Share

Bab 8. Ingkar Janji

Tiba di kantor, semua orang yang berada di loby langsung tertuju pada Bara dan Indah. Jelas hal itu karena gosip tentang Indah yang berkirim pesan dengan Bara sudah menyebar luas. Ditambah dengan sekarang, mereka berangkat ke kantor bersama. Jelas perbincangan itu semakin senter terdengar.

"Kata Papa jangan dengarkan mereka yang sedang membicarakan kita," bisik Bara ketika mereka sedang berdiri di depan lift.

Indah hanya mampu menunduk. Tidak mengindahkan ucapan Bara barusan. 

"Kenapa diam?" 

Dengan pelan Indah menggeleng. Bara mendesah pelan, lalu tiba-tiba ia menarik dagu Indah agar kepalanya tegak.

"Jangan menunduk terus, nanti leher kamu sakit."

Jelas tindakan Bara di depan umum membuat kasak-kusuk semakin menjadi. Mereka tidak mengira jika Bara bisa melakukannya secara terang-terangan. Tidak jauh berbeda dengan perasaan Indah sekarang.

"P-pak, mohon maaf. Jangan seperti ini," pinta Indah sambil menepis tangan Bara dari dagunya.

"Kenapa?" 

Belum sempat menjawab, pintu lift terbuka. Segera Indah melangkah masuk untuk menghindari pertanyaan. Namun, bukan Bara namanya jika menyerah. Setelah berhasil menyusul Indah, Bara mendesaknya untuk menjawab pertanyaan.

"Kenapa aku tidak bisa melakukannya? Bukankah kita akan menikah?"

Indah memijat pelipisnya. Bara terlalu terang-terangan, padahal di dalam lift bukan hanya ada mereka. Jelas orang-orang yang ada di dalam lift terkejut dengan ucapan Bara barusan.

"Penyelamat hidup," tegur Bara yang tidak Indah dengarkan.

Pintu lift terbuka, orang-orang mulai keluar dari sana. Sehingga yang tersisa hanya ada Indah dan Bara.

"Pak, bisakah Anda tidak berbicara sembarangan?" Setelah hanya ada mereka berdua, Indah mulai menyerukan kekesalannya.

"Kenapa? Kita memang akan menikah." 

"Saya belum memutuskan, Pak."

"Kamu lupa sama apa yang tadi aku bilang?"

"Sudahlah, lebih baik jangan membahas hal seperti itu di kantor, Pak." Indah menghela napas panjang.

Lelah juga berhadapan dengan Bara. Rasanya Indah ingin sekali berteriak kalau dirinya tidak tahan. Andai tidak membutuhkan pekerjaan, mungkin Indah sudah melarikan diri dari bosnya yang menyebalkan!

Pintu terbuka, tanpa menunggu lama Indah langsung keluar.

"Penyelamat hidupku! Kenapa meninggalkanku?" seru Bara seraya mengikuti Indah.

"Ini enggak benar," cetus Bara ketika ia merasa tidak dianggap oleh Indah. 

Indah sontak langsung diam. Ia menoleh ke arah Bara.

"Aku atasanmu di sini," keluh Bara. 

Tersadar jika yang dilakukan sudah kelewatan, Indah tersenyum rikuh. "Mohon maaf, Pak."

"Enggak apa-apa, tapi lain kali jangan tinggalin aku." Sorot mata Bara terlihat memohon.

"Selamat pagi, Tuan, Indah." Zulfi tiba-tiba hadir di antara mereka lalu menyapa.

"Pagi juga, Zulfi." Bara yang membalas, sedangkan Indah hanya tersenyum tipis.

Zulfi membukakan pintu ruangan untuk Bara. Begitu Bara masuk, Zulfi mulai menjelaskan perkerjaan yang harus Bara kerjakan. Bagaimanapun Zulfi yang memegang perusahaan selama Bara koma.

"Indah, mari ikuti saya."

Bara melebarkan mata begitu mendengar ajakan Zulfi kepada Indah. "Kamu mau mengajaknya ke mana?" 

"Saya akan mengantarkan Indah ke mejanya, Tuan. Sekalian untuk serah terima dengan sekretaris yang dulu."

Karena ini menyangkut pekerjaan, Bara tidak bisa melarang. Bara pun mengizinkan, lagi pula ia harus mulai fokus pada pekerjaan. "Jangan macam-macam dengan calon istriku!"

Zulfi sontak menoleh ke arah Indah. Sementara Indah hanya bisa tersenyum rikuh.

"Em ... bisa antar saya sekarang, Pak?" 

"Ah, iya. Baik mari ikuti saya." 

Saat Indah akan melangkah, dengan cepat Bara menahan lengannya. "Jika ada apa-apa, lapor padaku."

"Baik, Pak."

***

"Indah, kamu benaran mau nikah sama Pak Bara?" Rosi terlihat antusias menanyakan hal itu.

Jika ditanya dari mana Rosi mengetahuinya, tentu saja karena ucapan Bara saat di dalam lift tadi pagi sudah menyebar luas!

Suara Rosi cukup kencang--membuat para karyawan yang sedang mengantri kotak makan siang pun langsung melihat ke arah Indah. Bisik-bisik kembali terdengar di telinga Indah. Indah hanya mampu mendengus karena temannya tidak bisa mengontrol suara.

"Indah," tegur Rosi.

"Udah jangan dibahas di sini," pinta Indah dengan suara pelan.

Rosi mengangguk. "Ya udah."

Setelah mendapatkan kotak makan siang, mereka memilih duduk di meja paling pojok. 

"Jadi, gosip itu beneran?" Kali ini Rosi berbicara dengan suara yang jauh lebih rendah.

"Cuman gosip, Si."

"Tapi katanya yang bilang Pak Bara langsung. Kok bisa gitu?"

Indah mengedikan bahunya. "Udahlah, mending makan jangan bahas itu. Aku malas."

"Hemm, kerjaan kamu gimana?"

Kali ini Indah mau menjawabnya karena itu soal perkerjaan. "Aku cukup kesulitan, banyak yang belum aku ngerti."

"Enggak apa-apa, nanti juga terbiasa. Ini 'kan baru hari pertama, wajar kalau kamu belum paham semua."

Indah cukup terkejut dengan kalimat Rosi yang bijak. Biasanya ....

Ketika mereka mulai khusyuk makan, tiba-tiba kantin beribah ricuh. Para karyawan yang ada di sana ramai-ramai memberikan hormat kepada sosok pria gagah yang tengah berjalan melewati.

"Indah, kamu ingkar janji!"

"Hah?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status