Ketukan di pintu masih terus diulang meski masih dengan cara dan nada yang sama. Terdengar sopan dan terkesan enggan. Tentu saja itu bukan dari petugas razia, kemungkinan memang dari pegawai hotel. “Ada orang, Pak Azlan, aku gak enak. Sebaiknya ditemui dulu.” Yunita memaksa menjauhkan wajahnya dan menegur dengan panik. Anthony coba bertahan dan enggan. Sekuat daya, mendorong dada Anthony. Entah kenapa, tidak ingin untuk mendorong di perutnya bahkan di jendralnya seperti waktu itu. Perasaan Yunita berubah tidak tega. Jauh dalam hati berpikir jika lelaki nakal itu, meski bagaimana juga adalah bapak dari bayi di kandungan. “Sini!” Anthony dengan mengejutkan telah menggendong Yunita. Membawanya ke atas pembaringan dan meletak lembut tubuh menegang kaku itu di sana. “Kenapa…?” tanya Anthony berbisik. Wajah Yunita saat terkejut dan mata beningnya melebar, sangat cantik. Andai tidak hamil, tanpa pikir panjang pun sudah disikatnya! “Aku kaget…,” jawab Yunita dengan pipi telah m
Kenyataan tidak sesuai harapan. Mengira setelah dari klinik langsung menuju jalan pulang ke perkebunan, nyatanya salah. "Kenapa mengambil jalur ke kanan, arah ke Wlingi adalah jalur yang kiri tadi ...," tanya Yunita bermaksud menegur. Merasa curiga dan waswas. Namun, Anthony tidak menyahut. “Aku ingin pulang saja, Pak Azlan. Ini sudah malam!” Yunita benar-benar panik kali ini. Mobil memasuki latar dari sebuah penginapan berbintang di pusat kota. “Belum juga pukul sembilan, Yunita.” Kali ini Anthony menyahut tegas. “Tapi ini bukan di Surabaya, Pak Azlan. Aku tinggal dengan orang tuaku di kampung. Tolong hargai saja orang tuaku jika aku tidak ada harganya bagimu.” Yunita berubah sensitif. Hal yang menyangkut perasaan orang tua, dirinya sangat hati-hati. Pasti mereka akan cemas jika makin malam anak perempuan mereka belum kembali. Meski ibunya tampak tidak berat hati saat dia pamiti. “Aku akan bertanggung jawab. Jangan resah, Yunita.” Anthony menyahut singkat dan meninggalkan
Meski sempat kesal dengan kekerasan hati Yunita yang tidak bersedia pergi periksa, Anthony merasa senang dengan cara makannya. Cepat, tidak gengsi, dan hampir dihabisi. Kecuali nasi di baki, juga salad buah yang katanya enak tetapi sudah kenyang dan ingin dibawanya pulang. “Ini … banyak sekali, Pak Azlan.” Yunita terkejut dan tidak sanggup berkata-kata lagi. Seorang pramusaji membawa sekantong besar berisi dua lusin kotak salad di dalamnya. Yunita merasa segan. Ini memang bernilai kecil dibanding berapa rupiah yang sudah lelaki itu berikan. Tetapi kali ini rasanya berbeda, seperti sebuah perhatian. “Letak saja itu di lemari dingin. Kamu bisa makan tiap hari. Barangkali ibumu pun suka. Meski kamu tidak mengenalkan dengan orang tuamu, setidaknya ada oleh-olehku.” Anthony menyahut tenang. Mengulur kartu bayarnya pada seorang pegawai tagihan yang datang dengan membawa mesin register mini. Melakukan transaksi pembayaran itu di tempat. “Terima kasih, Pak Azlan. Aku jadi segan,”
Mobil sedang memasuki pelataran parkir sebuah klinik kandungan. Kali ini yang membawa bukan Rendra. Tetapi seorang sopir dan kendaraan yang mendadak disewa. Sedang asisten sudah meluncur kembali ke Surabaya petang tadi membawa bubuk kopi. Tangisan Yunita membuat perasaan Anthony jadi iba. Terasa berat untuk kembali ke Surabaya dengan Rendra. “Kenapa ke sini?” Ekspresi Yunita tampak terkejut. Tidak menyangka dirinya dibawa ke tempat ini. Klinik kandungan terbaik di pusat kota. Selama ini Yunita hanya melihat di postingan dan ulasan tentang klinik yang dimuat di media sosial. “Aku temani periksa, Yunita. Meski aku sangat kesal, kamu tidak terbuka mengenai siapa ayah bayimu.” Anthony bicara santai sambil meraup wajahnya. Menatap ke arah klinik yang terlihat ramai antrian. “Aku tidak mau.” Yunita tegas menolak. Rasa sakit yang dia bayangkan dari pertanyaan mengenai ayah bayi di kandungan, membuat pikirannya jadi sempit. “Kamu primitif, Yunita! Apa hingga lahir nanti kamu teta
Yunita buru-buru menutup pintu kamar. Khawatir jika Anthony benar-benar datang ke rumah dan menemui orang tua. Dirinya tidak siap menjelaskan siapa lelaki itu pada mereka. Jika hanya pelanggan kopi, kenapa mereka keluar malam bersama. Bahkan sempat-sempatnya bermalam di kampung. Apalagi membawa anak perempuan mereka yang selama ini betah di rumah, keluar saat malam tiba-tiba. Yunita benar-benar tidak siap berbohong atau menjelaskan yang benar. Sebab tentang Anthony, semua masih abu-abu dan tidak pasti. Tidak ingin menimbulkan angan palsu pada orang tua yang dicinta. “Ma, Yuyun keluar dulu, ya. Ketemu sama calon pelanggan. Sambil makan di lesehan perempatan.” Yunita menghampiri ibunya di ruang televisi. Habis Isya, ayahnya suka pergi ke gudang pabrik. Merokok sambil ngobrol dengan penjaga gudang di sana. “Kamu terlihat cantik, senyum-senyum … apa makan dengan laki-laki?” tanya sang ibu menyelidik. Jeli dengan perubahan ekspresi putrinya. Merasa ikut gembira. “Iya, Bu, laki-
Yunita tidak paham dengan maksud Rendra. Dia sodorkan lagi lembaran itu. Sambil sindiran harus agar segera dilunasi. “Mas Rendra akan melunasi pembayaran sekarang, kan? Sambil diparaf sekalian saja, biar gak kerja dua kali. Tidak perlu dikasih ke Pak Azlan Anthony lagi,” ucap Yunita sambil menyodor lembaran di hadapan Renda kembali. Rendra terdiam menatapnya dengan senyum tipis. Merasa iba juga dengan Yunita. Bukan dirinya tidak punya hati. Beberapa kali melihat juga kelakuan leceh Anthony pada wanita di depannya ini. Bahkan pernah terlibat langsung dalam penculikan dan penyekapannya di villa setelah kondangan waktu itu. Dirinya pun ikut jahat, tetapi apa daya, sang atasan sudah mengambil sumpah dan janji setianya. “Nanti akan ditandatangani Pak Azlan, Mbak. Pembayarannya juga akan langsung dilunasi. Beliau sejak datang sudah menunggumu di lobi, Mbak.”Rendra berkata tenang. Lagi-lagi membuat Yunita bukan hanya bingung, tetapi juga terkejut. “Dia di lobi?!” Seperti sambaran petir