Dira mematung mendengar kalimat pria itu.
“A-apa maksud Mas Alif?" tanyanya gugup. Resah di wajahnya tak bisa disembunyikan. "Aku sama sekali tidak mau menikah dengan Mas.”
Alif tersenyum miring mendengarnya. Ia lantas menunjukkan sebuah surat yang ia temukan di buku harian Disa.
“Tidak mau katamu? Lalu apa maksudnya ini?”
Dira terdiam, matanya melirik ke arah surat yang berada dalam genggaman Alif. Ia tidak tahu apa isinya dan ada hubungan apa dia dengan surat itu.
“Kamu memang wanita licik! Teganya kamu lakukan semua ini ke Disa.”
"Aku nggak ngerti—"
“Kamu yang membunuh Disa, Dira! Kamu pelakunya!”
Dira terhenyak. Ia sama sekali tidak paham dengan ucapan Alif.
Selama ini, hubungannya dengan Disa baik-baik saja.
Memang mereka tidak begitu akrab belakangan ini. Itu pun karena Dira kuliah di luar kota dan jarang bertemu.
Namun, apa maksud ucapan Alif dengan menuduhnya sebagai pembunuh Disa?
“Aku nggak ngerti maksud ucapanmu, Mas. Aku nggak pernah melakukan seperti yang kamu tuduh. Aku—"
“CUKUP!" sela Alif kesal. "Jangan bicara lagi. Mana ada maling ngaku.”
Bahu Dira naik turun dengan teratur mengolah udara. Dadanya terasa sesak dengan tuduhan yang tidak berdasar.
Namun, berusaha seperti apapun, Alif tidak akan mau mendengarnya. Sejak dulu, pria itu memang tidak menyukainya.
“Empat puluh hari lagi, kita nikah. Kita lanjutkan pernikahan ini. Siapkan dirimu.”
Alif langsung berjalan pergi setelah sebelumnya sengaja menabrak bahu Dira.
Gadis itu meringis sambil memegang bahunya. Bersamaan dengan terjatuhnya surat dari tangan Alif.
Dira merunduk, mengambil surat itu.
Perlahan, Dira buka surat itu dan tercengang saat membacanya.
Isi surat tersebut adalah meminta Disa membatalkan pernikahannya dengan Alif. Kalau tidak, sesuatu akan terjadi menimpa Disa. Yang membuat Dira semakin shock, tulisan tangan di surat itu mirip tulisan tangannya disertai tanda tangannya pula.
“Nggak... Aku nggak pernah menulis ini. Aku nggak pernah melakukannya.”
Dira berlari keluar mencoba mengejar Alif, tapi mobil pria tampan itu sudah lenyap dari pandangannya.
Dira tertegun sambil menatap surat di tangannya. Ia tidak tahu siapa yang sedang menjebaknya, tapi yang pasti hal itu semakin memicu kebencian Alif padanya.
**
“Saya terima nikah dan kawinnya Dira Aureli binti Fabian Baskara dengan maskawin tersebut, dibayar tunai.”
Sehari setelah empat puluh hari kematian Disa, Alif mengulang prosesi ijab kabulnya.
Bukan nama Disa yang ia sebutkan seperti kala itu, tetapi nama Dira.
Kedua belah pihak keluarga tampak tersenyum penuh suka cita. Meski sebelumnya ada kesedihan melanda, tapi mereka bersyukur Dira yang akhirnya meneruskan perjodohan ini. Banyak ucapan selamat dan lantunan doa diberikan untuk kedua mempelai.
Usai ijab kabul, tidak ada acara resepsi yang digelar seperti kala itu. Bahkan Alif langsung membawa Dira pulang ke rumahnya.
Sepanjang perjalanan tidak ada pembicaraan yang terjadi. Keduanya saling diam, sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Hampir satu jam perjalanan, akhirnya mobil mereka tiba di depan sebuah rumah mewah. Dira terdiam menatap penuh kagum bentuk bangunan rumah itu.
Alif memang seorang arsitek, bahkan dia pula yang menjalankan perusahaan property milik keluarganya. Tidak heran jika dia bisa membuat bangunan seindah ini.
“Turun!”
Ucapan Alif menginterupsi lamunan Dira.
Tanpa diperintah dua kali, Dira langsung turun membawa travel bagnya. Alif berjalan lebih dulu dan tanpa sedikit pun membantu Dira yang kesulitan dengan barangnya.
Dira tidak mempermasalahkannya. Dia sudah terbiasa mandiri.
“Kamarmu di sana.”
Alif langsung menunjuk sebuah pintu di lantai dua yang terlihat dari tempat mereka berdiri.
Dira mengangguk. Tak butuh lama, ia sudah berada di lantai dua. Dira sedikit lega saat ia tidak satu kamar dengan Alif. Bahkan kamarnya dan kamar Alif dipisahkan dengan ruang baca.
Dira langsung menghempaskan tubuh ke atas kasur sambil mulai memejamkan mata. Beberapa hari ini dia tidak bisa tidur nyenyak. Rasanya tidak masalah, jika dia terlelap barang semenit.
Baru saja Dira mulai bermimpi, tiba-tiba suara ketukan bertubi terdengar di pintu kamarnya.
Dira tergesa bangun dan berjalan ke arah pintu. Masih terlihat kantuk di matanya saat Dira membuka pintu.
“Siapa suruh kamu tidur?” semprot Alif begitu melihat Dira.
Dira menelan ludah dan terlihat serba salah. Dia belum sepenuhnya terlelap, hanya sekedar meluruskan badan saja. Mungkin karena matanya yang kecil dan sipit, Alif berpikir seperti itu.
“Maaf, Mas. Aku hanya—”
Kalimat Dira tercekat di ujung tenggorokannya saat melihat wajah Alif yang penuh amarah. Dari dulu pria tampan ini selalu bertampang mengerikan jika emosinya menguar.
“Dengar. Aku mengajakmu ke sini bukan sebagai Nyonya rumah.”
Alif menjeda kalimatnya, tapi tatapan mata elangnya semakin menghunus tajam ke Dira.
Ingin rasanya Dira tenggelam masuk ke perut bumi daripada melihat tatapan setajam itu.
“Melainkan jadi pembantu.”
Alif terlihat kesal. Ia bersungut-sungut sambil berjalan mendahului ayah dan bundanya. Widuri hanya mengulum senyum melihat ulah putranya.“Alif memang sering gak sabaran, Dira. Kamu harap maklumi, ya?”Dira hanya tersenyum meringis mendengar ucapan mertuanya.Selanjutnya mereka berempat sudah duduk di ruang makan, terlihat asyik menikmati makan malam. Alif dan Dira duduk bersebelahan dengan Widuri dan Emran duduk di depan mereka.“Hmm … ternyata benar kata Alif, masakanmu enak, Dira.”Lagi-lagi Widuri memuji Dira. Tentu saja Alif kesal apalagi namanya diikutsertakan.“Udah deh, Bun. Makan aja jangan pakai ngobrol.”Emran tersenyum mendengar ucapan Alif. Sepertinya putranya tidak mau menunjukkan perhatiannya ke Dira. Bisa jadi karena pernikahan mereka terjadi di luar prediksi membuat Alif belum bisa menunjukkan perasaannya.Emran memaklumi, dia juga pernah di posisi seperti ini sebelum
Dira terdiam usai mendengar kalimat Alif. Segitu bencinya Alif pada dirinya hingga menginginkan kematian Dira. Melihat Dira yang hanya diam saja, Alif langsung berdecak.“Nangis? Buruan kalau mau nangis. Sekalian ngadu ke papamu!”Bukannya menenangkan Dira, Alif malah mengintimidasinya. Namun, Dira hanya diam dan memilih memalingkan wajah dari Alif. Ia bahkan sudah tidur membelakangi Alif.“Aku ngantuk, mau tidur. Kalau Mas Alif mau pulang, pulang saja.”Alif jengkel mendengarnya, tapi dia juga tidak mau berdebat lagi. Tanpa berkata apa pun Alif berlalu pergi meninggalkan Dira. Dira meliriknya sekilas. Ia melihat suaminya sudah keluar dari ruangan.Dira menghela napas panjang sambil melihat pergelangan tangannya yang dibalut perban. Dia benar-benar ketakutan saat melihat darah dan selalu langsung pingsan seperti tadi.Hal ini terjadi usai Dira mengalami kecelakaan mobil. Saat SMA, Dira pernah mengalami kecelakaan mobil bersama mamanya. Dalam kecelakaan itu, mamanya langsung meningga
Dira terpaku mendengar ucapan pria yang sudah resmi menjadi suaminya itu.Namun, ia tidak melayangkan protes sedikit pun. Percuma, Alif hanya akan semakin murka padanya. “Baik, Mas,” ucap Dira akhirnya. Tidak ada ketakutan terlihat di wajah wanita cantik itu, apalagi kesedihan. Malah kini matanya sudah menatap Alif yang berdiri di depannya.Alif langsung melengos tanpa berkata sepatah pun. Namun, baru beberapa langkah dia sudah berhenti dan bersuara kembali.“Aku lapar. Siapkan makanan!”Dira mengangguk, kemudian langsung turun ke lantai satu. Dia ingat jika tadi melihat dapur sebelum naik ke lantai dua. Untung saja di kulkas banyak persediaan bahan makanan sehingga Dira bisa mengolah makanan dengan cepat.Dira sudah terbiasa mandiri, jadi rasanya tidak kesulitan jika harus memasak dengan cepat. Satu jam kemudian, mereka sudah makan malam bersama. Alif terlihat menikmati, tapi sama sekali tidak berkomentar apa pun tentang masakannya.“Aku nggak suka makan di luar, jadi kamu harus
Dira mematung mendengar kalimat pria itu. “A-apa maksud Mas Alif?" tanyanya gugup. Resah di wajahnya tak bisa disembunyikan. "Aku sama sekali tidak mau menikah dengan Mas.”Alif tersenyum miring mendengarnya. Ia lantas menunjukkan sebuah surat yang ia temukan di buku harian Disa.“Tidak mau katamu? Lalu apa maksudnya ini?”Dira terdiam, matanya melirik ke arah surat yang berada dalam genggaman Alif. Ia tidak tahu apa isinya dan ada hubungan apa dia dengan surat itu.“Kamu memang wanita licik! Teganya kamu lakukan semua ini ke Disa.”"Aku nggak ngerti—"“Kamu yang membunuh Disa, Dira! Kamu pelakunya!”Dira terhenyak. Ia sama sekali tidak paham dengan ucapan Alif. Selama ini, hubungannya dengan Disa baik-baik saja. Memang mereka tidak begitu akrab belakangan ini. Itu pun karena Dira kuliah di luar kota dan jarang bertemu. Namun, apa maksud ucapan Alif dengan menuduhnya sebagai pembunuh Disa?“Aku nggak ngerti maksud ucapanmu, Mas. Aku nggak pernah melakukan seperti yang kamu tuduh.
“Ini ... apa maksudnya, Pa?” tanya Dira linglung.Ia tidak jadi masuk dan hanya berdiri diam di depan pintu. Hal yang sama dilakukan Alif. Pria itu hanya membisu dengan pandangan yang mulai tidak fokus.“Tadi polisi menelepon, mereka menemukan mobil Disa di jurang. Ia mengalami kecelakaan dan meninggal di TKP.”Dira tersentak kaget, dengan spontan menutup mulutnya. Rautnya memucat dengan bulir-bulir yang menggenang di pelupuk matanya.Sedangkan Alif hanya diam sambil menundukkan kepala. Bahunya merosot jatuh mendengar berita itu.“Maafkan Papa, Dira, Alif. Papa benar-benar tidak tahu apa yang menyebabkan Disa seperti ini. Maafkan Papa....”Fabian langsung menangis usai berkata seperti itu. Dira gegas memeluk pria paruh baya itu dan membawa masuk dalam pelukannya. Mereka berdua saling berbagi duka, berusaha menegarkan satu sama lain dalam tangis.Alif melipir menjauh dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak menduga wanita yang dia cintai akan meninggal dengan cara seperti ini. Bahkan Alif b
“Apa katamu?”Dira tidak menjawab hanya menundukkan kepala. Sedangkan Alif langsung merampas kertas yang diberikan Dira tadi. Alif terdiam saat membacanya. Ia tahu, itu memang tulisan tangan Disa. Di sana disebutkan jika Disa membatalkan pernikahannya dengan Alif.“Aku dan Papa menemukan surat itu di kamarnya beberapa jam sebelum pernikahan. Itu sebabnya Papa memintaku menggantikan posisi Disa. Namun, ini hanya sementara, Mas. Nanti kalau Disa sudah ditemukan, kalian bisa melanjutkan pernikahan dengan benar.”Alif hanya membisu, meremas kertas itu dengan wajah mengeras. Kemudian tanpa menoleh ke Dira, ia berkata dengan suara seperti menggeram marah.“Keluar!”Dira terkejut mendengar ucapan Alif. Ini sudah hampir tengah malam dan mereka sedang berada jauh dari keramaian.“Aku bilang keluar!” sergah Alif karena Dira tidak langsung merespon. "SEKARANG!"Dira menelan ludah sambil menatap nanar ke arah pria yang diliputi amarah itu. Sepertinya, Alif melihat reaksinya. Dia menoleh, menyip