Tiba di kantor, semua orang yang berada di loby langsung tertuju pada Bara dan Indah. Jelas hal itu karena gosip tentang Indah yang berkirim pesan dengan Bara sudah menyebar luas. Ditambah dengan sekarang, mereka berangkat ke kantor bersama. Jelas perbincangan itu semakin senter terdengar.
"Kata Papa jangan dengarkan mereka yang sedang membicarakan kita," bisik Bara ketika mereka sedang berdiri di depan lift.Indah hanya mampu menunduk. Tidak mengindahkan ucapan Bara barusan. "Kenapa diam?" Dengan pelan Indah menggeleng. Bara mendesah pelan, lalu tiba-tiba ia menarik dagu Indah agar kepalanya tegak."Jangan menunduk terus, nanti leher kamu sakit."Jelas tindakan Bara di depan umum membuat kasak-kusuk semakin menjadi. Mereka tidak mengira jika Bara bisa melakukannya secara terang-terangan. Tidak jauh berbeda dengan perasaan Indah sekarang."P-pak, mohon maaf. Jangan seperti ini," pinta Indah sambil menepis tangan Bara dari dagunya."Kenapa?" Belum sempat menjawab, pintu lift terbuka. Segera Indah melangkah masuk untuk menghindari pertanyaan. Namun, bukan Bara namanya jika menyerah. Setelah berhasil menyusul Indah, Bara mendesaknya untuk menjawab pertanyaan."Kenapa aku tidak bisa melakukannya? Bukankah kita akan menikah?"Indah memijat pelipisnya. Bara terlalu terang-terangan, padahal di dalam lift bukan hanya ada mereka. Jelas orang-orang yang ada di dalam lift terkejut dengan ucapan Bara barusan."Penyelamat hidup," tegur Bara yang tidak Indah dengarkan.Pintu lift terbuka, orang-orang mulai keluar dari sana. Sehingga yang tersisa hanya ada Indah dan Bara."Pak, bisakah Anda tidak berbicara sembarangan?" Setelah hanya ada mereka berdua, Indah mulai menyerukan kekesalannya."Kenapa? Kita memang akan menikah." "Saya belum memutuskan, Pak.""Kamu lupa sama apa yang tadi aku bilang?""Sudahlah, lebih baik jangan membahas hal seperti itu di kantor, Pak." Indah menghela napas panjang.Lelah juga berhadapan dengan Bara. Rasanya Indah ingin sekali berteriak kalau dirinya tidak tahan. Andai tidak membutuhkan pekerjaan, mungkin Indah sudah melarikan diri dari bosnya yang menyebalkan!Pintu terbuka, tanpa menunggu lama Indah langsung keluar."Penyelamat hidupku! Kenapa meninggalkanku?" seru Bara seraya mengikuti Indah."Ini enggak benar," cetus Bara ketika ia merasa tidak dianggap oleh Indah. Indah sontak langsung diam. Ia menoleh ke arah Bara."Aku atasanmu di sini," keluh Bara. Tersadar jika yang dilakukan sudah kelewatan, Indah tersenyum rikuh. "Mohon maaf, Pak.""Enggak apa-apa, tapi lain kali jangan tinggalin aku." Sorot mata Bara terlihat memohon."Selamat pagi, Tuan, Indah." Zulfi tiba-tiba hadir di antara mereka lalu menyapa."Pagi juga, Zulfi." Bara yang membalas, sedangkan Indah hanya tersenyum tipis.Zulfi membukakan pintu ruangan untuk Bara. Begitu Bara masuk, Zulfi mulai menjelaskan perkerjaan yang harus Bara kerjakan. Bagaimanapun Zulfi yang memegang perusahaan selama Bara koma."Indah, mari ikuti saya."Bara melebarkan mata begitu mendengar ajakan Zulfi kepada Indah. "Kamu mau mengajaknya ke mana?" "Saya akan mengantarkan Indah ke mejanya, Tuan. Sekalian untuk serah terima dengan sekretaris yang dulu."Karena ini menyangkut pekerjaan, Bara tidak bisa melarang. Bara pun mengizinkan, lagi pula ia harus mulai fokus pada pekerjaan. "Jangan macam-macam dengan calon istriku!"Zulfi sontak menoleh ke arah Indah. Sementara Indah hanya bisa tersenyum rikuh."Em ... bisa antar saya sekarang, Pak?" "Ah, iya. Baik mari ikuti saya." Saat Indah akan melangkah, dengan cepat Bara menahan lengannya. "Jika ada apa-apa, lapor padaku.""Baik, Pak."***"Indah, kamu benaran mau nikah sama Pak Bara?" Rosi terlihat antusias menanyakan hal itu.Jika ditanya dari mana Rosi mengetahuinya, tentu saja karena ucapan Bara saat di dalam lift tadi pagi sudah menyebar luas!Suara Rosi cukup kencang--membuat para karyawan yang sedang mengantri kotak makan siang pun langsung melihat ke arah Indah. Bisik-bisik kembali terdengar di telinga Indah. Indah hanya mampu mendengus karena temannya tidak bisa mengontrol suara."Indah," tegur Rosi."Udah jangan dibahas di sini," pinta Indah dengan suara pelan.Rosi mengangguk. "Ya udah."Setelah mendapatkan kotak makan siang, mereka memilih duduk di meja paling pojok. "Jadi, gosip itu beneran?" Kali ini Rosi berbicara dengan suara yang jauh lebih rendah."Cuman gosip, Si.""Tapi katanya yang bilang Pak Bara langsung. Kok bisa gitu?"Indah mengedikan bahunya. "Udahlah, mending makan jangan bahas itu. Aku malas.""Hemm, kerjaan kamu gimana?"Kali ini Indah mau menjawabnya karena itu soal perkerjaan. "Aku cukup kesulitan, banyak yang belum aku ngerti.""Enggak apa-apa, nanti juga terbiasa. Ini 'kan baru hari pertama, wajar kalau kamu belum paham semua."Indah cukup terkejut dengan kalimat Rosi yang bijak. Biasanya ....Ketika mereka mulai khusyuk makan, tiba-tiba kantin beribah ricuh. Para karyawan yang ada di sana ramai-ramai memberikan hormat kepada sosok pria gagah yang tengah berjalan melewati."Indah, kamu ingkar janji!""Hah?"Indah mengerjap beberapa kali--bahkan sendok yang sedang dipegangnya hampir jatuh saat melihat Bara sudah berdiri di hadapannya. "Kenapa diam?" tanya Bara karena Indah tidak juga berdiri, padahal ia sudah mengulurkan tangan. Tersadar saat kakinya ditendang Rosi dari bawah meja, Indah tersenyum canggung. "Maksud Bapak, apa?" "Ck! Kamu udah janji enggak akan ninggalin aku. Tapi malah makan di sini sama teman kamu." "Ini 'kan jam makan siang, Pak!" "Harusnya kamu makan sama aku!" Tanpa ada yang mengira, Bara malah menarik satu kursi lalu duduk di samping Indah. "Aku makan di sini." Zulfi yang sejak tadi berdiri di belakang Bara mengangguk. "Kalau begitu saya pesankan dulu, Tuan." "Hemm." Karena tidak mau menganggu, Rosi yang sejak tadi diam memilih berdiri. Ia mengambil kotak makan yang masih tersisa banyak. "Aku duluan, Indah." Indah menatap Rosi penuh harap agar Rosi mau tetap tinggal. Namun, tatapan itu Rosi abaikan. Bagaimanapun Rosi masih membutuhakan perkerjaan, ia tid
Indah mengabaikan pertanyaan Bara. Perempuan itu terus melangkah meninggalkan kantin.Tidak tinggal diam, Bara mengejar Indah. "Indah, jangan tinggalin aku!" Terus melangkah, Indah masuk ke dalam lift yang kebetulan tengah terbuka. Segera Bara mengulurkan tangannya ketika pintu lift akan tertutup dengan sempurna. "Indah," lirih Bara dengan napas yang terengah-engah karena mengejar Indah. Bara menatap Indah yang memalingkan wajah. Pria itu mendesah lalu memilih diam. Sepertinya Bara mengerti jika Indah tidak nyaman dengan sikapnya yang berlebihan. Tiba di lantai 12--tempat ruangan Bara berada, Indah melangkah menuju mejanya. Baru saja Indah akan duduk, tiba-tiba lengannya ditarik Bara. "Ikut aku!" Indah yang tidak siap sedikit terhuyung, sehingga tidak bisa melawan ketika Bara terus menarik menuju ruangannya. "Pak! Sakit," lirih Indah ketika pintu ruangan Bara sudah ditutup. Sontak Bara melepaskan cekalannya. Bara melihat pergelangan Indah yang merah akibat cekalannya yang terl
"Indah, ada apa?" Mega yang melihat anaknya merenung pun menghampiri. Indah tersenyum tipis. "Enggak ada apa-apa, Bun."Mega mengusap pundak Indah lalu berkata, "Bunda tahu kamu sedang menyembunyikan sesuatu. Apa ini ada hubungannya dengan kamu yang tadi berangkat ke rumah Pak Bara?" Terdiam, Indah bimbang antara memberitahu atau tidak tentang permintaan Dona dan Roki. "Indah," tegur Mega karena Indah hanya diam saja. "Kayaknya emang susah kalau nyembuyiin sesuatu sama, Bunda.""Ya, bagaimanapun ibu dan anak memiliki ikatan yang kuat." Indah mengangguk mengerti. "Em ... tapi Indah belum bisa cerita, Bunda enggak apa-apa 'kan?" "Iya, enggak apa-apa. Kalau belum bisa jangan dipaksa, tapi ingat ... Bunda akan selalu ada buat kamu." "Iya, Bun. Makasih." Karena malam yang semakin larut, Indah putuskan untuk masuk ke kamarnya. Perempuan itu merebahkan tubuhnya setelah melepaskan kerudung instan yang tadi dikenakan. "Apa aku harus terima? Tapi bagaimana dengan Mas Dirga?" ***Hari
Indah mengerjap ketika mendengar jika Bara akan menjemputnya setiap hari. "Kenapa diam saja? Ayo kita berangkat," tegur Bara. "Sa-saya pamit dulu sama Bunda." Indah berdiri lalu berniat masuk ke dalam rumah untuk berpamitan. Namun, Bara dengan cepat menahannya. "Ada apa, Pak?" "Aku juga harus pamitan sama mertua." Ucapan Bara jelas membuat Indah terkejut. "Maksud, Bapak?" "Kita akan segera menikah, yang aku tahu orang tua kamu jadi orang tuaku juga." Mata Indah memincing. "Aku liat dari ponsel," ujar Bara menjelaskan. Indah mendesah lirih. Memang dari mana lagi Bara akan mengetahui hal seperti itu jika bukan dari ponsel? "Tapi saya belum memutuskan, Pak." "Tinggal dua hari aku akan dengar kamu terima aku." Tidak bisa berkata-kata, Indah memilih melongos masuk ke rumah. Segera Bara mengikuti dari belakang. "Bun, Indah pergi dulu ya." Indah berpamitan setelah memanggil Mega yang ada di dapur.Mega sontak mengerutkan dahi ketika melihat pria tinggi nan gagah yang berada di b
"Indah, bagaimana? Apa kamu sudah membuat keputusan?" Indah baru saja duduk di mobil bagian belakang, tetapi sudah ditodong pertanyaan oleh Bara yang baru saja masuk. "Indah, kenapa enggak jawab? Ini udah tiga hari dari hari yang kamu janjikan." Bara menegur ketika Indah hanya diam saja. Tidak langsung menjawab, Indah menatap Bara sejenak. Helaan napas panjang terdengar sebelum akhirnya Indah menjawab, "Bismillahirrahmanirrahim, saya terima Bapak."Mata Bara melebar dengan sempurna. Untuk beberapa saat Bara diam--mencerna ucapan Indah. Ketika sudah mencerna, tanpa aba-aba Bara menarik Indah ke dalam pelukannya.Jelas Indah yang sedang menunduk--terperanjat dengan tindakan Bara. "P-pak, mohon lepaskan saya." "Sebentar aja Indah, aku terlalu senang. Akhirnya kamu mau menikah sama aku." Bara masih memeluk Indah. Rasanya nyaman, membuat Bara betah dan tidak ingin melepaskan. Sangat berbeda dengan Indah yang merasa risih dan ingin segera menjauh. Hanya saja, Bara terlalu erat memelukn
"Indah, apa Ayah kamu tidak bisa pulang dulu?" Untuk yang kesekian kalinya Indah mendengar pertanyaan seperti itu dari Bara. Rasanya cukup kesal, tetapi Indah berusaha untuk bersikap biasa saja. "Tidak bisa, Pak." "Aku udah enggak sabar. Kenapa waktu rasanya lama banget?" Bara terus saja mengeluh karena menunggu ayah Indah pulang. Pria itu sudah tidak sabar untuk melamar Indah lalu meminangnya. "Tinggal empat hari lagi, Pak." "Empat hari itu lama, Indah.""Lama kalau Bapaknya enggak sabar. Sabarnya harus ditambah, Pak." "Emang bisa?" Bara antusias. "Bisa kalau lebih sabar."Terdengar dengusan pelan dari hidung mancung Bara. "Kalau itu aku enggak bisa!" Indah menggeleng pelan dan memilih tidak menanggapi. Perempuan itu melihat ke arah jendela. Mereka sedang dalam perjalanan pulang. Bara tidak kehabisan akal--pria itu menggeser tubuhnya agar mepet kepada Indah. Jelas hal itu membuat Indah kurang nyaman. "Pak, jangan mepet-mepet! Masih ada ruang sebelah sana.""Aku maunya deke
Dodi terkekeh mendengar Bara yang sudah tidak sabar. Karena tidak ingin membuang waktu, pria paruh baya itu mengajak Bara untuk berdiskusi. Tentu Bara tidak akan menolak. Sementara Indah hanya bisa menggeleng pelan. Perempuan itu memilih masuk ke kamarnya. "Aku harap ini yang terbaik." Ketika Indah baru saja membuka kerudungnya, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Sosok Mega berjalan menghampiri. Membuat Indah yang akan rebahan mengurungkan niatnya. "Bunda," ucap Indah. Mega tersenyum tipis lalu duduk di samping Indah. Ia mengusap paha Indah dengan sayang. "Apa kamu sudah yakin dengan pilihanmu, Indah?" "Hemm, iya." Indah menjawab ragu. "Bagaimana dengan Dirga?" Raut wajah Indah berubah sendu. Dirga--sosok yang sedang ia tunggu. Hanya saja, Indah tidak mungkin terus menunggu sesuatu yang tidak pasti. Lagi pula Indah menerima Bara karena ingin menolong. Iya, karena permintaan Dona dan Roki yang membuat Indah mempertimbangkan menerima Bara. Meski begitu, Indah berharap pernikahan
[Indah, besok enggak usah kerja. Aku sama Mama, Papa mau ke rumah buat lamar kamu.] Sebuah pesan yang Indah terima dari Bara saat ia akan tertidur--membuatnya mengurungkan niat. Indah gelisah membaca pesan tersebut. Entah kenapa hatinya menjadi tidak tenang dan Indah merasa ragu dengan keputusannya. "Ada apa ini? Kenapa perasaanku enggak enak?" Indah bergumam sambil bangkit dari tidurannya. Dalam hati Indah terus meyakinkan jika keputusannya sudah tepat. [Indah, kenapa cuman dibaca doang pesannya?] Kembali Bara mengirim pesan. Indah hanya membacanya saja. Jelas hal itu membuat Bara yang ada di sudut kamarnya heran."Apa Indah baik-baik aja?" gumam Bara sambil menatap layar ponselnya. Tanpa pikir panjang Bara langsung menghubungi Indah. "Ayo angkat, Indah." Sementara Indah yang dihubungi Bara hanya menatap layar ponselnya dengan perasaan gamang. Ragu-ragu Indah menerima panggilan telepon tersebut. "Halo, assalamu'alaikum, Pak." "Indah, kenapa pesanku cuman dibaca aja?" "Pak,