Mereka mengunjungi perkebunan kopi milik orang tua Dimas yang luas. Pohon kopi sedang musim berbunga yang rasanya sungguh menakjubkan. Hamparan bunga warna putih dengan harum semerbak sangatlah menentramkan.Ingin rasanya rebah telentang dengan memandangi langit-langi yang berisikan bunga-bunga . Lebah-labah pun begitu asyik menyesapi madu dan tidak peduli dengan rombongan orang-orang yang datang. Bapaknya Dimas telah memasang beberapa kotak-kotak di banyak lokasi demi mendapatkan madu alami dari kopi. Lebah itu akan bersarang dalam kotak demi menyimpan madu yang sudah mereka isap dan usung dari bunga kopi. Sangat lumayan, selain mencukupi kebutuhan pribadi dan keluarga, sesekali jika dikumpulkan bisa juga dijualnya. Yang Ori pasti mahal! Dimas sesekali melirik Yunita yang berjalan di sebelahnya. Orang tua memang sengaja mendekatkan mereka saat berjalan. Tetapi gadis itu terlihat tidak peduli dan hanya sibuk dengan ponsel. Dimas pikir mungkin saja sedang bimbingan online intensif de
Setelah perbincangan sore tadi, mereka pergi keluar bersama. Meninggalkan area perkebunan dan pabrik menuju Kota Wlingi yang tidak terlalu jauh. Memilih sebuah rumah makan di kawasan pusat kota, Beru-Wlingi untuk makan malam bersama-sama. Tidak banyak perbincangan di antara Dimas dan Yunita. Selain gadis itu bersikap diam dan terus sibuk dengan ponsel, Dimas merasa enggan untuk mengobrol. Selain dirinya pun bersifat tidak banyak bicara, bisa jadi sebab Yunita terlalu cantik yang membuat perasaannya justru merasa berjarak dan canggung. Mungkin akan lain cerita jika sikap Yunita ceria dan hamble. Riang sedikit saja seperti Amira misalnya. Amira…? Kenapa justru gadis bising itu yang terlintas sebagai contoh? Tetapi sedang apa dia, apa sudah makan. Ah, buat apa khawatir? Toh dia gadis modern dan memiliki stok uang tidak kurang-kurang. Dia juga terbiasa sendirian. Dimas berusaha keras mengabaikan. “Kamu jadi kembali ke Surabaya besok siang, Yun?” tanya bapaknya Yunita. Gadis yang
Rumah besar berbahan utama kayu jati kuno dengan halaman luas yang sudah beberapa bulan tidak diinjaknya, telah kedatangan tamu dengan mobil bagus berjajar. Meski terletak di pelosok, daya ekonomi warga sekitar bukanlah kaleng-kaleng. Sebersit tanya menyergap, kenapa bukan pihak lelaki yang datang ke rumah wanita, ini justru keluarga pihak wanita yang datang. Ah, mungkin pemilik pabrik tidak sabar menunggu. Maklum, pengusaha kebanyakan tidak suka menunggu dengan prinsip waktu adalah cuan. Ibunya yang anggun berkebaya, tampak keluar dan menyongsong. Diikuti seorang wanita cantik dan seorang lelaki di belakangnya. “Dengar, Dim. Calon istrimu kayak bidadari turun dari langit. Gak rugi ibuk nyuruh kamu cepat pulang. Ealah, malah kamunya lambat datang. Lekas gih masuk, mereka sudah lama nungguin kamu!”Ibunya langsung membawa kabar baik setelah Dimas sungkem dan mencium punggung tangannya. “Memang cantik, memang kaya, memang mapan, tetapi kalo tidak cocok, kurang sreg, janganlah dipa
Mereka barusan singgah di sebuah masjid besar di Kota Wlingi. Selain memenuhi panggilan dzuhur, sebab Amira tidak tahu lagi jalan mana yang harus diambil untuk lanjut mengemudi, dia andalkan adalah sistem GPS dan hanya mengambil jalur jalan raya menuju Kota Wlingi sesuai arahan Dimas sebelum tidur. Dia bangunkan lelaki itu ketika sudah parkir di halaman masjid. “Betul kah sudah tidak lagi mengantuk?” tanya Amira risau. Mereka meluncur meninggalkan area masjid. “Tak lagi, Amira, Terima kasih. Sekarang giliran kamu yang tidur.” Dimas menolehnya. “Ish, tadi kata tak lama lagi nak tiba kan?” tanya Amira. “Iya, memang, Amira….” Dimas mengatakan dua belas kilometer lagi akan tiba di perkebunan. Tidak habis tiga puluh menit untuk sampai di rumahnya. Nanggung amat buat tidur, lagipula mata tidak mengantuk. Padahal tidur semalam jika dikumpulkan total hanya kurang lebih satu jam. Itu pun hampir sepanjang jalan menuju Blitar dirinya yang mengemudi. Mulanya Dimas menolak, tetapi Amira
“Apakah Irgi dan Zahra tidur siang?” tanya Erick, sedang mengeringkan rambut memakai handuk putih kecil dengan mengibas-ngibas di kepalanya, duduk di kursi membelakangi meja rias. “Iya, mereka sudah tidur sejak aku akan mandi untuk shalat dzuhur. Tidak kusangka, kamu tiba-tiba pulang, Pak Erick.” Osara tersenyum, tampak cantik dan segar. Sama juga dengan Erick, mengeringkan rambut panjangnya yang basah. Tetapi tidak melulu dengan handuk, hair dryer pun di pegangnya. Dia duduk di tepi ranjang. “Aku merasa beruntung, meski pulang mendadak, kamu sudah mandi.” Erick berkata penuh arti, menatap Osara dengan pandangan nakal. “Tapi aku jadi mandi lagi, padahal barusan mndi,” Keluh Osara pura-pura. “Tapi yang tadi kan mandi sendiri. Sedang barusan mandi dengan suami sendiri.” Erick menimpali dengan ekspresi menggoda. Osara menunduk, pura-pura mengarahkan hair dryer di rambut yang belakang. Sedang menyimpan senyuman, dalam hati pun bahagia saja rasanya. Suka jika suami tiba-ti
Perjalanan yang setengah-setengah, antar setengah lancar dan setengah tidak lancar, terkadang ngebut dan terkadang macet, memang membuat kepala jadi suntuk dan mood yang memburuk. Begitu juga Dimas, ingin saja membelok ke penginapan yang sering ditemui di sepanjang jalan. Bangunan megah itu seolah melambai merayu agar dirinya membelok singgah dan rebahan dengan nyaman. Menunggu santai hingga tidak macet sama sekali dan perjalanannya lancar untuk ngebut kembali hingga sampai di tujuan. Ah, sampai kapan akan menunggu antrian jalan seperti ini? “Itu apa … Wisata Lumpur Lapindo?! Itu kan viral di berita dunia! Singgah… singgah… singgah sebentar!” Amira sangat bising saat perjalanan sampai di kawasan semburan lumpur lapindo kiri jalan menuju arah Blitar, di Porong-Sidoarjo. “Kenapa gak stop sih ….?” tanya Amira kecewa. Duduk menyandar dengan lunglai di bangkunya. Menoleh kesal pada sopir yang dari berangkat diam saja dan tidak mau bersuara. “Macet, Amira. Ini bukan di Kuala Lumpur