Lelaki berpenampilan rapi yang maskulin itu kembali meneguk kopi di cangkir lama buatan Yunita di seduhan pertama. Tiba-tiba terbatuk lagi. “Berapa kandungan kafeinnya?” tanya Anthony menunjuk cangkir dengan ekor matanya dan berekspresi tenang. “Itu kopi murni, tinggi kafein …,” ucap Yunita mengambang, merasa bimbang. Jika Anthony bertanya persentase, jujur mana tahu. Dirinya belum sempat mempelajari dan mengkalkulasi dengan teliti. Janji pada diri untuk mengkaji di kemudian hari. Sebab sadar jika seperti ini memang penting. Tetapi yang dia bilang barusan adalah benar. Kopi racikannya yang disedu di cangkir pertama tidak ada campuran lain, kecuali tambahan dari bubuk kayu manis. Sedang itu adalah kunci dari racikannya! “Untuk yang ini, berapa harga satu kilogramnya?” tanya Anthony saat Yunita kembali duduk di depannya. Perempuan itu dari mengemas cepat di meja eksperimen dan raciknya. “Hanya dua juta saja. Ini adalah racikan terbaik di pabrik. Bukan hasil racikanku.
Rendra terdiam meski sudah menduga kenapa si bos terbatuk. Bekerja padanya hampir lima tahun membuatnya paham kebiasaan si bos dan bagaimana berekspresi. Tatapan Bodyguard pun demikian. Penasaran dan menunggu. Yunita hilang senyumnya dan menatap Anthony lekat. Merasa berdebar menunggu tanggapan lelaki itu. Menduga pasti menyukai rasa kopi racikannya, tetapi justru merespon dengan terbatuk. Apa ada yang salah? Anthony terdiam. Tangannya sedang mengguncang pelan cangkir berisi minuman kopi yang tadi dia ambil dari tangan Yunita. Ujung hidung mancungnya terlihat mengembang dan mengempis lambat. Lelaki tampan beraura garang dan maskulin itu sepertinya sedang memikirkan sesuatu. “Anda tidak berani mengungkapkan jujur rasa kopi racikan saya, Pak Azlan? Nikmat bukan?” Yunita kembali memancing reaksi Anthony. Pandangan lelaki itu beralih dari cangkir yang dipegang kepada Yunita. Ekspresinya tidak tertebak apa yang ada di dalam kepala. “Tentu saja nikmat. Sebab kopi buatanmu ini
Yang dijanjikan pemilik pabrik adalah sebelum dzuhur siang ini. Anthony sudah tiba dengan waktu yang jauh dari sebelum dzuhur. Begitu lama menunggu untuk bertemu dan terus dicobanya bersabar. Jika bukan penasaran dengan orang tua Yunita beserta anak perempuannya, dia sudah pergi dari tadi. Persetan dengan kopi yang katanya berkualitas premium tetapi dengan harga di bawah standart. Maklum, dari pabriknya! Biasanya langsung dari sumber akan jauh lebih enak. “Jika Anda tidak sabar, Anda bisa melihat katalog dan membuat pesanan saja, Pak!” Sekuriti menyarankan, merasa tidak nyaman dengan beberapa sikap Anthony yang terlihat tidak sabar. Beberapa kali bertanya-tanya dengan garang, pukul berapa sebenarnya pemilik pabrik mau keluar menemui? Sekuriti jadi kesal. Anthony terdiam. Duduk menghentak di kursi dengan tatapan tajam pada sekuriti. Dirinya pun begitu kesal. Berani-beraninya sekuriti pabrik kopi ini menegurnya. Andai bisa, akan dibungnya seketika sekuriti di depannya itu ke dinas
Setelah sarapan pagi, Amira dan Dimas meninggalkan rumah keluarga Pak Darma untuk pergi ke pusat kota. Mendatangi hotel tempat orang tua Amira menginap. Orang tua memperpanjang masa menginap menjadi beberapa hari lagi. Demi membawa putri mereka bersama suaminya. Mereka berempat berencana menuju Surabaya dengan berangkat bersama. Lagipula, kopi terbaik yang mendadak diminta orang tua Amira pada Pak Darma, masih basah dan baru kering beberapa hari lagi. Kehabisan stok kopi suap jual sebab Pak Darma dan keluarga sibuk mengurus Bu Darma yang sakit waktu itu. Kemudian disambung dengan pengadaan hajatan dan kondangan. Penyebab manajemen usaha mereka sedang berantakan tetapi bahagia saat ini. “Kita ke mana dulu, Amira?” tanya Dimas setelah sampai destinasi. Menatap istri lembut dan redup. “Ke kamar kita saja.” Amira menyahut cepat. “Kamu sudah beritahu orang tua jika kita pergi ke sini?” tanya Dimas. Kini mereka sudah di lobi untuk mengurusi kamar yang sudah dipesannya. “Tak lagi,
Amira merasa iba, terharu dan bahagia. Suaminya terbukti lulus uji, tulus dan mau menerima apa adanya. Padahal semua ucapannya hanya mengada-ada dan bualan belaka saja. Dimas sangat percaya jika dirinya sudah tidur dengan Azlan Anthony. Padahal, jangankan merayunya, berbicara dengan lelaki dewasa itu saja dirinya sudah merasa segan dan tegang. Hubungan mereka selama ini terkesan formal dan kaku. Azlan jarang tersenyum apalagi bercanda. Tersiksa jiwa rasanya saat menerima arahan orang tua agar berusaha menerima lelaki itu. “Apa tidak kesal, punya istri bekas orang?” usik Amira. Dimas masih memeluknyamemeluknya dengan menatap redup dan sayu. Napasnya tahu-tahu sudah memburu. Mungkin sebagai pengantin baru, setiap dekat pasangan akan selalu diterjang nafsu. “Kesal lah, Amira. Tapi bagaimana, kamu adalah pilihanku. Semia sudah terlanjur. Jadi … apapun kamu, harus aku terima apa adanya.” Dimas semakin memeluk istrinya penuh rela dan sayang. Ingin sekali kembali mencumbu, tetapi Am
Di rumah keluarga Bapak Darma. Suasana hingar bingar dalam tenda dekorasi seketika berubah lengang saat tengah malam. Horeg dari sound system pun tinggal ngiangnya dan hanya menyisakan tumpukan speaker yang bisu. Akhirnya acara hajatan itu sudah selesai gemilang dan tanpa hambatan yang berarti. Pak Darma sungguh lega penuh syukur, akhirnya bisa istirahat dengan tenang malam ini. Bersama sang istri yang kesehatannya justru mengalami kemajuan pesat meski acara hajatan sungguh melelahkan. Karena aktualnya, tombak pernikahan dihandle oleh Pak Darma dan kakak perempuan Dimas yang mewakili isi kepala ibunya. Sedang untuk memimpin bergadang malam ini, sebab adat di kampung mesti bergadang di akhir acara, adalah abang iparnya Dimas! Dua pasang baju pengantin beda gender yang model dan warnanya berlainann dari yang sudah dipakai sebelum-sebelumnya, teronggok di pojok kamar begitu saja. Ditinggal pemiliknya yang sudah kelelahan untuk naik di atas pembaringan. “Capek banget rasanya ya