Dira terpaku mendengar ucapan pria yang sudah resmi menjadi suaminya itu.
Namun, ia tidak melayangkan protes sedikit pun.
Percuma, Alif hanya akan semakin murka padanya.
“Baik, Mas,” ucap Dira akhirnya. Tidak ada ketakutan terlihat di wajah wanita cantik itu, apalagi kesedihan.
Malah kini matanya sudah menatap Alif yang berdiri di depannya.
Alif langsung melengos tanpa berkata sepatah pun. Namun, baru beberapa langkah dia sudah berhenti dan bersuara kembali.
“Aku lapar. Siapkan makanan!”
Dira mengangguk, kemudian langsung turun ke lantai satu. Dia ingat jika tadi melihat dapur sebelum naik ke lantai dua. Untung saja di kulkas banyak persediaan bahan makanan sehingga Dira bisa mengolah makanan dengan cepat.
Dira sudah terbiasa mandiri, jadi rasanya tidak kesulitan jika harus memasak dengan cepat.
Satu jam kemudian, mereka sudah makan malam bersama. Alif terlihat menikmati, tapi sama sekali tidak berkomentar apa pun tentang masakannya.
“Aku nggak suka makan di luar, jadi kamu harus selalu masak.”
Dira manggut-manggut mencerna kalimat Alif. Dia sudah sejak kecil mengenal Alif. Mertuanya sangat pintar memasak bahkan mempunyai sebuah kafe yang terkenal. Itu juga sebabnya Alif tidak pernah makan di luar rumah.
“Iya, Mas. Nanti aku usahain masak setiap hari.”
Alif tidak berkomentar. Ia menyudahi makannya dan pergi begitu saja meninggalkan Dira.
Selanjutnya Dira yang membersihkan semua bekas makan mereka.
Keesokan paginya, Alif bangun lebih dulu dan sudah berteriak memanggil Dira.
Dira tergopoh-gopoh datang dengan wajah berantakan. Dia sudah bangun sejak subuh, tapi karena banyak pekerjaan rumah yang harus ia selesaikan, ia belum siap.
“Iya, Mas. Ada apa?”
“Mana sarapanku? Kenapa nggak ada makanan di meja?”
Dira menelan ludah sambil melirik meja makan. Karena sibuk membersihkan rumah, ia lupa untuk menyiapkan sarapan pagi.
“Sebentar ya, Mas. Aku siapkan.”
Dira langsung berlari ke dapur dan terlihat sibuk mengolah makanan. Alif berdecak kesal sambil melirik jam di pergelangan tangannya.
“Kelamaan. Aku ada meeting pagi ini. Kamu mau aku terlambat?”
Dira terdiam, menghentikan gerakannya dan menoleh dengan bingung ke Alif.
Alif menyeringai, kemudian berjalan mendekat hingga berdiri sejajar di depannya.
“Ini pertama dan terakhir kamu melakukan kesalahan. Selanjutnya, aku tidak akan mentolerir.”
“I-iya, Mas.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, Alif langsung membalikkan badan dan berlalu pergi meninggalkan Dira.
Dira hanya diam sambil menatap punggung Alif yang menjauh. Helaan napas panjang pendek berulang keluar masuk dari bibirnya.
Sekarang Dira tahu kenapa Alif ingin melanjutkan pernikahan dengannya. Apa lagi kalau bukan karena ingin membalas sakit hatinya karena kehilangan Disa?
Bisa jadi juga tuduhan Alif padanya yang membuat pria itu ingin membalas dendam padanya.
Suara dering ponsel Dira membuyarkan lamunannya. Dira melihat ada nama papanya di layar.
“Iya, Pa?”
“Dira, jangan lupa untuk ngantor hari ini, ya? Sekalian Papa minta tolong kamu kontrol rumah sakit. Kemarin Papa dapat laporan tentang banyaknya keluhan pasien.”
Dira menarik napas panjang sambil mengangguk lesu.
Selama ini, yang mengontrol rumah sakit milik keluarganya adalah Disa. Dira hanya bertanggung jawab pada perusahaan peninggalan keluarga. Namun, sepeninggal Disa, sepertinya semua menjadi tanggung jawab Dira.
“Iya, Pa. Nanti Dira usahakan ke sana.”
Fabian sudah mengakhiri panggilan. Sementara Dira hanya diam sambil mengedarkan matanya ke penjuru rumah. Hanya lantai dua rumah ini yang sudah ia bersihkan, selainnya belum. Belum lagi tugas memasak dan pekerjaan rumah yang lainnya.
Dira berusaha tersenyum, lalu mengangkat tangannya ke udara sambil berseru nyaring.
“Semangat Dira!”
Beberapa jam kemudian, Dira sudah terlihat memimpin meeting di kantornya. Lalu menjelang sore, Dira mampir ke rumah sakit milik keluarganya.
Pukul setengah enam petang, Dira akhirnya pulang. Ia langsung membersihkan rumah dan menyiapkan makan malam untuk Alif.
Alif selalu datang on time pukul tujuh malam.
Mungkin sehari dua hari, Dira tidak mempermasalahkannya. Namun, sudah hampir sebulan Dira melakukan aktivitas seperti ini. Suatu hari, Dira sangat lelah. Aktivitasnya seharian ini begitu padat.
Begitu tiba di rumah, Dira langsung memasak menyiapkan makan malam untuk Alif. Setelahnya dia tampak mencuci alat masak dan beberapa alat makan.
Namun, karena tidak berhati-hati tangan Dira terlepas saat memegang gelas. Tak ayal gelas pecah dan pecahannya menggores pergelangan tangan Dira.
Dira terperangah kaget saat melihat darah keluar dari pergelangannya.
Gadis itu langsung terlihat panik, wajahnya pucat, kakinya gemetaran kemudian tak lama dia terjatuh pingsan.
Alif yang baru datang terkejut melihat keadaan rumah yang sepi.
“Dira!”
Alif terus memanggil hingga kakinya terhenti di area dapur. Ia melihat Dira tergeletak di lantai dan dari tangannya mengeluarkan banyak darah.
Tanpa bicara apa pun, Alif langsung menggendong Dira dan membawanya ke rumah sakit.
Selang beberapa saat, Dira membuka mata dan terkejut saat melihat sudah berada di rumah sakit. Ingatannya perlahan kembali bersamaan dengan matanya yang mengarah ke pergelangan tangan yang terbalut perban.
Dira menarik napas sambil memejamkan mata. Tanpa diketahui Alif, Dira mempunyai trauma jika melihat darah.
“Apa maksudnya ini?” Tiba-tiba suara Alif terdengar dari samping Dira.
Dira terkejut. Ia menoleh dan baru sadar jika ada Alif yang duduk di sampingnya.
“Kamu mau cari perhatianku?”
Dira tercengang. Mulutnya sudah terbuka siap memberi penjelasan.
“Enggak, Mas. Aku tadi—”
“Apa? Mau bunuh diri agar aku peduli padamu. Begitu?”
Dira menelan saliva sambil menggelengkan kepala. Selama ini Alif selalu menganggapnya seperti itu. Bahkan saat Dira terjatuh dari lantai dua rumahnya kala itu karena terpeleset, Alif mengira ia sedang mencari perhatiannya.
“Aku nggak seperti itu, Mas. Tadi—”
Alif berdecak dan membuat Dira menggantung kalimatnya. Mata mereka bertemu dan saling bersitegang.
Untuk beberapa saat hanya hening yang terasa. Hingga akhirnya Alif yang bersuara lebih dulu.
“Kenapa kamu nggak mati saja sekalian?”
Alif terlihat kesal. Ia bersungut-sungut sambil berjalan mendahului ayah dan bundanya. Widuri hanya mengulum senyum melihat ulah putranya.“Alif memang sering gak sabaran, Dira. Kamu harap maklumi, ya?”Dira hanya tersenyum meringis mendengar ucapan mertuanya.Selanjutnya mereka berempat sudah duduk di ruang makan, terlihat asyik menikmati makan malam. Alif dan Dira duduk bersebelahan dengan Widuri dan Emran duduk di depan mereka.“Hmm … ternyata benar kata Alif, masakanmu enak, Dira.”Lagi-lagi Widuri memuji Dira. Tentu saja Alif kesal apalagi namanya diikutsertakan.“Udah deh, Bun. Makan aja jangan pakai ngobrol.”Emran tersenyum mendengar ucapan Alif. Sepertinya putranya tidak mau menunjukkan perhatiannya ke Dira. Bisa jadi karena pernikahan mereka terjadi di luar prediksi membuat Alif belum bisa menunjukkan perasaannya.Emran memaklumi, dia juga pernah di posisi seperti ini sebelum
Dira terdiam usai mendengar kalimat Alif. Segitu bencinya Alif pada dirinya hingga menginginkan kematian Dira. Melihat Dira yang hanya diam saja, Alif langsung berdecak.“Nangis? Buruan kalau mau nangis. Sekalian ngadu ke papamu!”Bukannya menenangkan Dira, Alif malah mengintimidasinya. Namun, Dira hanya diam dan memilih memalingkan wajah dari Alif. Ia bahkan sudah tidur membelakangi Alif.“Aku ngantuk, mau tidur. Kalau Mas Alif mau pulang, pulang saja.”Alif jengkel mendengarnya, tapi dia juga tidak mau berdebat lagi. Tanpa berkata apa pun Alif berlalu pergi meninggalkan Dira. Dira meliriknya sekilas. Ia melihat suaminya sudah keluar dari ruangan.Dira menghela napas panjang sambil melihat pergelangan tangannya yang dibalut perban. Dia benar-benar ketakutan saat melihat darah dan selalu langsung pingsan seperti tadi.Hal ini terjadi usai Dira mengalami kecelakaan mobil. Saat SMA, Dira pernah mengalami kecelakaan mobil bersama mamanya. Dalam kecelakaan itu, mamanya langsung meningga
Dira terpaku mendengar ucapan pria yang sudah resmi menjadi suaminya itu.Namun, ia tidak melayangkan protes sedikit pun. Percuma, Alif hanya akan semakin murka padanya. “Baik, Mas,” ucap Dira akhirnya. Tidak ada ketakutan terlihat di wajah wanita cantik itu, apalagi kesedihan. Malah kini matanya sudah menatap Alif yang berdiri di depannya.Alif langsung melengos tanpa berkata sepatah pun. Namun, baru beberapa langkah dia sudah berhenti dan bersuara kembali.“Aku lapar. Siapkan makanan!”Dira mengangguk, kemudian langsung turun ke lantai satu. Dia ingat jika tadi melihat dapur sebelum naik ke lantai dua. Untung saja di kulkas banyak persediaan bahan makanan sehingga Dira bisa mengolah makanan dengan cepat.Dira sudah terbiasa mandiri, jadi rasanya tidak kesulitan jika harus memasak dengan cepat. Satu jam kemudian, mereka sudah makan malam bersama. Alif terlihat menikmati, tapi sama sekali tidak berkomentar apa pun tentang masakannya.“Aku nggak suka makan di luar, jadi kamu harus
Dira mematung mendengar kalimat pria itu. “A-apa maksud Mas Alif?" tanyanya gugup. Resah di wajahnya tak bisa disembunyikan. "Aku sama sekali tidak mau menikah dengan Mas.”Alif tersenyum miring mendengarnya. Ia lantas menunjukkan sebuah surat yang ia temukan di buku harian Disa.“Tidak mau katamu? Lalu apa maksudnya ini?”Dira terdiam, matanya melirik ke arah surat yang berada dalam genggaman Alif. Ia tidak tahu apa isinya dan ada hubungan apa dia dengan surat itu.“Kamu memang wanita licik! Teganya kamu lakukan semua ini ke Disa.”"Aku nggak ngerti—"“Kamu yang membunuh Disa, Dira! Kamu pelakunya!”Dira terhenyak. Ia sama sekali tidak paham dengan ucapan Alif. Selama ini, hubungannya dengan Disa baik-baik saja. Memang mereka tidak begitu akrab belakangan ini. Itu pun karena Dira kuliah di luar kota dan jarang bertemu. Namun, apa maksud ucapan Alif dengan menuduhnya sebagai pembunuh Disa?“Aku nggak ngerti maksud ucapanmu, Mas. Aku nggak pernah melakukan seperti yang kamu tuduh.
“Ini ... apa maksudnya, Pa?” tanya Dira linglung.Ia tidak jadi masuk dan hanya berdiri diam di depan pintu. Hal yang sama dilakukan Alif. Pria itu hanya membisu dengan pandangan yang mulai tidak fokus.“Tadi polisi menelepon, mereka menemukan mobil Disa di jurang. Ia mengalami kecelakaan dan meninggal di TKP.”Dira tersentak kaget, dengan spontan menutup mulutnya. Rautnya memucat dengan bulir-bulir yang menggenang di pelupuk matanya.Sedangkan Alif hanya diam sambil menundukkan kepala. Bahunya merosot jatuh mendengar berita itu.“Maafkan Papa, Dira, Alif. Papa benar-benar tidak tahu apa yang menyebabkan Disa seperti ini. Maafkan Papa....”Fabian langsung menangis usai berkata seperti itu. Dira gegas memeluk pria paruh baya itu dan membawa masuk dalam pelukannya. Mereka berdua saling berbagi duka, berusaha menegarkan satu sama lain dalam tangis.Alif melipir menjauh dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak menduga wanita yang dia cintai akan meninggal dengan cara seperti ini. Bahkan Alif b
“Apa katamu?”Dira tidak menjawab hanya menundukkan kepala. Sedangkan Alif langsung merampas kertas yang diberikan Dira tadi. Alif terdiam saat membacanya. Ia tahu, itu memang tulisan tangan Disa. Di sana disebutkan jika Disa membatalkan pernikahannya dengan Alif.“Aku dan Papa menemukan surat itu di kamarnya beberapa jam sebelum pernikahan. Itu sebabnya Papa memintaku menggantikan posisi Disa. Namun, ini hanya sementara, Mas. Nanti kalau Disa sudah ditemukan, kalian bisa melanjutkan pernikahan dengan benar.”Alif hanya membisu, meremas kertas itu dengan wajah mengeras. Kemudian tanpa menoleh ke Dira, ia berkata dengan suara seperti menggeram marah.“Keluar!”Dira terkejut mendengar ucapan Alif. Ini sudah hampir tengah malam dan mereka sedang berada jauh dari keramaian.“Aku bilang keluar!” sergah Alif karena Dira tidak langsung merespon. "SEKARANG!"Dira menelan ludah sambil menatap nanar ke arah pria yang diliputi amarah itu. Sepertinya, Alif melihat reaksinya. Dia menoleh, menyip