Dona dan Roki hanya bisa mendesah lirih ketika Bara mengatakan kalau dirinya tidak ingat dengan siapa yang sudah melakukan kejahatan tersebut. Ya, meski mereka kecewa, tetapi mereka paham kalau Bara tidak mungkin mengingat dengan mudah.
"Jadi bagaimana? Kamu belum menjawab pertanyaanku." Bara menatap Indah dengan penuh harap.Mendapatkan tatapan seperti itu, Indah ikut mendesah. Pada akhirnya ia pun menjawab dengan jujur meski rasanya berat. "Saya belum menikah, Pak."Terang saja Bara senang mendengar itu. Ia bahkan dengan refleks memeluk Indah. "Aku senang, itu artinya kita bisa menikah."Tubuh Indah menegang. Perlakuan Bara yang tiba-tiba membuat Indah tidak nyaman. Menyadari itu, Dona pun meminta Bara untuk melepaskan pelukannya."Bara, bukankah udah Mama katakan untuk tidak berbuat seenaknya kepada Indah?"Teguran Dona membuat Bara melepaskan pelukannya dengan berat. Ada rasa nyaman saat memeluk Indah. "Aku selalu tidak bisa mengontrol diri saat bersamamu, Penyelamat hidup.""Bara!" "Pa, aku hanya mengatakan yang sebenarnya." Bara membela diri."Tapi sikapmu membuat Indah tidak nyaman.""Indah harus membiasakan diri karena kita akan menikah."Bara memijat pelipisnya. "Kamu belum mendapatkan jawabannya dari Indah, kenapa langsung menyimpulkan?" "Lebih baik kau bersiap untuk ke kantor, Bara. Masalah pernikahan yang kamu maksud, biar kami bahas dulu.""Tapi ...."Bara melihat ke arah Indah sekilas lalu kembali menatap Dona. "Baiklah, aku siap-siap dulu.""Hemm, pergilah!"***"Indah, maaf atas perlakuan Bara kepadamu." Setelah kepergian Bara ke kamar, Dona dan Roki langsung meminta maaf kepada Indah karena membawa perempuan itu ke dalam kesulitan. Indah yang tidak tahu harus menjawab apa, memilih tersenyum saja."Em .... masalah tadi, apa kamu bisa mempertimbangkannya?" "Hah?"Indah tersentak mendengar pertanyaan Dona. Perempuan itu tidak mengira jika Dona dan Roki akan menganggap serius ucapan Bara tadi."Kami mengerti ini sangat sulit buat kamu, tapi ada beberapa pertimbangan yang kami lakukan sebelum mengambil keputusan." "Salah satunya karena kami yakin kalau kamu bisa menjaga Bara dengan baik." Roki menambahkan.Terdiam, Indah dalam kebimbangan. Menerima Bara menjadi suaminya? Yang benar saja! Ia bahkan tidak terlalu mengenal pria itu."Indah, tolong pertimbangkan permintaan kami." "Apa kalian sudah memutuskan?" Tiba-tiba Bara datang dengan pakaian yang berbeda.Pria tinggi nan gagah itu melangkah menghampiri lalu duduk di samping Indah. "Jadi, kapan kita akan menikah.""Bara, menikah tidak semudah membalikan telapak tangan. Kami belum memutuskan apa pun," ujar Dona membuat Bara mendengus."Kenapa lama sekali? Aku sudah tidak sabar.""Sudahlah, berhenti bicara omong kosong! Lebih baik kamu segera berangkat ke kantor." Roki berbicara dengan suara yang tinggi."Ini bukan omong kosong, aku benar-benar ingin menikah dengannya.""Mama mengerti, Bara. Tapi kita bahas lain kali, berikan Indah waktu untuk memikirkannya."Bujukan Dona membuat Bara terdiam. Ia menoleh ke arah Indah lalu menatapnya dengan tatapan dalam. "Baiklah, aku akan memberikan waktu untukmu. Tapi tidak lama, dan pastikan jawabannya mau."Bukankah itu sebuah keputusan sepihak? Bisa-bisanya Bara mengatakan hal itu dengan mudah! Oh, Indah hanya mampu mengembuskan napas kasar.Bara berdiri lalu mengulurkan tangan kepada Indah. "Ayo kita berangkat," ajaknya.Indah mendongak, menatap Bara sekilas. Tanpa menerima uluran tangan Bara, Indah berdiri. Ia menoleh ke arah Dona dan Roki."Kami pergi dulu, Bu, Pak.""Iya, hati-hati.""Assalamu'alaikum."***"Penyelamat hidup!"Bara memanggil Indah sambil berjalan cepat menghampiri Indah yang malah terus melangkah. Padahal mobil sudah terparkir di halaman rumah."Indah!"Baru saat Bara memanggilnya dengan nama, Indah menghentikan langkah. Indah berbalik lalu bertanya, "Ada apa, Pak?""Kenapa malah ke sana?""Karena motor saya ada di depan, Pak.""Ck! Kamu berangkat sama aku pake mobil."Tercengang, Indah menatap Bara tidak percaya. "Lalu motor saya bagaimana, Pak?""Biar aku yang urus, pokoknya kamu berangkat sama aku!""Tapi ....""Jangan membantah!" sela Bara membuat Indah bungkam. Mendapatkan tatapan tajam dari Bara jelas membuat Indah tidak berkutit. Ia takut dengan tatapan itu. Sehingga yang bisa ia lakukan hanya menurut."Baik, Pak."Segera Bara menarik lengan Indah agar tidak salah jalan lagi. "Ayo!""Pak, jangan dipegang," protes Indah."Udah, jangan protes.""Tapi ....""Kita sebentar lagi menikah."Lagi-lagi Indah tidak diizinkan untuk membantah. Bara membukakan pintu untuk Indah lalu menyuruhnya masuk. "Ayo, tunggu apa lagi?"Dengan ragu Indah masuk ke mobil. Melihat Indah yang sudah duduk, Bara menutup pintu lalu masuk dari sisi yang lain. Dari depan Pak Tarno, sopir pribadi Bara mulai menjalankan mobilnya."Untuk motor biar Pak Tarno yang bawa ke kantor," ujar Bara saat melihat Indah diam saja. Bara tidak tahu saja kalau Indah bukan hanya sekedar memikirkan motor. Melainkan percakapannya dengan Dona dan Roki yang meminta bantuannya."Apa aku bisa?"Tiba di kantor, semua orang yang berada di loby langsung tertuju pada Bara dan Indah. Jelas hal itu karena gosip tentang Indah yang berkirim pesan dengan Bara sudah menyebar luas. Ditambah dengan sekarang, mereka berangkat ke kantor bersama. Jelas perbincangan itu semakin senter terdengar."Kata Papa jangan dengarkan mereka yang sedang membicarakan kita," bisik Bara ketika mereka sedang berdiri di depan lift. Indah hanya mampu menunduk. Tidak mengindahkan ucapan Bara barusan. "Kenapa diam?" Dengan pelan Indah menggeleng. Bara mendesah pelan, lalu tiba-tiba ia menarik dagu Indah agar kepalanya tegak. "Jangan menunduk terus, nanti leher kamu sakit." Jelas tindakan Bara di depan umum membuat kasak-kusuk semakin menjadi. Mereka tidak mengira jika Bara bisa melakukannya secara terang-terangan. Tidak jauh berbeda dengan perasaan Indah sekarang. "P-pak, mohon maaf. Jangan seperti ini," pinta Indah sambil menepis tangan Bara dari dagunya."Kenapa?" Belum sempat menjawab, pintu lift
Indah mengerjap beberapa kali--bahkan sendok yang sedang dipegangnya hampir jatuh saat melihat Bara sudah berdiri di hadapannya. "Kenapa diam?" tanya Bara karena Indah tidak juga berdiri, padahal ia sudah mengulurkan tangan. Tersadar saat kakinya ditendang Rosi dari bawah meja, Indah tersenyum canggung. "Maksud Bapak, apa?" "Ck! Kamu udah janji enggak akan ninggalin aku. Tapi malah makan di sini sama teman kamu." "Ini 'kan jam makan siang, Pak!" "Harusnya kamu makan sama aku!" Tanpa ada yang mengira, Bara malah menarik satu kursi lalu duduk di samping Indah. "Aku makan di sini." Zulfi yang sejak tadi berdiri di belakang Bara mengangguk. "Kalau begitu saya pesankan dulu, Tuan." "Hemm." Karena tidak mau menganggu, Rosi yang sejak tadi diam memilih berdiri. Ia mengambil kotak makan yang masih tersisa banyak. "Aku duluan, Indah." Indah menatap Rosi penuh harap agar Rosi mau tetap tinggal. Namun, tatapan itu Rosi abaikan. Bagaimanapun Rosi masih membutuhakan perkerjaan, ia tid
Indah mengabaikan pertanyaan Bara. Perempuan itu terus melangkah meninggalkan kantin.Tidak tinggal diam, Bara mengejar Indah. "Indah, jangan tinggalin aku!" Terus melangkah, Indah masuk ke dalam lift yang kebetulan tengah terbuka. Segera Bara mengulurkan tangannya ketika pintu lift akan tertutup dengan sempurna. "Indah," lirih Bara dengan napas yang terengah-engah karena mengejar Indah. Bara menatap Indah yang memalingkan wajah. Pria itu mendesah lalu memilih diam. Sepertinya Bara mengerti jika Indah tidak nyaman dengan sikapnya yang berlebihan. Tiba di lantai 12--tempat ruangan Bara berada, Indah melangkah menuju mejanya. Baru saja Indah akan duduk, tiba-tiba lengannya ditarik Bara. "Ikut aku!" Indah yang tidak siap sedikit terhuyung, sehingga tidak bisa melawan ketika Bara terus menarik menuju ruangannya. "Pak! Sakit," lirih Indah ketika pintu ruangan Bara sudah ditutup. Sontak Bara melepaskan cekalannya. Bara melihat pergelangan Indah yang merah akibat cekalannya yang terl
"Indah, ada apa?" Mega yang melihat anaknya merenung pun menghampiri. Indah tersenyum tipis. "Enggak ada apa-apa, Bun."Mega mengusap pundak Indah lalu berkata, "Bunda tahu kamu sedang menyembunyikan sesuatu. Apa ini ada hubungannya dengan kamu yang tadi berangkat ke rumah Pak Bara?" Terdiam, Indah bimbang antara memberitahu atau tidak tentang permintaan Dona dan Roki. "Indah," tegur Mega karena Indah hanya diam saja. "Kayaknya emang susah kalau nyembuyiin sesuatu sama, Bunda.""Ya, bagaimanapun ibu dan anak memiliki ikatan yang kuat." Indah mengangguk mengerti. "Em ... tapi Indah belum bisa cerita, Bunda enggak apa-apa 'kan?" "Iya, enggak apa-apa. Kalau belum bisa jangan dipaksa, tapi ingat ... Bunda akan selalu ada buat kamu." "Iya, Bun. Makasih." Karena malam yang semakin larut, Indah putuskan untuk masuk ke kamarnya. Perempuan itu merebahkan tubuhnya setelah melepaskan kerudung instan yang tadi dikenakan. "Apa aku harus terima? Tapi bagaimana dengan Mas Dirga?" ***Hari
Indah mengerjap ketika mendengar jika Bara akan menjemputnya setiap hari. "Kenapa diam saja? Ayo kita berangkat," tegur Bara. "Sa-saya pamit dulu sama Bunda." Indah berdiri lalu berniat masuk ke dalam rumah untuk berpamitan. Namun, Bara dengan cepat menahannya. "Ada apa, Pak?" "Aku juga harus pamitan sama mertua." Ucapan Bara jelas membuat Indah terkejut. "Maksud, Bapak?" "Kita akan segera menikah, yang aku tahu orang tua kamu jadi orang tuaku juga." Mata Indah memincing. "Aku liat dari ponsel," ujar Bara menjelaskan. Indah mendesah lirih. Memang dari mana lagi Bara akan mengetahui hal seperti itu jika bukan dari ponsel? "Tapi saya belum memutuskan, Pak." "Tinggal dua hari aku akan dengar kamu terima aku." Tidak bisa berkata-kata, Indah memilih melongos masuk ke rumah. Segera Bara mengikuti dari belakang. "Bun, Indah pergi dulu ya." Indah berpamitan setelah memanggil Mega yang ada di dapur.Mega sontak mengerutkan dahi ketika melihat pria tinggi nan gagah yang berada di b
"Indah, bagaimana? Apa kamu sudah membuat keputusan?" Indah baru saja duduk di mobil bagian belakang, tetapi sudah ditodong pertanyaan oleh Bara yang baru saja masuk. "Indah, kenapa enggak jawab? Ini udah tiga hari dari hari yang kamu janjikan." Bara menegur ketika Indah hanya diam saja. Tidak langsung menjawab, Indah menatap Bara sejenak. Helaan napas panjang terdengar sebelum akhirnya Indah menjawab, "Bismillahirrahmanirrahim, saya terima Bapak."Mata Bara melebar dengan sempurna. Untuk beberapa saat Bara diam--mencerna ucapan Indah. Ketika sudah mencerna, tanpa aba-aba Bara menarik Indah ke dalam pelukannya.Jelas Indah yang sedang menunduk--terperanjat dengan tindakan Bara. "P-pak, mohon lepaskan saya." "Sebentar aja Indah, aku terlalu senang. Akhirnya kamu mau menikah sama aku." Bara masih memeluk Indah. Rasanya nyaman, membuat Bara betah dan tidak ingin melepaskan. Sangat berbeda dengan Indah yang merasa risih dan ingin segera menjauh. Hanya saja, Bara terlalu erat memelukn
"Indah, apa Ayah kamu tidak bisa pulang dulu?" Untuk yang kesekian kalinya Indah mendengar pertanyaan seperti itu dari Bara. Rasanya cukup kesal, tetapi Indah berusaha untuk bersikap biasa saja. "Tidak bisa, Pak." "Aku udah enggak sabar. Kenapa waktu rasanya lama banget?" Bara terus saja mengeluh karena menunggu ayah Indah pulang. Pria itu sudah tidak sabar untuk melamar Indah lalu meminangnya. "Tinggal empat hari lagi, Pak." "Empat hari itu lama, Indah.""Lama kalau Bapaknya enggak sabar. Sabarnya harus ditambah, Pak." "Emang bisa?" Bara antusias. "Bisa kalau lebih sabar."Terdengar dengusan pelan dari hidung mancung Bara. "Kalau itu aku enggak bisa!" Indah menggeleng pelan dan memilih tidak menanggapi. Perempuan itu melihat ke arah jendela. Mereka sedang dalam perjalanan pulang. Bara tidak kehabisan akal--pria itu menggeser tubuhnya agar mepet kepada Indah. Jelas hal itu membuat Indah kurang nyaman. "Pak, jangan mepet-mepet! Masih ada ruang sebelah sana.""Aku maunya deke
Dodi terkekeh mendengar Bara yang sudah tidak sabar. Karena tidak ingin membuang waktu, pria paruh baya itu mengajak Bara untuk berdiskusi. Tentu Bara tidak akan menolak. Sementara Indah hanya bisa menggeleng pelan. Perempuan itu memilih masuk ke kamarnya. "Aku harap ini yang terbaik." Ketika Indah baru saja membuka kerudungnya, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Sosok Mega berjalan menghampiri. Membuat Indah yang akan rebahan mengurungkan niatnya. "Bunda," ucap Indah. Mega tersenyum tipis lalu duduk di samping Indah. Ia mengusap paha Indah dengan sayang. "Apa kamu sudah yakin dengan pilihanmu, Indah?" "Hemm, iya." Indah menjawab ragu. "Bagaimana dengan Dirga?" Raut wajah Indah berubah sendu. Dirga--sosok yang sedang ia tunggu. Hanya saja, Indah tidak mungkin terus menunggu sesuatu yang tidak pasti. Lagi pula Indah menerima Bara karena ingin menolong. Iya, karena permintaan Dona dan Roki yang membuat Indah mempertimbangkan menerima Bara. Meski begitu, Indah berharap pernikahan