Selama perjalanan pulang, Hana memberi peringatan kepada Rendi agar tidak memberitahukan perihal dirinya yang pergi ke dokter lain.
"Ren, kamu harus laporkan apa saja yang dilihat atau didengar selama menjadi sopir Kalila. Bila perlu, rekam semua itu."
"Baik, Nyonya."
Sang wanita melihat jalanan dari kaca mobil. Mengingat pembicaraan Kalila dan Aji tempo hari, membuat Hana benar-benar murka.
Namun, sampai detik ini dia belum bisa mengungkapkan kebusukan mereka.
Setelah sampai rumah, Hana melihat Kalila sudah pulang. Adiknya itu tampak bingung bercampur kaget saat melihat Hana pulang bersama Rendi.
Pasalnya, wanita itu tak tahu jika sang Kakak keluar. Saat dia pulang kuliah, tak mendapati Hana. Kala bertanya pada Bi Asih, wanita yang hampir sepuh itu malah mengatakan tidak tahu.
Memang sebelumnya Rendi mengantarkan Kalila kuliah, setelah itu barulah menjemput Hana untuk pergi ke rumah sakit.
"Ya Tuhan, Kak. Kakak dari mana saja? Aku nyariin, loh," ujar Kalila, menghampiri Hana yang baru saja duduk di kursi roda.
Dalam hati Hana merutuk, melihat gelagat adiknya yang pandai berakting.
"Iya, aku tadi keluar sebentar."
"Ke mana?" Kalila menyelidik, sembari menyipitkan mata.
Hana diam sejenak, menelisik raut wajah adiknya yang tampak penasaran. Di saat seperti ini, Hana merasa puas. Meskipun hanya mambuat Kalila penasaran dan uring-uringan. Pasti wanita itu sudah berpikiran macam-macam.
"Kakak ke mana? Kok gak jawab?"
Benar saja. Kalila menunggu alasan yang diberikan oleh Hana.
Hana berusaha tersenyum sebaik mungkin. Ya, senyuman yang biasa diberikan pada Kalila.
"Aku hanya jalan-jalan sekitaran komplek saja. Bosan kalau tiap hari di rumah," ungkap Hana.
Kalila terlihat tersenyum lega. "Oh, oku kira ke mana. Lagian, kenapa Kakak enggak bilang sama aku? Biasanya juga bilang dulu."
Kalila pasti merasa aneh dengan gelagat kakaknya. Bagaimana tidak? Selama Kalila tinggal di rumah ini dan Hana jatuh sakit, tak pernah sekalipun Hana keluar rumah untuk jalan-jalan.
"Ya, masa cuma jalan-jalan disekitar sini harus bilang? Lagian, kamu kan kuliah. Aku takut ganggu. Aku juga gak lama, makanya pakai mobil," ungkap Hana.
Wanita itu pun memilih untuk masuk ke rumah. Membiarkan Kalila bergelut dengan pemikirannya sendiri.
***
"Mas, aku gak mau pakai sopir!" seru Kalila dengan nada merajuk.
Aji yang tengah duduk di kursi kerjanya pun berdiri menghampiri wanita itu. Mengusap pelan pipi Kalila.
"Ya, kamu harus mau, Kal."
"Ih, kok gitu, sih? Kalau aku sama si Rendi terus, kapan kita berduaannya?!" protes Kalila.
Aji pusing jika menghadapi Kalila yang seperti ini. Pembicaraan mereka sedang disadap dan diawasi oleh Hana dari kamarnya.
Setelah makan malam. Hana pamitan untuk istirahat. Tidak lupa Kalila memberikan obat untuk sang Kakak. Tetapi, seperti biasa Hana akan membuangnya setelah Kalila pergi.
"Dengar, kalau kamu menolak, Hana akan curiga. Lagian, dia kan cuma nganterin kamu kuliah dan pulang. Kalau misal mau berduaan, kita bisa keluar malam, waktu Hana sudah tidur."
Wajah Kalila terkejut, tapi tak lama kemudian seringainya terlihat juga. "Kamu benar, Mas. Kenapa aku gak kepikiran ke sana, ya?"
Aji terkekeh sembari mengusap surai hitam milik Kalila. Hana yang mendengar itu hanya bisa mengigit bibir bawahnya sembari menahan air mata.
"Kurang ajar, kalian! Benar-benar binatang!" rutuk Hana, pelan tapi penuh penekanan.
Tidak sampai di situ saja. Hana harus menelan duri kesakitan kala melihat Aji dan Kalila melakukan hal tak senonoh di ruang kerja itu.
Kali ini, air mata Hana benar-benar luruh. Hatinya bukan hanya hancur, tapi juga hangus terbakar.
"Iblis!"
***
Beberapa minggu kemudian, sebuah video tak senonoh tersebar di internet. Sebuah akun anonim yang menyebarkan itu.
Kalila dan Aji sangat kaget saat mengetahui kalau pemeran dalam video itu adalah mereka.
Orang-orang yang mengenal keduanya pun mulai mencemooh, bahkan ada yang memaki.
Kalila yang begitu terkenal di kampus pun mulai mendapat imbas dari masalah ini. Hingga akhirnya dia pun menemui Aji di kantornya untuk memecahkan masalah ini.
Saat Kalila masuk ke kantor Aji, pegawai di sana banyak yang menatap benci dan jijik. Bahkan ada yang berani menyindir wanita itu.
"Gila, ya! Ada adik yang kaya gitu. Selingkuh sama iparnya sendiri. Benar-benar wanita jalang!"
"Iya, benar! Bukannya berterima kasih, malah menusuk dari belakang. Murahan!"
Banyak lagi selentingan-selentingan yang membuat telinga Hana panas. Inginnya Kalila melawan mereka. Tetapi, mengingat ini kantor Aji, dia pun tak berani dan memilih untuk membiarkan saja.
***
"Apa yang kamu lakukan di sini?!" tanya Aji, tampak marah.
Kalila kaget mendengarnya. "Loh, kok kamu marah sih, Mas?! Aku ke sini itu buat nyelesaikan masalah kita!" seru Kalila, ikut kesal.
Aji mendengkus kesal. Dia mengguyar kepalanya, wajahnya juga terlihat stres.
"Hancur, Kal! Semua akan hancur karena video sialan itu! Lagian, video itu siapa yang merekam?!" tanya Aji, gusar.
Kalila duduk. Dia juga terlihat tak tenang. Padahal, rencananya dia akan ikut seleksi model bulan depan. Tetapi, malah ada skandal seperti ini.
"Ya, mana aku tahu, Mas! Kamu pikir aku segila itu, merekam adegan kita? Enggak, lah!"
Mereka saling diam. Seperti sedang berpikir keras, siapa yang sudah melakukan ini semua.
"Yang pasti orang dalam, Kal. Mana mungkin ada orang yang merekam aksi kita, di tempat privasiku pula," terang Aji, memberikan hipotesis.
Kalila menganggukkan kepala. "Kamu benar, Mas! Pasti ada orang dalam yang sengaja mau menghancurkan kita!"
Aji semakin gusar. Dia menebak siapa saja yang sudah berani merekam aksinya dengan Kalila, sampai satu nama pun terlintas di benak Aji.
"Ini pasti ulah si sopir itu!"
"Maksudmu, Rendi?"
"Iyalah, siapa lagi? Orang baru yang datang dan buat semua mulai berubah itu ya si Rendi."
Kalila tak langsung menanggapi, melainkan berpikir sejenak. "Tapi, Mas. Buat apa Rendi melakukan itu? Apa untungnya?"
Aji berdecak keras. "Ya ada untungnya. Dia bisa menjual video kita lewat web, itu kan bisa menghasilkan uang."
Wanita itu terperangah kaget. "Kalau gitu, aku gak mau, Mas! Aku itu mau jadi model. Aku juga mahasiswi terkenal di kampus. Gara-gara video ini, karirku bisa hancur."
"Aku tahu! Kamu pikir, karirku juga tidak hancur? Sama saja. Coba kamu lihat pandangan para karyawan. Mereka itu sudah melihat videonya."
Kalila menggeram kesal. "Kayanya kamu benar, Mas. Ini pasti ulah si Rendi. Pantes saja ada yang aneh, tiba-tiba mau jadi sopir. Tahunya, ada maksud tertentu!"
"Kita gak bisa diam saja. Sebaiknya, kita langsung kasih pelajaran sama si Rendi itu!" seru Aji, mulai tersulut emosi.
"Iya, Mas. Aku setuju!"
Setelah makan malam usai, Aji memilih untuk membersihkan diri. Sementara Hana di kamar sedang berusaha untuk memantau Kalila dari kamera CCTV yang dipasang di kamar adiknya. Tampak Kalila sedang makan dengan tenang, benar-benar sesuai yang diinginkan oleh Hana. Dia sekarang dalam kebingungan. Apa yang harus dilakukan kepada adiknya? Sementara wanita itu masih memerlukan keterangan Kalila, dan juga bukti-bukti yang dipunya oleh adiknya. Saat sedang seperti ini, tiba-tiba Nara masuk. Kebetulan saat makan malam Nara disuapi oleh Bi Asih, ini dikarenakan takut ada pembicaraan orang dewasa yang mungkin akan memancing Nara berbicara jujur tentang apa pun yang seharusnya tidak diucapkan. Namanya juga anak-anak, bisa saja jujur. Jadi dia tidak boleh membuat Aji bertemu dengan Nara, takut gadis kecil itu mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya. "Ibu-ibu, Ibu lagi ngapain? Kok aku nggak lihat Tante Kalila, ya?" tanya anak kecil itu sembari duduk di hadapan Hana. Sang wanita langsung hentik
"Baiklah, aku mengerti kalau masalah itu. Tetapi apakah uangmu memang sangat banyak sampai kamu berani mengatakan hal seperti itu?" Pertanyaan Aji membuat Hana terdiam. Harusnya wanita itu tidak boleh mengatakan hal demikian, yang ada Aji pasti akan mengorek semua informasi tentang keuangannya. Lebih menyakitkan lagi kalau sampai Aji juga mengambil apa yang harusnya menjadi milik Hana. "Ya, palingan aku akan menjual beberapa emas yang kamu beli." "Emas?" Wajah Aji terlihat sekali sinis, di sorot matanya membuat Hana yakin kalau pria itu memang tidak akan pernah ikhlas kalau dirinya bahagia. Entah apa yang sudah dilakukannya di masa lalu sampai mendapatkan jodoh seperti Aji. Dia bahkan tidak melihat sisi buruk dari suaminya selama bertahun-tahun menikah dengan sang pria. Namun, setelah semuanya terbongkar wanita itu sadar sudah menikahi seorang penjahat yang sangat menakutkan dan juga harus diwaspadai. "Kalau itu sama saja dengan bohong, berarti kamu tidak punya uang lain, kan?
"Hai, Han. Aku sudah pulang," ucap Aji sembari menenteng tas kerjanya. Hana tersenyum sebaik mungkin. Dia berusaha menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi. Bukti tentang perbuatan Aji pun sudah ada. Hana tinggal memanggil Kakek yang sudah menyelamatkan Kalila untuk menjadi saksi, tetapi tidak boleh semudah itu membuat suaminya langsung masuk penjara. Dia akan memberikan perhitungan terlebih dahulu kepada Aji, agar pria itu mengaku dan bisa dihukum seberat mungkin. "Iya, Mas. Ayo makan dulu!" ajak Hana.Sebenarnya ini membuat Aji bingung dan juga heran, sebab sebelumnya istrinya itu agak cuek kepadanya. Bahkan tidak seperti biasanya saat mereka masih bersama dan Hana terbaring sakit. Wanita ini malah semakin bugar, tidak terlihat tanda-tanda kesakitannya. Mungkin ada yang salah dengan obat yang diberikan oleh Kalila. Dia yakin, obat itu bisa memperparah keadaan Hana, tetapi malah seperti ini. Dia harus mencari tahu dulu ke mana Kalila dan akan membuat perhitungan kepada wanita it
Saat sore tiba, Hana menghampiri Kalila yang terus saja di kamar. Wanita itu ketakutan dan pikirannya kacau. Dia tidak tahu harus melakukan apa, tetapi kalau tidak di rumah kakaknya Kalila harus pergi ke mana? Tidak ada lagi tempat untuk dirinya berkeluh kesah, apalagi meminta perlindungan. Walaupun keluar, pasti banyak orang yang mengetahui tentang keberadaannya. Namanya saja sudah tercoreng. Bahkan pekerjaan sebagai model pun dicabut serta dibatalkan. Ini benar-benar membuatnya malu. Kalau pergi ke kampus, dia rasa tidak ada seorang pun yang mau membantunya. Apalagi keterangan dan kabar tentang dirinya sudah tersebar luas.Hana memanggil-manggil Kalila, wanita itu baru tersadar setelah tiga kali Hana memanggil nama Kalila. Dengan cepat dia membukakan pintu. Kalila tersenyum, dia merasa senang karena kakaknya mau mengunjunginya di kamar. Ingin keluar dari tempat itu, takut jika bertemu Aji. Ini sangat rawan. Untunglah kamarnya dilengkapi dengan kamar mandi, jadi dia tidak perlu kel
Kalila terdiam. Dia menggigit bibir bawahnya dengan mata berkaca-kaca. Untuk saat ini Hana benar-benar tidak bisa memberikan hati lagi kepada adiknya ini. Dia sudah terlanjur sakit dengan apa yang dilakukan oleh Kalila. Walaupun memang dirinya sudah tahu semua, tetapi ternyata tetap saja ada rasa sakit yang menggerogoti. Meskipun mereka satu darah, tetapi pengkhianatan tidak bisa ditoleransi lagi."Kenapa kamu diam saja? Cepat kemasi barangmu! Kamu sudah terbukti salah, serahkan apa yang kamu punya tentang Mas Aji kepadaku. Maka hukumanmu pasti akan berkurang." Mendengar itu Kalila mendongak sembari menggelengkan kepala. "Kak, aku mohon jangan usir aku dari sini. Berikan aku waktu. Kalau aku keluar, bagaimana kalau Mas Aji mengincar nyawaku? Jika aku mati, apakah Kakak mau?"Seketika Hana diam, tetapi tiba-tiba saja wanita itu menyeringai. "Lebih baik kehilangan kamu daripada aku harus melihatmu dalam kesakitan seumur hidupku. Jika melihatmu pasti akan ada bayangan pengkhianatan ka
Hana tak bertanya atau walaupun menimpali ucapan wanita itu, tetapi lebih meneliti bagaimana wajah Kalila saat ini. Mungkin saja wanita itu sedang berbohong kepadanya. Dia benar-benar harus berhati-hati kepada Kalila. Wajahnya saja yang terlihat lugu, tapi ternyata hatinya busuk dan kelakuannya di luar batas. Bahkan dia tidak menyangka kalau Adik yang selama ini disayangi dan juga dilindungi malah menusuknya dari belakang. "Aku benar-benar serius mengatakan itu. Kalau misalkan Kakak tidak percaya, aku bisa memberikan buktinya. Aku sudah mengumpulkan banyak bukti tentang kejahatan Mas Aji kepada Kakak," ujar Kalila. Dia tidak mau sampai diserang oleh Hana atau malah sendirian menghadapi Aji. "Kamu punya bukti-buktinya? Kenapa kamu melakukan itu? Berarti benar kamu mengakui kalau kamu itu sudah jahat kepadaku?" tanya Hana sembari melipat tangan di depan dada. Dia ingin sekali melakukan ini dari dulu, menginterogasi atau bahkan memaki-maki adiknya sendiri. Tak masalah, karena memang
Melihat situasi yang mulai memanas, sang kakek pun langsung buka suara. "Maaf kalau saya memotong pembicaraan kalian. Saya ingin menjelaskan duduk permasalahannya, agar tidak ada salah paham, ya," ucap Kakek itu yang membuat mereka bertiga menoleh. Kebetulan di sana juga sudah ada Rendi. "Maaf, Kakek ini siapa, ya?" tanya Hana, dia tidak bisa mudah percaya begitu saja. Mengingat kalau Kalila itu mungkin licik dan menyewa Kakek ini untuk pura-pura menjadi saksi. Walaupun memang saat ini keadaan Kalila begitu kacau, tapi entah kenapa rasa percaya terhadap adiknya itu sudah hilang begitu saja. Harus punya bukti yang kuat, baru benar-benar bisa paham dengan situasi yang terjadi. "Saya Tono. Saya orang yang tinggal di sekitaran perkebunan itu." Pria tua itu pun menceritakan kronologis saat ia menemukan Kalila di sebuah lubang. Hana hanya terdiam. Dia melihat tidak ada kebohongan di sorot mata Kakek ini. Tampak benar-benar tulus dan juga jujur. "Seperti itu, Nak. Saya datang ke sini h
Saat ini Hana sedang berada di mobil menuju perjalanan pulan. Dia terus saja memikirkan perkataan Sabrina kepadanya. Wanita itu hampir saja tergoda untuk ikut kerjasama dengan Sabrina perihal Kalila, tetapi Hana sadar kalau yang dihadapinya adalah Rido dan orang kaya yang mungkin saja bisa melakukan segala cara dengan uang atau bisa saja dia dimanfaatkan oleh Sabrina demi kepentingan tertentu. Lalu, ujungnya Hana juga yang menjadi tersangka atau kambing hitam mereka. "Aku tidak mau berurusan dengan orang-orang kaya seperti itu. Mereka terlihat baik, padahal di belakangnya busuk. Untuk masalah Kalila, biarlah aku sendiri akan berpikir sesuai dengan rencanaku sebelumnya," gumam Hana saat masih di dalam mobil.Dia benar-benar tidak mau berurusan lagi dengan Rido atau istrinya, berharap semuanya akan segera berakhir dan bisa memulai hidup baru dengan baik. Suara ponsel berdering, di sana tertera nama Rendi. Wanita itu menautkan kedua alisnya. Biasanya Rendi akan menelepon Hana jika mema
“Aku ingin mengajakmu kerja sama.”Hana masih tampak kebingungan, terlihat dari wajahnya serta alis yang saling bertautan.“Untuk?”Sabrina tersenyum, lalu menghela napas panjang. wanita itu begitu santai. Tetapi, wajahnya kali ini tampak serius.“Aku tahu, suamimu selingkuh dengan adikmu.”Lagi-lagi tubuh Hana menegang. Satu pertanyaan muncul di benak, bagaimana wanita itu bisa tahu?Seolah paham dengan mimik wajah Hana, Sabrina kembali melanjutkan ucapannya yang malah membuat Hana tidak bisa berkata-kata.“Aku mengikuti kegiatan dan gerak-gerik Kalila.”Hana menghela napas berat. Adiknya itu memang sangat memalukan. Dia malah merebut seorang suami yang sudah beristri.Namun, sekarang bukan itu point masalahnya. Kenapa Sabrina harus mengajaknya kerja sama? Dia sama sekali tidak butuh patner untuk memberikan adiknya hukuman.“Kamu bisa memakai uangmu untuk membereskan Kalila. Dia memang adikku, tapi perlakuan dan tindakannya bukan tanggung jawabku.”Sabrina takjub dengan keteguhan dan