Alif tidur di sini?&rdquo
“A—aku disuruh Bunda melihatmu tadi,” ucap Alif.Tidak biasanya pria tampan itu terlihat gugup. Bahkan matanya tidak berani melihat ke arah Dira saat ini. Dira hanya diam, tidak menjawab sedikit pun.Alif mendengkus sambil memutar tubuhnya.“Ya sudah. Aku mau tidur.”Ia langsung berjalan cepat menuju kamarnya dan tak mau menoleh ke Dira lagi.Dira hanya diam, mengernyitkan alis sambil mengusap keningnya. Masih ada saliva Alif tertinggal di sana. Dira langsung mengibaskan tangan ke udara seolah enggan sisa suaminya tertinggal di tubuhnya.Sesudahnya ia langsung berjalan menuju dapur. Ia ingin membuat minuman hangat malam ini. Perutnya tiba-tiba mual dan ingin muntah.Selang beberapa saat Dira tampak asyik menikmati jahe hangat buatannya. Sesekali ia melirik ke arah ruang tengah. Entah mengapa Dira merasa mendengar suara di sana.“Akh … mungkin aku salah dengar,” gumam Dira.
Dira duduk diam di atas kasur sambil sibuk mengirim pesan ke Dokter Rani. Ia sudah membuat janji untuk bertemu dengannya esok pagi. Dira tidak mau terus sakit, banyak hal yang harus ia selesaikan.Untung saja besok Alif keluar kota sehingga Dira punya banyak waktu untuk konsultasi mengenai penyakitnya. Usai bertemu dengan Alif tadi siang, Dira langsung tidur dan terbangun saat hari sudah gelap.Baru saja Dira meletakkan ponselnya, tiba-tiba kini berdering kembali. Dira melihat ada nama Widuri di layar ponselnya.“Bunda … ,” gumam Dira. Tanpa diminta percakapan Alif dan bundanya tadi siang terngiang di telinga Dira.“Jangan-jangan Bunda mau tanya mengenai kehamilanku. Aku harus bagaimana?”Dira belum menjawab panggilannya, tapi matanya terus tertuju ke layar ponsel. Setelah beberapa saat, Dira memberanikan diri untuk menjawab panggilannya.“Assalamualaikum, Bunda.”“Waalaikumsalam, Dira.
Mata Dira kembali membola seolah hendak keluar dari tempatnya. Tidak hanya itu saja, mulutnya sudah terbuka lebar. Refleks, Dira langsung menutup mulutnya. Ia tidak mau suaranya terdengar oleh Alif.“Aku gak tahu, Bunda. Dira sedang tidur sekarang.”Suara Alif kembali terdengar dan Dira semakin merapatkan tubuhnya ke pembatas ruang. Ia tidak pernah tahu jika Alif akan menghubungi ibunya dan membahas tentang kehamilan palsunya ini.“Dia muntah terus tadi. Makanya sekarang tidur. Nanti kalau sudah bangun, aku tanyain.”Lagi-lagi Dira mendengar suara Alif dengan nada yang lembut dan penuh perhatian, tidak seperti yang sering ia dengar selama ini.Apa mungkin suaminya telah berubah usai dia dinyatakan hamil, meski palsu? Mungkin sebaiknya Dira menanyakan hal ini ke Rayhan. Dira yakin Rayhan yang mengatakan berita bohong ini pada Alif.“Ya sudah, nanti aku telepon Bunda lagi.”Akhirnya Alif sudah mengakh
Alif terdiam, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Namun, Dira melihat tatapan pria tampan itu penuh dengan amarah.“Aku akan menyerahkan anak ini untukmu dan tidak meminta hak walinya. Asal kamu mau ceraikan aku.”Dira menambahkan kalimatnya dan membuat Alif semakin tercengang.“Bukankah kamu hanya menginginkan anak, tapi tidak menginginkanku. Jadi biarkan aku pergi usai memenuhi permintaanmu.”Untuk beberapa saat hanya hening yang terasa. Dua insan beda jenis itu saling pandang dengan benak yang tidak sejalan. Kemudian perlahan Alif menganggukkan kepala.“Deal.”Seketika Dira tersenyum lebar saat mendengar jawaban Alif. Ia tidak tahu dari mana ia akan mendapatkan anak untuk Alif. Ia tidak sedang hamil, tapi Dira juga tidak mau menjelaskan.Anggap saja ini rencana Tuhan agar dia bisa lepas dari pria berengsek ini. Selanjutnya Dira akan pura-pura hamil saja dan nanti jika mendekati
Dira tertegun mendengar pertanyaan Alif. Bukannya menanyakan kabar tentang Dira, Alif malah bertanya tentang ayah bayi. Memangnya bayi siapa yang ia maksud? Apa Alif berpikir jika Dira hamil?Memangnya siapa yang memberi tahu Alif berita bohong itu? Apa Rayhan?“Kamu tidak ingin menjawabnya?”Kembali kalimat tanya menguar dari bibir Alif. Dira menelan saliva dengan mata yang menatap lekat pria tampan di depannya ini.Apa ini alasan Alif mau datang ke sini? Karena dia berpikir Dira sedang hamil?Dira menarik napas panjang sambil mengangkat dagu menantang Alif.“Kenapa kamu tiba-tiba ingin tahu? Bukankah sebelumnya kamu yang memintaku hamil, dengan pria mana pun tak masalah.”Alif membisu, bibirnya terkatup, tapi Dira bisa melihat jelas ada yang berbeda dengan manik pekat itu. Seakan sedang menyembunyikan perasaannya dan baru kali ini Dira tidak bisa menebaknya.“Baik. Terserah kamu.”Al