“Ini ... apa maksudnya, Pa?” tanya Dira linglung.
Ia tidak jadi masuk dan hanya berdiri diam di depan pintu.
Hal yang sama dilakukan Alif. Pria itu hanya membisu dengan pandangan yang mulai tidak fokus.
“Tadi polisi menelepon, mereka menemukan mobil Disa di jurang. Ia mengalami kecelakaan dan meninggal di TKP.”
Dira tersentak kaget, dengan spontan menutup mulutnya. Rautnya memucat dengan bulir-bulir yang menggenang di pelupuk matanya.
Sedangkan Alif hanya diam sambil menundukkan kepala. Bahunya merosot jatuh mendengar berita itu.
“Maafkan Papa, Dira, Alif. Papa benar-benar tidak tahu apa yang menyebabkan Disa seperti ini. Maafkan Papa....”
Fabian langsung menangis usai berkata seperti itu. Dira gegas memeluk pria paruh baya itu dan membawa masuk dalam pelukannya. Mereka berdua saling berbagi duka, berusaha menegarkan satu sama lain dalam tangis.
Alif melipir menjauh dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak menduga wanita yang dia cintai akan meninggal dengan cara seperti ini. Bahkan Alif belum sempat bertanya tentang kepergian Disa dari pernikahan mereka.
Namun, kini, ia ditinggalkan dengan duka yang menganga, sekaligus beribu tanya yang tak akan pernah menemu jawabnya.
**
Esok harinya, rumah keluarga Dira yang sebelumnya berhias ucapan selamat atas pernikahan Disa, kini berganti rangkaian karangan bunga duka cita.
Tamu hilir mudik berdatangan mengucapkan belasungkawa. Fabian tidak sanggup menemui mereka, hanya Dira yang menerima mereka dan bersikap tabah.
Alif yang terlihat paling sedih memilih menyendiri di kamar Disa. Ia duduk di atas kasur sambil mengedarkan pandangannya ke segala arah. Baru kali ini Alif masuk ke kamar Disa dan entah mengapa kesedihan semakin menusuk dadanya.
Sebuah ketukan menginterupsi lamunan Alif. Ia menoleh dan melihat Maura, yang tak lain saudara tiri Disa serta Dira, masuk sambil membawa makanan dan minuman untuknya.
“Aku lihat kamu belum makan dan minum seharian ini, Lif,” ujar Maura.
Alif tidak menjawab. Ia tidak lapar juga tidak haus. Untuk bangkit saja ia merasa tidak punya tenaga.
Maura lantas mendekat dan duduk di samping Alif sambil meletakkan baki makanan di atas nakas.
“Aku turut berduka dengan kepergian Disa, Lif. Aku juga tidak menduga dia akan pergi secepat ini.”
Tidak ada jawaban keluar dari bibir Alif. Ia sudah dihibur dengan banyak kalimat sejak tadi malam dan Alif sudah bosan mendengarnya.
“Disa anak yang baik. Bahkan dia sangat baik padaku dibanding Dira. Jujur, aku lebih nyaman bersamanya, Lif.”
Alif tidak berkomentar. Ia hanya ingin sendiri, tapi entah kenapa Alif sama sekali tidak bisa mengusir Maura.
“Beberapa minggu sebelum kalian menikah, aku sering melihat Dira dan Disa bertengkar.”
Mendengar ucapan itu, seketika Alif mendongakkan kepala dan melihat Maura dengan mata bertanya-tanya.
Maura hanya tersenyum pias.
“Aku bukannya mau mengadu domba, tapi memang seperti itu," ungkapnya sungkan. "Selama ini, Dira kuliah di luar kota dan aku pikir akan menetap di sana. Namun, dia tiba-tiba pulang. Sejak saat itu, mereka berdua sering berselisih paham. Tapi aku tidak tahu apa yang mereka ributkan.”
Itu adalah informasi baru. Alif belum pernah mendengarnya sebelum ini.
Alis pria itu mengernyit dengan tatapan penuh tanya. Namun, sepertinya Maura tidak berniat menjelaskan lebih lanjut.
“Aku keluar dulu, ya. Banyak tamu yang datang.”
Maura berpamitan, tapi entah mengapa tatapan wanita berambut merah itu seolah sedang tertuju ke meja belajar Disa. Alif mengarahkan pandangannya ke sana.
Di sana ada meja belajar yang tertata rapi buku Disa.
Alif bangkit, mendekat kemudian seolah mendapat insting ia membuka laci meja belajar itu.
Ia tampak terkejut saat menemukan buku harian Disa di sana.
Sejenak, ia meragu. Haruskah ia membukanya? Bagaimana jika ia menemukan hal yang tidak ia inginkan?
Namun, keraguan itu tidak bertahan lama. Alif merasa ia harus melakukan sesuatu.
Alif akhirnya membukanya. Ia hanya sekilas membaca tulisan Disa. Kebanyakan di sana menceritakan kebahagiaannya bersama Alif.
Hingga tangan Alif berhenti di sebuah halaman yang terdapat sepucuk surat. Alif langsung terperangah kaget usai membaca isinya.
Isi surat itu adalah sebuah ancaman agar Disa membatalkan pernikahannya dengan Alif.
Alif mengarahkan matanya ke bagian bawah dan di sana tertulis dengan jelas nama Dira.
“Jadi dugaanku benar,” lirih Alif dengan rahang mengeras.
Giginya bergemelatuk menahan amarah yang tadinya sudah redam, tapi kini kembali menguar bahkan berniat akan membalaskannya secepat mungkin.
Pukul lima sore, tamu sudah berangsur pulang. Pemakaman juga baru selesai dilakukan. Tinggal Dira yang tampak sibuk merapikan semuanya.
Dira melihat Alif sedang melamun di teras belakang. Ia pun menghampirinya.
“Mas Alif nggak pulang?” tanya Dira.
Alif menoleh.
Semilir angin sore membuat Dira semakin merinding. Entah mengapa, tatapan Alif padanya terasa penuh kebencian.
“Kenapa? Kamu mengusirku?”
Dira terdiam, menelan ludah sambil menggelengkan kepala.
“Enggak, Mas. Hanya saja, sejak semalam Mas belum beristirahat. Aku takut—”
“Heh," Alif mendengkus sinis, menyela ucapan Dira. "Jadi kamu sudah mulai perhatian padaku,” katanya dengan nada sarat akan sindiran.
Dira yang merasa serba salah, memilih mengatupkan rapat bibirnya. Bahkan dia sudah membalikkan badan bersiap pergi. Namun, Alif tiba-tiba memanggilnya, membuat Dira urung berlalu.
Dira menoleh dan melihat pria tampan itu sedang menatapnya dengan tajam, membuatnya menggigil ketakutan.
Alif berjalan mendekat dan berdiri begitu dekat di depan Dira.
Dengan suara berat dan dinginnya, Alif berkata, “Empat puluh hari dari sekarang, kita akan mengulang pernikahan. Aku akan menikahimu dengan benar, Dira!”
Dira membeku sambil berulang menelan saliva. Matanya terdiam pada satu titik menatap mata pekat nan tajam milik pria tampan di depannya. Ia tidak salah dengar, kan? Namun, kenapa Alif tiba-tiba berkata seperti itu?Alif tersenyum, kemudian sudah mendaratkan beberapa kecupan di belakang telinga Dira. Dira bergidik dan bergerak mundur mendorong tubuh suaminya.Namun, sepertinya Alif tidak mau melepaskan begitu saja. Tangannya dengan lincah merambah masuk ke balik blus Dira. Dira hanya mendesah saat tangan suaminya dengan lihai memainkan gunung kembarnya.“Bukannya aku sudah bilang, hukumanmu tidak hanya semalam. Hmm … .”Dira terdiam, tapi bibirnya dengan pelan mendesah tak beraturan. Alif tersenyum melihat reaksinya.Sekali tarik semua kancing blus milik Dira berhamburan ke kasur menyisakan bra merah yang kontras dengan kulit putihnya. Dira menunduk dan berusaha menutupinya, tapi usahanya sia-sia.Alif langsung menerjang, menindih dan membiarkan kepalanya terbenam di dada Dira. Suara le
Dira memundurkan wajahnya dan terdiam menatap Alif. Mata kecilnya mengawasi pria tampan yang berdiri sangat dekat di depannya.Secara bersamaan Alif malah mencondongkan wajahnya hingga bibirnya menyentuh bibir Dira.Dira terdiam, matanya membola tapi sama sekali tak berani menatap pria tampan di depannya. Ia terus menunduk sambil mengatur jantungnya yang berdetak semakin cepat.“Mas … mau apa?”Akhirnya Dira memberanikan diri bertanya meski dengan napas tersenggal. Tidak ada jawaban dari Alif, malah yang ada pria itu mempererat pelukannya.Kemudian tanpa izin, Alif langsung mencium bibir Dira. Sama seperti kemarin malam, ciumannya begitu kuat, penuh tuntutan, tapi juga sarat kelembutan.Kacau balau hati Dira beradu dalam dilema antara menolak atau menikmati semua sentuhannya. Kenapa tiba-tiba Alif berubah? Kenapa tiba-tiba dia begitu menginginkannya?Tunggu dulu … apa benar pria ini menginginkannya atau hanya
Alif tidak berkomentar, hanya diam dengan jakun yang terus bergerak semakin cepat.Untuk apa Dira kecewa? Untuk apa juga mengharapkan kehadirannya?Bukankah Dira sudah tidak mencintainya. Dia kekasih Rayhan dan akan menikah dengan Rayhan nantinya. Semua yang Alif lakukan semalam adalah hukuman untuknya. Hukuman karena Dira sudah berbohong padanya soal kehamilan itu.“Apa ada yang perlu ditanyakan lagi, Pak? Mengenai Bu Dira, mungkin.”Suara Firman terdengar menginterupsi lamunan Alif. Alif meliriknya dengan tajam dan membuat Firman ketakutan. Sepertinya dia sudah salah ngomong.“Tidak ada. Pergilah!!”Firman mengangguk, kemudian sudah berjalan dengan teratur keluar ruangan Alif. Ia tidak mau mengubah suasana hati Alif yang membaik menjadi kacau.Tadi pagi, Firman sangat terkejut saat Alif datang ke kantor dengan senyum lebar dan mata berbinar. Belum lagi penampilan Alif yang terlihat beda. Rambutnya setengah ba
“Ibu sudah bangun?”Sebuah sapaan dari Firman mengejutkan Dira yang baru saja keluar dari kamar. Dira mengangguk sambil tersenyum sekilas.Firman langsung bangkit dan berjalan menghampiri Dira.“Bapak ada meeting dengan klien pagi ini, jadi tidak bisa menemani Ibu.”Dira tidak menjawab hanya diam mendengarkan. Entah mengapa Firman terus menunduk tidak berani menatapnya, seolah sedang menghindar dari melihat sesuatu. Apa mungkin ada yang salah pada Dira?“Saya diminta Bapak menyiapkan keperluan Ibu hari ini dan semuanya sudah tertata rapi di sini.”Firman langsung menyerahkan sebuah paper bag ke Dira dengan kepala menunduk sama seperti saat dia berbicara dengan Dira.“Mobil Ibu sudah terparkir di bawah dan ini kuncinya.”Seingat Dira kemarin ia meninggalkan mobilnya di rumah sakit. Alif begitu marah padanya dan langsung menariknya pulang ke apartemen. Rupanya Alif sudah menyuruh Fi
Dira belum menjawab, hanya mata kecilnya yang tampak menantang Alif penuh keberanian.Dira tidak mau membuat Rayhan dalam kesulitan. Alif pasti akan semakin murka jika tahu Rayhan bekerja sama dengannya melakukan kebohongan ini.“Dia … dia memang kekasihku.”Akhirnya Dira memilih kalimat itu untuk menyelamatkan Rayhan. Alif terlihat terkejut, tapi sebisa mungkin ia menutupinya.“Dia sangat baik dan mana mungkin berani melewati batasan kami. Aku minta maaf, Mas. Tolong, jangan libatkan Kak Rayhan dalam hal ini.”Alif tidak bereaksi hanya diam membisu sambil melihat Dira dengan sudut matanya.“Jadi benar, kamu memang akan berencana menikah dengannya?”Dira mengangguk tanpa ragu. Ia berharap, usai mendengar alasannya, Alif akan melepaskannya. Dira hanya ingin semua urusannya dengan Alif segera selesai dan bisa tuntas tanpa menyulitkan siapa pun.“Kamu menyesal menikah denganku, Dira
“Mas Alif … ,” cicit Dira.Suaranya hampir tidak keluar saat melihat suaminya telah berdiri tegak di depannya. Alif hanya diam dan sama seperti tadi tatapannya menghunus tajam ke Dira.Dira menelan saliva sambil berusaha menenangkan hatinya. Ia berharap Alif tidak mendengar semua pembicaraannya dengan Rayhan tadi. Dira berharap Alif baru saja datang, itu saja yang ia minta.“Eng … Ayah dan Bunda mana, Mas?”Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya Dira berani bersuara dan kali ini mengalihkan topik pembicaraan.“Kenapa? Kamu ingin Ayah dan Bunda tahu tentang kebohonganmu?”Sontak mata kecil Dira melebar usai mendengar kalimat Alif. Ternyata harapannya tidak terwujud. Pria ini sudah mendengar pembicaraannya dengan Rayhan tadi.“Mas … aku … aku bisa jelasin semuanya.”Dira bersuara dan nada suaranya terdengar bergetar. Alif tidak berkomentar, hanya diam de