Makanan sudah disapu bersih oleh Dimas tanpa segan. Sebab Amira makan sedikit saja sudah kenyang, porsi yang masih banyak di atas meja dia sikat habis sendirian. Sedang untuk makan malam, mereka berdua sepakat membeli di perjalanan. Untuk makan siang sudah sekalian makan pagi yang sudah sangat terlambat hari ini. “Terima kasih, Amira. Sekarang aku sudah sangat kenyang. Sepertinya jika denganmu, aku tidak pernah kelaparan.” Ucapan Dimas entah apa maksudnya. Tetapi ungkapan jujur dan tanpa ada maksud untuk merayu. “Apa ingin aku bilang, jika lapar bilang saja padaku? Oh, tidak akan! Aku tidak mau mengurusi calon suami orang. Sudah sana pulang!” Amira tidak lupa untuk kembali mengusir. “Ah, Amira. Kenapa kamu jadi galak seperti itu. Hujaaaan …. Kamu lihat sendiri, kan, sangatlah deras. Tetapi, aku ingin numpang mandi sebentar.” Dimas akan menuju kamar mandi. Amira dengan cepat menangkap tangannya. “Sebaiknyaa Mas Dimas jangan mandi di sini. Aku takut. Maaf.” Amira bicara seri
Wajah cantik penuh mendung itu terkejut. Lelaki yang sudah hampir menyelipkan diri di pintu untuk keluar, tiba-tiba masuk lagi dan menutup pintu rapat-rapat. Menatap Amira lekat dengan ekspresi tak terbaca. “Kenapa Mas Dimas tidak jadi pergi? Kurasa lebih baik cepat pergi. Terima kasih sudah menyelamatkan aku,” ucap Amira tanpa basa basi. Resah juga jika Dimas adalah serigala berbulu domba yang ternyata lelaki jahat. Tetapi lelaki itu acuh tak acuh dan berjalan melewatinya, langsung duduk di bangku berlapis busa empuk di sudut kamar. Dimas merasa jika ternyata sangat lelah. Tentu saja, tenaganya terkuras habis saat mendaki mencari Amira dan harus mengangkatnya dua kali. Sedang pagi ini perutnya belum diisi dengan makanan berarti. Segelas kecil teh hangat dan segenggam sawuut singkong yang diisi ke lambung, pasti perlahan sudah merambat pergi. “Ke… kenapa kamu tidak pergi?” tanya Amira lagi, masih berdiri di tempat semula. “Hujan, Amira. Ternyata di luar hujan deras.” Di
Bunyi samar isakan membuat Dimas terperanjat. Ternyata gadis asing itu sedang meleleh -lelehkan air mata. Jika tidak kelolosan suara isaknya, tidak disadari olehnya tangis Amira. Terlalu fokus pada pengharapan akan segera datangnya Antara. “Sangat sakitkah, Amira?” tanya Dimas hati-hati. Menduga Amira keseleo tetapi tidak jelas di posisi mana yang cidera. Si gadis terus menangis. Bunyi suara motor dari jauh membuat Dimas lega, itu pastilah Antara. Tidak ada kendaraan apa pun yang melintasi perkebunan teh di bagian atas. Kecuali di bawah memang hilir mudik pengangkut teh dengan motor trail membawa daun hasil petik untuk disetorkan ke pabrik dengan sistem timbang. “Amira, aku akan memboncengmu turun.” Dimas berbisik. Meski Amira membisu, dalam hati merasa lega. Memilih lebih baik dibonceng Dimas dan bukanlah Antara yang membawanya turun. “Bisakah bangun?” tanya Dimas lembut. Air mata Amira justru semakin meleleh sambil menggeleng. “Tidak masalah, akan kugendong ke moto
Mereka sudah komplet berkeliling menyusuri perkebunan kopi dan teh. Terasa lelah bagi Dimas, tetapi justru tidak bagi dua pasang orang tua serta sepasang kakaknya. Mungkin sebab terbiasa dan seperti olahraga. Orang tuanya Yunita yang notabene bos pabrik, ternyata fisik pun tidak kalah tahan banting. Termasuk dua balita kakaknya yang semangat meski sesekali minta gendong. “Aku capek banget. Yuyun duluan pulang saja ya, Ma!” seru Yunita yang duduk di ujung pada mamanya. Mereka singgah di lesehan kopi di kaki perkebunan. “Bentar, Yun. Itu teh hangat kamu dah diantar, juga ada getuknya!” seru ibunya membalas. Tidak menyanggah, gadis cantik tetapi dingin pada Dimas itu tetap duduk manis di tempatnya. Menyambut baki-baki berisi kopi panas dan teh hangat yang diulurkan oleh pegawai lesehan. Menyusul piring-piring kecil berisi sawut dan getuk, makanan khas pribumi berbahan baku singkong yang nikmat itu ke meja. “Kalian suka ya?” tanya Dimas pada dua keponakan yang langsung menyerb
Mereka mengunjungi perkebunan kopi milik orang tua Dimas yang luas. Pohon kopi sedang musim berbunga yang rasanya sungguh menakjubkan. Hamparan bunga warna putih dengan harum semerbak sangatlah menentramkan.Ingin rasanya rebah telentang dengan memandangi langit-langi yang berisikan bunga-bunga . Lebah-labah pun begitu asyik menyesapi madu dan tidak peduli dengan rombongan orang-orang yang datang. Bapaknya Dimas telah memasang beberapa kotak-kotak di banyak lokasi demi mendapatkan madu alami dari kopi. Lebah itu akan bersarang dalam kotak demi menyimpan madu yang sudah mereka isap dan usung dari bunga kopi. Sangat lumayan, selain mencukupi kebutuhan pribadi dan keluarga, sesekali jika dikumpulkan bisa juga dijualnya. Yang Ori pasti mahal! Dimas sesekali melirik Yunita yang berjalan di sebelahnya. Orang tua memang sengaja mendekatkan mereka saat berjalan. Tetapi gadis itu terlihat tidak peduli dan hanya sibuk dengan ponsel. Dimas pikir mungkin saja sedang bimbingan online intensif de
Setelah perbincangan sore tadi, mereka pergi keluar bersama. Meninggalkan area perkebunan dan pabrik menuju Kota Wlingi yang tidak terlalu jauh. Memilih sebuah rumah makan di kawasan pusat kota, Beru-Wlingi untuk makan malam bersama-sama. Tidak banyak perbincangan di antara Dimas dan Yunita. Selain gadis itu bersikap diam dan terus sibuk dengan ponsel, Dimas merasa enggan untuk mengobrol. Selain dirinya pun bersifat tidak banyak bicara, bisa jadi sebab Yunita terlalu cantik yang membuat perasaannya justru merasa berjarak dan canggung. Mungkin akan lain cerita jika sikap Yunita ceria dan hamble. Riang sedikit saja seperti Amira misalnya. Amira…? Kenapa justru gadis bising itu yang terlintas sebagai contoh? Tetapi sedang apa dia, apa sudah makan. Ah, buat apa khawatir? Toh dia gadis modern dan memiliki stok uang tidak kurang-kurang. Dia juga terbiasa sendirian. Dimas berusaha keras mengabaikan. “Kamu jadi kembali ke Surabaya besok siang, Yun?” tanya bapaknya Yunita. Gadis yang