Dira terdiam usai mendengar kalimat Alif. Segitu bencinya Alif pada dirinya hingga menginginkan kematian Dira. Melihat Dira yang hanya diam saja, Alif langsung berdecak.
“Nangis? Buruan kalau mau nangis. Sekalian ngadu ke papamu!”
Bukannya menenangkan Dira, Alif malah mengintimidasinya. Namun, Dira hanya diam dan memilih memalingkan wajah dari Alif. Ia bahkan sudah tidur membelakangi Alif.
“Aku ngantuk, mau tidur. Kalau Mas Alif mau pulang, pulang saja.”
Alif jengkel mendengarnya, tapi dia juga tidak mau berdebat lagi. Tanpa berkata apa pun Alif berlalu pergi meninggalkan Dira.
Dira meliriknya sekilas. Ia melihat suaminya sudah keluar dari ruangan.
Dira menghela napas panjang sambil melihat pergelangan tangannya yang dibalut perban. Dia benar-benar ketakutan saat melihat darah dan selalu langsung pingsan seperti tadi.
Hal ini terjadi usai Dira mengalami kecelakaan mobil. Saat SMA, Dira pernah mengalami kecelakaan mobil bersama mamanya.
Dalam kecelakaan itu, mamanya langsung meninggal sedangkan Dira selamat tanpa mengalami luka parah sedikit pun.
Masih diingat Dira darah yang keluar begitu banyak dari tubuh mamanya. Ia ketakutan, histeris dan sejak saat itu Dira selalu trauma setiap melihat darah. Sayangnya, Alif tidak tahu tentang hal ini.
“Ah … mana mungkin aku jelaskan hal ini pada Mas Alif. Yang ada nanti aku dituduh menarik perhatiannya,” gumam Dira.
Dira tidak ambil pusing dengan kejadian hari ini. Malah dia sedikit senang. Dengan begitu, dia tidak perlu sibuk mengerjakan pekerjaan rumah dan bisa bangun lebih siang.
Namun, sepertinya dugaan Dira salah. Buktinya pagi sekali Alif sudah datang ke rumah sakit bahkan saat Dira masih terlelap.
“Bangun!”
Suara Alif menginterupsi mimpi Dira. Perlahan ia membuka mata dan terdiam beberapa saat melihat Alif sudah berdiri di depannya. Pria tampan dengan rahang yang tegas, hidung mancung dan rambutnya yang setengah basah merupakan pemandangan terindah bagi Dira.
Sayangnya bukan senyum manis yang menyambut Dira, malah tatapan penuh amarah milik sepasang mata elang itu.
“Kamu nggak terluka parah, kenapa harus berlama-lama di rumah sakit? Bangun.”
Dira menurut. Ia gegas bangun dan duduk di atas brankar. Alif hanya berdiri diam tidak jauh dari tempat Dira.
“Hari ini Ayah dan Bunda mau ke rumah.” Alif membuka pembicaraan.
Dira hanya diam menelan ludah. Sekarang dia tahu kenapa suaminya datang sepagi ini untuk menemuinya.
“Aku mau kamu membersihkan rumah dan menyiapkan makan malam.”
Dira hanya mengangguk lesu mendengar perintah Alif. Padahal dia sudah berinisiatif untuk istirahat sepanjang siang ini. Kini sepertinya akan batal keinginannya itu.
“Mereka datang nanti sore. Aku jemput sekalian pulang kantor.”
“Iya, Mas.”
Alif tidak menjawab bahkan tidak melihat ke arah Dira sedikit pun. Ia langsung membalikkan badan dan berlalu pergi begitu saja.
Beberapa saat kemudian, Dira terlihat sudah meninggalkan rumah sakit. Ia langsung menelepon asistennya dan meminta menghandle kerjaannya seharian ini. Sementara Dira memilih membersihkan setiap sudut rumah.
Pukul enam sore, semua pekerjaan rumah termasuk memasak sudah selesai. Bahkan Dira juga sudah bersiap menyambut mertuanya datang. Setengah jam kemudian Dira mendengar suara mobil berhenti di depan rumah. Ia bergegas keluar.
“Selamat sore, Om, Tante,” sambut Dira dengan senyum manisnya.
“Loh, kok masih manggil Tante. Manggil Bunda saja, Dira sama kayak Alif,” ucap Widuri.
Dira tersenyum sambil menganggukkan kepala. Wanita berhijab dengan wajah teduh itu tampak menatap Dira dengan penuh cinta. Dira sudah mengenal Widuri dan Emran sejak masih kecil. Dan sikap mereka padanya tidak pernah berubah sedikit pun.
“Kabarmu gimana? Apa Alif tidak menyusahkanmu, Dira?” Kini Emran yang bertanya.
Dira tersenyum sambil menggeleng. Wajah Emran sebelas dua belas dengan Alif, hanya dibedakan dengan usia saja. Semua orang juga bilang kalau Alif bentuk mini ayahnya saat kecil dulu.
“Bunda dan Ayah mau langsung makan atau istirahat dulu?” tawar Dira.
“Hmm … kalau langsung makan, boleh, kan? Alif bilang masakanmu enak.”
Dira langsung terdiam saat Widuri berkata seperti itu. Apa benar Alif yang berkata seperti itu? Padahal selama ini Alif tidak pernah memujinya. Ya … meskipun dia tidak pernah komplain dengan masakannya.
Dira melirik Alif sekilas, tapi pria itu malah memalingkan wajah begitu saja. Rasanya tidak mungkin kalau Alif yang mengatakannya.
“Eng … boleh, Bunda. Silakan, Dira sudah siapkan, kok.”
Widuri dan Emran mengangguk. Mereka melangkah lebih dulu masuk ke dalam rumah, kemudian disusul Alif yang berjalan di belakang sambil membawa travel bag mereka, dilanjut Dira.
Namun, baru beberapa langkah Alif sudah menghentikan langkah dan menoleh ke Dira. Dira yang berjalan dengan menunduk tak ayal langsung menabrak Alif.
Dia terkejut setengah mati. Kini Dira mengangkat kepala sambil menatap Alif dengan bingung.
“Aku nggak pernah ngomong kayak gitu. Itu hanya basa-basi Bunda,” katanya dengan nada sinis.
Dira mengangguk. “Iya, aku tahu kok, Mas.”
Alif terlihat masih kesal dan siap bersuara lagi, tapi tiba-tiba Emran sudah berseru di belakangnya.
“Sudah, nanti di kamar saja dilanjut. Ayah dan Bunda lapar, Alif.”
Pukul sembilan malam saat Dira dan Alif tiba di rumah. Mereka pulang sedikit terlambat karena harus mengurusi beberapa hal di rumah sakit.Malam ini, Bi Rahmi diminta Dira untuk menjaga Fabian di rumah sakit. Semoga saja besok keadaan Fabian sudah lebih baik sehingga bisa pulang cepat.“Hufft … .”Dira mendesah sambil membaringkan tubuhnya di kasur. Seharian ini, dia hampir tidak beristirahat dan merasa lelah. Usai membersihkan diri, Dira langsung naik ke atas kasur.Sementara Alif tampak sibuk menelepon sedari tadi. Dari yang didengar Dira, Alif sibuk berbincang dengan Firman, Rendy dan juga kedua orang tuanya. Sepertinya ia menceritakan apa yang baru saja mereka alami hari ini.Tak berapa lama, Alif meletakkan ponselnya di nakas kemudian naik ke kasur dan berbaring di sebelah Dira.“Capek?” tanya Alif.Dira tidak menjawab hanya tersenyum meringis sambil mengangguk. Tanpa diperintah tangan Alif langsung
“Kamu punya, Sayang?” tanya Alif dengan kedua alis terangkat.Dira mengangguk, kemudian mengeluarkan ponselnya dari saku jasnya.“Iya, tadi saat melihat surat yang kita temukan. Aku mau mengambil fotonya, tapi keburu Tante Mery datang.”“Selain itu, kamu menyuruhku berdiri, kan?” Alif mengangguk, “untung aku sudah membuka kamera dan langsung menekan tombol rekam lalu menyimpan di saku jas. Jadi secara tak sengaja, aku merekam semua ucapan Tante Mery di kamar tadi.”Sontak Alif tersenyum lebar. Hal yang sama juga terlihat oleh Rendy. Selanjutnya Dira sudah menyerahkan ponselnya ke Rendy.Rendy langsung memutar rekaman yang dimaksud Dira. Tak ayal semua percakapan di kamar tadi terdengar dengan jelas di rekaman tersebut.“Anak pintar!!” puji Alif sambil mengelus kepala Dira.Dira hanya meringis mendengar ucapan Alif.“Oh ya, apa menurutmu Maura tahu tentang hal ini
PRANG!!Suara kaca pecah disertai serpihannya yang berhamburan ke lantai. Dira sudah merunduk bersimpuh di lantai sambil memegangi kepalanya. Sedangkan Alif meringsek menyergap Mery hingga tak bergerak.Usai menendang tangan Mery, pistolnya meletus dan mengenai cermin rias di kamar. Saat lengah, Alif langsung menangkap tangan Mery dan melintir ke belakang tubuhnya.Mery mendengkus kesal sambil melihat Alif dengan penuh amarah.“Ini belum berakhir. Ini belum berakhir. Maura akan melanjutkan rencanaku,” geram Mery.“Iya, sampaikan saja semua rencana Tante ke polisi,” ucap Alif.BRAK!!!Di saat bersamaan pintu terbuka dan tampak Rendy dengan beberapa orang anggota polisi menerobos masuk ke dalam kamar.“Lif, apa semua baik-baik saja?” tanya Rendy.Alif hanya mengangguk sambil menatap bingung. Kemudian Alif menjelaskan apa yang terjadi ke Rendy. Rendy mengerti dan segera meminta petugas po
“TANTE MERY!!!”Alif langsung menarik Dira untuk bangkit dari lantai. Mery tersenyum sambil mengangguk, berjalan perlahan mendekat ke arah mereka berdua. Entah mengapa salah satu tangannya bersembunyi di belakang seolah sedang menyimpan sesuatu.“Tante yang memalsukan semua surat itu?” tanya Dira.Tidak ada jawaban dari Mery, hanya sebuah senyum aneh.“Iya. Aku yang melakukannya. Asal kamu tahu, aku punya keahlian ini sejak kecil.”“Aku bisa meniru semua tulisan dengan cepat. Itu juga sebabnya aku bisa memalsukan surat wasiat dari mamamu.”Dira mengernyitkan alis dan terlihat bingung. Ia tidak ingat jika Luna meninggalkan surat wasiat.“Aku sengaja menulis agar Fabian menikah denganku atas nama Luna.”Dira sontak tercengang kaget. Pantas saja neneknya sangat bersikeras membujuk ayahnya untuk menikahi Mery saat itu. Bahkan Fabian tidak bisa menolak sedikit pun. Ternyata
“Kamu gak punya kunci serepnya?” tanya Alif.Dira terdiam sejenak. Ia ingat papanya mempunyai kunci serep semua ruangan di rumah ini dan menyimpannya di ruang kerja.Dira berjalan menuju ruang kerja Fabian. Masuk dengan tergesa kemudian langsung membuka laci meja kerja Fabian. Dira tersenyum lebar saat menemukan kunci yang ia maksud.“Papa tidak memindahkan tempatnya,” gumam Dira.Mereka kembali berjalan menuju kamar dan membukanya. Dira dan Alif tampak terkejut melihat kamar yang terlihat rapi. Seolah tidak pernah ada peristiwa yang mengejutkan di sini.Harusnya kalau Mery melihat Fabian pingsan di lantai. Ia pasti panik, kemudian langsung menelepon ambulan. Ia pasti sibuk mengurus Fabian dan mengabaikan keadaan kamar, tidak serapi ini.Alif menoleh ke Dira sambil mengulum senyum.“Ada yang aneh.” Dira mengangguk, mengiyakan ucapan Alif.Ia tidak menanggapi dan memilih bergerak memeriksa sem
“Bukannya Om Fabian baru saja pulang kemarin?” tanya Alif.Dira mengangguk di seberang sana dengan mata berkaca. Ia sendiri tidak tahu mengapa tiba-tiba mendapat kabar seperti ini. Padahal Dira sudah berkonsultasi dengan dokter yang menangani.“Aku sendiri gak tahu. Tante Mery yang menelepon tadi dan beliau juga terkejut.”“Terus dimana sekarang?”“Tante Mery sudah membawanya ke rumah sakit. Aku sedang perjalanan ke sana.”Alif sontak terkejut mendengar tambahan kalimat Dira. Ia ingin marah dan sedikit kesal dengan sikap istrinya. Harusnya Dira memberitahunya dulu, menunggunya pulang baru berangkat bersama ke rumah sakit.“Mas … .”Panggilan Dira menginterupsi lamunan Alif. Alif mendengkus. Rasanya marah pun percuma.“Iya, aku otw ke sana. Hati-hati nyetirnya!!”Dira tersenyum ringan sambil mengangguk. Kemudian tak lama ia sudah mengakhiri pan