Simalakama juga menjawab pesan dari Azlan Anthony. Merasa lebih baik dijawab jujur saja. Jujur tidak selamanya berakhir hancur. Bahkan kebanyakan pun membawa mujur. *Terima kasih, Anda pengertian sekali, Pak Azlan.* Ini adalah balasan untuk Anthony yang menuduhnya sedang terdesak uang. Yunita menahan napas saat mengirimkan pesannya. Berharap Anthony lebih peka dan lebih pengertian lagi. Menyuruh Rendra berangkat saat ini juga misalnya. Empat hingga lima jam, asisten itu akan tiba. Sangat cukup mengejar waktu melakukan transaksi dua pihak. Hingga uang penjualan kopi bisa dipakai untuk berbagai pembayaran. Melunasi tunggakan bank yang jatuh tempo dan membayarkan gaji seluruh pekerjanya di bulan itu. Bisa dipastikan keuangan pabrik kembali stabil untuk beberapa bulan ke depan. Belum jika marketing mereka berhasil, pabrik akan mendapat orderan melimpah tiba-tiba. Pundi-pundi cuan pun dipastikan mengalir aman. Yunita bisa tenang. Namun, itu jangka agak panjang. Sekarang, kedatangan
Dengan siapa lagi jika bukan pada lelaki itu untuk menjual produk dalam skala besar sekaligus. Lelaki berbahaya tetapi menjamin pembelian tunai dengan bilangan luar biasa hingga keuangan pabriknya terjamin bakalan stabil. Memang simalakama, tetapi semua akan dilakukan demi kesejahteraan karyawan serta kelangsungan operasional pabrik warisan leluhur. Andai dirinya gagal melestarikan berdirinya pabrik hingga anak, cucu, cicit, dan canggah, betapa ibu serta bapaknya akan kembali sakit dan depresi. Yunita sama sekali tidak menginginkan hal ini. “Ya, aku terpaksa harus menghubungi, Azlan Anthony. Dia harus kembali mengambil kopi dari pabrikku.” Yunita berspekulasi andai pihak Hotel M tidak berminat lagi mengambil produk bubuk kopi dari pabriknya. Semua akan coba diusahakan agar sang CEO kembali berputar balik ke produk miliknya. *Selamat pagi, wakil Hotel M, Pak Rendra. Langsung saja saya kabarkan, kami ingin membuka kembali hubungan kerja sama jual beli produk kami dengan Anda
Video hasil rekaman kamera CCTV dengan durasi kurang dari tiga menit, hanya sebab tersentuh sedikit, memutar sendiri tanpa disengaja. Mau tidak mau Yunita melihatnya. Niat untuk menghapus telah diurungkan sejenak. Adegan dirinya dengan Anthony yang sedang anu di lobi, memang membuatnya jadi merasa malu sendiri. Tetapi matanya tidak mau berpaling dari mengikuti adegan di video cctv. Bukan lalu dihapus dan dimatikan setelah sekali menonton, tetapi dibiarkannya berulang-ulang memutar kembali. Nyatanya bukan jadi rasa jijik atau membuatnya kian mual, justru membuat raganya kembali merasa panas dingin. Membuat gairahnya tiba-tiba tersulut. Dirinya terhasut, ingin mengulang lagi adegan yang kurang lebih sama seperti di video. Memalukan! “Ah, sudah, ah! Lihat gini kan jatuhnya kayak zina mata, zina otak, dan juga hati …,” keluh Yunita sambil menggelapkan layar ponselnya. Alih-alih bukan redam, justru wajah Anthony ganti datang dengan jelas di pelupuk mata. Bukan garang atau raut mesum,
Mungkin Anthony sudah diarahkan sekuriti untuk meninggalkan kawasan pabrik sebelum pekerja berbondong-bondong pulang kala petang. Yang jelas, saat Yunita meninggalkan ruang kerja paling terakhir ditemani Santi, lelaki dari kota buaya itu sudah tidak terlihat lagi di lobi. Lebih yakin, di ruang tunggu pos sekuriti depan rumahnya juga tidak ada. Sebenarnya susah dipercaya jika seorang Anthony cepat setuju dengan sebuah penolakan. Apalagi berhubungan dengan pekerjaan dan penambahan kekayaan. Seharusnya lelaki itu sedikit ngotot atau bertahan menunggu hingga bertemu Yunita lagi untuk coba berdiskusi. Tetapi nyatanya tidak, begitu cepat lelaki itu pergi. “Kenapa aku seperti menyesal …? Ah, mungkin sebab aku terlalu memikirkan masa depan karyawan dan pabrik.” Yunita sambil duduk di meja rias dan melepasi beberapa pin dari menempel di kerudung. Wajahnya sudah lumayan bersih dari make up sebab baru dicuci di wastafel. Menatap bayang diri di cermin. Sedikit terkejut, wajahnya tampak sa
Yunita keluar dari ruang kerjanya dan mencari Santi di meja sekretaris. Meski ruang administrasi masih ada beberapa orang di meja masing-masing, tetapi suasana terasa lengang. Mereka sibuk menutup pekerjaan menjelang pulang. “San, tamu dari Surabaya di ruang tunggu depan atau di lobi?!” Yunita berseru di pintu. Satu-satunya pemilik nama San di ruangan itu seketika menoleh dan berdiri. “Di lobi, Mbak ….!” sahut Santi yang diam-diam merasa heran. Biasanya si bos tidak pernah lupa dengan apa yang udah dilaporkan. Soalnya tadi sudah dia kabarkan jika tamu dari Surabaya menunggu di lobi pabrik. Bukan ruang tunggu di depan rumah besarnya sana. “Oke, San!” sahut Yunita sebelum berlalu. Langkahnya cepat. Lima belas menit lagi para karyawan akan pulang pukul Lima sore. Tidak ingin menghadapi tamu dari Surabaya dengan kondisi pabrik yang kosong. Berjaga-jaga andai Rendra datangnya dengan Anthony. Lelaki itu selalu membuatnya bersiaga satu! Dadanya kembali berdebar keras. Beberapa
Merasa lega, wanita yang paling dicintai sedunia telah berundur dan pergi. Ibunya sedang ditunggu seorang tamu di depan, rupanya emak-emak tukang pijat langganan yang datang untuk mengurut tubuh ibunya. “Yun, Mama sudah pesan agar Mak Tun datang lagi besok pagi! Mama rasa kamu ini sudah lama banget tidak pijet. Satu tahun pun ada!” seru mamanya saat Yunita akan pergi dan melewati teras rumah. Nanang, sopir keluarga sudah terlihat menunggu. Ibunya duduk berbincang dengan seorang wanita tua di teras. Yunita sempat melempar senyum saat menyalami mereka berdua. “Benar, Nduk! Besok aku urut kamu ya! Kayaknya kamu ini lagi gak enak badan!” seru Mak Tun yang Yunita juga kenal. Wanita itu adalah tukang pijat tersohor di kampung dan di perkebunan. Yunita hampir mengiyakan jika tidak ingat akan kondisi dan rahasianya. Mungkin terasa sangat nikmat jika dipijat lembut di seluruh bagian tubuh. Namun, rumor jika dukun pijat bisa mendeteksi kehamilan, bahkan juga bisa membaca keadaan gadis y