Dua hari sudah masa Alif mengurung Dira. Pagi itu, Alif membuka kamar Dira dan melihat istrinya masih terlelap di kasur.
Alif berdiri diam sambil mengamatinya dari depan pintu. Ini bukan pertama kali Alif melihatnya tertidur, tapi entah mengapa hal itu membuat Alif tenang.
Gerakan tubuh Dira yang teratur dengan dengkur lembutnya benar-benar membuat Alif bergeming di tempatnya. Entah berapa lama ia berdiri diam hingga tiba-tiba sosok dalam selimut itu bergerak dan membuka mata.
Alif buru-buru membalikkan badan dan bersiap keluar. Namun, suara Dira lebih dulu terdengar sebelum Alif berlalu pergi.
“Apa aku sudah boleh keluar rumah sekarang?”
Suara serak Dira ciri khas bangun tidurnya menguar di belakang Alif. Tidak ada jawaban dari Alif, tapi kepalanya sudah mengangguk.
Dira tersenyum, kemudian bangkit dari kasur dan berjalan menghampiri Alif. Ia langsung berdiri di depan Alif sambil mengangsurkan tangan.
Rambutnya yang acak-
Dira duduk diam di atas kasur sambil sibuk mengirim pesan ke Dokter Rani. Ia sudah membuat janji untuk bertemu dengannya esok pagi. Dira tidak mau terus sakit, banyak hal yang harus ia selesaikan.Untung saja besok Alif keluar kota sehingga Dira punya banyak waktu untuk konsultasi mengenai penyakitnya. Usai bertemu dengan Alif tadi siang, Dira langsung tidur dan terbangun saat hari sudah gelap.Baru saja Dira meletakkan ponselnya, tiba-tiba kini berdering kembali. Dira melihat ada nama Widuri di layar ponselnya.“Bunda … ,” gumam Dira. Tanpa diminta percakapan Alif dan bundanya tadi siang terngiang di telinga Dira.“Jangan-jangan Bunda mau tanya mengenai kehamilanku. Aku harus bagaimana?”Dira belum menjawab panggilannya, tapi matanya terus tertuju ke layar ponsel. Setelah beberapa saat, Dira memberanikan diri untuk menjawab panggilannya.“Assalamualaikum, Bunda.”“Waalaikumsalam, Dira.
Mata Dira kembali membola seolah hendak keluar dari tempatnya. Tidak hanya itu saja, mulutnya sudah terbuka lebar. Refleks, Dira langsung menutup mulutnya. Ia tidak mau suaranya terdengar oleh Alif.“Aku gak tahu, Bunda. Dira sedang tidur sekarang.”Suara Alif kembali terdengar dan Dira semakin merapatkan tubuhnya ke pembatas ruang. Ia tidak pernah tahu jika Alif akan menghubungi ibunya dan membahas tentang kehamilan palsunya ini.“Dia muntah terus tadi. Makanya sekarang tidur. Nanti kalau sudah bangun, aku tanyain.”Lagi-lagi Dira mendengar suara Alif dengan nada yang lembut dan penuh perhatian, tidak seperti yang sering ia dengar selama ini.Apa mungkin suaminya telah berubah usai dia dinyatakan hamil, meski palsu? Mungkin sebaiknya Dira menanyakan hal ini ke Rayhan. Dira yakin Rayhan yang mengatakan berita bohong ini pada Alif.“Ya sudah, nanti aku telepon Bunda lagi.”Akhirnya Alif sudah mengakh
Alif terdiam, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Namun, Dira melihat tatapan pria tampan itu penuh dengan amarah.“Aku akan menyerahkan anak ini untukmu dan tidak meminta hak walinya. Asal kamu mau ceraikan aku.”Dira menambahkan kalimatnya dan membuat Alif semakin tercengang.“Bukankah kamu hanya menginginkan anak, tapi tidak menginginkanku. Jadi biarkan aku pergi usai memenuhi permintaanmu.”Untuk beberapa saat hanya hening yang terasa. Dua insan beda jenis itu saling pandang dengan benak yang tidak sejalan. Kemudian perlahan Alif menganggukkan kepala.“Deal.”Seketika Dira tersenyum lebar saat mendengar jawaban Alif. Ia tidak tahu dari mana ia akan mendapatkan anak untuk Alif. Ia tidak sedang hamil, tapi Dira juga tidak mau menjelaskan.Anggap saja ini rencana Tuhan agar dia bisa lepas dari pria berengsek ini. Selanjutnya Dira akan pura-pura hamil saja dan nanti jika mendekati
Dira tertegun mendengar pertanyaan Alif. Bukannya menanyakan kabar tentang Dira, Alif malah bertanya tentang ayah bayi. Memangnya bayi siapa yang ia maksud? Apa Alif berpikir jika Dira hamil?Memangnya siapa yang memberi tahu Alif berita bohong itu? Apa Rayhan?“Kamu tidak ingin menjawabnya?”Kembali kalimat tanya menguar dari bibir Alif. Dira menelan saliva dengan mata yang menatap lekat pria tampan di depannya ini.Apa ini alasan Alif mau datang ke sini? Karena dia berpikir Dira sedang hamil?Dira menarik napas panjang sambil mengangkat dagu menantang Alif.“Kenapa kamu tiba-tiba ingin tahu? Bukankah sebelumnya kamu yang memintaku hamil, dengan pria mana pun tak masalah.”Alif membisu, bibirnya terkatup, tapi Dira bisa melihat jelas ada yang berbeda dengan manik pekat itu. Seakan sedang menyembunyikan perasaannya dan baru kali ini Dira tidak bisa menebaknya.“Baik. Terserah kamu.”Al
“Ha--mil?”Alif mengulang kalimat Rayhan. Suaranya tercekat di tenggorokan saat mengatakannya. Rayhan yang di seberang sana tampak mengangguk, sayangnya Alif tidak bisa melihat reaksinya.“Iya, tadi dia tiba-tiba pusing, mual dan langsung pingsan.”Tidak ada satu kata pun yang terucap dari bibir Alif, tapi yang dikatakan Rayhan tadi adalah ciri-ciri ibu hamil. Rayhan seorang dokter kandungan sama seperti ayahnya, tentu saja Alif langsung percaya dengan ucapannya.Hanya saja, kali ini Rayhan sengaja mengatakan hal itu agar Alif gegas menemani Dira. Ia harus praktek dan tidak tega meninggalkan Dira seorang diri.Alif masih terdiam dan sibuk dengan benaknya. Fakta tentang kehamilan Dira benar-benar membuatnya terkejut.Kalau Dira hamil, apa itu artinya dia segera punya anak? Bukankah ini yang diinginkan Alif. Hanya saja, tanpa sadar ada satu bagian hatinya yang terluka tanpa sebab.“Kalian kan sudah menikah hampir satu tahun. Wajar dong jika Dira hamil.”Suara Rayhan kembali membuyarkan l
Alif tampak terkejut mendapat pertanyaan seperti ini. Ia pikir hanya Dira saja yang salah paham soal kedekatannya dengan Maura. Kini kenapa awak media ikut-ikutan bersikap seperti ini.Akan sangat berbahaya jika sampai kabar ini terdengar oleh keluarganya. Banyak yang telah ia pertaruhkan untuk mendapatkan semua ini dan Alif tidak mau kehilangan begitu saja.Alif tersenyum, bersikap sangat tenang menanggapi mereka.“Anda bilang kabar burung, kan? Jadi selamanya kabar itu hanya gosip belaka.”“Kalau soal istri saya, dia juga wanita karir dan sama sibuknya seperti saya. Tidak mungkin dia menyertai saya selama 24 jam, bukan?”Para awak media tampak puas sambil berulang menganggukkan kepala. Sementara Alif sudah membalikkan badan dan berlalu pergi. Banyak tamu yang harus ia temui malam ini.Tak jauh dari tempat Alif berada, tampak Maura sedang mengulum senyum sambil memperhatikannya. Sesekali Maura menatap cincin bertahta